Oleh :
Jurusan Jurnalistik
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
A. Perbedaan Gender dan Seks
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu
jenis kelamin (seks) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik
Pada prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin.
Bagaimanapun, gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi
tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak
masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian, dan antara perempuan
maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin. Akan
tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam Simon, 2012).
Disinilah letak perbedaan seks dan gender, di mana seks bersifat universal
sementara gender tidak. Hal ini disebabkan oleh gender bervariasi dari masyarakat yang
satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua
elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin;
karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system). Sistem
kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang
laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan femininitas. Sistem ini
mencakup stereotype perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku
yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda
Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen deskriptif
dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang ”bagaimana sebenarnya laki- laki dan
perempuan itu” dan pendapat tentang ”bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan
itu”. Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian,
Gender tidak identik dengan seks. Peran dan tanggung jawab laki-laki dan
kemampuan yang dimiliki. Pembedaan peran dan tanggung jawab berdasarkan gender
juga bukan sesuatu yang berdasarkan kodrat tuhan. Dapat diambil kesimpulan, bahwa,
seks itu bersifat kodrati (pemberian dari tuhan) dan tidak dapat diubah, sedangkan gender
gender!
SEKS GENDER
Perbedaan sex sama diseluruh dunia Gender tidak sama di seluruh dunia,
B. Sejarah Feminisme
Tak ada yang tahu persis awal mula feminsme muncul. Meskipun begitu, di duga
terjadi setelah paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan
sumber malapetaka karena dianggap sebagai biang keladi kejatuhan Adam dari Surga
liberalisme di Eropa dan saat terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII (18) yang
gemanya kemudian melanda ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. Saat itu, Mary
Wollstonecraft di akhir abad ke-18 menulis sebuah buku berjudul, “Vindication of the
golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir semua negara tersebut
telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing, dan terus
memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan agar bisa setara dengan kaum laki-laki
khususnya dalam memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Hak-hak
Inti dari ajaran feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti
halnya kaum laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas.
Akan tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum
feminis terbagi-bagi lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka.
Setiap kelompok feminis, baik dalam satu generasi maupun berbeda, memiliki ragam
pemikiran dan agenda pokok dalam perjuangan mereka. Dalam melakukan aktivismenya,
kelompok-kelompok feminis dari aneka aliran juga kerap mendapatkan kritik dari satu
sama lain yang memiliki pemikiran baru. Gagasan-gagasan baru yang senantiasa
berkembang dalam feminisme inilah yang sering kali melahirkan aliran-aliran baru
feminisme, yang tetap memiliki napas yang sama, yaitu perjuangan untuk keadilan dan
kesetaraan gender.
C. Aliran-aliran Feminisme
kok ngurusin kelas, rasialisme, Black Lives Matter?". Ini dapat mencerminkan bahwa
feminisme belum tersosialisasikan dengan baik. Berikut ini adalah beberapa aliran-aliran
dalam feminisme:
adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah
dengan laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai
pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual.
rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia
harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka
ataupun individu yang dapat membuat seseorang yang berada dibawah opresi
Disisi lain, Welfare Liberalism, percaya bahwa Negara harus fokus akan
Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak
sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an;
serta gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960-an dan 1970-an
(Saulnier dalam Suharto, 2006). Namun demikian, mazhab ini dapat dilacak
pada para pendukungnya yang lebih awal. Lewat karyanya Vindication of the
kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis
Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah isu
tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup
publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada
lingkup
hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka,
termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi. Para feminis radikal juga
Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls
dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan
antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa. Feminis
sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang
dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru
wanita.
laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau “yang lain”.
Teori terdahulunya adalah teori Jean Paul Sartre yang menyatakan bahwa ada
tiga jenis eksistensi atau keberadaan, yaitu etre ens soi (ada pada dirinya), etre
pour soi (ada bagi dirinya) dan etre pour les autres (ada untuk orang lain).
Konflik menurut teori ini adalah inti dari hubungan antar subjek, sehingga
hubungan antara individu juga berdasarkan pada konflik (Arivia, 2003: 71-
76).
Argumentasi ini sejalan dengan ide Shulamith Firestone dalam bukunya yang
berjudul The Dialectic of Seks : The Case for Feminist Revolution (dalam
mengakibatkan
laki-laki memiliki penis dan perempuan tidak memiliki penis. Pandangan ini
gagasan Freud bahwa bayi adalah pengganti penis bagi perempuan sehingga
perkembangan
psikoseksual pra-Oedipal.
laki-laki dengan ibunya dipicu secara seksual saat menyusui dan hal itu tidak
terjadi pada bayi perempuan. Bayi laki-laki merasakan bahwa tubuh ibunya
tidak seperti dirinya. Pada tahap Oedipal, anak laki-laki sadar jika perbedaan
diperpanjang” dan “over identifikasi narsisistis” karena rasa gender dan rasa
diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri ibunya.
Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan
digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya
objek cinta awal anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek
lesbian.
kepada
makna.
dan
ulang. Hal tersebut diperkuat oleh Beauvoir mengenai ke-Liyanan bahwa bagi
merupakan cara ber-Ada, cara berpikir dan cara bertutur yang memungkinkan
7. Aliran Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang sangat luas mengenai
pemikirnya adalah Vandana Shiva dari India yang sering disebut dengan
Asasi Manusia. Vandana Shiva dalam bukunya yang berjudul Staying Alive:
Women,
india hanya melibatkan laki-laki dan serta merta menghancurkan alam yang
menjadi sumber pendapatan perempuan, hal ini membuat negara dan pasar
perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di India, Di Indonesia Revolusi Agraria
mendominasi tulisan para feminis Indonesia. Tapi sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), istilah “kekerasan
terhadap perempuan” secara perlahan tapi pasti menggusur istilah “diskriminasi gender” atau
“diskriminasi terhadap perempuan” dari wacana studi perempuan dan praktik hukum di
Indonesia.
Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh kaum wanita, terlepas dari
status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita”. Uraian itu
berdasarkan gender ditujukan untuk membuat seseorang tak bisa mengakui, menikmati dan
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan Pasal 5 UU
PKDRT merumuskan bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagai kekerasan fisik, psikis,
seksual dan penelantaran rumah tangga. Kedua pasal itu mengaitkan “kekerasan” dengan
“kesengsaraan atau penderitaan”. Kesengsaraan atau penderitaan adalah keadaan yang secara
Kita bisa melihat luka bekas pukulan, psikolog bisa melihat trauma, dan perkosaan
hanya didasarkan pada UUD 1945 dan bukan pada UU Nomor 7 Tahun 1984 yang Pasal 16-
terhadap wanita di perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Mungkin karena itu popularitas
UU PKDRT ini telah melampaui UU Nomor 7 Tahun 1984 dan tersingkirlah istilah
merupkan praktek dari ketidakadilan gender, seolah-olah perempuan yang mengurus rumah
tangga dan dianggap tidak mampu mengurusi persoalan-persoalan di ruang publik yang
menyangkut keperluan hidup orang banyak. Dan bukan tidak mungkin perempuan pun
laki-laki. Persoalannya kemudian, adalah wacana publik dan berbagai otoritas kuasa yang
mampu mengkontruksi nilai-nilai sosial hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki, sehingga nilai
yang kemudian berkembang di masyarakat dan hampir menjadi "kebenaran sosial" adalah nilai
Selama ini media khususnya televisi menawarkan kepada kita gambaran gender secara
tradisional dan tidak rasional. Media menggambarkan stereotaip gender bahwa laki-laki adalah
aggressive, independent dan violent. Manakala perempuan digambarkan sebagai seorang yang
seksi, dependent dan domestik. Pada waktu yang sama pun media menyodorkan kepada kita
sebagai seorang yang sensitif dan pelindung, sedangkan perempuan sebagai seorang yang
Media seperti televisi, majalah, surat kabar, internet dan lain-lain, sedikit banyaknya telah
mempengaruhi cara hidup kita, pola dan perspektif kita. Apalagi televisi yang menjadi konsumsi
hiburan masyarakat sehari baik itu pada masyarakat umum maupun masyarakat intelek. Dapat
dipastikan bahwa masyarakat setiap hari selalu menikmati program-program yang ditampilkan
dalam televisi. Sebagaimana dalam jurnal “Women’s Studies Forum” (2001) Baudrillard
menyatakan bahwa televisi adalah dunia, dimana banyak orang yang telah dipengaruhinya.
Televisi banyak memberikan persepsi kepada masyarakat dengan hal-hal yang realitas.
Meskipun pada kenyataannya, televisi tidaklah selalu menampilkan hal-hal yang nyata tapi
komponen-komponen yang artificial (palsu) yang telah dibuat oleh orang yang berkuasa atau
orang yang memproduksi televisi tersebut. Televisi mempunyai dampak yang sangat kuat dalam
membentuk persepsi pemirsa tentang sex, gender dan juga identitas gender mereka. Televisi
sering menjadi konsumen atas suatu produk televisi. Televisi seolah-olah menampilkan
informasi yang valid tentang kebenaran hidup dan lain-lain. Hal ini karena televisi telah dibina
dalam suatu masyarakat dan budaya yang dihasilkan melalui mekanisme sistem siaran.
Persoalannya disini adalah bagaimana perempuan itu ditampilkan kepada masyarakat kita
dianggap sebagai suatu hal yang biasa dari sebuah bentuk diskriminasi gender dan tidak perlu
dijelaskan apalagi dijelaskan kepada masyarakat. Slogan “For the society men and women work
diskriminasi perempuan ini adalah masalah yang serius yang banyak kita jumpai di tempat kerja
dan juga dalam kehidupan bermasyarakat lainnya yang di dalamnya ada laki-laki dan perempuan
secara bersama-sama. Inilah yang menjadi alasan bahwa solusi dari semua ini bergantung
memberikan kontribusi atau sumbangan untuk dipertahankan dalam sistem tersebut. Keterlibatan
diskriminasi gender.
dominasi nilai sosial. Selain itu, televisi juga menayangkan sebagai “inatural”. Dalam
masyarakat yang masih dikuasai oleh laki-laki, produksi televisi juga dikuasai oleh laki-laki dan
dipengaruhi dengan streotaip. Secara tidak langsung ia menguatkan lagi bayangan tradisi
maskulin yang berkelajutan dengan streotaip perempuan. Banyak cerita dalam televisi dibuat
supaya diintepretasi dari perspektif maskulin. Penonton selalunya diajak supaya mengenal sifat
Perempuan banyak belajar daripada televisi bahwa ini adalah dunia lakilaki dan belajar
untuk memaparkan pandangan mereka sendiri. Sekarang ini sudah mulai terjadi perimbangan
jumlah perempuan yang membaca berita. Dulu kebanyakan pembaca berita terdiri atas laki-laki
dan telah menunjukkan bahwa perempuan kurang diberi perhatian secara serius. Walau penonton
mengatakan bahwa daya tarik perempuan lebih memainkan peranan penting dalam pemilihan
mereka dibandingkan laki-laki, tetapi Ada juga bukti yang menyatakan bahwa pembaca berita