Anda di halaman 1dari 21

RESUME MATERI

KOMUNIKASI PERSPEKTIF GENDER

Oleh :

Nadia Febrianti A Salam


(50500118041)

Jurusan Jurnalistik
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
A. Perbedaan Gender dan Seks

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat diwakili oleh dua konsep, yaitu

jenis kelamin (seks) dan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik

(perbedaan fungsi reproduksi), sedangkan gender merupakan konstruksi sosio-kultural.

Pada prinsipnya, gender merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin.

Bagaimanapun, gender memang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, akan tetapi

tidak selalu berhubungan dengan perbedaan fisiologis seperti yang selama ini banyak

dijumpai dalam masyarakat (Simon, 2012).

Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi “maskulin” dan “feminin”.

Gender yang berlaku dalam suatu masyarakat lebih ditentukan olehpandangan

masyarakat tentang hubungan antara laki-laki dan kelaki-lakian, dan antara perempuan

dan keperempuanan. Umumnya, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan gender

maskulin, sementara jenis kelamin perempuan berkaitan dengan gender feminin. Akan

tetapi, hubungan itu bukan merupakan korelasi absolut (Roger dalam Simon, 2012).

Disinilah letak perbedaan seks dan gender, di mana seks bersifat universal

sementara gender tidak. Hal ini disebabkan oleh gender bervariasi dari masyarakat yang

satu ke masyarakat yang lain dan dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua

elemen gender yang bersifat universal: 1) Gender tidak identik dengan jenis kelamin;

2) Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua masyarakat (Gallery

dalam Simon, 2012).


Adapun gender dapat beroperasi di masyarakat dalam jangka waktuyang lama

karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system). Sistem

kepercayaan gender ini mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang

laki-laki dan perempuan dan tentang kualitas maskulinitas dan femininitas. Sistem ini

mencakup stereotype perempuan dan laki-laki, sikap terhadap peran dan tingkah laku

yang cocok bagi laki-laki dan perempuan, sikap terhadap individu yang dianggap berbeda

secara signifikan dengan “pola baku”.

Dengan kata lain, sistem kepercayaan gender itu mencakup elemen deskriptif

dan preskriptif, yaitu kepercayaan tentang ”bagaimana sebenarnya laki- laki dan

perempuan itu” dan pendapat tentang ”bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan

itu”. Sistem kepercayaan gender itu sebetulnya merupakan asumsi yang benar sebagian,

sekaligus salah sebagian.

Gender tidak identik dengan seks. Peran dan tanggung jawab laki-laki dan

perempuan dapat dipertukarkan atau dapat bergantisesuai dengan potensi dan

kemampuan yang dimiliki. Pembedaan peran dan tanggung jawab berdasarkan gender

juga bukan sesuatu yang berdasarkan kodrat tuhan. Dapat diambil kesimpulan, bahwa,

seks itu bersifat kodrati (pemberian dari tuhan) dan tidak dapat diubah, sedangkan gender

berasal dari masyarakat dan dapat diubah sewaktu-waktu.


Perhatikan table berikut, agar lebih mudah memamahi perbedaan antara seks dan

gender!

SEKS GENDER
Perbedaan sex sama diseluruh dunia Gender tidak sama di seluruh dunia,

bahwa perempuan bisa hamil tergantung dari budaya dan

sementara laki-laki tidak, sifatnya perkembangan masyarakat di satu

Universal. wilayah, sifatnya lokal.


Perbedaan sex tidak berubah dari Gender berubah dari waktu ke waktu.

waktu ke waktu. Dari dulu hingga Setiap peristiwa dapat merubah

sekarang dan masa mendatang. Laki- hubungan antara laki-laki dan

laki tidak mengalami menstruasi dan perempuan dalam masyarakat

tidak dapat hamil.

B. Sejarah Feminisme
Tak ada yang tahu persis awal mula feminsme muncul. Meskipun begitu, di duga

terjadi setelah paderi-paderi gereja menuding perempuan sebagai pembawa sial dan

sumber malapetaka karena dianggap sebagai biang keladi kejatuhan Adam dari Surga

(Deane-Drummond, 2006). Feminisme mulai menampakkan eksistensinya pada era

liberalisme di Eropa dan saat terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII (18) yang

gemanya kemudian melanda ke Amerika Serikat dan seluruh dunia. Saat itu, Mary

Wollstonecraft di akhir abad ke-18 menulis sebuah buku berjudul, “Vindication of the

right of women”, yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip

feminisme di kemudian hari (Faizain, 2012).

Penindasan terhadap perempuan berlangsung di hampir semua negara dan

golongan agama. Di mana penindasan yang berlangsung di hampir semua negara tersebut

telah berhasil dibongkar oleh para feminis di negaranya masing-masing, dan terus

berupaya membongkar pengalaman ketertindasan yang dialami oleh kaum perempuan.

Tujuan utama dibongkarnya ketertindasan perempuan tersebut adalah untuk

memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan agar bisa setara dengan kaum laki-laki

khususnya dalam memperoleh akses seperti yang telah dikemukakan di atas. Hak-hak

perempuan yang terabaikan tersebut seringkali berujung pada sebuah diskriminasi,

eksploitasi, kekerasan, ketidakadilan, dan lain-lain yang mana kaum feminis

menganggapnya sebagai sebuah penindasan yang dialami perempuan.

Inti dari ajaran feminisme adalah agar perempuan memiliki kesetaraan seperti

halnya kaum laki-laki dalam memiliki akses seperti yang telah dikemukakan di atas.

Akan tetapi, dalam menuju kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki, kaum

feminis terbagi-bagi lagi ke dalam aliran-aliran sesuai dengan fokus utama ajaran mereka.
Setiap kelompok feminis, baik dalam satu generasi maupun berbeda, memiliki ragam

pemikiran dan agenda pokok dalam perjuangan mereka. Dalam melakukan aktivismenya,

kelompok-kelompok feminis dari aneka aliran juga kerap mendapatkan kritik dari satu

sama lain yang memiliki pemikiran baru. Gagasan-gagasan baru yang senantiasa

berkembang dalam feminisme inilah yang sering kali melahirkan aliran-aliran baru

feminisme, yang tetap memiliki napas yang sama, yaitu perjuangan untuk keadilan dan

kesetaraan gender.

C. Aliran-aliran Feminisme

Dalam keseharian, sebagian orang masih belum paham mengenai kondisi

keberagaman gagasan dan fokus perjuangan kelompok-kelompok feminis. Masih dapat

ditemukan respons beberapa pihak terkait isu feminisme seperti "Feminis

kok  ngurusin  kelas, rasialisme, Black Lives Matter?". Ini dapat mencerminkan bahwa

feminisme belum tersosialisasikan dengan baik. Berikut ini adalah beberapa aliran-aliran

dalam feminisme:

1. Aliran Feminisme Liberal

Feminisme liberal adalah salah satu bentuk feminisme yang mengusung

adanya persamaan hak untuk perempuan dapat diterima melalui cara yang sah

dan perbaikan perbaikan dalam bidang sosial, dan berpandangan bahwa

penerapan hak-hak wanita akan dapat terealisasi jika perempuan disejajarkan

dengan laki-laki. Hal tersebut seiring dengan beberapa sumber teori mengenai

feminisme liberal; Apa yang disebut sebagai feminisme liberal ialah

pandangan untuk
menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan

individual.

Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada

rasionalitas dan pemisahan antara dunia pribadi dan umum. Setiap manusia

mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, terutama

pada perempuan, akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan

ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan

harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka

persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki. Feminisme

liberal menginginkan kebebasan untuk kaum perempuan dari opresi (suatu

tindakan dengan kekuatan yang tersistematis dan memperoleh dukungan

sosial untuk melakukan penganiayaan dan eksploitasi dari sebuah kelompok

ataupun individu yang dapat membuat seseorang yang berada dibawah opresi

merasakan kesengsaraan dan penderitaan). Aliran ini juga mencakup 2 bentuk

pemikiran politik yaitu Clasiccal Liberalism dan Welfare Liberalism.

Classical Liberalism percaya bahwa idealnya, negara harus menjaga

kebebasan rakyatnya, dan juga memberi kesempatan kepada individu-

individu untuk menentukan kepemilikannya.

Disisi lain, Welfare Liberalism, percaya bahwa Negara harus fokus akan

keadilan ekonomi daripada kemudahan-kemudahan untuk kebebasan sipil.

Mereka menganggap program pemerintah seperti keamanan sosial dan

kebebasan sekolah sebagai cara untuk mengurangi ketidakadilan dalam

masyrakat sosial. Baik classical maupun Welfare Liberalism percaya bahwa


campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi mereka tidaklah

dibutuhkan (Tong: 2006).

2. Aliran Feminisme Radikal

Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak

sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950-an dan 1960-an;

serta gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960-an dan 1970-an

(Saulnier dalam Suharto, 2006). Namun demikian, mazhab ini dapat dilacak

pada para pendukungnya yang lebih awal. Lewat karyanya Vindication of the

rights of women, Mary Wollstonecraft pada tahun 1797 menganjurkan

kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis

kulit hitam pertama, pada tahun 1830an mengusulkan penguatan relasi di

antara wanita kulit hitam. Elizabeth Cudy Stantonpada tahun 1880an

menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap wanita dan menyerang

justifikasi keagamaan yang menindas wanita (Saulnier dalam Suharto, 2006).

Menurut Arivia (2003: 100-102), inti gerakan feminis radikal adalah isu

mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan

tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup

publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada

lingkup

publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki. Dalam

konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang


sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali

melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum

feminis radikal meneriakkan slogan bahwa “yang pribadi adalah politis”,

yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan

dalam lingkup publik.

Feminis radikal memberikan prioritas pada upaya untuk memenangkan isu-isu

tentang kesehatan, misalnya perdebatan mengenai aborsi dan penggunaan alat

kontrasepsi yang aman. Mereka ingin menyadarkan perempuan bahwa

“perempuan adalah pemilik atas tubuh mereka sendiri”, mereka memiliki

hak untuk memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh mereka,

termasuk dalam hal kesehatan dan reproduksi. Para feminis radikal juga

memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap

perempuan. Dominasi laki-laki dalam system patriarki membuat kekerasan

yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah

tangga, pornografi, pelecehan seksual, menjadi tampak alami dan “layak”.

Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls

dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan

patuh, maka ia tidak akan dicelakai (Arivia, 2003 : 103).

3. Aliran Feminisme Marxis dan Sosialis

a. Feminis Marxis percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami

penindasan seperti yang dialami perempuan proletar. Penindasan

perempuan juga terlihat melalui produk-produk politik, struktur sosiologis


dan ekonomis yang secara erat bergandengan tangan dengan sistem

kapitalisme. Seperti halnya Marxisme, feminis Marxis memperdebatkan

bahwa eksistensi sosial menentukan kesadaran diri. Perempuan tidak dapat

mengembangkan dirinya apabila secara sosial dan ekonomi tergantung

pada laki-laki. Untuk mengerti tentangpenindasan perempuan, relasi

antara status kerja perempuan dan citra diri mereka dianalisa. Feminis

Marxis ataupun sosialis mencuatkan isu pada kesenjangan ekonomi, hak

milik properti, kehidupan keluarga dan domestik di bawah system

kapitalisme dan kampanye tentang pemberian upah bagi pekerjaan-

pekerjaan domestik. Gerakan ini dikritik karena hanya melihat relasi

kekeluargaan yang semata-mata eksploitasi kapitalisme, dimana

perempuan memberikan tenaganya secara gratis. Feminis Marxis dan

sosialis mengabaikan unsur-unsur cinta, rasa aman dan rasa nyaman, yang

padahal juga berperan penting dalam pembentukan sebuah keluarga.

Ideologi ini hanya menekankan fokus pada eksploitasi dalam kapitalisme

dan ekonomi. Bukan memberi perhatian lebih pada masalah gender, justru

berkonsentrasi pada analisis kelas (Nope, 2005:152).

b. Ajaran feminis sosialis (Saulnier dalam Suharto, 2006). adalah:

- Wanita tidak dimasukkan dalam analisis kelas, karena pandangan

bahwa wanita tidak memiliki hubungan khusus dengan alat-alat

produksi. Karenanya, perubahan-perubahan alat-alat produksi

merupakan ‘necessary condition’ meskipun bukan ‘sufficient


condition’, dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi

penindasan terhadap wanita.

- Menganjurkan solusi untuk membayar wanita atas pekerjaannya yang

ia lakukan di rumah. Status sebagai ibu rumah tangga dan

pekerjaannya sangat penting bagi berfungsinya sistem kapitalis.

Logikanya: ‘capitalism depends on the housewife’s free labor to

maintain its workers; if the housewife refused to continue to work

without pay, capitalism could not function.

- Kapitalisme memperkuat seksisme, karena memisahkan antara

pekerjaan bergaji dengan pekerjaan rumah tangga (domestic work) dan

mendesak agar wanita melakukan pekerjaan domestik. Akses laki-laki

terhadap waktu luang, pelayanan-pelayanan personal, dan kemewah-

mewahan telah mengangkat standar hidupnya melebihi wanita;

karenanya adalah laki-laki sebagai anggota sistem patriarkal, bukan

hanya cara-cara ekonomi kapitalis, yang diuntungkan oleh tenaga kerja

wanita.

4. Aliran Feminisme Eksistensialisme

Simone de Beauvoir (dalam Arivia, 2003 : 122-123) menyatakan bahwa

dalam feminisme eksistensialisme penindasan perempuan diawali dengan

beban reproduksi yang herus ditanggung oleh tubuh perempuan. Dimana

terdapat berbagai perbedaan antara perempuan dan laki-laki, sehingga

perempuan dituntut untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi

“yang lain” karena ia adalah makhluk yang seharusnya di bawah perlindungan


laki-laki, bagian dari laki-laki karena diciptakan dari laki-laki. Dengan

demikian, perempuan didefinisikan dari sudut pandang laki-laki, sehingga

laki-laki adalah subjek dan perempuan adalah objeknya atau “yang lain”.

Teori terdahulunya adalah teori Jean Paul Sartre yang menyatakan bahwa ada

tiga jenis eksistensi atau keberadaan, yaitu etre ens soi (ada pada dirinya), etre

pour soi (ada bagi dirinya) dan etre pour les autres (ada untuk orang lain).

Konflik menurut teori ini adalah inti dari hubungan antar subjek, sehingga

hubungan antara individu juga berdasarkan pada konflik (Arivia, 2003: 71-

76).

Argumentasi ini sejalan dengan ide Shulamith Firestone dalam bukunya yang

berjudul The Dialectic of Seks : The Case for Feminist Revolution (dalam

Arivia, 2003 : 67-68), dimana ia mengklaim bahwa beban reproduksi dan

tanggungjawab untuk merawat anak membawa perempuan dalam posisi tawar

yang rendah terhadap laki-laki.

5. Aliran Feminisme Psikoanalis

Pendekatan feminisme psikoanalisis merupakan pendekatan yang berdasar

pada teori psikoanalisis Freud. Feminis psikoanalisis percaya bahwa

ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan berakar dari rangkaian

pengalaman seksualitas masa kanak-kanak hingga dewasa yang

mengakibatkan

perbedaan cara pandang, tidak hanya laki-laki memandang dirinya sebagai

maskulin, dan perempuan memandang dirinya sebagai feminin, tetapi juga


masyarakat memandang bahwa maskulinitas lebih baik daripada femininitas

(Tong, 2006: 190).

Feminisme psikoanalisis banyak diilhami dari pemikiran-pemikiran Freud

tentang determinisme. Menurut Freud seperti dikutip Tong, secara biologis

laki-laki memiliki penis dan perempuan tidak memiliki penis. Pandangan ini

menjadi dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Tong, 2006: 194).

Lebih lanjut Tong mengatakan bahwa Pandangan mengenai determinisme

ditolak oleh penganut feminisme psikoanalisis, antara lain Nancy Chodorow

yang menulis The Reproduction of Mothering di tahun 1978. Chodorow

menolak gagasan Freud tentang determinisme tersebut. Dia juga menolak

gagasan Freud bahwa bayi adalah pengganti penis bagi perempuan sehingga

perempuan ingin menjadi ibu.

Menurut doktrin psikoanalisis, perempuan tidak memiliki penis dan laki-laki

memilikinya. Ketika perempuan sadar bahwa dirinya tidak memiliki penis

maka dia merasa terkastrasi (cemas) dan inferior. Chodorow menganalisis

mengapa perempuan ingin menjadi seorang ibu dengan tahapan

perkembangan

psikoseksual pra-Oedipal.

Menurutnya, bayi laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman relasional-

objek yang berbeda terhadap ibunya. Hubungan pra-Oedipal seorang bayi

laki-laki dengan ibunya dipicu secara seksual saat menyusui dan hal itu tidak

terjadi pada bayi perempuan. Bayi laki-laki merasakan bahwa tubuh ibunya
tidak seperti dirinya. Pada tahap Oedipal, anak laki-laki sadar jika perbedaan

fisik dengan ibunya merupakan masalah dan kekuasaan harus diperoleh

melalui identifikasi dirinya dengan laki-laki, ayahnya. Sehingga dia harus

melepaskan diri dari keterikatan terhadap ibunya. Sedangkan hubungan pra-

Oedipal bayi perempuan dengan ibunya merupakan “simbiosis yang

diperpanjang” dan “over identifikasi narsisistis” karena rasa gender dan rasa

diri bayi perempuan bertautan dengan rasa gender dan rasa diri ibunya.

Selama tahapan Oedipal, simbiosis ibu dengan anak perempuan melemah dan

digantikan dengan hasrat anak pada sesuatu yang disimbolkan oleh ayahnya

yaitu otonomi dan kemandirian. Chodorow berpendapat bahwa pengalihan

objek cinta awal anak perempuan dari objek perempuan, ibunya kepada objek

laki-laki, ayahnya tidak pernah benar-benar selesai sehingga dia cenderung

menemukan hubungan emosional yang paling kuat bersama perempuan lain

dan berakibat terjadinya persahabatan sesama perempuan dan hubungan

lesbian.

6. Aliran Feminisme Postmodern

Feminism postmodern berusaha menghindari setiap tindakan yang akan

mengembalikan pemikiran falogosentris (phallogocentric), setiap gagasan

mengacu pada kata (logos) yang style-nya adalah laki-laki. Sehingga dapat

dijelaskan bahwa feminism postmodern melihat dengan curiga mengenai

pemikiran feminis yang berusaha menjelaskan suatu hal mengenai penyebab

opresi terhadap perempuan dan untuk mencapai kebebasan (dalam Azhar,


2012). Secara mudah Feminism Postmodern merupakan sebuah kritikan

kepada

cara berfikir laki-laki yang diproduksi melalui bahasa laki-laki. Feminism

Postmodern berusaha membongkar narasi-narasi besar yang ada. Sehingga

dapat dijelaskan bahwa Feminisme Postmodern juga berusaha melawan

peraturan-peraturan yang sudah langgeng di Masyarakat. Postmodernism

menolak batasan-batasan antara seni tinggi dan seni rendah, menolak

pembatasan genre dan menawarkan keberanian dalam mempermainkan

makna.

Seni postmodern dan juga pemikiran postmodern menawarkan refleksifitas

dan

kesadaran diri, fragmentasi dan diskontinuitas (terutama dalam struktur

cerita), ambiguitas, simultansi dan penekanan pada subyek yang distruktur

ulang. Hal tersebut diperkuat oleh Beauvoir mengenai ke-Liyanan bahwa bagi

feminism postmodern memungkinkan perempuan untuk mengambil jarak dan

mengkritisi norma, nilai dan praktik-praktik yang dipaksakan oleh

kebudayaan dominan (patriarki) terhadap semua orang khusunya pada

perempuan di dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, ke-Liyanan

merupakan cara ber-Ada, cara berpikir dan cara bertutur yang memungkinkan

adanya keterbukaan, pluralitas, keragaman dan perbedaan.

7. Aliran Ekofeminisme
Kajian feminisme dan gender mencakup aspek yang sangat luas mengenai

ketimpangan gender dan gerakan feminisme dalam berbagai bidang. Salah

satu bidang feminisme adalah lingkungan hidup di mana salah satu

pemikirnya adalah Vandana Shiva dari India yang sering disebut dengan

kajian ekofeminsime. Ekofeminisme ini menghubungkan antara feminisme

dan ekologi yang berarti didalamnya tercakup aspek Politik, Demokrasi,

Gerakan Sosial, Lingkungan Hidup, Ketimpangan Gender dan tentunya Hak

Asasi Manusia. Vandana Shiva dalam bukunya yang berjudul Staying Alive:

Women,

Ecology, and Development menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya di

India di mana Pembangunan Ekses (Ekses=besar-besaran) dari globalisasi

membuat perempuan india tereksklusi dari alam sebagai sumber pendapatan

perempuan di india. Lebih lanjut, Shiva mengatakan dalam pembangunan di

india hanya melibatkan laki-laki dan serta merta menghancurkan alam yang

menjadi sumber pendapatan perempuan, hal ini membuat negara dan pasar

memperlakukan perempuan secara tidak adil dengan cara memiskinkan

perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di India, Di Indonesia Revolusi Agraria

membuat banyak perempuan pekerja di bidang pertanian kehilangan

pekerjaannya (dalam Halim, 2012) Dalam rangka usaha memberikan

kesetaraan gender para aktivis dalam kerangka gerakan sosial mereka

memiliki berbagai macam strategi. Menurut Vandana Shiva dalam rangka

kesetaraan gender dengan memperjuangkan lingkungan adalah dengan cara

pengetahuan. Menurutnya, kekuatan yang paling besar adalah pengetahuan,


maka dari itu, ia aktif menuliskan pemikirannya dalam rangka perjuangan

ekofeminsime ini. Selain itu terdapat juga melalui gerakan-gerakan sosial

seperti gerakan memeluk pohon yang terinspirasi gerakan mahatma Gandhi.

(dalam Halim, 2012).

D. Diskriminasi Terhadap Perempuan

Tahun 2005 studi perempuan di Indonesia masih menggunakan kata “diskriminasi”

sebagai wacana utamanya. Istilah “diskriminasi wanita” atau “diskriminasi gender”

mendominasi tulisan para feminis Indonesia. Tapi sejak berlakunya UU Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), istilah “kekerasan

terhadap perempuan” secara perlahan tapi pasti menggusur istilah “diskriminasi gender” atau

“diskriminasi terhadap perempuan” dari wacana studi perempuan dan praktik hukum di

Indonesia.

Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk

Kekerasan terhadap Wanita mendefinisikan diskriminasi terhadap wanita sebagai “setiap

pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang
mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,

penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di

bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh kaum wanita, terlepas dari

status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita”. Uraian itu

menunjukkan,bahwa diskriminasi yang berupa pembedaan, pengucilan dan pembatasan

berdasarkan gender ditujukan untuk membuat seseorang tak bisa mengakui, menikmati dan

menggunakan HAM dan membuat pria dan wanita tak setara.

Sementara Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan “kekerasan” dalam rumah tangga sebagai

“setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan Pasal 5 UU

PKDRT merumuskan bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagai kekerasan fisik, psikis,

seksual dan penelantaran rumah tangga. Kedua pasal itu mengaitkan “kekerasan” dengan

“kesengsaraan atau penderitaan”. Kesengsaraan atau penderitaan adalah keadaan yang secara

empiric setidaknya berdasarkan laporan korban bisa dilacak.

Kita bisa melihat luka bekas pukulan, psikolog bisa melihat trauma, dan perkosaan

atau penelantaran ekonomis juga meninggalkan jejak. Bahkan pembentukan UU PKDRT

hanya didasarkan pada UUD 1945 dan bukan pada UU Nomor 7 Tahun 1984 yang Pasal 16-

nya mewajibkan negara peserta konvensi membuat peraturan penghapus diskriminasi

terhadap wanita di perkawinan dan hubungan kekeluargaan. Mungkin karena itu popularitas
UU PKDRT ini telah melampaui UU Nomor 7 Tahun 1984 dan tersingkirlah istilah

diskriminasi dari wacana hukum tentang perempuan di Indonesia.

E. Diskriminasi Perempuan Dimedia Massa

Diskiriminasi perempuan adalah sebuah pengidentifikasian yang sesungguhnya

merupkan praktek dari ketidakadilan gender, seolah-olah perempuan yang mengurus rumah

tangga dan dianggap tidak mampu mengurusi persoalan-persoalan di ruang publik yang

menyangkut keperluan hidup orang banyak. Dan bukan tidak mungkin perempuan pun

mempunyai kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya di ruang publik sebagaimana halnya

laki-laki. Persoalannya kemudian, adalah wacana publik dan berbagai otoritas kuasa yang

mampu mengkontruksi nilai-nilai sosial hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki, sehingga nilai

yang kemudian berkembang di masyarakat dan hampir menjadi "kebenaran sosial" adalah nilai

yang cenderung bias laki-laki.

Selama ini media khususnya televisi menawarkan kepada kita gambaran gender secara

tradisional dan tidak rasional. Media menggambarkan stereotaip gender bahwa laki-laki adalah

aggressive, independent dan violent. Manakala perempuan digambarkan sebagai seorang yang

seksi, dependent dan domestik. Pada waktu yang sama pun media menyodorkan kepada kita

gambaran-gambaran gender sebagai bagian dari stereotaip tradisional. Laki-laki digambarkan

sebagai seorang yang sensitif dan pelindung, sedangkan perempuan sebagai seorang yang

asservative dan independent1.

Media seperti televisi, majalah, surat kabar, internet dan lain-lain, sedikit banyaknya telah

mempengaruhi cara hidup kita, pola dan perspektif kita. Apalagi televisi yang menjadi konsumsi

hiburan masyarakat sehari baik itu pada masyarakat umum maupun masyarakat intelek. Dapat
dipastikan bahwa masyarakat setiap hari selalu menikmati program-program yang ditampilkan

dalam televisi. Sebagaimana dalam jurnal “Women’s Studies Forum” (2001) Baudrillard

menyatakan bahwa televisi adalah dunia, dimana banyak orang yang telah dipengaruhinya.

Televisi banyak memberikan persepsi kepada masyarakat dengan hal-hal yang realitas.

Meskipun pada kenyataannya, televisi tidaklah selalu menampilkan hal-hal yang nyata tapi

komponen-komponen yang artificial (palsu) yang telah dibuat oleh orang yang berkuasa atau

orang yang memproduksi televisi tersebut. Televisi mempunyai dampak yang sangat kuat dalam

membentuk persepsi pemirsa tentang sex, gender dan juga identitas gender mereka. Televisi

menyuguhkan diskriminasi gender melalui objektifitas masyarakat kerana masyarakat awam

sering menjadi konsumen atas suatu produk televisi. Televisi seolah-olah menampilkan

informasi yang valid tentang kebenaran hidup dan lain-lain. Hal ini karena televisi telah dibina

dalam suatu masyarakat dan budaya yang dihasilkan melalui mekanisme sistem siaran.

Persoalannya disini adalah bagaimana perempuan itu ditampilkan kepada masyarakat kita

melalui televisi? Media, khususnya televisi, seharusnya mewakili keterlibatan perempuan

melalui program-program yang ditampilkan. Bagaimana pun masalah-masalah ini selalu

dianggap sebagai suatu hal yang biasa dari sebuah bentuk diskriminasi gender dan tidak perlu

dijelaskan apalagi dijelaskan kepada masyarakat. Slogan “For the society men and women work

on an equal basis” mengindikasikan adanya diskriminasi perempuan dalam masyarakat. Masalah

diskriminasi perempuan ini adalah masalah yang serius yang banyak kita jumpai di tempat kerja

dan juga dalam kehidupan bermasyarakat lainnya yang di dalamnya ada laki-laki dan perempuan

secara bersama-sama. Inilah yang menjadi alasan bahwa solusi dari semua ini bergantung

bagaimana mengatasi masalah perbedaan gender karena perbedaan gender menghasilkan

pembagian seksual dan sistem gender dalam masyarakat.


Oleh itu, keterwakilan perempuan di televisi telah memberikan dorongan dan juga

memberikan kontribusi atau sumbangan untuk dipertahankan dalam sistem tersebut. Keterlibatan

perempuan menekankan ideologi perempuan dan memberikan kontribusi dalam pertumbuhan

diskriminasi gender.

Televisi masih menyambung tradisi gender dengan sterotaip karena ia memantulkan

dominasi nilai sosial. Selain itu, televisi juga menayangkan sebagai “inatural”. Dalam

masyarakat yang masih dikuasai oleh laki-laki, produksi televisi juga dikuasai oleh laki-laki dan

dipengaruhi dengan streotaip. Secara tidak langsung ia menguatkan lagi bayangan tradisi

maskulin yang berkelajutan dengan streotaip perempuan. Banyak cerita dalam televisi dibuat

supaya diintepretasi dari perspektif maskulin. Penonton selalunya diajak supaya mengenal sifat

laki-laki dan menerima sifat perempuan.

Perempuan banyak belajar daripada televisi bahwa ini adalah dunia lakilaki dan belajar

untuk memaparkan pandangan mereka sendiri. Sekarang ini sudah mulai terjadi perimbangan

jumlah perempuan yang membaca berita. Dulu kebanyakan pembaca berita terdiri atas laki-laki

dan telah menunjukkan bahwa perempuan kurang diberi perhatian secara serius. Walau penonton

mengatakan bahwa daya tarik perempuan lebih memainkan peranan penting dalam pemilihan

mereka dibandingkan laki-laki, tetapi Ada juga bukti yang menyatakan bahwa pembaca berita

laki-laki lebih diyakini kebenarannya dibandingkan pembaca berita perempuan8.

Anda mungkin juga menyukai