Anda di halaman 1dari 7

NAMA: NI MADE YUNIARI

NO: 16
KELAS: AKUNTANSI F MALAM
Landasan Pendidikan Pancasila
PERTANYAAN :
1.Bahwa proses perumusan Pancasila yang dijadikan rancangan Dasar Negara mengacu kepada hasil
pemikiran Mpu Tantular dalam karya sastra “Sutasoma” termuat peraturan tentang : Perintah Kesusilaan
Yang Lima atau Pancasila Krama?
2. Kemerdekaan Indonesia yang di Proklamiran pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan
Hatta merupakan hadiah dari JEPANG?

JAWABAN:
1. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Pancasila mempunyai fungsi sebagai ideologi
negara Bangsa Indonesia dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. Segala aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara tercantum dalam Pancasila. Ini merupakan ciri khas bangsa ini. Tidak dimiliki oleh bangsa lain
atau bangsa mana pun di dunia.
Seperti telah dikemukakan tokoh perumusan Pancasila, Ir Soekarno, salah satu pendiri negara Indonesia
yang pertama kali mencetuskan nama Pancasila sebagai nama dasar negara yang dikemukakan.
Berdasarkan sejarah Pancasila, Pancasila bukan lahir dari seorang atau kelompok orang. Pancasila sudah
ada sejak zaman dahulu. Zaman di mana Indonesia masih merupakan kerajaan-kerajaan terpecah. Pernah
bersatu di bawah kerajaan Sriwijaya dan kerajaan besar Majapahit.
Pancasila krama adalah sebutan pandangan hidung Bangsa Indonesia yang sebagian besar diadopsi
menjadi Pancasila sekarang. Panca berarti lima dan sila berarti jumlah aturan dasar dan krama berarti tata
krama. Pancasila karma berarti lima aturan dasar hidup dalam masyarakat yang sesuai dengan tata karma
dan perilaku baik. Pancasila menjadi dasar perilaku, adab, akhlak, dan moral masyarakat dan indvdvu
Indonesia.
Pancasila krama sendiri sudah sejak zaman Budha. Terdapat dalam kitab suci agama Budha Tripitaka.
Kemudian aturan tersebut digunakan sebagai aturan negara pertama kali oleh Hayam Wuruk di
Majapahit. Kerajaan besar pada zamannya yang menguasai hampir seluruh wilayah nusantara sekarang
dan sebagian besar penduduknya memang menganut agama Budha. Pancasila krama secara resmi terdapat
dalam Buku Negara Kertagama karang Mpu Prapanca yang terkenal.
Aturan pancasila krama kemudian terdapat dalam Buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Seorang
negarawan yang hidup tidak jauh dari zaman Mpu Prapanca. Pancasila krama yang terdapat dalam buku
Sutasoma tersebut yang kemudian sering dibahas dan dianggap cikal bakal Pancasila sekarang. Hal ini
dikarenakan dalam bukunya, selain menyebutkan Panca krama yang sama degan Mpu tantular, tercantum
pula aturan dasar yang mirip dengan Pancasila sekarang.
Larangan Dasar dalam Pancasila Krama
Pancasila krama dalam buku Sutasoma pertama memuat 5 aturan dasar yang merupakan larangan bagi
pengikutnya. Lima aturan yang seharusnya tidak boleh dilanggar jika pengikutnya yang sebagian besar
beragama Budha melanggar maka hidupnya tidak akan baik. Lima larangan tersebut, yaitu :
1. Tidak Boleh Melakukan Kekerasan
Pancasila karma yang pertama adalah tidak boleh melakukan kekerasan. Kekerasan yang dimaksud
tentunya kepada alam, kepada sesama makhluk hidup, khususnya kepada sesama manusia. Kekerasan
yang dilakukan dapat mengacaukan tatanan hidup dalam masyarakat. Kekerasan yang dilakukan oleh satu
orang akan melahirkan kekerasan lain. Bahkan mungkin melahirkan kekerasan kelompok yang tidak
pernah ada habisnya. Kekerasan yang kemudian didasari oleh niat untuk membalas dendam. Kekerasan
berarti pelanggaran hak asasi manusia.
Kekerasan terhadap alam juga tidak boleh dilakukan. Kekerasan terhadap alam dapat merusaknya. Alam
yang rusak juga akan merugikan manusia itu sendiri yang menggunakan alam sebagai sumber daya alam.
2. Tidak Boleh Mencuri
Mencuri jika didefinisikan sebagai mengambil barang atau sesuatu milik orang lain tanpa sepengetahuan
pemilik dan tanpa seijinnya. Pencurian akan membawa moral yang buruk. Awalnya pencurian dilakukan
dalam hal-hal kecil lama kelamaan akan berubah menjadi pencurian besar. Oleh karena itu, dalam
Pancasila krama setiap individu dilarang mencuri.
Pencurian dalam jumlah besar sekarang terjadi terhadap negara. Saat ini kita menyebutnya sebagai
korupsi. Korupsi merugikan negara dan merugikan rakyat secara keseluruhan. Ini akibat individu tidak
lagi mengindahkan larangan mencuri. Padahal semua agama di dunia melarang umatnya untuk mencuri.
3. Tidak Boleh Dengki
Dengki adalah perasaan iri terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain, baik berupa harta benda atau
prestasi dan kedudukan. Dengki biasanya diiringi dengan perbuatan. Sementara iri hanya dinyatakan
dalam hati. Orang yang dengki akan berusaha mengambil sesuatu yang dimiliki orang lain tersebut. Orang
yang dengki tidak ingin melihat orang lain merasa senang dan bahagia atas sesuatu yang dia tidak
miliki. Sifat dengki sangat merusak. Sifat dengki dapat membuat tindakan kekerasan dan pencurian. Maka
sikap dan moral yang demikian dilarang dalam Pancasila krama.
4. Tidak Boleh Berbohong
Individu menurut pancasila krama tidak boleh berbohong, meskipun dikatakan untuk kebaikan. Karena
biasanya kebohongan yang satu akan diikuti kebohongan lain untuk mendukung kebohongan pertama.
Kebohongan kecil akan diikuti kebohongan yang bertambah besar. Sikap tidak berbohong dan apa adanya
akan diperoleh jika seseorang tidak dengki terhadap orang lain.
5. Tidak Boleh Mabuk Minuman Keras
Minuman keras atau minuman beralkohol ternyata sejak dahulu sudah terkenal memabukkan. Orang yang
mabuk tidak akan menyadari akan dirinya. Dia bisa saja melakukan tindakan kekerasan tanpa disadari.
Atau secara tidak disadari dapat melakukan pencurian dan tindakan kriminal lain. Orang yang mabuk,
bicaranya tidak terkendali. Mungkin saja ketika bicara ada orang lain yang tersinggung. Kekerasan dapat
timbul karena perilaku mabuk.
Itulah 5 larangan dasar dalam pancasila krama yang tertulis di buku Sutasoma. Lima larangan agar
tercipta masyarakat yang damai dan saling menghargai. Lima larangan yang sebenarnya terdapat dalam
setiap agama di Indonesia, namun dilupakan oleh pemeluknya.
Aturan Dasar dalam Pancasila Krama
Tidak hanya lima larangan dasar yang disebut sebagai pancasila krama dalam buku Sutasoma. Mpu
Tantular dalam bukunya juga menuliskan dasar-dasar bernegara yang disebut sebagai pancasila krama.
Dasar tersebut diambil dari pandangan hidup masyarakat Majapahit pada zamannya dan dianggap akan
berlaku sepanjang zaman secara fleksibel. Pancasila karma tersebut, yaitu :
1. Berpegang Teguh Pada Tuhan Yang Maha Esa
Aturan ini sama persis dengan sila pertama Pancasila sekarang, hanya berbeda kalimatnya. Artinya sama.
Masyarakat harus berpegang teguh terhadap Tuhan Yang Maha Esa jika ingin mengalami kemajuan.
Semua harus berdasarkan aturan Tuhan.
Aplikasinya dalam negara Indonesia sekarang adalah Indonesia adalah negara beragama. Masyarakat
Indonesia tidak mengenal tidak adanya Tuhan atau paham Atheis. Semua di dunia ini ada yang
menciptakan dan ada yang mengatur. Dengan berpegang pada Ketuhanan seharusnya individu merasa
bahwa Tuhan selalu mengawasi sehingga tidak berani untuk melanggar aturan dan norma yang ada.
Harmoni kehidupan akan tercipta dengan berpegang kepada nilai Ketuhanan.
2. Mempunyai Sikap Berperikemanusiaan
Pancasila krama kedua sama dengan sila kedua Pancasila saat ini, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan berpegang teguh pada nilai ketuhanan, maka sikap manusia terhadap manusia lain akan baik.
Sikap manusia terhadap makhluk hidup lain akan baik. Sikap manusia terhadap alamnya juga akan baik.
Sikap ini melahirkan sikap cinta lingkungan dan melestarikannya, sikap saling menolong terhadap sesama
manusia, sikap saling menghargai dan menghormati, dan lain-lain.
3. Bersatu
Sikap bersatu sesuai dengan sila ketiga Persatuan Indonesia. Dengan bersatu dan tetap meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa, segala tujuan pembangunan nasional dapat dicapai dengan lancar. Bersatu berarti
juga tidak membeda-bedakan berbagai keragaman yang ada di Indonesia dan sudah ada sejak zaman
Majapahit. keragaman budaya, keragaman suku, keragaman agama, dan keragaman ras. Semua tujuannya
sama, sesuai yang tercantum pada pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu menciptakan
masyarakat adil dan makmur. Persatuan merupakan salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI yang
wilayahnya sudah jelas dan resmi secara hukum.
4. Bijaksana dalam Permusyawaratan Perwakilan
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan. Ini mencerminkan negara Indonesia yang menganut paham demokrasi, sudah tertanam sejak
dahulu, Sejak dahulu Raja selalu memperhatikan rakyat, Apalagi seharusnya saat ini. Seorang pemimpin
seharusnya adalah seorang yang bijak, pengemban amanat rakyat. Karena pemimpin berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu ciri khas dari permusyawaratan di Indonesia sejak zaman dahulu adalah musyawarah untuk
mufakat dan gotong royong dalam mengerjakan sesuatu.
5. Adil Terhadap Semua Golongan Manusia
Didefinisikan dalam sila kelima Pancasila saat ini menjadi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah
keadilan tanpa memandang semua perbedaan. Semua warga negara dalam masyarakat sama
kedudukannya dalam hak dan kewajiban. Sama kedudukan dalam hukum. Sama hak dan kewajibannya
dalam pendidikan, dan sebagainya. Sesuai tujuan pembangunan nasional yang ingin dicapai, masyarakat
adil dan makmur.
Demikian pancasila krama yang dituliskan dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Membuktikan
bahwa Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman nenek moyang. Jauh sebelum
penjajah masuk ke negeri ini. Dan sesuai ciri ideologi terbuka, Pancasila berasal dari masyarakat dan
bukan berasal dari pikiran para pemimpin negeri yang menguntungkan segolongan saja.

2. Sejarah 12 Agustus: Kemerdekaan Indonesia Bukan Hadiah dari Jepang


Kota Hiroshima setelah dijatuhi bom atom pada 6 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat (AS), disusul Kota
Nagasaki yang mengalami nasib serupa tiga hari selanjutnya. Jepang sadar sudah berada di ambang
kekalahan dalam Perang Dunia II melawan Sekutu.
Upaya menyelamatkan harga diri pun segera dilakukan, Jepang tentu saja pantang kehilangan
muka. Tiga tokoh Indonesia yang dianggap paling berpengaruh kala itu seperti Ir. Sukarno, Mohammad
Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat pun dipanggil. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pun dibentuk. Dai Nippon ingin meyakinkan mendukung penuh keinginan bangsa Indonesia untuk
merdeka. Bahkan, dibuat seolah-olah, kalau kemerdekaan Indonesia itu adalah hadiah dari Jepang.
Sebagai penguat keyakinan akan janji itu, Jepang pun menerbangkan Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke
Dalat, Vietnam. Misi menegangkan ke Vietnam pun dimulai pada 8 Agustus 1945 jelang tengah malam.
Penerbangan ke Dalat sengaja dilakukan secara rahasia lantaran gentingnya situasi kala itu. Memang,
waktu tempuhnya tidak terlalu lama via jalur angkasa, tapi amat berbahaya. Pesawat Sekutu sewaktu-
waktu bisa datang untuk menyerang.
Dari Bandara Kemayoran, pesawat yang membawa tiga bapak bangsa Indonesia dengan kawalan
beberapa perwira Jepang itu tidak langsung ke Vietnam. Tanggal 9 Agustus 1945 menyongsong pagi,
dikutip dari buku Kembali ke Jatidiri Bangsa (2002) karya Djon Pakan, pesawat mendarat di Singapura
untuk singgah sejenak sembari memantau situasi. Keputusan transit sehari di negeri singa ternyata pilihan
tepat. Di hari yang sama, Kota Nagasaki di Jepang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Perjalanan
pun diteruskan esok harinya, tanggal 10 Agustus 1945. Beberapa jam kemudian, tibalah pesawat yang
menopang nasib bangsa Indonesia tersebut di Saigon, Vietnam, dengan selamat.

Hari itu, rombongan kecil dari Indonesia beristirahat di Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh),
sebelum melanjutkan penerbangan. Hatta dalam Memoir (1979) menyebut bahwa jarak antara kota
terbesar di Vietnam itu menuju ke Dalat sekitar 300 kilometer ke arah utara.Tanggal 11 Agustus 1945,
perjalanan dilanjutkan ke Dalat dan tiba di hari yang sama. Sukarno, Hatta, dan Radjiman beserta
rombongan harus menunggu keesokan hari sesuai jadwal pertemuan dengan Marsekal Hisaichi Terauchi.
Jepang Memberi Hadiah Kemerdekaan?

Perjumpaan dengan pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara itu pun
terjadi pada 12 Agustus 1945 tepat hari ini 75 tahun yang lalu. Marsekal Terauchi, yang juga anak sulung
Perdana Menteri Jepang Terauchi Masatake, membeberkan alasan mengapa memanggil Sukarno, Hatta,
dan Radjiman jauh-jauh ke Dalat. Kepada Bung Karno dan kawan-kawan, Terauchi mengakui bahwa
pihaknya memang sedang di ujung tanduk. Leburnya Hiroshima dan Nagasaki, serta rentetan kekalahan
di sejumlah front Perang Asia Timur Raya menjadi pertanda kuat bahwa Jepang tak lama lagi bakal
takluk.
“Maka Indonesia harus segera bersiap-siap merdeka”, kata Terauchi, dan itu menjadi tugas Sukarno,
Hatta, Radjiman, serta para anggota PPKI untuk mempersiapkannya. “Kapanpun bangsa Indonesia siap,
kemerdekaan boleh dinyatakan,” janji Terauchi. Meski begitu, seperti diungkap A.J. Sumarmo dalam
Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia(1991), pemerintah Jepang menyarankan
agar kemerdekaan Indonesia dinyatakan setidaknya tanggal 24 Agustus 1945.

Dengan jarak waktu yang cukup, Terauchi masih berharap Jepang mampu membalikkan keadaan dan
bangkit sehingga mereka tidak perlu memenuhi janji kepada Indonesia. Namun, jika pada akhirnya
memang harus kalah, maka Jepang bisa mengklaim kemerdekaan Indonesia bisa terwujud berkat
pemberian. Menurut Terauchi, perlu waktu untuk melakukan berbagai persiapan sebelum proklamasi
kemerdekaan diwujudkan. Sukarno sempat bertanya, “Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus
1945?”,
“Silakan saja, terserah tuan-tuan,” jawab Marsekal Terauchi.
Bung Karno dan kawan-kawan tampaknya setuju dengan tawaran kemerdekaan dari Jepang
tersebut. Hatta bahkan sempat mengungkapkan perasaannya atas janji Terauchi itu. “Sesudah berjuang
sekian lama untuk mencapai Indonesia merdeka, ternyata terwujud hari ini bertepatan dengan hari ulang
tahun saya, 12 Agustus,” tulis Hatta dalam Memoir (1979).
Baca Juga: Dino Patti Djalal Tantang Balik Mafia Tanah yang Laporkan Dirinya ke Polisi
Dalam pertemuan itu, Terauchi juga menyampaikan rincian 21 anggota PPKI yang telah disusun
oleh pemerintah Dai Nippon. Terauchi menunjuk Sukarno dan Hatta masing-masing selaku ketua, wakil
ketua, dan penasihat. Sedangkan Radjiman sebagai anggota bersama 18 orang lainnya termasuk, Kiai Haji
Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Teuku Mohammad Hasan, Sam Ratulangi, I
Gusti Ketut Puja, Johannes Latuharhary, Yap Tjwan Bing, dan sejumlah nama lagi.

Penolakan Kuam Muda


Setelah tiba ke Tanah Air, Sukarno dan Hatta segera mengabarkan hasil pertemuan mereka
dengan Teraichi kepada tokoh lain di Indonesia pada 14 Agustus 1945. Dituliskan oleh Aboe Bakar Lubis
dalam Kilas-Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992), mereka belum yakin Jepang sudah
menyerah kepada Sekutu (hlm. 96). Namun, beberapa tokoh bangsa lainnya, terutama Soetan Sjahrir dan
dari golongan muda, meyakinkan bahwa Jepang memang sudah terdesak dan hampir dipastikan bakal
kalah perang. Sjahrir mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Ia curiga pertemuan
di Dalat itu hanyalah tipu-muslihat Jepang.
Sikap Sjahrir yang berani mengatakan demikian, memang bukan tanpa alasan. Saat Sukarno dan
kawan-kawan terbang ke Dalat, ia sudah mengetahui kondisi terkini Jepang melalui radio. Sjahrir pun
menunggu kepulangan mereka di rumah Hatta untuk mengabarkan bahwa Jepang memang telah sekarat
(Said Efendi & B. Doloksaribu, Revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1950 (2005: 105). Namun,
Sukarno maupun Hatta tetap percaya Jepang belum benar-benar terkapar. Kepada Sjahrir, mereka
mengatakan bila Jepang ternyata kalah, kemerdekaan Indonesia cepat atau lambat bisa segera
diumumkan. Namun, itu membutuhkan persiapan yang matang. Sjahrir nyaris murka menghadapi
kebebalan dua tokoh itu.

Sukarno dan Hatta berusaha mencari kepastian terkait situasi terkini ke kantor penguasa militer
Jepang (Gunseikan) di Koningsplein (Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat). Namun, tidak ada siapapun
di kantor itu. Sukarno dan Hatta, bersama Achmad Soebardjo, bergegas menemui Laksamana Muda
Maeda Tadashi, perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Maeda memberikan selamat atas pertemuan di
Dalat, tapi ia belum bisa memberikan keterangan yang pasti terkait status dan kondisi Jepang dan masih
menunggu konfirmasi dari Tokyo. Di hari yang sama, kabar kekalahan Jepang terhadap sekutu akhirnya
terdengar dari siaran radio. Sukarno dan Hatta masih bersikukuh tidak perlu terburu-buru menyatakan
merdeka karena diperlukan proses. Bagi keduanya ihwal kemerdekaan Indonesia apakah hadiah dari
Jepang atau tidak, bukan persoalan.
“Soal kemerdekaan Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan
bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal karena Jepang toh sudah kalah,” ujar Hatta saat itu, dikutip
dari buku Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1975), suntingan
Nugroho Notosusanto (hlm. 24).
“Kini, kita menghadapi Sekutu yang berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi,” katanya.
Pada 15 Agustus 1945, desakan kepada Sukarno dan Hatta untuk segera menyatakan
kemerdekaan Indonesia semakin menguat. Namun, dwitunggal itu tetap bertahan pada pendirian mereka.
Perbedaan kemauan antara dua golongan tersebut kian memanas. Situasi ini menorehkan apa yang dikenal
sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tokoh muda terpaksa mengamankan Sukarno dan Hatta ke
Rengasdengklok untuk meyakinkan keduanya agar tidak terpengaruh oleh siasat licik Jepang. Sukarno-
Hatta akhirnya menyerah, dan disusunlah rencana kemerdekaan Indonesia yang kemudian diproklamirkan
pada 17 Agustus 1945.
Daftar Pusaka
https://bosscha.id/2020/08/12/sejarah-12-agustus-kemerdekaan-indonesia-bukan-hadiah-dari-jepang/
https://www.jawapos.com/opini/16/08/2019/kemerdekaan-hasil-perjuangan-bukan-hadiah/?amp
https://today.line.me/id/v2/amp/article/pjngj9

Anda mungkin juga menyukai