Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat
tinggi di Indonesia. AKI Indonesia tahun 2002/2003 adalah 307 per 100.000
kelahiran hidup dan AKB adalah 35 per 1.000 kelahiran hidup menurut Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI). Angka tersebut merupakan angka
tertinggi di ASEAN, sehingga penurunan AKI dan AKB diprioritaskan (Depkes
RI, 2007). Menurut SKDI 2012 jumlah AKI sebesar 88,05 per 100.000 kelahiran
hidup dan AKB sebesar 6,5 per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Jawa Tengah
(Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2017).
Persalinan preterm merupakan salah satu penyumbang dari kematian bayi.
Prevalensi preterm diperkirakan sebanyak 7-14%, yaitu sekitar 459.200-900.000
bayi per tahun. Hanya 1,5% persalinan terjadi pada usia kehamilan kurang dari 32
minggu dan 0,5% pada kehamilan kurang dari 28 minggu. Hal tersebut
merupakan duapertiga dari jumlah keseluruhan kematian neonatal (Depkes RI,
2007).
Kematian perinatal merupakan akibat dari kelahiran preterm sebanyak 77%
pada tahun 2010. Angka kematian sangat tinggi pada bayi kelahiran di bawah 28
minggu, yaitu sebanyak 32% dan untuk kelahiran di atas 32 minggu sebanyak
1,3%. Angka tersebut 10 kali lebih banyak dari kelahiran normal (Yeoh et al.,
2016).
Kelahiran preterm merupakan kelahiran janin antara usia kehamilan 20-37
minggu (WHO, 2006). Sedangkan apabila janin lahir dalam masa kehamilan
tersebut, maka disebut dengan bayi prematur. Prematur merupakan kelahiran
dengan usia kehamilan belum mencapai 37 minggu dengan berat lahir di bawah
2500 gram (Dowswell et al., 2015). Bayi kelahiran preterm memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk terjadinya kematian, infeksi, disabilitas dalam hal motorik
jangka panjang, kognitif, visual, pendengaran, sikap, emosi sosial, kesehatan, dan
masalah pertumbuhan (Zhang et al., 2012).

1
Oleh sebab itu, diagnosis dan penanganan yang tepat dan cepat merupakan
hal yang sangat penting karena dapat menurunkan angka kematian ibu dan angka
kematian bayi.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang persalinan preterm
2. Tujuan Khusus
Mengetahui sebab-sebab terjadinya persalinan preterm

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. SM
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku/bangsa : Jawa
Pekerjaan : Perangkat desa
Status : Menikah
Alamat : Krajan RT 03/08 Pekuncen
Tanggal masuk RSMS : 4 Mei 2019 (10.300)

Tanggal periksa : 4 Mei 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kencang - kencang
2. Keluhan Tambahan
Flek perdarahan dari jalan lahir (+), nyeri pinggang (+), pusing(-), flatus (-),
BAB(-), demam (-), mual (-), muntah (-).

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari puskesmas pekuncen diantar ke VK IGD Rumah
Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto oleh keluarganya, Pasien
merasakan kencang-kencang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Kencang-kencang dirasakan teratur kurang lebih dua sampai tiga kali

3
dalam waktu 10 menit. Pasien juga mengelukan nyeri pinggang dan
terdapat lendir bercampur darah dari jalan lahir. Pasein tidak mengeluhkan
demam, mual, muntah. Pasien juga menyangkal keluarnya cairan rembes
atau ngopyok dari jalan lahir.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi sebelum hamil : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
d. Riwayat kejang : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat penyakit jantung : disangkal
g. Riwayat penyakit paru : disangkal
h. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

6. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 13 tahun
b. Lama haid : ± 7 hari
c. Siklus haid : teratur/28 hari
d. Dismenorrhoe : tidak ada
e. Jumlah darah haid : normal (sehari ganti pembalut 2 kali)

7. Riwayat Menikah
Pasien menikah sebanyak satu kali, pernikahan selama 18 tahun.

4
8. Riwayat Obstetri
G3P2A0

I : perempuan/usia17tahun/Spt/bidan/2,7kg

II : laki-laki/usia11tahun/VE/RS/3,2kg

III : Hamil ini

HPHT : 15-09-2018

HPL : 22-06-2019

UK : 33 minggu 3 hari

9. Riwayat ANC
Pasien rutin kontrol kehamilan ke bidan setiap bulan sesuai waktu yang
dijadwalkan. Pasien juga periksa ke dokter spesialis kandungan untuk
dilakukan USG

10. Riwayat KB
Pasien mengaku pernah menggunakan KB pil

11. Riwayat Ginekologi


a. Riwayat Operasi : tidak ada
b. Riwayat Kuret : tidak ada
c. Riwayat Keputihan : ada
12. Riwayat Nutrisi
Pasien makan 2x sehari dengan nasi dan sayur. Pasien mengaku jarang
menkonsumsi daging karena pasien menjaga berat badan agar tidak naik
dengan anggapan bayi susah keluar jika berat badan bertambah.
13. Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang perangkat desa yang tinggal bersama suaminya
yang bekerja sebagai guru SMK. Kebutuhan hidup sehari-hari diakui
tercukupi oleh penghasilan suami. Pasien berobat ke Rumah Sakit
Margono Soekarjo dengan menggunakan BPJS KELAS II.
5
C. PEMERIKSAAN FISIK 08/08/2016
Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : GCS E4M6V5

Vital Sign : TD : 110/60 mmHg

N : 100 x/menit

RR : 20 x/menit

S : 36.6 0C

Status Gizi : TB: 143 cm

BB sebelum hamil 40 kg

BB saat ini 43 kg

1. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : mesocephal, simetris

Mata : simetris, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks


pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm, edema palpebra -/-

Telinga : discharge (-/-)

Hidung : discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)

Mulut : sianosis (-), lidah kotor (-/-)

b. Pemeriksaan leher
Trakea : deviasi (-)
Gld Tiroid : dbn
Limfonodi Colli : dbn

6
c. Pemeriksaan Toraks
1) Paru
Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi
intercostal (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi
parasternal (-)
Palpasi : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri, ketinggalan
gerak (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, RBH (-/-), RBK (-/-), Wh (-/-)
2) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.

Palpasi : Teraba ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial


LMCS, ictus cordis kuat angkat (-)
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

Batas jantung kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)

d. Pemeriksaan Abdomen
Inspkesi : cembung gravid
Auskultasi : bising usus (+) N
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan perut sebelah kiri (+)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-)

7
Inferior : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis (-/-)
2. Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : cembung gravid
Auskultasi : BU (+) Normal
DJJ : 142x/menit
Palpasi : TFU : 28 cm
LI : teraba bulat lunak, kesan bokong
LII : teraba tahanan memanjang di kiri, kesan punggung
kiri
LIII : teraba bulat keras, kesan kepala
LIV : immobile
His : 2x/10’/20”
Perkusi : Pekak uterus
3. Status Genitalia
Status Genitalia Eksterna

Mons pubis : Distribusi rambut pubis tidak merata


Labia mayora : Massa (-), hiperemis (-)
Labia minora : Massa (-), hiperemis (-)
Introitus vagina : Fluksus (-), fluor albus (-), massa (-),hiperemis (-),
pembesaran kelenjar bartholini (-), perdarahan pervaginam (-)
Orifisium uretra eksterna: Dalam batas normal
Vaginal toucher :

a. Fluor albus : tidak ada


b. Perdarahan pervaginam : flek
c. Vagina : Dinding licin, Konsistensi kenyal, Massa (-)
a. Permukaan portio : licin
b. Konsistensi portio : lunak,
c. Ukuran portio : sebesar ibu jari tangan orang dewasa
d. Kulit ketuban : (+)
e. Penurunan kepada : hodge 1
f. Nyeri goyang postio : negatif

8
g. OUE : terbuka kurang lebih 1 cm
h. Adneksa : Normal
i. Kavum Douglas : tidak ada penonjolan
j. Bischop Score : 6

D. Pemeriksaan KTG
Reaktif

E. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Lengkap, Hitung Jenis, Uji Koagulasi
Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium 4/5/2019

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


Darah Lengkap
Hemoglobin 11,5 (L) 12 - 16 g/dl
Leukosit 11.400 (H) 4800 - 10.800/µl
Hematokrit 34 (L) 35 - 47 %
Eritrosit 3,9 3,8 – 5,2/ µl
Trombosit 199.000 150.000 – 450.000
MCV 87,0 79,0 – 99,0 fL
MCH 29,8 27,0 – 31,0 pg
MCHC 34,2 33,0 – 37,0 %
Hitung Jenis
Basofil 0,1 0–1%
Eosinofil 0,0 (L) 2–4%
Batang 0,6 (L) 3–5%
Segmen 85,8 (H) 50 – 70 %
Limfosit 9,7 25 – 40 %
Monosit 3,8 2–8%
Uji Koagulasi
PT 9,5 (L) 9,3 – 11,4 detik
APTT 33,7 29 – 40 detik

F. Diagnosa di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan


Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 44 Tahun Hamil 33+1 dengan partus
prematurus imminens

G. Tindakan Dan Terapi

9
a. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pasien mengenai penyakitnya
dan rencana terapi atau tindakan yang akan diberikan.
b. Konservatif :
- Inj. Dexamethasone 2x1 Amp (selama 2 hari)
- Nifedipin 30 mg dilanjut 3x10
c. Monitoring keadaan umum, tanda vital ibu, DJJ, his, tanda-tanda kala I

H. Follow Up
Tabel 1. Catatan Pemantauan Pasien di VK Bersalin
Tanggal Tanda His Detak Keadaan umum dll
Jam Vital Jantung
Janin
04-05-19 TD: 100/60 2x/10’/20” 142 x/m KU : baik
N: 95
10:30 VT pembukaan -, KK +, kepala
RR: 20
S: 36,6 belum turun, portio tebal
A : G3P2A0 usia 44 tahun hamil
33+1 minggu dengan PPI
Instruksi residen :
-Inj. Dexamethasone 2x1 Amp 2
hari diberikan ke-1 pukul 09.30
-Nifedipin 30 mg dilanjut 3x10
mg diberikan pukul 09.30
11.00 N: 90 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
11.30 N: 94 1x/10’/20” 143 x/m KU : baik
12.00 N: 92 1x/10’/20” 136 x/m KU : baik
12.30 N: 90 1x/10’/20” 140 x/m KU : baik
13.00 N: 92 1x/10’/20” 140 x/m KU : baik
Visite dan Instruksi DPJP :
Konservatif
-Inj. Dexamethasone lanjut
-Nifedipin 3x10 mg
13.30 N: 90 1x/10’/20” 138 x/m KU : baik

10
14.00 TD : 90/55 1x/10’/20” 138 x/m KU : baik
N: 92
RR : 20
S: 36.5
14.30 N: 98 1x/10’/20” 139 x/m KU : baik
15.00 N: 95 1x/10’/20” 139 x/m KU : baik
15.30 N: 80 1x/10’/20” 153 x/m KU : baik
16.00 N: 96 1x/10’/20” 154 x/m KU : baik
16.30 N: 86 1x/10’/15” 141 x/m KU : baik
17.00 N: 84 1x/10’/20” 145 x/m KU : baik
17.30 N: 98 1x/10’/15” 150 x/m KU : baik
18.00 N: 92 1x/10’/20” 156 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
18.30 N: 94 1x/10’/15” 134 x/m KU : baik
19.00 TD : 100/70 1x/10’/15” 152 x/m KU : baik
N: 90
19.30 N: 92 1x/10’/15” 150 x/m KU : baik
20.00 N: 86 1x/10’/15” 150 x/m KU : baik
20.30 TD : 100/70 1x/10’/15” 142 x/m KU : baik
N: 89
21.00 TD : 120/80 1x/10’/15” 152 x/m KU : baik
N: 86
RR:20
S:36.6
21.30 N: 88 1x/10’/15” 155 x/m Pasang DC (+)
Diberikan Inj. Dexamethasone 6
mg ke-2
22.00 N: 80 1x/10’/15” 135 x/m KU : baik
22.30 N: 88 1x/10’/15” 135 x/m KU : baik
23.00 N: 85 1x/10’/15” 132 x/m KU : baik
23.30 N: 88 1x/10’/20” 145 x/m KU : baik
05-05-19 N: 88 1x/10’/20” 145 x/m KU : baik
00.00
00.30 N: 88 2x/10’/10” 145 x/m KU : baik
01.00 N: 88 2x/10’/10” 145 x/m KU : baik
01.30 N: 88 2x/10’/10” 145 x/m KU : baik
02.00 N: 84 2x/10’/10” 145 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
02.30 N: 98 2x/10’/10” 143 x/m KU : baik
03.00 N: 94 2x/10’/10” 134 x/m KU : baik
03.30 N: 80 2x/10’/10” 136 x/m KU : baik
04.00 N: 78 2x/10’/10” 141 x/m KU : baik
04.30 N: 80 2x/10’/10” 138 x/m KU : baik
11
05.00 N: 80 2x/10’/10” 141 x/m KU : baik
05.30 N: 80 2x/10’/10” 140 x/m KU : baik
06.00 N: 78 2x/10’/10” 140 x/m KU : baik
06.30 N: 80 2x/10’/10” 138 x/m KU : baik
07.00 N: 78 2x/10’/10” 144 x/m KU : baik
07.30 TD:120/70 2x/10’/20” 141 x/m KU : baik
N: 86
08.00 N: 81 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
08.30 N: 86 2x/10’/20” 142 x/m KU : baik
09.00 N: 80 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
09.30 N: 84 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
Diberikan Inj. Dexamethasone 6
mg ketiga
10.00 N: 88 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
10.30 N: 89 2x/10’/20” 134 x/m KU : baik
11.00 N: 90 2x/10’/20” 138 x/m KU : baik
11.30 N: 88 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
12.00 TD:110/70 2x/10’/20” 137 x/m KU : baik
N: 90
12.30 N: 89 2x/10’/20” 139 x/m KU : baik
13.00 N: 90 2x/10’/20” 139 x/m KU : baik
13.30 N: 90 2x/10’/20” 137 x/m KU : baik
14.00 TD:120/80 2x/10’/20” 133 x/m KU : baik
N: 90
14.30 N: 90 2x/10’/20” 146 x/m KU : baik
15.00 N: 96 2x/10’/20” 132 x/m KU : baik
15.30 N: 90 2x/10’/20” 154 x/m KU : baik
16.00 N: 96 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
16.30 N: 87 2x/10’/20” 146 x/m KU : baik
17.00 N: 90 2x/10’/20” 144 x/m KU : baik
17.30 N: 87 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
18.00 N: 82 2x/10’/20” 154 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
18.30 N: 88 2x/10’/20” 143 x/m KU : baik
19.00 N: 91 2x/10’/20” 143 x/m KU : baik
19.30 N: 89 2x/10’/20” 136 x/m KU : baik
20.00 TD : 110/80 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
N: 95
20.30 N: 98 2x/10’/20” 129 x/m KU : baik
21.00 TD : 110/70 2x/10’/20” 134 x/m KU : baik
N: 74
21.30 N: 78 2x/10’/20” 141 x/m KU : baik

12
22.00 N: 80 2x/10’/20” 134 x/m KU : baik
22.30 N: 78 2x/10’/20” 142 x/m KU : baik
23.00 N: 80 2x/10’/20” 143 x/m KU : baik
23.30 N: 80 2x/10’/20” 144 x/m KU : baik
06-05-19 N: 78 2x/10’/20” 138 x/m KU : baik
00.00
00.30 N: 78 2x/10’/20” 142 x/m KU : baik
01.00 N: 74 2x/10’/20” 139 x/m KU : baik
01.30 N: 80 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
02.00 N: 82 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
02.30 N: 79 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
03.00 N: 80 2x/10’/20” 140 x/m KU : baik
03.30 N: 80 2x/10’/20” 130 x/m KU : baik
04.00 N: 74 2x/10’/20” 138 x/m KU : baik
04.30 N: 80 2x/10’/20” 134 x/m KU : baik
05.00 N: 83 2x/10’/20” 144 x/m KU : baik
05.30 N: 80 2x/10’/20” 138 x/m KU : baik
06.00 N: 70 2x/10’/20” 138 x/m KU : baik
06.30 N: 80 2x/10’/10” 137 x/m KU : baik
07.00 N: 80 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
Residen lapor DPJP :
Instruksi :
-Konservatif sampai aterm
-Rawat Flamboyan
07.30 TD : 100/60 2x/10’/20” 145 x/m KU : baik
N: 77
08.00 N: 80 - 145 x/m KU : baik
08.30 N: 78 - 146 x/m KU : baik
09.00 N: 78 - 142 x/m KU : baik
09.30 N: 80 - 138 x/m KU : baik
10.00 N: 80 - 147 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
10.30 N: 80 - 130 x/m KU : baik
11.00 N: 76 - 128 x/m KU : baik
11.30 TD : 110/60 - 128 x/m KU : baik
N: 80
Dilakukan KTG Print 124-
RR: 20
S : 36.7 140x/menit
Lapor residen : Hasil KTG reaktif
Konservatif

13
12.00 TD : 100/70 - 133 x/m KU : baik
N: 90
RR: 20
S : 36.7
12.30 N: 90 - 131 x/m KU : baik
13.00 N: 96 - 126 x/m KU : baik
13.30 N: 96 - 128 x/m KU : baik
14.00 TD : 110/60 - 132 x/m KU : baik
N: 91
RR: 20
S : 36.7
15.00 N: 90 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
16.00 N: 90 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
17.00 N: 88 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
18.00 N: 90 1x/10’/10” 150 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
19.00 N: 92 1x/10’/10” 145 x/m KU : baik
20.00 TD : 100/70 1x/10’/10” 150 x/m KU : baik
N: 94
21.00 TD : 100/60 1x/10’/10” 134 x/m KU : baik
N: 92
RR:20
S: 36.7
21.30 N: 86 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
22.00 N: 90 1x/10’/10” 136 x/m KU : baik
23.00 N: 86 1x/10’/10” 146 x/m KU : baik
07-05-19 N: 80 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
00.00
01.00 N: 80 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
02.00 N: 84 1x/10’/10” 134 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
03.00 N: 83 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
04.00 N: 76 1x/10’/10” 130 x/m KU : baik
05.00 TD : 100/70 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
N: 76
RR : 20
S : 36.6
05.30 N: 80 1x/10’/10” 134 x/m KU : baik
06.00 N: 84 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
06.30 N: 84 1x/10’/10” 132 x/m KU : baik
07.00 N: 88 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
07.30 TD : 130/80 1x/10’/10” 143 x/m KU : baik
N: 89
RR :20

14
S: 36.7
08.00 N: 88 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
08.30 N: 86 1x/10’/10” 145 x/m KU : baik
09.00 N: 88 1x/10’/20” 144 x/m KU : baik
Diberikan Nifedipin 10 mg
09.30 N: 84 1x/10’/20” 140 x/m KU : baik
VT : Pembukaan 2 CM, KK +,
Kepala H1; Portio tipis
10.00 N: 84 1x/10’/20” 148 x/m KU : baik
10.30 N: 84 1x/10’/20” 140 x/m KU : baik
11.00 N: 82 1x/10’/10” 145 x/m KU : baik
11.30 N: 88 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
12.00 N: 86 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
12.30 TD : 100/80 1x/10’/10” 143 x/m KU : baik
N: 88
RR : 20
S : 36.7
13.00 N: 78 1x/10’/10” 140 x/m KU : baik
13.30 N: 86 1x/10’/10” 146 x/m KU : baik
14.00 TD : 100/60 1x/10’/10” 144 x/m KU : baik
N: 78
15.00 N: 80 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
16.00 N: 82 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
17.00 N: 88 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
VT : Pembukaan tetap 2 cm, KK
+. Kepala turun H1
Lapor residen :
-Konservatif
-Diberikan Nifedipin 10 mg
18.00 N: 82 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
19.00 N: 82 1x/10’/10” 142 x/m KU : baik
20.00 TD : 100/60 1x/10’/10” 141 x/m KU : baik
N: 88
RR : 20
S : 36.6
21.00 N: 82 1x/10’/25” 136 x/m KU : baik
22.00 TD : 120/70 1x/10’/25” 145 x/m KU : baik
N: 88
RR : 18
S : 36.7
23.00 N: 85 1x/10’/25” 146 x/m KU : baik

15
08-05-19 N: 86 Jarang 138 x/m KU : baik
00.00
01.00 N: 82 Jarang 143 x/m KU : baik
01.30 N: 80 2x/10’/15” 148 x/m KU : baik
02.00 N: 78 2x/10’/15” 157 x/m KU : baik
02.30 N: 88 2x/10’/25” 136 x/m KU : baik
Pasien mengeluhkan keluar air
dari jalan lahir berwarna jernih
VT : Pembukaan 3 cm, KK +
melekat, Kepala turun H1
03.00 N: 80 2x/10’/30” 149 x/m KU : baik
03.30 N: 86 2x/10’/30” 156 x/m KU : baik
04.00 N: 82 2x/10’/30” 134 x/m KU : baik
04.30 N: 76 2x/10’/30” 149 x/m KU : baik
05.00 TD : 120/80 2x/10’/30” 137 x/m KU : baik
N: 88
RR : 20
S : 36.6
05.30 N: 92 2x/10’/35” 138 x/m KU : baik
06.00 N: 88 2x/10’/25” 139 x/m KU : baik
06.30 N: 92 2x/10’/30” 141 x/m KU : baik
07.00 N: 88 2x/10’/30” 136 x/m KU : baik
07.30 N: 84 2x/10’/30” 136 x/m KU : baik
08.00 TD : 100/80 2x/10’/30” 130 x/m KU : baik
N: 80
RR : 20
S : 36.6
08.30 N: 80 2x/10’/30” 130 x/m KU : baik
09.00 N: 89 2x/10’/30” 134 x/m KU : baik
09.30 N: 80 2x/10’/30” 133 x/m KU : baik
10.00 N: 80 2x/10’/30” 132 x/m KU : baik
Ketuban pecah berwarna jernih
VT pembukaan 4 cm, KK -,
Kepala turun H2
10.30 N: 78 2x/10’/30” 144 x/m KU : baik
11.00 N: 89 2x/10’/30” 142 x/m KU : baik
11.30 N: 78 2x/10’/30” 138 x/m KU : baik
12.00 N: 80 2x/10’/25” 132 x/m KU : baik
12.30 N: 86 3x/10’/30” 128 x/m KU : baik
13.00 N: 82 3x/10’/30” 132 x/m KU : baik
13.30 N: 80 4x/10’/45” 124 x/m KU : baik

16
S : Pasien mengeluhkan kencang-
kencang dan ingin mengejan
O : VT : Pembukaan lengkap,
KK-. Kepala turun H3
A : G3P2A0 45 tahun H 32
minggu + 4 hari inpartu kala II
P : Pimpin persalinan
13.40 Bayi lahir spontan
JK : laki-laki
A/S : 5-7-9
BB : 1780 gram
PB : 42 cm
LK/LD : 28 cm/29 cm
Anus : +
Kelainan : -
Cek janin tunggal
13.41 -Inj. Oksitosin 10 IU/IM
13.42 -Jepit potong tali pusar
IMD tidak dilakukan karena
neonatus asfiksia
-Peregangan tali pusat terkendali
14.00 Plasenta lahir dengan manual
plasenta
Kesan : tidak bersih
Massase uterus : keras
Jumlah perdarahan : 200 c
Ruptur perineum derajat 2
Hecting dengan chromic PGA
17.00 TD : 110/80 - - Kontraksi uterus keras
N : 80
Perdarahan -
RR : 20
S : 36.6 Residen lapor DPJP:
-Kir methergin

17
-Pro kuretase

Tabel 2. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Flamboyan


Tanggal S O A P
08/05/19 Nyeri pada KU/ Kes: Para 3 Abortus 0 -Inf. RL 20 tpm
18.28 jalan lahir Baik/compos mentis -Kir methergin
usia 44 tahun post
TD: 110/70 mmHg -Rencana kuretase
N: 80 x/mnt partum spontan
RR: 19 x/mnt
patologis
S: 36, C
Status Generalis prematur dengan
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
retensio sisa
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/- plasenta hari
C/ S1>S2, reg, ST -
pertama
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT (+) TFU 2 jr
bawah pusat
Laktasi +

Status GE:
PPV 10 cc
L. rubra (+), FA (-)
09/05/19 Nyeri dan KU/ Kes: Para 3 Abortus 0 -Inf. RL 20 tpm
05.42 keluar Baik/compos mentis -Methergin 2x1
usia 44 ahun post
darah dari TD: 100/60 mmHg -Asam mefenamat
jalan lahir, N: 88 x/mnt partum spontan 2x500 mg
ganti RR: 19 x/mnt -Adfer 1x1 tab
patologis
pembalut S: 36, C -Pro
3x/hari Status Generalis prematur dengan kuretase+IUD10/5/19
BAK (+) Mata: CA (-/-) SI (-/-)
retensio sisa
Kentut (+) Thoraks:
BAB (-) P/ SD ves +/+, ST -/- plasenta hari
C/ S1>S2, reg, ST -
kedua
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT (+) TFU 2 jr
bawah pusat
Laktasi +

18
Status GE:
PPV 10 cc
L. rubra (+), FA (-)
10/05/19 Nyeri dan KU/ Kes: Para 3 Abortus 0 -Inf. RL 20 tpm
05.28 keluar Baik/compos mentis -Methergin 2x1
usia 44 tahun post
darah dari TD: 100/70 mmHg -Asam mefenamat
jalan lahir, N: 97 x/mnt partum spontan 2x500 mg
ganti RR: 19 x/mnt -Adfer 1x1 tab
patologis
pembalut S: 36, C -Pro kuretase + IUD
3x/hari Status Generalis prematur dengan hari ini 10/5/19
BAK (+) Mata: CA (-/-) SI (-/-)
retensio sisa
Kentut (+) Thoraks:
BAB (-) P/ SD ves +/+, ST -/- plasenta hari
C/ S1>S2, reg, ST -
ketiga
Status Lok. Abd.
I: datar
A : BU (+) normal
Per: timpani
Pal: NT (+) TFU 2 jr
bawah pusat
Laktasi +

Status GE:
PPV 10 cc
L. rubra (+), FA (-)
10/05/19 Nyeri KU/ Kes: Para 3 Abortus 0 BLPL
12.30 bekas Baik/compos mentis Metformin tab 1x500
usia 44 tahun post
operasi TD: 100/70 mmHg mg
BAK (+) N: 97 x/mnt kuretase atas Domperidone tab 2x1
Kentut (+) RR: 19 x/mnt Adfer tab 2x1
indikasi retensi
BAB (-) S: 36, C
Status Generalis sisa plasenta
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
dengan post
Thoraks:
P/ SD ves +/+, ST -/- partus spontan
C/ S1>S2, reg, ST -
patologis
Status Lok. Abd.
I: datar prematur
A : BU (+) normal
terpasang IUD
Per: timpani
Pal: NT (-), datar hari ke-0
Laktasi +

Status GE:
L. rubra (-), FA (-)

19
I. Diagnosis Akhir
Para 3 Abortus 0 usia 44 tahun post kuretase atas indikasi retensi sisa
plasenta dengan post partus spontan patologis prematur terpasang IUD

20
BAB III

DISKUSI MASALAH

Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Gravida 3 Para 2 Abortus 0 Usia 44
Tahun Hamil 33 Minggu 3 hari dengan Partus Prematurus Imminens. Adapun
masalah yang perlu dibahas terkait dengan kasus tersebut adalah :

a. Partus Prematurus Imminens


b. Prematur
c. Retensi Sisa Plasenta
d. Usia Ibu Hamil
e. Status Gizi
f. Status Sosial Ekonomi

21
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prematuritas
4.1 Definisi
Prematuritas adalah kelahiran yang berlangsung pada umur kehamilan 20
minggu hingga 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2013). Terdapat 3 subkategori
usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health Organization
(WHO, 2012), yaitu:
1) Extremely preterm (< 28 minggu)
2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu)
3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu).

4.2 Epidemiologi
Angka kejadian prematur yang tinggi masih menjadi pusat perhatian
dunia hingga kini. Tingkat kelahiran prematur di Amerika Serikat sekitar
12,3% dari keseluruhan 4 juta kelahiran setiap tahunnya dan merupakan
tingkat kelahiran prematur tertinggi di antara negara industri (Kemenkes
RI, 2010).
Di Indonesia sendiri angka kejadian persalinan preterm belum dapat
dipastikan jumlahnya namun berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007, proporsi Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR
tidak mutlak mewakili angka kejadian persalinan preterm (Kemenkes RI,
2010).

22
Lima provinsi mempunyai persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi
Papua (27,0%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%),
Sumatera Selatan (19,5%), dan Kalimantan Barat (16,6%). Sedangkan 5
provinsi dengan persentase BBLR terendah adalah Bali (5,8%), Sulawesi
Barat (7,2%), Jambi (7,5%), Riau (7,6%), dan Sulawesi Utara (7,9%). Dari
penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta pada tahun
1993, didapatkan angka kejadian persalinan preterm 20,4% dan berat lahir
rendah sebesar 9,3%. Selain itu terdapat sejumlah morbiditas yang turut
berperan dalam terjadinya persalinan dan kelahiran preterm, misalnya
anemia, di mana prevalens anemia pada ibu hamil mencapai 51%
(Kemenkes RI, 2010).

4.3 Patofisiologi
Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan
dalam 4 golongan yaitu :
1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan
2) Inflamasi/infeksi
3) Perdarahan plasenta
4) Peregangan yang berlebihan pada uterus
Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa
terjadi pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik.
Adanya stres fisik maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari
aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan
terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya
insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin.
Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan
hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor oksitosin,
matrix metaloproteinase (MMP), interleukin-8, cyclooksigenase-2,
dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan
pembesaran kelenjar adrenal (Novak, 2008; Snegovskikh, 2006).

23
Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi
bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini
merupakan penyebab potensial terjadinya persalinan premature
(Snegovskikh, 2006). Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator
inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ).
Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis
HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini
bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan endotelin)
yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam
meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan
pada serviks dan pecahnya kulit ketuban (Snegovskikh, 2006).
Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan
perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang
akan mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada plasenta dan
desidua menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase).
Protombinase akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada
beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi myometrium
(Snegovskikh, 2006).
Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang
bisa disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi
berlebih yang disebabkan oleh kelainan uterus atau proses operasi pada
serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2
(Novak, 2008).

24
Gambar 1. Patofisiologi premature (Palenik et al., 2002)

25
4.4 Faktor Risiko

Gambar 2. Hubungan Faktor Risiko dengan BBLR (Williams et al., 2000)


a. Usia Ibu
Persalinan prematur meningkat pada usia <20 tahun dan >35 tahun.

Berdasarkan penelitian di Purwokerto tahun 2009 angka persalinan prematur

pada usia <20 tahun sebesar 30% sedangkan pada persalinan usia reproduksi

(20-35 tahun) angka kejadian prematur sebesar 10%, hal ini menunjukan ibu

usia muda meningkatkan kejadian prematur sebesar 38,8 kali lebih besar

(Latifah dan Anggraeni, 2013).

Kehamilan usia muda lebih memungkinkan mengalami penyulit pada

masa kehamilan dan persalinan yaitu karena wanita muda sering memiliki

pengetahuan yang terbatas tentang kehamilan atau kurangnya informasi

dalam mengakses sistem pelayanan kesehatan (Destaria, 2011).

Pada usia ini juga belum cukup dicapainya kematangan fisik, mental dan

fungsi organ reproduksi dari calon ibu. Golongan primigravida muda

dimasukkan dalam golongan risiko tinggi, karena angka kesakitan dan angka

26
kematian ibu dan bayi pada kehamilan remaja 2-4x lebih tinggi dibandingkan

dengan usia reproduksi (Destaria, 2011).

Persalinan prematur di usia >35 tahun sebesar 16,9% di Semarang tahun

2008. Pada usia ibu yang tua telah terjadi penurunan fungsi organ reproduksi,

penurunan fungsi ini akan mempengaruhi kesehatan baik ibu maupun janin

yang dikandungnya sehingga ibu dan bayi yang dikandungnya memiliki

banyak hal yang dapat mempersulit dan memperbesar risiko kehamilan

(Damayanti, 2008; Zuaidi, 2011).

27
b. Penyakit Dalam Kehamilan
 Preeklampsia/Eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah usia 20 minggu
kehamilan dan disertai dengan proteinuria, sedangkan eklampsia adalah
preeklampsia yang disertai dengan kejang dan atau koma (Prawiroharjo,
2014). Preeklampsia meningkatkan risiko terjadinya solusio plasenta,
persalinan prematur, Intrauterine Growth Retardation (IUGR), dan
hipoksia akut. Preeklampsia menyumbang sekitar 15% dari semua
kelahiran prematur (National Healthy Mother, Healthy Babies Coalition,
2012).
Preeklampsia/eklamspia didasari oleh beberapa teori, namun teori
yang saat ini paling banyak digunakan adalah teori iskemia plasenta,
radikal bebas dan disfungsi endotel. Berdasarkan teori ini terjadi
kegagalan “remodeling arteri spiralis” sehingga menyebabkan plasenta
mengalami iskemia dan terjadi disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah
arteriola yang menuju organ penting dalam tubuh dapat menyebabkan
mengecilnya aliran darah yang menuju retroplasenta sehingga
mengakibatkan gangguan pertukaran CO2, O2 dan nutrisi pada janin. Hal
ini menyebabkan terjadinya vasospasme dan hipovolemia sehingga janin
menjadi hipoksia dan malnutrisi. Hipoksia menyebabkan plasenta
mengtransfer kortisol dengan kadar yang tinggi ke dalam sirkulasi janin.
Konsentrasi kortisol yang tinggi akan mensintesis prostaglandin yaitu
protasiklin (PGE-2) yang menyebabkan timbulnya kontraksi, perubahan
pada serviks dan pecahnya kulit ketuban, sehingga bayi sering terlahir
prematur (Kemenkes RI, 2011).

 Penyakit Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular adalah sekelompok gangguan pada jantung
dan pembuluh darah. Penyakit jantung/kardiovaskular terjadi pada 0,5 - 3
% kehamilan, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada
ibu hamil di dunia (WHO, 2013).

28
Masa kehamilan, persalinan maupun pasca persalinan berhubungan
dengan perubahan fisiologis yang membutuhkan penyesuaian dalam
sistem kardiovaskular. Fisiologi hemodinamik mencapai puncak pada
akhir trimester kedua, pada masa ini perubahan hemodinamik dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinik pada jantung yang telah
sakit sebelumnya. Perubahan hormonal yaitu aktivasi estrogen oleh
sistem renin-aldosteron menyebabkan retensi air dan natrium yang
akan meningkatkan volume darah ± 40%. Hal ini menyebabkan
peningkatan volume darah sebesar 1200-1600 ml lebih banyak
dibanding dalam keadaan tidak hamil (Supriyono, 2008; Sudoyo, 2009).
Selama masa kehamilan curah jantung akan mengalami
peningkatan 30-50%. Perubahan curah jantung ini disebabkan karena
peningkatan preload akibat bertambahnya volume darah, penurunan
afterload akibat menurunya resistesi vaskular sitemik, dan peningkatan
denyut jantung ibu saat istirahat 10-20 kali/menit. Peningkatan curah
jantung dipengaruhi juga oleh isi sekuncup jantung yang meningkat 20-
30% selama kehamilan (Supriyono, 2008; Sudoyo, 2009). Pada
penyakit jantung yang disertai kehamilan, pertambahan denyut jantung
dan volume sekuncup jantung dapat menguras cadangan kekuatan
jantung. Payah jantung akan menyebabkan stres maternal sehingga
terjadi pengaktifan aksis HPA yang akan memproduksi kortisol dan
prostaglandin, kemudian mencetuskan terjadinya persalinan prematur
(Supriyono, 2008; Sudoyo, 2009).
New York Heart Association (NYHA) kelas III dan IV dengan
aktivitas fisiknya sangat terbatas, tidak dianjurkan untuk hamil. Jika
kehamilan masih awal sebaiknya diterminasi, dan jika kehamilan telah
lanjut sebaiknya kehamilan diteruskan dengan persalinan pervaginam
dan kala II dipercepat serta kehamilan berikutnya dilarang (Supriyono,
2008; Sudoyo, 2009).

 Anemia

29
Anemia adalah suatu kelainan darah yang terjadi ketika tubuh
menghasilkan terlalu sedikit sel darah merah (SDM), penghancuran SDM
berlebihan, atau kehilangan banyak SDM (Department of Health and
Human Services, 2011). Angka kejadian anemia pada kehamilan berkisar
24,1% di Amerika dan 48,2% di Asia Tenggara pada tahun 1993-2005
(WHO, 2008).
Selama kehamilan, tubuh ibu mengalami mengalami banyak
perubahan salah satunya adalah hubungan antara suplai darah dengan
respon tubuh. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab penyakit
kardivaskular, total jumlah plasma pada wanita hamil dan jumlah SDM
meningkat dari kebutuhan awal, namun peningkatan volume plasma lebih
besar dibandingkan peningkatan massa SDM dan menyebabkan penurunan
konsentrasi hemoglobin, sehingga mempengaruhi kadar O2 yang masuk
ke dalam jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan
yang kemudian akan memproduksi kortisol dan prostaglandin, yang
mencetuskan terjadinya persalinan prematur pada ibu dengan anemia
(Sudoyo, 2009).

 Hipotiroid
Penyakit tiroid adalah suatu kelainan yang menyerang glandula tiroid.
Secara global, hipotiroid yang terjadi pada kehamilan sebesar 0,2% kasus
dan hipotiroid sub klinis 2,3% kasus (Benerjee, 2011).
Saat awal gestasi, janin bergantung sepenuhnya pada hormon tiroid
ibu yang melewati plasenta karena fungsi tiroid janin belum berfungsi
sebelum 12-14 minggu kehamilan. Pada kehamilan 12 minggu pertama
kadar hormon chorionic gonadotropin (HCG) akan mencapai puncaknya
dan kadar tiroksin bebas akan meningkat, sehingga menekan kadar
tirotropin. Namun, kadar hormon tiroid yang rendah pada hipotiroid
kehamilan akan memacu aksis HPA untuk memacu produksi TRH untuk
memenuhi kebutuhan hormon tiroid ibu dan janin. Pengaktifan aksis HPA
ini yang dapat memacu pelepasan kortisol kedalam darah sehingga

30
memproduksi prostaglandin yang dapat memacu terjadinya persalinan
prematur. (Garry, 2013).

c. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan hidup. Paritas dapat
diklasifikasikan berdasarkan jumlah anak yang dilahirkan yaitu
1) Nulipara, adalah seorang wanita yang belum pernah menyelesaikan
kehamilan melewati gestasi 20 minggu.
2) Primipara, yaitu seorang wanita yang pernah satu kali melahirkan bayi
yang lahir hidup atau meninggal dengan perkiraan lama gestasi 20
minggu atau lebih.
3) Multipara, adalah seorang wanita yang pernah menyelesaikan dua atau
lebih kehamilan hingga 20 minggu atau lebih.
Jumlah paritas merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
kelahiran prematur karena jumlah paritas dapat mempengaruhi keadaan
kesehatan ibu dalam kehamilan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Jerman tahun 2004 didapatkan data bahwa pada wanita primipara angka
kejadian kelahiran prematur lebih besar yaitu 9,5%, sedangkan angka
kejadian pada multipara adalah sebesar 7,5%. Hal ini di karenakan oleh
kenyataan bahwa wanita multipara akan mencari pengetahuan yang lebih
untuk menghindari risiko yang akan terjadi pada kehamilan berikutnya
berdasarkan pengalaman dari proses persalinan sebelumnya, sehingga dapat
mengurangi risiko persalinan berikutnya (Wolf dan Klause, 2013).

d. Riwayat Partus Prematurus


Riwayat persalinan prematur sebelumnya merupakan penanda risiko
paling kuat dan paling penting. Berdasarkan data Health Technology
Assessment Indonesia tahun 2010 bahwa insiden terjadinya persalinan
prematur selanjutnya setelah 1x persalinan premature meningkat hingga
14,3% dan setelah 2x persalinan prematur meningkat hingga 28%. Wanita

31
yang mengalami persalinan prematur memiliki risiko untuk mengalaminya
kembali pada kehamilan selanjutnya (Kemenkes RI, 2010).

e. Ketuban Pecah Dini


Ketuban pecah dini adalah pecahnya kulit ketuban sebelum persalinan,
sedangkan pecahnya kulit ketuban pada usia kehamilan <37 minggu disebut
ketuban pecah dini kehamilan premature (Prawiroharjo, 2014). Ketuban
pecah dini kehamilan prematur terjadi pada 1% -3% dari seluruh kehamilan
dan bertanggung jawab untuk sepertiga dari semua kelahiran prematur
(Coltart dan Festin, 2011).
Ketuban pecah selama persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus dan peregangan berulang, keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraseluler matriks, perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah. Degradasi
kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang dihambat
oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease. Mendekati waktu
persalinan, keseimbangan antar MMP dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari
matriks ekstraseluler dan membran janin (Prawiraharjo, 2014).
Pecahnya selaput ketuban yang berfungsi melindungi atau menjadi
pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim pecah dan mengeluarkan air
ketuban menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan
dalam rahim yang memudahkan terjadinya infeksi asenden. Semakin lama
periode laten maka semakin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
persalinan prematur dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan bayi atau janin dalam Rahim (Prawiraharjo, 2014).

f. Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan
24 minggu hingga sebelum kelahiran bayi. Perdarahan antepartum
menyebabkan seperlima bayi lahir dengan prematur dan juga menyebabkan

32
bayi yang dilahirkan mengalami cerebral palsy. Penyebab paling sering dari
perdarahan antepartum adalah plasenta previa dan solusio plasenta (Royal
College of Obsttricians and Gynaecologist, 2011).
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium
uteri internum. Terjadinya implantasi plasenta di segmen bawah rahim dapat
disebabkan karena (Prawiraharjo, 2014) :
1) Endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi.

2) Lapisan endometrium tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta


untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin
3) Vili khorialis pada chorion leave yang persisten.
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
plasenta maternal dari tempat implantasinya sebelum waktunya.
Perdarahan tidak dapat berhenti dikarenakan uterus yang sedang
mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria
spiralis yang terputus (Prawiraharjo, 2014).
Pada penjelasan pada subbab prematur sebelumnya telah dijelaskan
bahwa perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari
faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah
protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian trombin
mampu menstimulasi kontraksi miometrium dan menginduksi persalinan
premature (Snegovskikh, 2006).

33
Gambar 2. Patofisiologi terjadinya prematur pada perdarahan plasenta

34
g. Gemelli
Gemelli/kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau
lebih intrauteri. Kehamilan ganda dianggap mempunyai risiko tinggi
karena dapat menyebabkan komplikasi lebih tinggi untuk mengalami
hiperemesis gravidarum, hipertensi dalam kehamilan, kehamilan dengan
hidramnion, persalinan dengan prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat (Manuaba et al., 2007). Gemelli merupakan 30% penyebab
terjadinya prematur di Indonesia pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2010).
Fisiologi dari kehamilan ganda yaitu dua ovum yang dibuahi pada saat
hampir besamaan atau berasal dari satu ovum yang mengalami
pemecahan disaat dini. Persalinan prematur pada kehamilan ganda dapat
terjadi dikarenakan terjadinya overdistensi, maka retraksi akibat
ketegangan otot uterus makin dini sehingga dimulailah proses Braxton
Hicks, kontraksi makin sering dan menjadi HIS persalinan (Manuaba et
al., 2007).

h. Bakterial Vaginosis
Vagina yang sehat mengandung berbagai jenis bakteri yang penting
dalam memerangi infeksi. Bakterial Vaginosis (BV) diperkirakan terjadi
pada 40% wanita dan merupakan faktor risiko kuat penyebab prematur.
BV dapat meningkatkan risiko prematur 2 kali lipat terutama jika
dijumpai pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Di Indonesia,
angka kejadian persalinan prematur sebesar 20,5% pada wanita hamil
muda dengan BV dan 10,7% terjadi pada akhir kehamilan (Kemenkes RI,
2010).
Gambaran klinis BV dapat dinilai dengan menggunakan kriteria
Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda klinis berikut (Kemenkes RI,
2010).:
1. pH vagina di atas 4,5
2. Sekret vagina yang homogen dan tipis

35
3. Terdapat bau amis dari sekret vagina bila ditambahkan kalium
hidroksida 10% (tes amin)
4. Terdapat clue cell pada sediaan basah.

i. Infeksi Saluran Kemih


Cara terjadinya infeksi saluran kemih umumnya bakteri yang
menyebabkan terjadinya infeksi berasal dari tubuh penderita sendiri. Ada
3 cara terjadinya infeksi, yaitu (Terraz, 2009) :
1. Melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain
ke bagian saluran kemih
2. Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal dari usus
besar ke buli-buli atau ke ginjal.
3. Migrasi mikroorganisme secara asenden dan urethra wanita yang
pendek memudahkan terjadi kontaminasi yang berasal dari vagina
dan rektum.
Pada infeksi dan inflamasi dapat menginduksi kontraksi uterus.
Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipid A2 dan C
sehingga meningkatkan konsentrasi asam arakidonat secara lokal dan
pada gilirannya dapat menyebabkan pelepasan PGF-2 dan PGE-2
sehingga terjadi kontraksi miometrium uterus. Selain itu pada keadaan
infeksi terdapat juga produk sekresi dari makrofag/monosit berupa
interleukin-1 dan interleukin-6, sitokin, tumor necrosis factor, yang
juga akan menghasikan sitokin dan prostaglandin.

Gambar 3. Mekanisme terjadinya persalinan preterm


pada infeksi (Snegovskikh, 2006)

36
4.5 Diagnosis
Kesulitan sering dialami dalam mendiagnosis persalinan preterm.
Kontraksi yang terjadi pada kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman
proses persalinan (Prawirohardjo, 2014). Kriteria yang dapat dipakai sebagai
diagnosis ancaman persalinan preterm, yaitu:
1. Kontraksi yang berulang sedikitnya 7-8 menit sekali atau 2-3 kali dalam
waktu 10 menit
2. Adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)
3. Perdarahan bercak
4. Perasaan menekan di daerah serivks
5. Pemeriksaan serviks menunjukan telah terjadi pembukaan sedikitnya 2
cm dan penipisan 50-80%
6. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika
7. Selaput ketuban pecah dapat merupkan tanda awal terjadinya persalinan
preterm
8. Terjadi pada usia kehamilan 20-37 minggu
Pemeriksaan terhadap risiko terjadinya persalinan preterm sebaiknya
dilakukan sejak awal dimulai dari pengenalan pasien berisiko, pengenalan
kontraksi sedini mungkin, sehingga pencegahan dapat segera dilakukan. Salah
satu pemeriksaan yang mempunyai manfaat besar dalam mendeteksi
terjadinya persalinan preterm adalah pemeriksaan serviks (Dowswell et al.,
2015). Namun, pemeriksaan ini tidak lazim dilakukan dalam kunjungan
antenatal. Apabila dalam pemeriksaan dijumpai serviks pendek, yaitu <1 cm
disertai pembukaan serviks yang merupakan tanda serviks
matang/inkompetensi serviks, maka risiko terjadinya persalinan preterm besar
sekitar 3 sampai 4 kali. Timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks
merupakan indikator klinis dalam mendeteksi terjadinya persalinan preterm
(Yeoh et al., 2016).
Selain kriteria dan indikator di atas, terdapat beberapa indikator lain yang
digunakan untuk mendeteksi terjadinya persalinan preterm, yaitu indikator
laboratorik dan biokimia. Dalam indikator laboratorik dijumpai jumlah

37
leukosit dalam air ketuban adalah 20/ml atau lebih, CRP >0,7 mg/ml dan
leukosit dalam serum ibu >13.000/ml (Prawirohardjo, 2014). Dalam indikator
biokimia yang dilihat adalah kadar fibronektin janin, Corticotropin Releasing
Hormone (CRH), sitokin inflamasi, isoferitin plasenta dan feritin. Pada
kehamilan 24 minggu, kadar fibronektin janin 50 ng/ml (Krans dan Davis,
2012). Untuk CRH, terjadi peningkatan dini atau pada trimester 2. Sitokin
inflamasi seperti IL-1β, IL-6, IL-8 dan TNF-α merupakan mediator dalam
sintesis prostaglandin. Pada kehamilan kadar isoferitin plasenta sebesar 54,8 ±
53 U/ml. Penurunan kadar tersebut dapat menjadi faktor risiko persalinan
preterm (Ashraf et al., 2011).

4.6 Penatalaksanaan
Dalam persalinan preterm, terdapat beberapa hal yang membuat
pengelolaan dari persalinan ini berbeda dari persalinan normal. Manajemen
persalinan preterm meliputi tirah baring, hidrasi dan sedasi, pemberian
tokolitik, pemberian steroid, pemberian antibiotik, Emergency Cerclage
(tindakan yang dilakukan pada serviks pendek agar dapat tetap tertutup dan
stabil) dan perencanaan persalinan (Schleubner, 2013).
Manajemen yang pertama adalah tirah baring. Tirah baring bertujuan agar
ibu dapat beristirahat dengan tenang, walaupun secara statistik tidak terbukti
dalam mengurangi angka kejadian persalinan prematur. Namun, cara ini masih
dipakai di beberapa tempat (Fernandez et al., 2016).
Yang kedua adalah hidrasi dan sedasi. Hal ini bertujuan untuk
menyebabkan hipovolemik pada ibu dengan kontraksi prematur sehingga
dapat mencegah terjadinya persalinan preterm. Tetapi belum jelas mekanisme
biologisnya. Efek sedasi dapat menggunakan preparat morfin (Beeckman et
al., 2013).
Selanjutnya pemberian tokolitik. Tokolitik berfungsi untuk menghambat
kontraksi mometrium dan menghambat persalinan (Dowswell et al., 2015).
Tokolitik yang digunakan adalah nifedipin, indomethacin, magnesium sulfat,
atosiban dan progesteron.

38
1. Nifedipin
Nifedipin merupakan antagonis kalsium. Obat ini diberikan peroral dengan
dosis inisial 20 mg, dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali sehari disesuaikan
dengan kontraksi uterus sampai 48 jam. Dosis maksimalnya 60 mg/hari.
Komplikasi dari obat ini adalah hipotensi dan sakit kepala (Gudka dan
Tomlin, 2013).
2. Indomethacin
Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 mg per oral setiap 6 jam untuk 8 kali
pemberian. Indomethacin direkomendasikan kehamilan >32 minggu
karena dapat mempercepat penutupan duktus arteriosus (Eds CP Howson
dan MV Kinney, 2012).
3. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik secara parenteral. Dosis awal
4-6 gr IV diberikan dalam 20 menit, diikuti 1 gr per jam tergantung dari
produk urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik, berikan kalsium
glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (Eds CP Howson dan MV
Kinney, 2012).
4. Atosiban
Atosiban adalah suatu analog oksitosin bekerja pada reseptor oksitosin dan
vasopresin. Dosis awal 6,75 mg bolus dalam satu menit, diikuti 18 mg/jam
selama 3 jam per infus, kemudian 6 mg/jam jam selama 45 jam. Dosis
maksimal 330 mg (Schleubner, 2013).
5. Progesteron
Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi
alphahidroxyprogesterone caproate menurunkan persalinan preterm
berulang. Dosis 250 mg (1 mL) IM tiap minggu sampai 37 minggu
kehamilan atau sampai persalinan. Pemberian dimulai 16-21 minggu
kehamilan (Prawirohardjo, 2014).
Yang keempat adalah pemberian steroid yang bertujuan untuk
pematangan paru janin (Mwansa et al., 2010). Pemberiannya dianjurkan pada
minggu ke 24 sampai 34, namun dipertimbangkan sampai 36 minggu. Steroid

39
yang digunakan adalah betametason yang diberikan secara IM dengan dosis
12 mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimalnya dicapai dalam 1-7 hari
pemberian. Apabila tidak terdapat betametason dapat diberikan deksametason
dengan dosis 2x5 mg IM perhari selama 2 hari (Prawirohardjo, 2014).

B. Retensi Sisa Plasenta (Wiknjosastro, 2010)


Perdarahan postpartum dini dapat terjadi sebagai akibat tertinggalnya sisa
plasenta atau selaput janin. bila hal tersebut terjadi, harus dikeluarkan secara
manual atau dikuretase disusul dengan pemberian obat-obat uterotonika intravena.
Perlu dibedakan antara retensio plasenta dengan sisa plasenta (rest placenta). Di
mana retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir seluruhnya dalam
setengah jam setelah janin lahir. Sedangkan sisa plasenta merupakan tertinggalnya
bagian plasenta dalam uterus yang dapat menimbulkan perdarahan post partum
primer atau perdarahan post partum sekunder.
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta) merupakan penyebab umum
terjadinya pendarahan lanjut dalam masa nifas (pendarahan pasca persalinan
sekunder). Pendarahan pasca persalinan lanjut (terjadi lebih dari 24 jam setelah
kelahiran bayi) sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik,
atau sisa plasenta yang tertinggal. Pendarahan post partum yang terjadi segera
jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi
plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada
bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan plasenta
dikeluarkan. Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal,
maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat
menimbulkan perdarahan.
Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus
berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang. Sebab-sebab plasenta belum
lahir, bisa oleh karena:
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus

40
2. Plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika
lepas sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus bisa karena:
1. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva)
2. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korialis menembus
desidua sampai miometrium.
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan tidak adanya usaha untuk melahirkan, atau salah penanganan kala tiga,
sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi
keluarnya plasenta.
Faktor yang berhubungan dengan Rest Plasenta adalah sebagai berikut.
 Umur
Usia ibu hamil terlalu muda (35 tahun) mempunyai resiko yang lebih besar
untuk melahirkan bayi kurang sehat. Hal ini dikarenakan pada umur 20 tahun,
dari segi biologis fungsi organ reproduksi seorang wanita belum berkembang
dengan sempurna untuk menerima keadaan janin dan segi psikis belum
matang dalam menghadapi tuntutan beban moril, mental dan emosional,
sedangkan pada umur diatas 35 tahun dan sering melahirkan, fungsi
reproduksi seorang wanita sudah mengalami kemunduran atau degenerasi
dibandingkan fungsi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya
komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan lebih besar. Perdarahan post
partum yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang
melahirkan pada umur dibawah 20 tahun, dua sampai lima kali lebih tinggi
dari pada perdarahan post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun.
Perdarahan post partum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun,
(Wiknjosastro, 2010).
 Paritas
Uterus pada saat persalianan, setelah melahirkan plasenta sukar untuk
berkontraksi dan berektraksi kembali sehingga pembuluh darah maternal pada
dinding uterus akan tetap tebuka. Hal inilah yang dapat menyebabkan

41
meningkatkan perdarahan post partum, (Winknjosastro, 2010). Jika
kehamilan “terlalu muda, terlalu tua, terlalu banyak dan terlalu dekat (4
terlalu” dapat meningkatkan resiko berbahaya pada proses reprodusi karena
kehamilan terlalu sering dan terlalu dekat menyebabkan intake (masukan)
makanan atau gizi menjadi lebih rendah. Ketika tuntunan dan beban fisik
terlalu tinggi mengakibatkan wanita tidak punya waktu untuk mengembalikan
kekuatan diri dari tuntunan gizi, juga anak yang telah dilahirkan perlu
mendapat perhatian yang optimal dari kedua orang tuanya sehingga sangat
perlu mengatur kapan sebaiknya waktu yang tepat untuk hamil (Saifuddin,
2011).
 Status Anemia
Anemia dalam kehamilan Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu
dengan kadar hemoglobin di bawah 11 gr% pada trimester satu dan tiga atau
kadar hemoglobin dibawah 10,5 gr% pada trimester dua nilai batas tersebut
dan perbedaannya dengan wanita tidak hamil terjadi hemodilusi, terutama
pada trimester dua, (Saifuddin, 2011). Darah akan bertambah banyak dalam
kehamilan yang lazim disebut hidramia atau hipervolemia. Akan tetapi,
bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma
sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai
berikut plasma 30%, sel darah 18% dan hemoglobin 19%. Bertambahnya
darah dalam kehamilan sudah mulai sejak kehamilan 10 minggu dan
mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu,
(Wiknjosastro, 2010). Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk
membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya
kehamilan.

Penanganan perdarahan postpartum yang disebabkan oleh sisa plasenta


Penemuan secara dini hanya mungkin dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke
tempat bersalin dengan keluhan perdarahan

42
a. Berikan antibiotika, ampisilin dosis awal 1g IV dilanjutkan dengan 3 x 1g oral
dikombinasikan dengan metronidazol 1g supositoria dilanjutkan dengan 3 x
500mg oral.
b. Lakukan eksplorasi (bila servik terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila servik hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan AMV atau dilatasi dan kuretase
c. Bila kadar Hb<8 gr% berikan transfusi darah. Bila kadar Hb>8 gr%, berikan
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
Pemeriksaan plasenta dapat mengidentifikasi kelainan yang menunjukkan
kemungkinan adanya potongan yang tertinggal. Tatalaksana pada kasus ini dapat
dilakukan dengan panduan USG.

C. Nutrisi

Gambar 4 Makro dan mikronutrien pada ibu hamil (Linus, 2015)


Kelahiran prematur tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas neo-tal, bahkan ketika itu terjadi hanya sedikit sebelum aterm. Risiko
hasil perkembangan saraf jangka panjang yang merugikan setelah lahir pada
kehamilan yang sangat prematur sudah diketahui. Namun, semakin jelas bahwa
kelahiran prematur, termasuk kelahiran prematur terlambat, juga secara signifikan
meningkatkan risiko penyakit dewasa kronis jangka panjang termasuk penyakit
pernapasan, kardiovaskular, dan metabolisme. Kelahiran prematur, karenanya,

43
merupakan beban ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. meskipun harus
dicatat bahwa efisiensi dan utilitas biaya perawatan intensif neonatal, dan tahun-
tahun yang disesuaikan dengan kualitas yang diperoleh untuk para penyintas,
meningkat dari waktu ke waktu dan lebih besar daripada banyak intervensi
perawatan kesehatan lainnya (Bloomfield, 2011).
 Sekitar 45% kelahiran prematur terjadi setelah persalinan preterm
spontan. Meskipun perubahan demografi kehamilan, termasuk meningkatnya usia
ibu, penggunaan teknologi reproduksi buatan, dan jumlah kelahiran ganda, dapat
berkontribusi pada peningkatan tingkat kelahiran prematur, mereka tidak dapat
menjelaskan besarnya peningkatan. Semakin banyak perhatian diberikan pada
peran potensial nutrisi ibu dalam masa kehamilan. kurang gizi di negara-negara
termiskin di dunia dan baik pola makan yang buruk atau diet aktif di negara-
negara terkaya di dunia bisa menjadi faktor yang menjelaskan tingginya angka di
Afrika dan meningkatnya angka di negara-negara berkembang. Peran nutrisi ibu
dalam kelahiran prematur didukung oleh pengalaman hewan, yang tidak hanya
menunjukkan bahwa gizi buruk ibu pada awal kehamilan dapat mengakibatkan
kelahiran prematur. tetapi juga status gizi ibu memengaruhi lintasan
perkembangan janin. Karena janin sangat bertanggung jawab untuk memulai
waktu persalinan spontan. efek status gizi ibu pada perkembangan janin, panjang
kehamilan, dan penyakit jangka panjang dapat dihubungkan. nutrisi ibu sebelum
atau pada kehamilan sangat dini, ketika nutrisi janin bersifat histiotropik daripada
hemotropik, mungkin merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan
panjang kehamilan daripada nutrisi pada kehamilan selanjutnya. Selama masa
kelaparan, perempuan kehilangan, rata-rata, sekitar 2,6 Kg atau 5% dari berat
badan, setara dengan defisit energi harian 10% hingga 15% (Bloomfield, 2011).

44
Gambar 5 Mekanisme biokimiawi malnutrisi-kelahiran preterm
(Wu, et al., 2012)

1. Makronutrien
Suplementasi dengan Makronutrien Mengurangi Risiko Kelahiran
Prematur. suplemen tanpa protein (fresco) menghasilkan risiko kelahiran
prematur yang lebih tinggi dan bahwa malnutrisi ibu merupakan faktor risiko
independen untuk kelahiran prematur. Sedangkan terlalu banyak
mengkonsumsi karbohidrat dapat berdampak pada kelahiran prematur. Wanita
yang mengonsumsi ≥1 porsi minuman ringan yang dimaniskan secara artifisial
per hari, tetapi tidak mereka yang mengonsumsi jumlah yang sama dari
minuman ringan yang dimaniskan dengan gula, memiliki peningkatan risiko
kelahiran prematur. Penulis berspekulasi bahwa metabolisme pemanis buatan
menjadi metanol, yang telah terbukti mengurangi panjang kehamilan pada
primata bukan manusia, bahkan dalam dosis yang sangat rendah, dapat
berperan (Bloomfield, 2011).
N3-Fatty acid. Prostaglandin diketahui memainkan peran kunci dalam
proses kelahiran, dan telah dihipotesiskan bahwa peningkatan asupan asam

45
lemak n-3 rantai panjang ibu, yang berlimpah dalam lemak ikan, mungkin
dapat memengaruhi jalur prostaglandin. dan dengan demikian mengurangi
risiko kelahiran prematur. Suplementasi asam lemak n-3 untuk pencegahan
kelahiran prematur mungkin perlu menjadi intervensi yang ditargetkan. Hal ini
didukung oleh pengamatan bahwa asupan makanan ibu pada pertengahan
kehamilan berkorelasi cukup baik dengan erythrocyte dan konsentrasi asam
lemak tak jenuh ganda tali pusat ibu, dengan korelasi terkuat untuk DHA +
EPA dan bahwa rasio asam n-3 asam lemak erythrocyte ibu terhadap
Konsentrasi asam arakidonat pada saat pengiriman dikaitkan dengan panjang
kehamilan pada wanita dengan asupan minyak ikan sedang, tetapi tidak tinggi
(Bloomfield, 2011).

2. Mikronutrien
a. Asam folat
Asam folat, juga dikenal sebagai folat atau vitamin B9 atau
vitamin M adalah vitamin yang larut dalam air dari kelompok B. Ini
terdiri dari cincin pterydine aromatik yang dihubungkan dengan asam
para-aminobenzoat dan satu atau lebih residu glutamat. Ini diperoleh dari

46
jamur, sayuran berdaun hijau, bayam, ragi, rumput dan buah-
buahan dalam makanan kita. Ini diserap dengan cepat di bagian atas
jejunum oleh proses difusi pasif non-saturable yang bergantung pada pH
yang merupakan transporter folat afinitas tinggi berpasangan proton
(PCFT). Ketersediaan hayati sekitar 78% dari makanan alami dan 80%
dari persiapan sintetis. Derivatif aktif metaboliknya adalah dihidrofolat
termetilasi dan tetrahidrofolat — konversi yang terjadi di hati setelah
penyerapan dari usus (Gbr. 1).
Methyl tetrahydrofolate (MTHF) dikirim ke sel-sel dalam darah
yang bersirkulasi. Penyerapan MTHF oleh sel dimediasi oleh empat jenis
reseptor spesifik di dinding sel PCFT ditemukan di ileum dan otak
proksimal, berkurangnya folat pembawa I (RCFI) yang ditemukan di
semua jenis sel, alpha reseptor folat (FRa) yang ditemukan di jaringan
asal epitel (choroid pleksus, tiroid, paru-paru dan sel tubular ginjal) dan
reseptor beta folat (FRb) ditemukan dalam sel-sel yang berasal dari
mesenchymal (sel darah merah, makrofag dan limfatik)

Bukti terbaru dari studi kohort besar juga menunjukkan bahwa


status asam folat sebelum konsepsi atau pada awal kehamilan dapat
dikaitkan dengan penurunan risiko kelahiran prematur. biasanya asam
47
folat diberikan selama kehamilan, mungkin untuk mencegah cacat tabung
saraf, mekanisme perlindungan ini tidak diketahui (Bloomfield, 2011).

Hubungan linear antara konsentrasi total folat serum dan


kelahiran prematur, dengan peningkatan satu standar deviasi dalam
konsentrasi folat trimester pertama terkait dengan penurunan 40% dalam
risiko kelahiran prematur. Penelitian ini juga menyelidiki spesies folat
lain, yaitu 5-metil tetrahidrofolat (THF) dan 5 formil THF, dan
menemukan interaksi antara konsentrasi serum kedua spesies ini dan
kelahiran prematur. Ketika konsentrasi 5-metil THF tinggi, ada korelasi
negatif yang kuat antara konsentrasi THF 5-formil dan kelahiran
prematur; Sebaliknya, ketika konsentrasi 5-metil THF rendah, ada
korelasi positif antara konsentrasi THF 5-formil dan kelahiran prematur.
5-metil THF terlibat dalam donasi metil untuk membentuk metionin,
yang terlibat dalam sintesis protein dan, melalui s-adenosyl metionin,
metilasi DNA. 5-formyl THF terlibat dalam biosintesis nukleotida
(Bloomfield, 2011).

48
Polimorfisme nukleotida tunggal dalam pengkodean gen untuk
enzim yang terlibat dalam metabolisme folat juga telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko kelahiran prematur. Risiko dua kali lipat dalam
kelahiran prematur telah dilaporkan pada wanita kulit putih yang
membawa mutasi pada gen serine hydroxymethyltransferase (SHMT);
pada wanita kulit hitam, ukuran efek yang sama terlihat pada mereka
dengan asupan folat terendah. Wanita dengan polimorfisme penghapusan
pada gen dihydrofolate reductase (DHFR) telah dilaporkan memiliki tiga
kali lipat peningkatan risiko kelahiran prematur [disesuaikan OR 3.0
(1.0-8.8)] dibandingkan dengan wanita tanpa polimorfisme. Asupan folat
rendah (<400 μg / d) pada latar belakang polimorfisme penghapusan
DHFR meningkatkan OR untuk kelahiran prematur menjadi 5,5 (1,5-
20,4) dibandingkan dengan wanita tanpa polimorfisme. DHFR sangat
penting untuk konversi asam folat dalam bentuk yang dicerna menjadi
THF, yang memasuki jalur metabolisme folat. SHMT mengubah THF
menjadi langkah selanjutnya di jalur, metilen THF, yang dapat digunakan
untuk sintesis pirimidin atau metionin (Bloomfield, 2011).

Gambar 7 Mekanisme Biokimiawi Homosistein (Sundrani, 2012)


Folat (vitamin B9) adalah nutrisi penting yang diperlukan untuk
replikasi DNA dan sebagai substrat untuk berbagai reaksi enzimatik yang

49
terlibat dalam sintesis asam amino dan metabolisme vitamin. Permintaan folat
meningkat selama kehamilan karena itu juga diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan janin. Defisiensi folat telah dikaitkan dengan kelainan pada
kedua ibu (anemia, neuropati perifer) dan janin (kelainan bawaan) (Greenberg
et al., 2011).
Istilah folat biasanya digunakan sebagai nama generik untuk kelompok
senyawa yang berhubungan secara kimiawi berdasarkan struktur asam folat.
Folat, atau vitamin B9, dianggap sebagai salah satu dari 13 vitamin esensial.
Ini tidak dapat disintesis de novo oleh tubuh, dan harus diperoleh baik dari diet
atau suplemen. Diet folat adalah nutrisi alami yang ditemukan dalam makanan
seperti sayuran hijau, kacang-kacangan, kuning telur, hati, dan buah jeruk.
Asam folat adalah suplemen makanan sintetis yang hadir dalam makanan yang
diperkaya secara artifisial dan vitamin farmasi. Baik folat maupun asam folat
tidak aktif secara metabolik. L-5-Methyltetrahydrofolate (L-methylfolate)
adalah bentuk folat mikronutrien dominan yang bersirkulasi dalam plasma dan
yang terlibat dalam proses biologis (Greenberg et al., 2011).
Untuk menjadi aktif secara metabolik, asam folat harus dikonversi
terlebih dahulu menjadi dihydrofolate (DHF) dan kemudian tetrahydrofolate
(THF) melalui reduksi enzimatik, suatu proses yang dikatalisis oleh enzim
DHF reduktase (DHFR). Setelah itu, THF dapat dikonversi menjadi L-
methylfolate yang aktif secara biologis oleh enzim methylenetetrahydrofolate
reductase (MTHFR). Konversi kunci ini diperlukan untuk menyediakan L-
methylfolate untuk reaksi transfer satu-karbon (sumbangan metil) yang
diperlukan untuk sintesis purin / pirimidin selama perakitan DNA dan RNA,
untuk metilasi DNA, dan untuk mengatur metabolisme homocystein. MTHFR
adalah enzim penting untuk hampir semua proses biologis yang melibatkan
metabolisme folat dan metionin (Greenberg et al., 2011).
Homosistein adalah asam amino sulfhydril, merupakan senyawa antara
yang terbentuk dalam metabolism asam amino esensial metionin, banyak
berasal dari protein hewani. Peningkatan homosistein disebabkan oleh mutase
genetik, defisiensi vitamin, penyakit ginjal dan penyakit lain, obat-obatan dan

50
peningkatan usia. Peningkatan kadar homosistein menyebabkan trombositosis.
Homosistein menyebabkan stress oksidatif, kerusakan endotel (disfungsi
endotel) dan memacu thrombosis. Studi epidemiologi memperlihatkan
peningkatan homosistein plasma berhubungan dengan kejadian penyakit
jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer. Pemberian
suplemen asam folat dengan kombinasi B6 dan B12 menurunkan kadar
homosistein. Bukti yang kuat untuk memberikan asam folat atau vitamin
lainnya secara rutin maupun dalam terapi untuk pencegahan penyakit
aterotrombosis belum didapatkan. Berdasarkan studi yang telah banyak
dilakukan pada tiga dekade terakhir ini menetapkan faktor-faktor risiko yang
penting seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus, dan riwayat keluarga
(genetik).

1. Metabolisme Homosistein
Homosistein adalah asam amino yang mengandung sulfur,
merupakan senyawa antara antara yang terbentuk pada metabolism
metionin. Metionin adalah suatu asam amino essensial mengandung sulfur
yang didapat dari protein makanan. Protein alami mengandung 0,3-0,5%
metionin.
Homosistein berada dalam berbagai bentuk di dalam plasma, yaitu
1% dalam bentuk thiol bebas, 70-80% dalam bentuk disulfide terikat
dengan albumin, 20-30% saling berikatan sendiri membentuk homosistein
dimer atau ikatan dengan thiol lain misalnya cysteine yang akan
membentuk disulfidae menjadi homocysteine-cysteine. Total homosistein
merupakan jumlah dari semua bentuk homosistein yang terdapat dalam
plasma.
Homosistein terbentuk dari metabolism asam amino essensial
metionin melalui siklus metilasi yang merupakan satu-satunya sumber
homosistein. Homosistein berada pada persilangan dua jalur metabolik
yaitu jalur remetilasi dan transulfurasi. Melalui siklus remetilasi,
homosistein memperoleh donor metil dari N-5-methyltetrahydrofolate

51
(MTHF) melalui methionine sintase atau dari betaine menjadi metionin.
Reaksi dengan MTHF terjadi di seluruh jaringan dan bergantung dengan
vitamin B12, sedangkan reaksi dengan betaine terjadi di hepar dan tidak
bergantung vitamin B12. Metionin diubah menjadi homosistein melalui
dua perantara yaitu S-adenosyl-methionine (SAM) dan S-adenosyl-
homocycteine (SAH). Jalur transulfurasi terjadi dimana homosistein
berkondensasi dengan serin untuk membentuk cysthationin dan
dikatalisasi oleh enzim Cysthationine a-sintase (CBS) dengan bantuan
vitamin B6 sebagai ko-faktor. Cysthationine kemudian dihidrolisasi
membentuk glutathione serta dimetabolisasi lebih lanjut menjadi cysteine
akan dioksidasi menjadi taurine dan sulfat inorganic atau diekskresi ke
dalam urin.
Siklus remetilasi aktif terjadi pada keadaan puasa sedangkan jalur
transulfurasi aktif terutama setelah pembebanan metionin seperti
mengkonsumsi makanan tinggi protein. Enzim untuk metabolism
homosistein ada di dalam sel endotel dan metabolism homosistein terjadi
aktif di dalam sel endothelial.

Berdasar siklus metabolism homosistein, terdapat 3 mekanisme utama untuk


terjadinya hiperhomosistein yaitu : 1) inhibisi siklus remetilasi: defisiensi asam
folat atau cobalamin (B12), defisiensi methionine sintase, defek MTHFR, 2)
inhibisi siklus transulfurasi : defisiensi vitamin B6, defek Cysthathionine a-
sintase dan 3) saturasi siklus transulfurasi : diet metionin yang berlebihan.
Vitamin B-12 adalah vitamin B yang larut dalam air yang diperlukan
sebagai kofaktor dua enzim dalam fisiologis tubuh manusia: metionin sintase
(MTR) yang menghasilkan dan menggunakan methilkobalamin dan berfungsi
dalam sitosol untuk memetilsilasi homosistein menjadi metionin, dan L-metil-
malonil koenzim A mutase, yang menggunakan 59-deoxyadenosylcobalamin
sebagai kofaktor dan berfungsi dalam mitokondria untuk mengkatalisasi rantai-
rantai dan FA rantai-bercabang. Fungsi MTR sangat penting dalam metabolisme
satu karbon yang dimediasi folat, termasuk sintesis DNA dan metilasi kromatin

52
melalui produksi S-adenosylmethionine (AdoMet), donor metil universal yang
diperlukan untuk reaksi metilasi di seluruh tubuh manusia. dan presentasi klasik
defisiensi vitamin B12 adalah hematologi: anemia megaloblastik. Sindrom
defisiensi klasiknya adalah anemia pernisiosa, gangguan malabsorpsi di mana
penghancuran sel parietal autoimun menyebabkan kurangnya sintesis dan sekresi
faktor intrinsik (IF), protein pengikat vitamin B-12 yang diperlukan untuk
transportasi aktif vitamin B-12 yang efisien di seluruh dunia. epitel usus. Namun,
defisiensi vitamin B-12 juga mengarah pada manifestasi neurologis, bahkan tanpa
adanya gejala hematologis, yang mungkin bersifat ireversibel (Finkelstein, et al.,
2015).

DAFTAR PUSTAKA
American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013. Preterm Labor
and Preterm Birth. Available from http://www.acog.org/~/media/For
%20Patients/faq087.pdf. (Diakses pada tanggal 31 Mei 2019)
WHO. 2012. Born Too Soon, The Global Action Report on Preterm Birth.
Geneva : World Health Organization. 13(5): 1–126.

53
Kemenkes RI. 2010. Prediksi Persalinan Prematur. Jakarta : Health Technology
Assessment Indonesia.
Novak Z, Vodusek V, Steblovnik L, Kavsek G. Extermly Preterm Delivery:
Prediction and Prevention. TMJ [internet]. 2008 [cited 2014 Feb 11]: 59(2)
Snegovskikh V, Park JS, Norwitz E. Endocrinology of Parturition. Endocrinol
Metab Clin N Am [internet]. 2006 [cited 2014 Feb 11]; 35:173-91.
Palenik SR, Morrisson JC. 2002. Supplement to obstetrical & gynecologycal
survey. Lippincott Williams & Wilkins. Vol 57: S9-34.
Latifah L, Anggraeni M.D. 2013. Hubungan kehamilan pada usis remaja
dengan kejadian prematuritas, berat bayi lahir rendah dan asfiksia. Jurnal
Kesmasindo. Vol 6 (1) : 26-34.
Destaria, Selvi. 2011. Perbandingan Luaran Maternal dan Perinatal Kehamilan
Trimester Ketiga Antara Usia Muda dan Usia Reproduksi Sehat. Karya
Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro.
Zubaidi, Rahardian. 2011. Perbandingan Luaran Maternal dan Perinatal
Ibu Usia Tua dengan Ibu Usia Reproduksi. Karya Tulis Ilmiah. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Damayanti AR, pramono BA. 2008. Luaran maternal dan perinatal pada usia
lebih dari 35 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 2008. Karya Tulis
Ilmiah. Semarang: Universitas Diponogoro.
Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwno Prawirohardjo
National Healthy Mother, Healthy Babies Coalition (HMHB). 2012. Prenatal
Monitoring and Care. Available fromhttp://www.hmhb.org/virtual-
library/interviews-with-experts/preeclampsia/ (Diakses pada 31 Mei 2019)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2011. Available from
http://www.depkes.go.id/downloads/Profil2011-v3.pdf (Diakses pada 31
Mei 2019).
World Health Organization (WHO). 2013. Cardiovascular disease (CVDs)
[internet]. Available from

54
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/index.html (Diakses
pada 31 Mei 2019)
Supriyono M. 2008. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian
penyakit jantung koroner pada kelompok usia < 45 tahun. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Department of Health and Human Services. 2011. Your Guide To Anemia.
Available from http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/blood/anemia-yg.pdf
(Diakses pada 31 Mei 2019).
World Health Organization (WHO). 2008. Worldwide prevalence of anaemia
1993-2005. Available from
http://whqlibdoc.who.int/publications/2008/9789241596657_eng.pdf
(Diakses pada 31 Mei 2019)
Benerjee S. 2011. Tyroid Dysorders in Pregnancy. Association of Physicians
India.Volume 59.
Garry D. 2013. Penyakit Tiroid pada Kehamilan. Bandar Lampung. Vol
40(7):206.
Wolf Kirschner, Klaus Friese. 2012. Strategies in the Prevention of Preterm
Births During and Before Pregnancy. Intech Europe; 2012 [cited 2014 Jan
31] InTech,Available from: http://www.intechopen.com/books/preterm-
birth-mother-and-child/strategies-in-the-preventionof-preterm-births-during-
and-before-pregnancy (Diakses pada 31 Mei 2019)
Coltart CEM, Festin M. 2011. Antibiotics for preterm rupture of membranes.
World Health Organization (WHO); Available from
http://apps.who.int/rhl/pregnancy_childbirth/complications/prom/cd00105
8_coltartc_com/en/index.html (Diakses pada 31 Mei 2019)
Royal College of Obsttricians and Gynaecologists. 2011. Anterpartum
Haemorrhage. Available from http://www.rcog.org.uk/files/rcog-
corp/GTG63_05122011APH.pdf (Diakses pada 31 Mei 2019)

55
Maharani I. 2012. Hubungan Kadar Hemoglobin pada perdarahan Antepartum
dengan Skor Apgar. Semarang: Universitas Diponegoro.
Manuaba I.B.G., Manuaba Chandranita, Manuaba Fajar. 2007. Pengantar
Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.
Terraz J.P, Alvarez S.I, Sanchez G.R. 2009. Thyroid Hormones According to
Gestational Age in Pregnant Spanish Women. BioMed Central. Vol 2 : 237.
Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2788578/#!
po=31.8182 (Diakses pada 31 Mei 2019)
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pelayanan Antenatal. Direktorat
Bina Pelayanan Medik Dasar Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2017. Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah. Jawa Tengah.
Dowswell, T, Carroli G, Duley L, Gates S, lmezoglu AM, Khan-Neelofur D,
dan Piaggio G. 2015. Alternative versus standard packages of antenatal care
for low-risk pregnancy. The Cochrane Database of Systematic Reviews.
7(10): 56-78.
Yeoh PL, Hornetz K, dan Dahlui M. (2016). Antenatal care utilisation and
content between low-risk and high-risk pregnant women. BMJ Open. 1(3):
1–17.
Zhang YP, Liu XH, Gao S.H, Wang JM, Gu YS, Zhang JY, et al. 2012. Risk
Factors for Preterm Birth in Five Maternal and Child Health Hospitals in
Beijing. BMJ Open. 7(12): 1–7.
WHO. 2006. Opportunities for Africa’s Newborns: Practical data, policy and
programmatic support for newborn care in Africa. The Partnership: For
Maternal, Newborn and Child Health. World Health Organization.79–90.
Ashraf GT, Mirzaei F, dan Anari-dokht F. 2011. Relationship between prenatal
care and the outcome of pregnancy in low-risk pregnancies. Open Journal
Of Obstetrics and Gynecology. 1(9): 109–12.

56
Fernandez Turienzo C, Sandall J, dan Peacock JL. 2016. Models of antenatal
care to reduce and prevent preterm birth: a systematic review and meta-
analysis. BMJ Open. 6(1): 44-54.
Schleubner E. 2013. The prevention, diagnosis and treatment of premature
labor. Deutsches Ärzteblatt international. 110(13): 227–35
Beeckman K, Louckx F, Downe S, dan Putman K. 2013. The relationship
between antenatal care and preterm birth. The importance of content of care.
European Journal of Public Health. 23(3): 366–71.
Gudka N, Tomlin S. 2013. Premature babies in the community. 290(2): 143–
46.
WHO. 2012. Born too soon. Born Too Soon, The Global Action Report on
Preterm Birth. Eds CP Howson, MV Kinney, JE Lawn. World Health
Organization. Geneva. 13(5): 1–126.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. 2010. Perdarahan Post Partum.
Dalam : Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : YBP-SP.
Saifuddin, Abdul, et.al. 2010. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. Jakarta: YBPSP.
Williams et al. 2000. Mechanisms of risk in pretermlow-birthweight infants.
Periodontology. Vol. 23: 142–150.

57

Anda mungkin juga menyukai