Anda di halaman 1dari 12

Sirosis Hati dengan Infeksi

Tuberkulosis Acitis

OLEH:

KELAS A1C KELOMPOK 5

IDA AYU HELSHE GIANA PUTRI K. (161200062)


NI KETUT KUSUMA WARDANI (161200064)
NI KOMANG SUKMA GITA SARI (161200066)
NI MADE AYU UTAMI (161200067)
NI MADE DWI CAHYANI (161200070)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati merupakan organ tubuh yang memiliki peran penting dalam
metabolisme tubuh manusia. Hati merupakan organ yang memiliki fungsi
yang sangat kompleks, selain berperan dalam metabolisme protein,
karbohidrat, lemak dan vitamin, hati juga berperan dalam metabolisme obat.
Penyakit atau gangguan yang dapat menyebabkan organ hati kehilangan
fungsinya masih menjadi problem atau masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian serius. Indonesia merupakan salah satu dari sekian
banyak negara yang memiliki kejadian penyakit hati tertinggi (Depkes RI,
2007). Angka kejadian kerusakan hati sangat tinggi, dimulai dari kerusakan
yang tidak tetap namun dapat berlangsung lama (Setiabudy, 1979).
Sirosis hepatik merupakan suatu proses difusi yang dikarakteristikkan
dengan fibrosis dan perubahan dari struktur hepatik normal menjadi nodul
abnormal secara struktural (Timm dan Stragand, 2005). Sirosis menempati
urutan ketujuh penyebab kematian di dunia. Penderita sirosis lebih banyak
dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan wanita sekitar 1,6 : 1
dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun, dengan
puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Angka kejadian sirosis hepatik dari hasil
penelitian di negara barat sebesar 2,4%, sedangkan di Amerika diperkirakan
360 per 100.000 penduduk dan menimbulkan kematian (Kusumobroto, 2007).
Berdasarkan data WHO (2013) sirosis hepatik merupakan penyebab kematian
ketujuh di dunia dengan prevalensi 1,8%. Prevalensi sirosis di Indonesia
sebesar 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat atau rata-rata 47,4% dari
seluruh penyakit hati yang dirawat. Berdasarkan studi di RSUD Sragen tahun
2009 jumlah penderita sirosis hepatik 62 orang, dimana 44 laki-laki dan 18
orang wanita.
Penyakit sirosis hati yang disertai dengan infeksi tuberculosis
merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai. Selain menginfeksi paru,
Mycobacterium tuberculosis juga menginfeksi organ lain seperti peritoneum.
Di Indonesia tuberkulosis peritoneal (TB peritoneal) juga sering dijumpai. Hal
ini disebabkan dengan status gizi Indonesia yang masih kurang baik. Namun,
di negara maju, TB peritoneal saat ini juga cendrung meningkat dengan
meningkatnya penderita AIDS dan imigran (Zain, 2009).
TB peritoneal merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi bagian ekstrapulmonal yaitu
abdomen. Penyakit ini jarang berdiri sendiri, biasanya merupakan kelanjutan
proses tuberkolosis tempat lain terutama paru. Namun, sering kali waktu
diagnosa ditegakkan, proses tuberkulosis di paru sudah tidak kelihatan lagi.
TB peritoneal sering tidak terdiagnosa atau terlambat didiagnosa. Hal ini
karena TB peritoneal tidak mempunyai gejala spesifik dan memiliki gejala
yang mirip dengan penyakit gastrointestinal lainnya, seperti imflammatory
bowel disease, sirosis hati, keganasan, dan penyakit infeksi lainnya (Zain,
2009).
Pada tahun 2004, Uzunkoy et al, dari departemen bedah Univesitas
Harran melakukan penelitian terhadap sebelas orang yang didignosa TB
peritoneal di rumah sakit Harran, Turki. Dengan menggunakan CT Scan
ditemukan asites pada semua pasien TB peritoneal. Uzunkoy dkk
menyimpulkan abdominal TB dapat dipertimbangkan pada penderita asites.
Penelitian menyarankan polimerase chain reaction ( PCR) cairan asites dapat
diperoleh dari ultrasound-guided fine needle aspiration adalah diagnosa yang
mungkin digunakan sebelum surgical intervention (Uzunkoy et al, 2004) .
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas terdapat beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit infeksi tuberkulosis ascitis?
2. Bagaimanakah patofisiologi penyakit sirosis hati?
3. Bagaimanakah pengaruh dari sirosis hati terhadap fisiologi tubuh?
4. Bagaimanakah perubahan parameter farmakokinetik akibat sirosis
hati?
5. Bagaimanakah perubahan parameter farmakodinamik pada sirosis
hati?
6. Bagaimanakah individualisasi terapi pada pasien dengan penyakit
sirosis hati dengan infeksi tuberkulosis ascitis?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah tersebut
diatas yaitu:
1. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit infeksi tuberkulosis
ascitis.
2. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit sirosis hati.
3. Untuk mengetahui pengaruh dari sirosis hati terhadap fisiologi tubuh.
4. Untuk mengetahui perubahan parameter farmakokinetik akibat sirosis
hati.
5. Untuk mengetahui perubahan parameter farmakodinamik pada sirosis
hati.
6. Untuk mengetahui individualisasi terapi pada pasien dengan penyakit
sirosis hati dengan infeksi tuberkulosis ascitis.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Patofisiologi Penyakit Infeksi Tuberkulosis Ascitis


3.2 Patofisiologi Penyakit Cirrhosis Hati
3.3 Pengaruh Cirrhosis Hati terhadap Fisiologi Tubuh
3.4 Perubahan Parameter Farmakokinetik akibat Cirrhosis Hati
Farmakokinetika merupakan perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan
metabolitnya di dalam darah dan jaringan sebagai fungsi dari waktu (Tjay dan
Hoan, 2007). Pada penderita sirosis hati terjadi perubahan-perubahan
parameter farmakokinetika obat, diantaranya:
1. Absorbsi
Pasien dengan sirosis hati mengalami gangguan penyerapan obat yang
diberikan secara oral. Terjadinya gangguan fungsi penghalang mukosa
lambung, berpotensi menghasilkan peningkatan penyerapan.
Berkurangnya produksi asam dikaitkan dengan gangguan penyerapan
spesifik obat-obatan (mis. ketoconazole, itraconazole). Dalam kebanyakan
kasus, penyerapan obat tidak menurun, tetapi penyerapan tertunda (mis.
frusemide (furosemide)), sehingga hal tersebut dapat mengurangi motilitas
saluran cerna. Keterlambatan pengosongan lambung pada sirosis
mungkin disebabkan dari penurunan aksi hormon gastrointestinal seperti
glukagon, kolesistokinin dan motilin, atau dari hipersekretinemia.
2. Distribusi
Pasien dengan sirosis hati yang memiliki edema dan / atau asites, volume
distribusi hidrofilik obat-obatan (mis. diuretik furosemide dan torasemide)
meningkat, menyebabkan eliminasi lebih lambat. Sebaliknya, eliminasi
teofilin tertunda pada pasien dengan sirosis hati dan asites, dan efek ini
tidak terpengaruh oleh pengobatan asites dengan diuretik. Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa eliminasi teofilin tertunda, bukan disebabkan
oleh adanya asites dan peningkatan volume distribusi, namun disebabkan
oleh gangguan metabolisme hati.
3. Bioavailabilitas
Pasien dengan sirosis hati sering memiliki pirau portosystemic, yang
merusak kontak antara darah dan hepatosit, dengan demikian, jumlah
variable portal darah tidak dibersihkan oleh hepatosit, yang menyebabkan
peningkatan signifikan dalam bioavailabilitas obat. Jika ketersediaan
hayati (bioavailabilitas) suatu obat adalah 5% pada individu yang sehat,
namun pada pasien dengan sirosis hati ketersediaan hayati
(bioavailabilitas) mencapai 10%. (Krähenbühl and Reichen, 2002)
4. Renal clearance
Beberapa penelitian menunjukkan konsentrasi serum kreatinin cenderung
rendah pada sirosis hati. Akibat adanya gangguan hati, sintesis kreatinin,
dan massa otot berkurang, selain itu sekresi tubular kreatinin pada sirosis
meningkat.Contoh: antibiotik β-laktam, flukonazol, fluoroquinolon, dan
litium.

3.5 Perubahan Parameter Farmakodinamik pada Cirrhosis Hati


Pada sirosis hati, perubahan parameter farmakokinetika dan
farmakodinamika obat saling berkaitan dan sering membutuhkan penyesuaian
dosis dalam terapi menggunakan obat-obatan untuk mendapatkan efek terapi
yang aman bagi pasien. Adanya perubahan pada parameter farmakodinamika
berakibat pada menurunnya fungsi hati dalam proses clearance obat,
upregulasi obat, dan perubahan dalam sensitivitas reseptor, sejumlah obat atau
terapi yang digunakan dapat dapat menimbulkan efek klinis yang merugikan
bagi pasien karena konsentrasi obat plasma yang tinggi pada pasien dengan
sirosis hati sehingga dalam terapi penggunaanya harus dengan hati-hati (Lewis
et al, 2013).
Pada pasien dengan sirosis hati, memiliki sensitivitas yang lebih tinggi
terhadap efek samping yang ditimbulkan oleh obat-obatan seperti morfin dan
benzodiazepine. Selain itu, pada pasien sirosis hati dan ascites pemberian
obat-obatan golongan NSAID dapat menginduksi terjadinya gagal ginjal
akibat hilangnya produksi prostaglandin pada organ ginjal yang mana ginjal
merupakan vasodilator dari ascites, pasien dengan riwayat gangguan fungsi
hati disarankan untuk menghindari penggunaan inhibitor cyclooxygenase.
Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati, dalam proses terapi perlu
dilakukan penurunan dosis terapi untuk menghindari terjadinya akumulasi
yang berlebihan pada penggunaan obat yang memiliki potensi dapat
menimbulkan terjadinya reaksi sehingga berakibat pada timbulnya efek
samping yang serius. Obat-obat yang harus mengalami proses biotransformasi
pada hati juga hendaknya dihindari penggunaannya kecuali benar-benar
essential dibutuhkan oleh pasien. Penggunaan obat-obatan yang mengalami
ekstraksi hepatic rendah dan rentang terapeutik yang sempit juga sangat
berbahaya bagi pasien dengan gangguan fungsi hati. Dalam penggunaannya,
obat tersebut harus diberikan secara peroral dan dengan dosis yang dikurangi
<50% dari dosis normalnya (Dourakis, 2008).
Efek akibat adanya perubahan parameter:
1. Hipoalbuminemia
Resiko terjadinya hipoalbuminemia pada pasien sirosis hati harus
diperhatikan, khususnya untuk obat yang memiliki profil ikatan obat-
protein yang tinggi. Hipoalbumin dapat menyebabkan terjadinya variasi
pada sejumlah obat yang beredar dalam bentuk tidak terikat, yang akan
berperan dalam tercapainya efek terapi obat dan potensi terjadinya
toksisitas. Mengurangi ikatan protein yang terlihat dengan
hipoalbuminaemia menyebabkan peningkatan volume distribusi (Vd).
Obat-obatan yang sifatnya asam memiliki afinitas untuk albumin dan
lebih mungkin dipengaruhi oleh hipoalbuminaemia. Suhu dan pH juga
diketahui mempengaruhi pengikatan protein secara in vitro, meskipun
secara klinis efek dari variabel-variabel ini tetap tidak ditentukan untuk
sebagian besar obat (Lewis et al, 2013).
2. Disposisi Obat pada Pasien dengan Ascites.
Sirosis hati dapat memberikan efek pada penyerapan, distribusi obat,
bioavailabilitas, metabolisme sitokrom P450 (CYP) dan mekanisme
pembersihan hati dan ginjal, menghasilkan efek samping pada
farmakodinamik (PD). Disposisi obat agen antineoplastic, misalnya
Doxorubicin yang terakumulasi dalam asites telah terbukti dibersihkan
jauh lebih lambat dan memiliki waktu paruh yang panjang. Terapi
diuretik biasanya digunakan untuk mengobati sirosis dekompensasi
dengan asites. Obat golongan loop diuretic seperti furosemide dan
torasemide, profil farmakokinetika dan farmakodinamika nya dapat
berubah pada pasien dengan sirosis hati. Ketika diberikan secara
intravena, kedua obat tersebut kecepatan eliminasinya berkurang atau
menurun baik melalui rute renal maupun nonrenal. Selain itu, efek
natriuretic dari obat furosemide dan torasemide sangat berkurang pada
pasien dengan sirosis hati. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan
kinetika furosemide karena menurunnya pengiriman obat ke tempat
aksinya diginjal (Lewis et al, 2013).
Respon farmakodinamik terhadap berbagai obat, frekuensi dan pola
efek samping, terjadi perubahan pada kondisi sirosis hati. Adapun obat-
obat berikut yang mengalami perubahan farmakodinamika akibat sirosis
hati:
1. Benzodiazepin
Pasien dengan sirosis hati sangat sensitif terhadap efek sedatif dan
hipnotis benzodiazepin. Metabolisme hati yang terganggu ditunjukkan
pada pemberian diazepam dan midazolam, tetapi tidak ada perubahan
yang terdeteksi untuk oxazepam dan triazolam. Efek sedasi yang lebih
besar terjadi saat penggunaan benzodiazepin pada pasien dengan sirosis
hati karena itu disebabkan tidak hanya oleh gangguan eliminasi, tetapi
juga oleh peningkatan sensitivitas otak. Namun demikian, jika
benzodiazepine digunakan pada pasien dengan sirosis hati, zat yang
memiliki waktu paruh pendek dan dihilangkan hanya dengan konjugasi
(mis. Oxazepam, lorazepam) harus lebih banyak digunakan.
2. Loop diuretik
Respon farmakodinamik yang menurun (pergeseran ke kanan pada
kurva laju ekskresi urin-obat urin) telah dijelaskan untuk bumetanide,
furosemide, dan torasemide. Karena torasemide dimetabolisme terutama
oleh hati, ginjal dapat mengkompensasi metabolisme hati yang
berkurang pada pasien sirosis; lebih banyak obat karena itu dibersihkan
oleh ginjal, yang mengarah ke tindakan normal relatif terhadap dosis
yang diberikan. Efek samping umum dari loop diuretik pada pasien
sirosis termasuk gangguan elektrolit, penurunan fungsi ginjal dan
ensefalopati hati akibat alkalosis metabolik. Efek samping ini biasanya
dapat dihindari dengan memulai dengan dosis rendah dan
meningkatkannya dengan hati-hati.
3. Morfin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis hati
sangat sensitif terhadap efek sedatif dari morfin, yang dapat memicu
koma hepatik. Salah satu studi telah gagal menunjukkan sensitivitas
yang ekstrim, tetapi morfin harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan sirosis hati karena ketersediaan hayati dari obat yang
diberikan secara oral meningkat dan eliminasi yang terganggu pada
kelompok ini.
4. Antikoagulan
Pengurangan sintesis faktor pembekuan adalah salah satu kejadian
yang terjadi dari sirosis hati dan digunakan sebagai penanda prognostik.
Ketika antikoagulan oral diperlukan, pengobatan harus dimulai dengan
hati-hati dan pasien ditindaklanjuti dengan interval pendek untuk
menghindari perdarahan besar.
5. Vasokonstriktor
Pasien dengan sirosis hati dan asites memiliki curah jantung yang
tinggi dan total pembuluh darah sistemik yang rendah, perfusi ginjal
sangat tergantung pada adanya prostaglandin vasodilatory. Dengan
demikian, NSAID tidak boleh diberikan kepada pasien sirosis. Inhibitor
COX-2 memiliki efek yang serupa pada fungsi ginjal (efek ginjal telah
diamati pada sukarelawan yang sehat) dan juga tidak boleh diberikan
pada kelompok pasien ini.
6. Paracetamol
Efek hepatotoksik parasetamol dimediasi oleh N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI), suatu metabolit toksik yang dibentuk oleh
aksi sitokrom P450 isoenzyme 2E1 (CYP2E1). CYP2E1 diinduksi oleh
alkohol, dan karenanya pecandu alkohol tampaknya berisiko
hepatotoksisitas parasetamol. Oleh karena itu parasetamol sebaiknya
dihindari pada pasien sirosis. Pasien dengan sirosis hati non-alkohol juga
dapat berisiko hepatotoksisitas yang diinduksi parasetamol sebagai
akibat dari penurunan simpanan glutathione di hati, yang penting untuk
metabolisme NAPQI. Pada pasien ini, parasetamol harus diberikan
setengah dosis maksimal (tidak lebih dari 2 g/hari) selama periode waktu
yang singkat dan transaminase harus diperiksa secara teratur.
3.6 Individualisasi Terapi pada Pasien dengan Penyakit Cirrhosis Hati
dengan Infeksi Tuberkulosis Ascitis
Daftar Pustaka

DepKes RI. 2007. Pharmaceutical Untuk Penyakit Hati. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas Dan Klinik DitJen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan RI.

Dourakis, SP. 2008. Drug Therapy in Liver Diseases. Annals Of Gastroenterology

Krähenbühl, S. and Reichen, J. (2002) ‘Pharmacokinetics and Pharmacodynamics


in Cirrhosis’, Medicine, 30(11), pp. 24–27. doi: 10.1383/medc.30.11.24.28446.

Kusumobroto H.O. 2007, Sirosis Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 1.
Jakarta:Jayabadi.

Lewis, J. H et al. 2013. Review article: prescribing medications in patients with


cirrhosis – a practical guide. Division of Gastroenterology and
Hepatology, Department of Medicine, Georgetown University Medical
Center,Washington, DC, USA.

Setiabudy, R., 1979, Hepatitis Karena Obat, Cermin Dunia Kedokteran.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta

Timm, E.G, and Stragand, J.J, 2005, Portal Hypertension and Cirrhosis,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6 ed, McGrawHill,
United States, 693-709.
Uzunkoy, Ali et al. 2004. Diagnosis of abdominal tuberculosis: Experience from
11 cases and review of the literature. World Journal Of Gastroenterology

Zain, Lukman Hakim., 2009. Tuberkulosis Peritoneal. In:Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.

Anda mungkin juga menyukai