Anda di halaman 1dari 6

Arca

Arca atau pratima adalah patung atau benda - benda yang disakralkan sebagai :

sarana untuk lebih memudahkan umat memahami keberadaan Tuhan, dan juga

sebagai sarana sembahyang untuk dapat memusatkan pikiran kepada yang dipuja.

Dalam Yajurveda XXXII.3 sebenarnya disebutkan, Tuhan itu tidak punya wujud, meskipun demikian
Tuhan merupakan sumber dari wujud dan memberikan daya hidup pada semua wujud.

Para orang sucilah atau para Vipra yang memberikan berbagai wujud (pratima / arca) pada Tuhan
tersebut.

Keberadaan arca, relief, ataupun pratima yang sering dijumpai di berbagai pura merupakan wujud yang
sangat sakral, dan

merupakan patung / ukiran yang telah dipasupati dan memiliki roh - roh / atma suci,

sebagai sthana para dewa maupun roh dari figur figur yang menyeramkan.

Sebagai benda yang disakralkan, untuk menjadikan sebuah patung agar menjadi arca / pratima ada
suatu proses penyucian terhadap patung tersebut yang dalam suatu komentar di sebuah forum diskusi
hindu, proses untuk mensucikan arca tersebut dijelaskan dengan,

diplaspas, dan

dilakukan upacara pasupati,

serta diberi atau ditanam pada arca,

pripian mas,

perak,

tembaga, serta

permata mirah,

sesuai dengan lontar Aricendana baru bisa sebagai sthana para Dewa.
Di dalam pura-pura di Bali, seperti yang dikutip dalam dokumen Upadesha 8 : Mengapa di pura banyak
terdapat figur-figur menyeramkan ?, oleh Rumah Dharma - Hindu Indonesia (ref), tidak hanya ada arca
atau pratima figur Hyang Acintya dan dewa-dewi, tapi juga banyak ada figur-figur menyeramkan.

Di Penataran Agung Pura Besakih,

palinggih kiwa (kegelapan, keburukan),

dan tengen (kesucian, kebaikan) diletakkan sejajar dan kedudukannya sama.

Kita mebanten tidak hanya ke "alam-alam luhur" tapi juga ke "alam bawah.

Kalau orang yang tidak paham tattva yang termuat di dalamnya, kita bisa dikira memuja setan.

Pura secara fisik memang sarat dengan simbol-simbol seram, tapi bagai sadhaka yang bathinnya sudah
terdisiplinkan dari sad ripu dan dari dualitas pikiran, akan dapat melihat rahasianya, untuk kemudian
terkagum-kagum.

Karena ciri manusia yang sudah menyatu dalam keheningan sempurna adalah tidak ada lagi yang perlu
dilawan dan ditendang. Semuanya sudah mengalir sempurna sesuai dengan putaran waktunya.

Bathinnya serupa ruang yang menyediakan tempat pada apa saja dan siapa saja untuk bertumbuh,
serupa langit yang memayungi semuanya, serupa matahari yang menyinari semua tanpa memilih.
Sehingga tidak saja manusia dan mahluk baik yang diberi tempat dan ruang, tapi semuanya diberikan
tempat dan ruang.

Salah satu penggerak pikiran untuk bekerja adalah ketika ada dualitas. Pikiran bekerja dengan sangat
sibuk ketika Tuhan berkelahi dengan setan, benar berkelahi dengan salah, baik berkelahi dengan buruk,
dihormati berkelahi dengan direndahkan, dll.

Dimana ada dualitas,

disana pikiran bekerja.


Dualitas menyebabkan pikiran kita tidak pernah bebas. Dualitas menyebabkan pikiran kita bergerak dari
satu ketidakpuasan menuju ketidakpuasan yang lain,

dari satu kemarahan menuju kemarahan yang lain,

dari satu konflik menuju konflik yang lain,

dari satu kebencian menuju kebencian yang lain.

Rasa permusuhan tinggi,

konflik,

tersinggung,

perkelahian, dan

perang tidak pernah berakhir.

Para maharsi yang sudah sadar, serta dalam berbagai teks-teks, bahkan secara gamblang menyebut
dualitas sebagai bentuk avidya (ketidak-tahuan, kebodohan) paling berbahaya yang membuat hukum
karma bekerja dan sebagai akibatnya siklus kelahiran berulang-ulang (samsara) terus terjadi.

Hindu memulai perjalanan spiritual langsung di jantung persoalan pembebasan, yaitu memotong akar
kelahiran.

Dengan cara memotong akar kesengsaraan ini : seluruh dualitas hanya ada dalam pikiran manusia yang
masih picik dan sempit.

Itu sebabnya dalam ajaran Hindu kita dibekali dengan tattva ring Rwa Bhinneda, yaitu melampaui
dualitas.

Tidak ada kegelapan yang ditendang, tidak ada keburukan yang diajak perang. Kesucian maupun
kegelapan, kebaikan maupun keburukan, keduanya diletakkan sama sejajar, serta dihormati dan
disayangi secara sama.
Jalan keutamaan berada diatas dualitas kiwa-tengen (baik-buruk). Terlalu lama manusia kelelahan dalam
pencarian religius dengan cara membuat,

Tuhan berperang dengan setan,

kesucian bertempur dengan kegelapan,

salah berbenturan dengan benar.

Dan ketika semua peperangan, pertempuran dan benturan ini dihentikan, bathin langsung sampai
kepada hakikat diri yang sejati : paramashanti. Disinilah semua unsur kehidupan dan alam semesta
diolah menjadi welas asih, kedamaian dan kebaikan.

Dalam konteks sadhana, setiap mahluk di alam semesta ini adalah,

jiwatman yang mahasuci,

percikan-percikan Brahman.

Manusia, seekor semut, burung-burung dan termasuk mahluk-mahluk bhur loka (alam bawah), seperti

bhuta kala,

ashura,

preta, dll.

Yang membedakannya adalah putaran karma dan kualitas kesadaran masing-masing.

Rasa hormat, welas asih dan kebaikan ke keseluruhan alam semesta kepada

bhur

bvah

svah,

tiga alam semesta dan semua mahluk di dalamnya, sangat basis dan fundamental sebagai praktek
religius terpenting dan ajaran religius terpenting.

Karena tanpa rasa,

hormat,
kasih sayang, dan

kebaikan

ke seluruh alam semesta, semua jalan religius menjadi berbahaya.

Dan tanpa rasa hormat, kasih sayang dan kebaikan ke keseluruhan alam semesta, semua praktek religius
akan menemui kegagalan.

Dalam roda samsara, jiwa-jiwa yang terlahir di bhur loka, adalah jiwa-jiwa yang kekotoran bathinnya
pekat dan karma buruknya banyak.

Pahami mereka,

sebagai mahluk-mahluk menderita,

dan bukan mahluk jahat.

Mereka sangat memerlukan welas asih dan kebaikan kita. Dan siapa tahu yang kita sebut bhuta kala
atau ashura itu, beberapa kelahiran sebelumnya pernah menjadi orang tua kita. Tapi kebetulan karena
karena kekotoran bathinnya pekat dan karma buruknya banyak, mereka mengalami kejatuhan dalam
roda samsara.

Mahluk-mahluk alam bawah adalah mahluk menderita yang sangat memerlukan

welas asih,

dan kebaikan kita.

Orang-orang jahat adalah mahluk menderita yang sangat memerlukan welas asih dan kebaikan kita.

Dan mereka juga bagian dari "tubuh semesta" yang sama dengan kita, yaitu : Brahman.

Dalam konteks jnana, Tidak hanya kesucian yang layak kita hormati, kegelapan juga layak kita hormati.
Tidak hanya yang baik layak kita hormati, yang jahat juga layak kita hormati. Karena kegelapan atau
orang jahat :

Mereka sesungguhnya sedang memberikan kita kesempatan untuk,

membayar hutang karma,

Membebaskan kita dari beban hutang karma buruk.


Mereka sesungguhnya sedang menyediakan dirinya untuk menjadi guru dharma tertinggi untuk kita
secara gratis. Karena mereka sesungguhnya sedang melatih kita, guna membuat kita menjadi

tenang,

sabar, dan

bijaksana.

Dan demi seluruh sebab-sebab diatas, mereka rela menanggung karma buruk atau masuk neraka dari
perbuatan mereka tersebut.

Sesungguhnya disebutkan kesucian dan kegelapan

berasal dari apa yang kita pikirkan.

Dan juga pada saat hari raya melasti, arca - arca atau pratima tersebut disucikan ke laut.

Demikian penjelasan tentang "Arca atau Pratima" yang disakralisasi dari berbagai sumber referensi.

Sebagai tambahan juga disebutkan,

Ada arca Shiwalingga yang disebut cala dan acala yang terdiri dari tiga bagian yaitu :

Bagian atas disebut Rudra-Bhaga, juga disebut sebagai pujabhaga karena bagian ini diperuntukkan
sebagai pemujaan dan Ada tiga garis melintang di tengah lingga ini yang disebut Brahmasutra, atau
“mata ketiga”.

Bagian tengah yang berbentuk oktagonal disebut Vishnu-Bhaga dan kedua bagian ini kemudian
digabung menjadi satu di dalam bentuk pedestal.

Bagian bawah yang berbentuk segi empat yang disebut Brahma-Bhaga (melambangkan Brahma sebagai
sang pencipta).

Juga di desa trunyan terdapat arca raksasa, dan masyarakat Trunyan percaya, cikal bakal mereka berasal
dari para leluhur yang akhirnya bersatu dengan Arca Datonta tersebut

Anda mungkin juga menyukai