Giro
Pertam
:Giro ada dua jenis:
a
Giro yang tidak dibenarkan secara syari'ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan
bunga.
Giro yang dibenarkan secara syari'ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah
dan Wadi'ah.
Kedua :Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
1. Bersifat simpanan.
2. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan kesepakatan.
Ketiga :
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya)
yang bersifat sukarela dari pihak bank.
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari'ah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
Kedua : piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Keenam : Perselisihan:
Beberapa Ketentuan:
b. Kerja
1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi
kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh
melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan
dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan
tambahan bagi dirinya.
2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas
nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan
masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan
dalam kontrak.
c. Keuntungan
1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu
alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
2) Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak
ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi
seorang mitra.
3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika
keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau
prosentase itu diberikan kepadanya.
4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan
jelas dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara
proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
1. Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua
belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau
dalam bentuk lain.
2. Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi
jasa dan penyewa/pengguna jasa.
3. Obyek akad ijarah adalah :
a. manfaat barang dan sewa; atau
b. manfaat jasa dan upah.
Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Sanksi
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
Keempa musyawarah.
t 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
Keenam : Premi
Ketujuh : Klaim
Kesembilan : Reasuransi
Kesepuluh : Pengelolaan
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru pada
Asuransi Syariah
1. Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
2. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta
pemegang polis.
3. Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan
reasuransi.
1. Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan
tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2. Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
o hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;
o hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku
peserta dalam arti badan/kelompok;
o cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
o syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
1. Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah
dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Keempat: Pengelolaan
1. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa
alternatif sebagai berikut:
o Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
o Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada
para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
o Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya
kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para
peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh
peserta dan dituangkan dalam akad.
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru’), maka perusahaan
asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah bil
ujrah pada Asuransi Syariah
1. Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2. Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi
untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee).
3. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun maupun unsur tabarru' (non-saving).
Keempat: Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1. Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa)
untuk mengelola dana;
2. Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi
kuasa);
3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil
(pemberi kuasa) untuk mengelola dana;
4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali
atas izin muwakkil (pemegang polis);
5. Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan
mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
6. Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi,
karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.
Kelima: Investasi
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.