Anda di halaman 1dari 8

Nama : Trifena Roselita Meilan

NIM : 2010111236
Kelas / Jurusan : E / S1 Manajemen
Mata Kuliah : Etika Bisnis dan Profesi
Dosen Pengampu : Dra. Pusporini, MM

KASUS PELANGGARAN ETIKA BISNIS (PADA ALBOTHYL OLEH


PERUSAHAAN PT. PHAROS)

A. PENDAHULUAN
Bisnis atau usaha sekarang ini menjadi pilihan banyak orang untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Bisnis menjadi pilihan banyak orang karena selain kita dapat
menentukan keuntungan sendiri kita juga tidak terikat oleh waktu. Para wirausahawan akan
berlomba-lomba mengelola bisnisnya agar semakin besar dan paling menonjol diantara
pesaing-pesaingnya.
Mengelola sebuah bisnis juga ada etika bisnis yang harus ditaati oleh pengusaha. Tujuan
etika bisnis yaitu agar dalam menjalankan bisnis dapat dilakukan seadil mungkin sesuai
dengan moral serta sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam dunia bisnis etika memiliki peran penting bagi perjalanan organisasi bisnis. Bisnis
merupakan aktivitas yang memerlukan tanggung jawab moral dalam pelaksanaannya,
sehingga etika dalam praktik bisnis memiliki hubungan yang erat. Bisnis tanpa etika akan
membuat praktik bisnis menjadi tidak terkendali dan justru merugikan tujuan utama dari
bisnis itu sendiri.Etika dilaksanakan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia bisnis. Etika
menuntut agar seseorang melakukan ajaran moral tertentu karena ia sadar bahwa hal itu
memang bermanfaat dan baik bagi dirinya dan orang lain (K eraf,1998).
Etika bisnis adalah perwujudan dari nilai-nilai moral. Hal ini disadari oleh sebagian besar
pelaku usaha, karena mereka akan berhasil dalam usaha bisnisnya jika menjalankan prinsip-
prinsip etika bisnis. Jadi penegakan etika bisnis penting, hal tersebut memiliki makna bahwa
dalam menegakkan persaingan usaha haruslah sehat dan kondusif. Prinsip-prinsip etika bisnis
menurut Sonny Keraf ( 1998) yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan :
1. Prinsip kejujuran
Kejujuran adalah prinsip dasar yang merupakan kunci kesuksesan sebuah
bisnis.Tanpa dilandasi prinsip kejujuran dalam semua aktivitasnya maka sebuah bisnis
tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang. Relevansi prinsip kejujuran ini adalah
dalam hal pemenuhan syarat‐syarat perjanjian dan kontrak, dalam penawaran barang dan
jasa dengan mutu dan harga yang sebanding serta dalam hubungan kerja intern suatu
perusahaan.
2. Prinsip otonomi
Dalam prinsip otonomi seseorang dituntut untuk mempunyai sikap dan kemampuan
dalam mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri dengan
tepat serta bisa mempertanggungjawabkan keputusan tersebut. Pelaku usaha yang otonom
mempunyai kesadaran penuh atas apa yang menjadi kewajibannya dalam bisnisnya. Dia
sadar dan tahu akan tindakannya, bebas dalam melakukan tindakannya, dan bertanggung
jawab atas tindakannya, baik terhadap diri sendiri maupun kepada pihak lain yang terkait.
Perusahaan yang mempunyai prinsip otonomi bebas mengambil keputusan berdasarkan
visi dan misinya tanpa bergantung kepada pihak lain sekaligus tidak bertentangan dengan
pihak lain.
3. Prinsip keadilan
Dalam prinsip keadilan, semua pihak terkait yang memberikan kontribusi langsung
atau tidak langsung terhadap keberhasilan bisnis, akan mendapatkan perlakuan yang
sama dan adil. Adil berarti sesuai dengan aturan yang berlaku dan sesuai hak masing-
masing serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan prinsip keadilan maka tidak boleh
ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.

4. Prinsip saling menguntungkan


Pada prinsip saling menguntungkan menuntut agar kegiatan bisnis yang dijalankan
bisa menguntungkan semua pihak. Hal terpenting bahwa prinsip ini bisa mengakomodasi
hakikat dan tujuan bisnis, di mana pelaku usaha ingin mendapat keuntungan. Di isisi lain
konsumen juga ingin mendapat barang atau jasa berkualitas yang memuaskan.
5. Prinsip integritas moral
Dalam prinsip ini pelaku usaha dituntut untuk menjalankan bisnis dengan tetap
menjaga nama baiknya dan nama baik perusahaannya. Prinsip ini merupakan tuntutan
dan dorongan internal pelaku usaha dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan
dapat dipercaya masyarakat. Penerapan prinsip ini harus dilakukan semua pihak, mulai
dari pemilik, karyawan hingga manajemen.
Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi indikator untuk perusahaan yang melakukan
usahanya sesuai etika bisnis. Salah satu prinsip yang tidak terpenuhi mengindikasikan adanya
pelanggaran etika bisnis. Bertens (2013) mengemukakan tiga ukuran moralitas dalam bisnis
yang dapat digunakan untuk mengukur sudut pandang moral dan prinsip integritas moral,
yaitu:
1. Hati nurani; Setiap keputusan yang diambil menurut hati nurani adalah baik. Orang yang
mengambil keputusan dengan mengingkari hati nuraninya, secara tidak langsung dia juga
menghancurkan integritas pribadinya.

2. Kaidah emas; Kaidah emas berbunyi “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana
anda sendiri ingin diperlakukan” hal ini berarti, jika seseorang tidak ingin mendapat
perlakuan buruk, maka jangan sampai memperlakukan orang lain dengan buruk.
3. Penilaian umum; Perilaku bisnis yang oleh masyarakat umum dinilai baik, berarti bisnis
tersebut etis. Namun, jika masyarakat umum menilai bisnis tersebut tidak baik, berarti
bisnis tersebut tidak etis. Hal ini disebut juga audit sosial. Teori etika membantu dalam
menentukan penilaian etis atau tidaknya suatu perilaku. Alasan benar atau tidaknya
perilaku yang dilakukan seseorang dapat didukung dengan teori etika.

Saat ini maraknya berita-berita mengenai pelanggaran etika bisnis menimbulkan


ketertarikan untuk menelusuri lebih lanjut faktor-faktor yang mendorong suatu perusahaan
melakukan kecurangan dalam etika bisnis dan dampak yang diakibatkannya. Tidak hanya
melihat dari sudut pandang ekonomi saja namun etika bisnis juga melihat dari sudut pandang
moral dan sudut pandang hukum dalam menjalankan bisnis. Bisnis yang baik (good business)
bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara
moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata
“baik”. ( Bertens, 2013).
Sekarang ini banyak sekali kejadian-kejadian dimana beberapa bisnis masih mengabaikan
aspek moral dan menyepelekan hukum yang ada. Banyak perusahaan yang hanya
memikirkan aspek ekonomi saja yaitu mendapatkan laba atau keuntungan yang sebanyak-
banyaknya, menghindari terjadinya kerugian dan kekuatan bersaing yang menjadi tujuan
satu-satunya dalam menjalankan bisnis sehingga faktor moral atau etika serta faktor hukum
tidak lagi digunakan dan tidak lagi menjadi pertimbangan.

B. TOPIK PEMBAHASAN KASUS

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Kamis (15/2/2018) meminta
masyarakat menghentikan pemakaian produk Albothyl yang didistribusikan oleh PT Pharos,
Indonesia.

BPOM turut menginstrusikan kepada PT Pharos Indonesia untuk menarik obat tersebut
dari pasaran. Albothyl dihentikan sementara izin edarnya hingga indikasi yang diajukan
disetujui oleh BPOM. Ini berarti, Albothyl dilarang dipakai sebagai hemostatik dan antiseptik
saat pembedahan; serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, dan tenggorokan(THT),
sariawan, dan gigi. Keputusan tersebut diambil BPOM setelah mendapat 38 aduan dari
profesional kesehatan tentang efek samping penggunaan Albothyl.

Selama dua tahun terakhir, masyarakat mengeluhkan timbulnya efek samping seperti
sariawan yang membesar dan berlubang, hingga timbulnya infeksi. Kandungan policresulen
dalam Albothyl menjadi pemicu munculnya efek samping tersebut. Selain PT Pharos
Indonesia, BPOM juga menyuruh industri farmasi lain untuk menarik produk yang juga
menggunakan policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat dari peredaran.

Menanggapi berita tersebut, PT Pharos Indonesia selaku pemegang izin edar Albothyl
akan mengikuti instruksi dari BPOM. Melalui surat resmi yang diterima Kompas.com, PT
Pharos Indonesia menyatakan kesediaan untuk menarik produk Albothyl dari pasaran.
"Kami menghormati keputusan Badan POM yang membekukan izin edar Albothyl
hingga ada persetujuan perbaikan indikasi," tulis Ida Nurtika, Direktur Komunikasi PT
Pharos Indonesia, pada Jumat (16/2/2018) di Jakarta. PT Pharos Indonesia akan segera
menarik produk Albothyl dari seluruh wilayah Indonesia. Pihaknya juga akan terus
berkoordinasi dengan BPOM. Merek Albothyl sendiri, sebut Ida dalam suratnya, merupakan
lisensi dari Jerman yang telah dibeli oleh perusaahan Takeda, Jepang. Albothyl telah
diedarkan di Indonesia selama lebih dari 35 tahun.

Dari kasus penarikan produk Albothyl ini dari pasaran, tentunya sangat memprihatinkan
mengingat banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling
menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul
meskipun produk tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.

Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat
dari sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di
rugikan dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran.
Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek
kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya.

C. ANALISIS KASUS

Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat
dari sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di
rugikan dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran.
Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek
kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl
yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi
36%. Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang
diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic
acid.

Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada


sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan
terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi
terasa. Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini mungkin akan menyaksikan sendiri
sesaat setelah albothyl digunakan sariawan akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi
sebenarnya policresulen ini tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang
sakit atau rusak tersebut. Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan
regenerasi sel-sel baru sehingga sariawan menjadi sembuh.

Dari adanya kasus pelanggaran etika tentang penyalahgunaan kandungan obat Albothyl
yang dilakukan oleh PT Pharos Indonesia tersebut memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi konsumen. Konsumen dirugikan dengan adanya efek samping yang
ditimbulkan saat pemakaian obat cairan luar konsentrat. Albothyl dikenal dengan obat cairan
luar konsentrat yang mampu menyembuhkan sariawan. Namun dalam kasus tersebut terdapat
pengaduan dari konsumen bahwa saat pemakaian produk itu sariawan bertambah parah dan
makin membesar lubang sariawannya. Hal ini tentu menjadi suatu masalah yang serius
terkait keselamatan pasien.

Ahli profesional pun juga memiliki keluhan terhadap Albothyl terkait penggunaan pada
saat praktek kesehatan, para profesional kesehatan tersebut menyarankan dan mengadu
kepada BPOM bahwa Albothyl dilarang dipakai sebagai hemostatik dan antiseptik saat
pembedahan; serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, dan tenggorokan(THT), sariawan,
dan gigi.

Dilihat dari sudut pandang ekonomi:

Bisnis yang baik adalah bisnis yang menghasilkan laba atau keuntungan. Perusahaan
memperoleh keuntungan besar dalam penjualan obat Albothyl namun konsumen dirugikan.
PT Pharos hanya membuat dan mendistribusikan Albothyl untuk tujuan profit oriented saja
tanpa memperhatikan keselamatan konsumen.

Merujuk situs aladokter.com, policresulen adalah obat antiseptik dan desinfektan kulit.
Biasa digunakan untuk menghentikan pendarahan lokal, pembersihan dan regenerasi jaringan
luka, dan mengobati infeksi vagina akibat bakteri dan jamur. Penggunaannya policresulen
disarankan atas resep dokter. Alasannya policresulen memiliki efek samping seperti
kesemutan pada vagina, kesulitan bernafas, gatal-gatal dan alergi. PT Pharos Indonesia
memproduksi Albothyl dengan kandungan policresulen sebesar 36 %. Dilihat dari pengertian
mengenai policresulen tersebut dapat kita cermati bahwa policresulen adalah obat cairan luar
yang penggunaannya disarankan oleh dokter atau menggunakan resep dokter karena
policresulen memiliki efek samping yang sangat merugikan bagi pasien jika digunakan
sembarangan dan dalam jangka waktu yang lama.

Demi mendapatkan keuntungan yang besar PT Pharos Indonesia mengabaikan etika


dalam bisnis. Perusahaan tersebut menggunakan dosis yang berlebihan pada policresulen
yaitu sebesar 36 %. Jika konsumen menggunakan obat Albothyl untuk kesehariannya
misalnya untuk daerah vagina dan sariawan maka akan menimbulkan efek samping seperti
kesemutan pada vagina dan sariawan yang tidak sembuh namun malah semakin parah.
Penggunaan policresulen juga harus menggunakan resep dokter, jadi tidak diperbolehkan
digunakan sembarangan.

PT Pharos Indonesia menggunakan policresulen sebagai salah satu bahan baku


pembuatan obat Albothyl karena ingin menekan biaya produksi sehingga akan memperbesar
laba atau keuntungan perusahaan. Jika perusahaan tersebut menggunakan bahan baku yang
lebih aman untuk dikonsumsi tanpa mengabaikan aspek moral dalam berbisnis maka
konsumen tidak akan terkena efek samping yang ditimbulkan. Sebenarnya policresulen tidak
berbahaya jika digunakan dalam dosis yang rendah. Namun yang menjadi masalah di sini
adalah produsen Albothyl tersebut tidak memberikan keterangan pemakaian Albothyl yang
benar untuk sariawan sehingga menimbulkan efek samping yang merugikan bagi konsumen.
Dilihat dari sudut pandang moral:

Yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah hati
nurani, kaidah emas dan penilaian masyarakat umum. Hati nurani yaitu suatu perbuatan
adalah baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani dan suatu perbuatan lain adalah buruk
jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Dalam kasus tersebut PT. Pharos Indonesia
menjalankan bisnis tanpa hati nurani, pihak-pihak yang berkepentingan tersebut tanpa
menggunakan hati nurani memproduksi obat cairan luar yang mengandung komposisi yang
berbahaya yaitu policresulen dan memasarkannya kepada masyarakat luas tanpa
mempedulikan efek sampingnya.

Kaidah emas yaitu “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri
ingin diperlakukan”. Dari filosofi tersebut kita dapat mengartikannya bahwa PT. Pharos
memperlakukan konsumennya dengan tidak hati-hati, pihak-pihak yang berkepentingan
dalam perusahaan membiarkan efek samping yang ditimbulkan dari obat cairan luar
Albothyl.

Penilaian umum yaitu untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku
adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Dalam kasus ini masyarakat
dapat menilai produk dari PT. Pharos ini, dilihat dari efek samping yang ditimbulkan
masyarakat dapat menilai bahwa obat cairan luar itu tidak layak untuk dikonsumsi.

Dilihat dari sudut pandang hukum:

Bisnis yang baik adalah jika diperbolehkan oleh sistem hukum. Dalam kasus ini jika kita
lihat dari efek samping yang ditimbulkan oleh obat Albothyl secara hukum, Albothyl
dilarang diedarkan dalam masyarakat karena akan merugikan. BPOM selaku Badan
Pengawas Obat dan Makanan menarik izin edar Albothyl dari pasaran sebagai akibat dari
pelanggaran yang dilakukan PT. Pharos Indonesia.

PT. Pharos Indonesia telah mengabaikan prinsip kejujuran dalam menjalankan bisnisnya.
Perusahaan tidak transparan atau terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis serta
mengabaikan kesehatan konsumennya. Serta mengabaikan penggunaan kandungan
berbahaya pada produknya.

Dampak dari kasus tersebut: Dampak yang paling besar dari kasus Albothyl ini dirasakan
oleh konsumen. Konsumen yang mengkonsumsi cairan luar Albothyl merasakan efek
samping seperti kesemutan pada vagina, sariawan yang semakin parah, kesulitan bernafas,
gatal-gatal dan alergi. Dampak yang lain dirasakan oleh PT. Pharos selaku produsen adalah
mengalami kerugian besar akibat izin edar Albothyl ditarik dari pasaran oleh BPOM.

Penyebab terjadinya penyalahgunaan obat Albothyl: PT. Pharos selaku produsen obat
Albothyl melakukan kesalahan dengan tidak memberikan keterangan lebih spesifik tentang
tata cara penggunaan cairan tersebut untuk sariawan. Seperti dikutip dari Farmasrtika.com:
“Sebenarnya, pemakaian Albothyl untuk sariawan diperbolehkan dan tidak berbahaya,
namun dipakainya dengan cara diencerkan terlebih dahulu. Karena kandungan policresulen
hanya sedikit,” ujar Imawan dikutip dari Okezone, Kamis (15/2/2018). Imawan
menambahkan, pemakaian obat ini hanya untuk area intim wanita lebih tepatnya. Karena
kandungan policresulen bisa digunakan untuk mengobati segala jenis penyakit kulit, kecuali
bagi penderita kanker.

Dari keterangan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa perusahaan yang memproduksi
obat tersebut yang tidak teliti dan hati-hati dalam memberikan keterangan atau prosedur
pemakaian sehingga konsumen yang memakai cairan Albothyl salah penggunaan dan
mengakibatkan efek samping yang merugikan.

D. SOLUSI DAN PENYELESAIAN

PT. Pharos : Kami Akan Perbaiki Label Albothyl Untuk Sariawan

Farmasetika.com – Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pada 3 Januari
2018 telah mengeluarkan surat Rekomendasi Hasil Rapat Kajian Aspek Keamanan Pasca
Pemasaran Policresulen dalam Bentuk Sediaan Cairan Obat Luar Konsentrat 36% (Albothyl)
yang dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) kepada produsennya
yakni PT. Pharos Indonesia.

Dalam hasil pemeriksaan pada 25 Juli 2017 tersebut diantaranya :

1. Tidak terdapat bukti ilmiah/studi yang mendukung indikasi policresulen cairan obat
luar 36% yang telah disetujui.

2. Policresulen cairan obat luar konsetrat 36% tidak lagi direkomendasikan


penggunaannya untuk indikasi pada bedah, dermatologi, otolaringologi,
stomatologi/sariawan, dan odontology.

Tindak lanjut dari hasil pemeriksaan tersebut salah satunya adalah risiko policresulen
dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36% lebih besar daripada manfaatnya,
sehingga policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat 36% tidak boleh
beredar lagi untuk indikasi pada bedah dermatologi, otolaringologi, stomatologi/sariawan,
dan odontology.

Menurut Manager PT Pharos Imawan, BPOM hanya memberikan tanda bagi masyarakat
supaya hati-hati saat memakai Albothyl ketika mengatasi sariawan. “Sebenarnya, pemakaian
Albothyl untuk sariawan diperbolehkan dan tidak berbahaya, namun dipakainya dengan cara
diencerkan terlebih dahulu. Karena kandungan policresulen hanya sedikit,” ujar Imawan
dikutip dari Okezone, Kamis (15/2/2018). Imawan menambahkan, pemakaian obat ini hanya
untuk area intim wanita lebih tepatnya. Karena kandungan policresulen bisa digunakan untuk
mengobati segala jenis penyakit kulit, kecuali bagi penderita kanker. Albothyl bisa
digunakan untuk obat luar saja untuk mengatasi kulit yang mengalami kerusakan sel dan
menyebabkan radang. Sebab, obat ini diindikasikan untuk mengobati kerusakan sel atau sel
yang mati.

Sejauh ini, tambah Imawan, untuk penarikan produk belum dilakukan oleh pihaknya.
BPOM RI telah mengirimkan surat kepada PT Pharos dan sedang dikaji terlebih dulu. “Kami
akan perbaiki keterangan pemakaian obat untuk sariawan. Jawaban surat dari BPOM sedang
kita kaji sekarang,” tutupnya.

Dari adanya masalah yang timbul oleh produk yang dihasilkan PT. Pharos, atas
ketidaksengajaan atau ketidaktelitian perusahaan, maka perusahaan akan memperbaiki
keterangan pemakaian obat untuk sariawan agar masyarakat lebih hati-hati dalam
pemakaiannya dan tidak salah prosedur pemakaiannya.

Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih
banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan
dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan
peredaran barang barang yang beredar dan harus lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita
mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik. Farmakovigilans tidak
hanya dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga didukung oleh masyarakat awam dan
profesional kesehatan di lapangan. Bagi masyarakat awam, jika menemukan atau mengalami
kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi suatu obat, bisa menghubungi
produsen dan melaporkan kejadian yang dialami (kecuali kejadian serius yang memerlukan
penanganan segera ke klinik atau rumah sakit). Biasanya produsen memiliki nomor kontak
layanan keluhan konsumen. Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian
Farmakovigilans di setiap perusahaan atau produsen.

Bagi profesional kesehatan lain, pelaporan ini bisa dilakukan dengan mengisi Form
Kuning (Formulir Pelaporan Efek Samping Obat) pada website e-meso.pom.go.id. Untuk
kemudian dikirimkan ke Pusat Farmakovigilans / MESO (Monitoring Efek Samping Obat)
Nasional, Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI.

MESO yang dilakukan di Indonesia, bekerja sama dengan WHO-Uppsala Monitoring


Center (Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang bertujuan untuk
memantau semua efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat. Hasil semua
evaluasi yang terkumpul akan digunakan sebagai materi untuk melakukan re-evaluasi atau
penilaian kembali pada obat yang telah beredar untuk selanjutnya menerapkan tindakan
pengamanan yang diperlukan.

Sebaiknya badan pengawas obat dan makanan lebih memperhatikan kembali dan tidak
kecolongan kembali atas kasus yang dinilai merugikan banyak pihak ini, dan selalu tegas dan
menindak oknum nakal nakal tersebut, untuk masyarakat harus lebih selektif dalam
pemilihan barang, untuk yang faham akan bidang nya lebih terbuka dalam membagi
informasi berkaitan dengan apa yang di ketahui nya, saling berbagi manfaat dan ilmu.

Anda mungkin juga menyukai