Bab Ii Kajian Pustaka
Bab Ii Kajian Pustaka
KAJIAN PUSTAKA
Perdarahan SCBA adalah hilangnya darah dari saluran cerna atas yang secara
duodenum bagian horizontal (PGI, 2012; Taylor dkk, 2014). Ada pun manifestasi
klinis yang timbul dari perdarahan SCBA adalah hematemesis, keluarnya darah
atau pun bekuan darah dari nasogastric tube, dan/atau melena, serta dapat pula
berupa hematoskezia bila terjadi perdarahan SCBA yang massif dan cepat (PGI,
kunjungan tersering di ruang gawat darurat (Taylor dkk, 2014). Angka kejadian
perdarahan SCBA selama beberapa dekade terakhir ini tidak mengalami perubahan,
meskipun telah ada kemajuan dalam hal pengelolaan dan terapi perdarahan SCBA.
Hal ini diperkirakan sangat berkaitan dengan penggunaan aspirin dan obat-obatan
anti inflamasi nonsteroid yang semakin sering digunakan pada praktek klinik
8
9
perdarahan SCBA adalah sebesar 37 per 100 ribu populasi dewasa (Jansen dkk,
2011; Schiefer dkk, 2012), di Denmark sekitar 48 ribu per 100 ribu populasi dewasa
(Yavorski dkk, 1995), di Amerika dan di Inggris adalah sebesar 150-172 per 100
ribu populasi dewasa (Leerdam dkk, 2003). Data mengenai insiden perdarahan
SCBA pada populasi yang sebenarnya di Indonesia masih belum diketahui secara
pasti, namun diperkirakan sekitar 46-150 per 100 ribu populasi dewasa (PGI, 2012).
hanya sekitar 10% yang memerlukan tindakan khusus berupa endoskopi terapeutik
atau pun pembedahan (Augustin dkk, 2010; Biecker, 2013). Meskipun hanya 10%
terkait kasus tersebut masih tetap tinggi. Adapun biaya kesehatan yang dibutuhkan
untuk penatalaksanaan kasus ini adalah sebesar 3402-5632 US dollar (Cremers dan
Ribeiro, 2014).
Komplikasi yang dapat timbul terkait perdarahan SCBA adalah kematian dan
SCBA hingga saat ini masih cukup tinggi, yaitu 10-20%, namun hal ini sudah jauh
lebih baik dibandingkan sebelum tahun 1995, yaitu sebesar 33-50%. Kejadian
perdarahan ulang pada perdarahan SCBA adalah sebesar 5-15% (Leerdam, 2008;
berupa perdarahan ulang dan kematian pada perdarahan SCBA didapatkan nilai
perdarahan yang timbul akibat pecahnya varises esofagus, gaster dan hypertensive
portal gastropathy sebagai akibat hipertensi portal (Taylor dkk, 2014). Sekitar 60-
65% dari perdarahan SCBA pada sirosis hati disebabkan oleh perdarahan variseal.
Ada pun dua pertiga (sekitar 65%) dari perdarahan variseal disebabkan oleh
15% dan pecahnya varises gaster hanya berkisar 5-10% (Berzigotti dkk, 2001; Tsao
dkk, 2007; Biecker, 2013). Perdarahan non variseal merupakan perdarahan SCBA
disebabkan oleh perdarahan non variseal, yaitu ulkus peptikum. Ada pun insiden
banyak disebabkan oleh perdarahan variseal, yaitu sekitar 50-60% dari seluruh
perdarahan SCBA. Faktor risiko perdarahan SCBA akibat perdarahan variseal lebih
berkaitan dengan tingginya tekanan vena portal yang terjadi, hal ini seiring dengan
beratnya derajat sirosis hati dan besar ukuran varises (Tsao dkk, 2007; Waleleng
dkk, 2015). Gangguan fungsi ginjal dan infeksi disebutkan dapat menjadi pencetus
untuk terjadinya perburukan dari hipertensi portal yang telah ada (Tsao dkk, 2007;
Crooks, 2013). Faktor risiko yang berkaitan dengan perdarahan non variseal adalah
agregasi platelet, dan usia lanjut (PGI, 2012; Tielleman dkk, 2015). Selain faktor-
SCBA akibat perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori
erosi disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma eksternal
yang menyebabkan erosi pada pembuluh darah varises yang berdinding tipis dan
rapuh. Faktor trauma eksternal yang menjadi penyebab perdarahan variseal adalah
adanya esofagitis dan makanan solid yang dapat mengakibatkan iritasi dan erosi
perdarahan variseal lebih disebabkan oleh perburukkan hipertensi portal yang telah
akan memberikan risiko yang lebih tinggi pula untuk terjadinya perdarahan variseal
besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan portal >12mmHg.
Sebaliknya bila gradien tekanan portal dapat diturunkan menjadi <12mmHg, maka
perdarahan variseal tidak akan terjadi. Selain itu, penurunan gradien tekanan portal
>20% dari gradien tekanan portal awal dapat menurunkan risiko terjadinya
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang disekresi
sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah partikel
makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan mukosa
juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan epitel yang
melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu memiliki pH
netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel permukaan. Suplai vaskular
berfungsi untuk mengencerkan asam yang berdifusi ke lamina propia. Gastritis akut
Gambar 2.2. Patogenesis Perdarahan Saluran Cerna bagian Atas (Turner, 2010).
lebih rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna (Turner, 2010). Obat anti
inflamasi nonsteroid dan obat anti agregasi platelet dapat mempengaruhi proteksi
mukosa hingga terjadi ulkus duodenum. Sekresi gastrin akan meningkat, baik pada
sekresi basal mau pun sekresi yang dirangsang oleh makanan, sedangkan sekresi
somatostatin oleh sel D akan menurun. Peningkatan asam lambung dapat pula
dan tumor necrosis factor (TNF), pada sel-sel parietal, sel G, dan sel D (Valle,
2013).
Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol yang
perlukaan mukosa saluran cerna (Soll dan Graham, 2015). Pada terapi radiasi dan
Manifestasi klinis perdarahan SCBA, baik pada perdarahan variseal dan non
muntah darah yang berwarna merah atau kehitaman. Muntah darah berwarna
feses berwarna hitam yang mengandung darah akibat proses pencernaan. Feses
15
biasanya berwarna hitam seperti ter, berbau busuk, dan lengket (Bogoch, 1985;
Laine, 2005).
perdarahan, jumlah dan laju perdarahan, serta kecepatan transit di usus. Terkait
telah berada dalam saluran cerna selama minimal 14 jam. Selain berwarna hitam
hematoskezia, yaitu feses yang berwarna merah segar karena mengandung darah.
bagian bawah, namun jika perdarahan SCBA disertai dengan hematoskezia maka
menandakan bahwa telah terjadi perdarahan SCBA yang masif (Laine, 2005).
pula tanda-tanda sirosis hati/penyakit hati kronik berupa ginekomastia, spider nevi,
dkk, 1998; Laney dan Greene, 2015; Rockey dkk, 2016). Gejala lain yang dapat
dijumpai pada perdarahan SCBA non variseal adalah rasa pusing, kepala terasa
ringan dan lemas. Keluhan berupa lemas, pusing dan kepala terasa ringan timbul
diagnosis pada perdarahan SCBA. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk
SCBA, yaitu variseal ataukah non variseal (Adi, 2014). Berat-ringannya perdarahan
Tabel 2.1. Klasifikasi hipovolemia akibat perdarahan pada pasien dewasa (Basket,
1990).
Aspek Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Volume <750 750-1500 1500-2000 >2000
perdarahan
(ml)
Jumlah 0-15 15-30 30-40 >40
perdarahan
(%)
Tekanan Tetap Normal Turun Sangat turun
sistolik
Tekanan Tetap Naik Turun Tidak
diastolic terdengar
Nadi per Meningkat 100-120 120 (lemah) >120 (sangat
menit lemah)
Laju nafas Normal Normal Naik >20 Naik >20
per menit
Status Sadar, haus Gelisah, Agresif/mengantuk Bingung/tidak
mental agresif sadar
mencegah aspirasi isi lambung ke jalan nafas, dan mengurangi beban amoniak
pencetus ensefalopati hepatik pada perdarahan variseal dengan sirosis hati. Ada pun
epistaksis dan erosi pada gaster (Chalasani dkk, 1997; Sarin dkk, 2011).
17
creatinine serum, blood urea nitrogen, enzim transaminase hati, faal hemostasis,
dan asam laktat (Taylor dkk, 2014; Simon dkk, 2015; Laney dan Greene, 2015).
perdarahan SCBA. Pemeriksaan ini disebutkan sebagai baku emas untuk penegakan
diagnosis perdarahan SCBA, namun ada pun keunggulan dari pemeriksaan ini
perdarahan serta aktivitas dari perdarahan tersebut. Selain itu, endoskopi dapat pula
pun waktu yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan tersebut adalah dalam
digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada perdarahan SCBA. Selain
itu, penggunaan klasifikasi tersebut dapat menjadi petunjuk pilihan terapi yang
diperlukan untuk penatalaksanaan perdarahan SCBA (PGI, 2012; Laine dan Jensen,
2012).
18
Tabel 2.2. Klasifikasi Perdarahan SCBA Berdasarkan Kriteria Forrest (PGI, 2012;
Laine dan Jensen, 2012).
Temuan Endoskopi Klasifikasi Forrest Risiko Perdarahan Ulang
Ulkus dengan perdarahan IA 85-100%
aktif menyemprot
Ulkus dengan perdarahan IB 10-27%
merembes
Ulkus dengan pembuluh IIA 50%
darah visibel namun tidak
berdarah
Ulkus dengan bekuan IIB 30-35%
adheren
Ulkus dengan bintik IIC <8%
pigmentasi dasar
Ulkus berdasar bersih III <3%
mortalitas.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil atau kondisi syok, maka resusitasi
cairan, baik cairan kristaloid atau pun koloid, harus segera diberikan. Cairan
kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan ringan sampai
sedang. Pada kondisi perdarahan berat, cairan koloid dapat digunakan setelah
memerlukan pemantauan ketat dari cairan yang diberikan. Selain itu kateter vena
sentral diperlukan pula pada pasien usia lanjut dengan kondisi syok, pasien dengan
19
gagal ginjal kronik dan pasien dengan penyakit jantung, sehingga resusitasi cairan
dapat diberikan secara optimal (Cappel, 2008; Albeldawi, 2010). Target resusitasi
adalah hemodinamik stabil, produksi urin cukup (>30 ml/jam), tekanan vena sentral
5-10 cmH2O, kadar Hb tercapai, yaitu 8 gr/dL pada perdarahan variseal dan 7-9
gr/dL pada perdarahan non variseal (Purnomo, 2010; Nusi dan Vidyani, 2016).
Pemberian oksigen diperlukan terutama pada pasien usia lanjut dan pasien
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami perdarahan ulang (Albeldawi,
2010).
menurunkan tekanan portal dan aliran darah portal. Selain itu, jenis obat vasoaktif
lainnya yang dapat digunakan sebagai terapi farmakologis pada perdarahan variseal
menurunkan tekanan portal, namun penggunaan obat ini telah ditinggalkan karena
20
besarnya efek samping yang dapat menimbulkan iskemik hingga infark pada
miokardial dan mesenterium. Terlipresin kini telah banyak digunakan oleh negara-
negara di Eropa dengan dosis pemberian awal adalah 2mg intravena setiap 4 jam
selama 48 jam pertama dan dilanjutkan dengan dosis 1mg setiap 4 jam selama 72
terapi ligasi dan skleroterapi. Terapi ligasi disebutkan memiliki efektivitas yang
ulang dan efek samping yang lebih sedikit pula. Hal tersebut ditunjukkan oleh
penelitian yang dilakukan Stiegmann dkk pada tahun 1992. Pada penelitian meta-
analisis pun menyebutkan bahwa terapi ligasi mampu mengontrol perdarahan lebih
baik serta angka kematian pun lebih rendah bila dibandingkan skleroterapi (Laine
dan Cook, 1995). Terapi endoskopi ini sebaiknya dilakukan dalam 12-24 jam
gagal mengatasi perdarahan variseal. Ada pun rescue therapy perlu dilakukan
tamponade balon ini bersifat sementara, yaitu selama 24 jam, kemudian dilanjutkan
Group untuk mengatasi perdarahan non variseal adalah penggunaan proton pump
inhibitor (PPI) dosis tinggi secara intravena. Tujuan penggunaan PPI ini adalah
untuk meningkatkan pH pada lambung hingga > 7, agar agregasi trombosit dapat
berlangsung optimal dan bekuan darah menjadi lebih stabil, tidak cepat terjadi
penggunaan PPI sebelum atau pun sesudah endoskopi dapat menurunkan insiden
endoskopi ulangan, terapi operasi, dan lama rawat di rumah sakit (Blecker, 2008;
Albeldawi, 2010).
SCBA dengan Forrest I dan Forrest IIA (Sung dkk, 2011; ASGE, 2012; Gralnek
dkk, 2015). Teknik injeksi adrenaline yang telah diencerkan bertujuan agar terjadi
dilakukan adalah menggunakan penyinaran laser atau koagulasi argon plasma (Adi,
2014). Teknik hemoclip ditujukan langsung pada area yang mengalami perdarahan
dengan tujuan koagulasi dapat tercapai melalui penekanan mekanis. Ada pun
kesulitan dari teknik ini adalah lapang pandang yang tertutup darah sehingga sulit
22
untuk menentukan lokasi perdarahan, lokasi ulkus yang sulit dijangkau, dan dasar
perdarahan ulang dengan adanya kondisi hemodinamik yang tidak stabil, ulkus
yang besar dengan ukuran lebih dari 2 cm dengan lokasi perdarahan ulkus peptikum
pada dinding posterior duodenum, dan telah terjadi perforasi (Savides dan Jensen,
2010; Wee, 2011). Selain terapi pembedahan, dapat pula dilakukan intervensi
ketrampilan, dan pengalaman pelaksana. Ada pun tingkat mortalitas dari tindakan
Tanpa terapi
endoskopi.
Pada kondisi klinis
tertentu, dapat rawat
jalan
Dapat
Terapi endoskopi dipertimbangkan PPI oral
terapi endoskopi
beberapa hari setelah terjadi perdarahan, bahkan dapat pula timbul setelah beberapa
(2005), komplikasi perdarahan SCBA dapat dibedakan menjadi komplikasi dini dan
perawatan di rumah sakit atau 5-7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA,
sedangkan komplikasi lambat adalah komplikasi yang timbul setelah keluar rumah
sakit atau 7 hari setelah terjadinya perdarahan SCBA (Ferguson dan Mitchell, 2005;
Tingkat kematian dan perdarahan ulang pada perdarahan SCBA sangat bergantung
pada penyebab perdarahan, yaitu variseal atau non variseal. Pada perdarahan
variseal risiko terjadi perdarahan ulang cukup tinggi, sekitar 60%, terutama pada 6
minggu pertama setelah perdarahan SCBA terjadi (Cremers dan Ribeiro, 2014).
Risiko perdarahan ulang pada perdarahan non variseal dengan klasifikasi Forrest
IIB, IIC dan III didapatkan lebih rendah bila dibandingkan perdarahan variseal,
yaitu sekitar 5-15% (Leerdam, 2007). Kematian dapat disebabkan oleh perdarahan
masif yang menimbulkan syok hipovolemik atau pun perburukan kondisi terkait
kronik, penyakit jantung kongestif, dan kondisi infeksi (Cappel dkk, 2008;
Sonnenberg, 2012).
pasien dengan perdarahan SCBA yang akan mengalami komplikasi, sehingga dapat
Stanley (2012), sistem evaluasi berbasis skor untuk yang baik adalah mudah
dihitung, akurat dan relevan untuk menilai hasil yang diinginkan, dan dapat
digunakan pada awal manifestasi klinis, dalam hal ini sebelum dilakukan evaluasi
endoskopi.
25
Saat ini telah banyak sistem stratifikasi risiko komplikasi perdarahan SCBA
untuk mengevaluasi risiko komplikasi perdarahan SCBA adalah sistem GBS dan
Rockal score (NICE, 2011; PGI, 2012; ASGE, 2012; Gralnek dkk, 2015).
Sistem stratifikasi ini diperkenalkan oleh Rockall dkk pada tahun 1997.
Sistem skor ini terdiri atas 2 bagian, yaitu pre-endoskopi yang dikenal dengan
clinical Rockall score dan post-endoskopi atau yang dikenal dengan full Rockal
score. Sistem stratifikasi ini menyebutkan semakin tinggi skor yang didapat, maka
risiko komplikasi berupa perdarahan ulang dan kematian pun semakin meningkat.
sedangkan kelompok yang berisiko tinggi adalah kelompok dengan total skor >8
Sistem skor ini pertama kali diperkenalkan oleh Saeed ZA dkk pada tahun
1993. Skor ini hanya digunakan untuk menilai risiko perdarahan ulang pada
27
perdarahan SCBA non variseal setelah tindakan terapi endoskopi. Ada pun
penilaian yang dilakukan pada sistem skor ini adalah penilaian pre-endoskopi dan
komplikasi adalah kelompok dengan skor pre-endoskopi >6 dan total skor >11
dkk, 2016).
the Digestive System pada tahun 1981. Skor ini bertujuan untuk menilai lama
perawatan rumah sakit. Terdapat 4 aspek yang dinilai pada sistem skor ini, yaitu
Penilaian sistem skor ini menyebutkan bahwa kelompok dengan total skor <3 dapat
dilakukan rawat jalan, sedangkan bila >3 memerlukan perawatan rumah sakit.
28
Evaluasi ulangan dilakukan kembali dalam 24-72 jam sesuai dengan hasil temuan
endoskopi dan dinilai kembali berdasarkan sistem skor ini. Hay dkk (1997),
melakukan uji validasi terhadap sistem skor ini dan mendapatkan hasil bahwa
penggunaan skor ini dapat menurunkan lama perawatan rumah sakit pada pasien-
Tabel 2.5. Penilaian CSMCPI (Bakhtavar dkk, 2016; Monteiro dkk, 2016).
Skor Temuan EGD Waktu Hemodinamik Penyakit
komorbiditas
0 Ulkus dasar >48 jam Stabil <1
bersih, robekan
Mallory-Weis
tanpa
perdarahan,
Penyakit erosi,
endoskopi
normal
1 Ulkus dasar <48 jam Intermediet 2
bersih atau
dengan bekuan
darah, penyakit
erosi dengan
tanda
perdarahan,
angiodisplasia
2 Ulkus dengan Di rumah Tidak stabil 3
pembuluh sakit
darah yang
visibel tanpa
perdarahan
3 >4
4 Perdarahan
aktif, varises,
keganasan
SCBA
Total skor <3 tidak memerlukan rawat inap, total skor >3 memerlukan rawat inap.
29
GBS pertama kali diperkenalkan oleh Blatchford dkk untuk menilai perlunya
perawatan rumah sakit untuk intervensi (transfusi darah, tindakan terapi endoskopi
atau pembedahan) dan risiko kematian pada perdarahan SCBA. Uji validasi yang
dilakukan pada tahun 2000 terhadap sistem skor ini menyebutkan bahwa nilai GBS
0 merupakan kelompok dengan risiko rendah dan dapat menjalani rawat jalan,
Skor ini telah dipergunakan secara luas untuk menilai risiko komplikasi perdarahan
SCBA akibat perdarahan non variseal dan disebutkan pula dari beberapa penelitian
bahwa skor ini memberikan hasil yang lebih baik untuk memprediksi komplikasi
yang dapat timbul pada perdarahan SCBA dibandingkan dengan Rockall score
Sistem skor ini diperkenalkan oleh Saltzman dkk (2011) untuk menilai
prognosis pada perdrahan SCBA. Variabel-variabel yang dinilai pada sistem skor
ini adalah usia di atas 65 tahun, tekanan darah sistolik, status kesadaran, INR, dan
serum albumin. Total skor <1 disebutkan sebagai kelompok dengan risiko rendah
untuk terjadi komplikasi perdarahan SCBA dan skor >2 merupakan kelompok
diperkenalkan oleh peneliti di Italia. Sistem skor ini menggunakan 4 variabel yang
umum, denyut nadi, tekanan darah sistolik, dan kadar hemoglobin. Interpretasi dari
sistem skor ini dibedakan menjadi T1 bila didapatkan total skor <6 yang
mengindikasikan kelompok berisiko tinggi, T2 bila didapatkan total skor 7-9 yang
mengindikasikan kelompok berisiko sedang, dan T3 bila didapatkan total skor >10
yang mengindikasikan kelompok berisiko rendah. Sistem skor ini disebutkan dapat
endoskopi dengan cukup akurat, yaitu pada kelompok dengan total skor <6
31
perdarahan ulang dan kematian merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini
disebabkan komplikasi yang timbul tidak hanya berkaitan dengan derajat beratnya
perdarahan variseal yang terjadi, namun berkaitan pula dengan berat penyakit dasar
yang menimbulkan perdarahan variseal tersebut terjadi (Bambha dkk, 2007; Hunter
dan Hamdy, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka hingga saat ini hanya indeks
NIEC saja yang disarankan untuk menilai risiko komplikasi perdarahan pada
varises esofagus (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk, 2000; Jensen, 2002).
menilai risiko perdarahan variseal pada varises esofagus. Penilaian ini pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1988 oleh North Italian Endoscopy Club. Ada pun
parameter yang dinilai adalah derajat Child Turcotte Pugh penyakit sirosis hati,
ukuran varises esofagus, dan adanya stigmata mata perdarahan berupa red wale.
Semakin tinggi nilai dari indeks NIEC maka risiko perdarahan variseal pun akan
semakin besar. Ada pun hasil dari penghitungan dari indeks NIEC akan dibedakan
32
menjadi 6 kelompok kelas risiko. Kelompok kelas risiko 1-3 akan digolongkan
menjadi risiko rendah mengalami perdarahan dan kelas risiko 4-6 masuk kategori
berisiko tinggi untuk terjadinya perdarahan variseal (Zoli dkk, 1996; Merkel dkk,
Sistem stratifikasi risiko yang ada hingga saat ini belum ada yang dapat
digunakan untuk menilai perdarahan variseal dan non variseal (ASGE, 2012; PGI,
2012; Gralnek dkk, 2015; Monteiro dkk, 2016). Penggunaan GBS dan Rockall
perdarahan variseal telah diteliti oleh Lahiff dkk (2012) dan Thanapirom dkk
(2016). Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah GBS dan Rockall score tidak
Berdasarkan atas hal tersebut maka diperlukan adanya sistem stratifikasi risiko
Umumnya perdarahan SCBA akibat variseal dan non variseal sulit dibedakan
secara cepat pada perawatan di ruang gawat darurat. Ada pun risiko kematian dan
non variseal, sehingga sistem stratifikasi risiko yang digunakan sebaiknya dapat
dengan baik dan akurat guna memberikan penatalaksanaan lebih baik pada
kelompok berisiko tinggi (Hearnshaw dkk, 2011; Hoffman, 2015). Pada tahun
2015, Hoffman dkk memperkenalkan sebuah skor baru, yaitu skor C-WATCH
diperkenalkan di Jerman oleh Hoffman dkk pada tahun 2015. Skor ini
C-WATCH (Hoffman dkk, 2015). Ada pun parameter yang diukur pada skor ini
adalah CRP, leukosit (white blood cells), ALT, trombosit, creatinine dan
34
hemoglobin.
akan merangsang sel-sel inflamasi lokal, seperti monosit, makrofag dan neutrofil,
sitokin tersebut adalah interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-
akan merangsang hati untuk memproduksi protein fase akut, salah satunya adalah
CRP, dan menstimuli sumsum tulang untuk memproduksi leukosit lebih banyak ke
aliran darah perifer (Koseoglu dkk, 2009; Namas dkk, 2009). Ada pun tujuan dari
proses inflamasi ini adalah mengeliminasi sel dan jaringan yang telah rusak atau
akan berkurang (Bonanno, 2012). Hal ini akan mengaktivasi sistem kompensasi di
dalam tubuh. Sistem kompensasi tersebut terdiri dari aktivasi sistem simpatis dan
efek aktivasi sistem simpatis. Ada pun efek lain dari sistem renin-angiotensin-
aldosteron adalah meningkatkan reabsorbsi air dan garam melalui ginjal. Pelepasan
35
vasopressin akan merangsang refleks haus dan berperan pula pada reabsorbsi air
Tujuan utama dari aktivasi kedua sistem kompensasi, sistem simpatis dan
intravaskular sehingga perfusi dan pasokan oksigen pada jantung dan otak dapat
terjaga (Klabunde, 2012). Ada pun perfusi pada ginjal, usus, liver dan otot dapat
mengalami penurunan akibat vasokonstriksi perifer yang timbul sebagai respon dari
pada ginjal dan liver akan mengakibatkan iskemik sehingga terjadi gangguan pada
fungsi kedua organ tersebut (Guiterrez dkk, 2004; Klabunde, 2012). Hal inilah yang
SCBA.
mukosa dan robeknya pembuluh darah akan mengaktivasi trombosit untuk memulai
hemostasis ini diperkuat pula oleh sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6
dasar hemostasis ini dikenal sebagai platelet plug, yang selanjutnya akan
dipadatkan oleh fibrin untuk membentuk hemostatic plug (Ferreira dkk, 2010; Gale,
2011). Ada pun gangguan pada trombosit, baik berupa gangguan jumlah atau pun
36
jaringan pada perdarahan SCBA, berkaitan pula dengan inflamasi aktif pada gaster
(Boehme dkk, 2007; Koseoglu dkk, 2009; Tomizawa dkk, 2014; Lee dkk, 2015).
Ada pun leukosit dapat meningkat pula terkait dengan proses inflamasi yang timbul
pada perdarahan SCBA, hal ini telah ditunjukkan oleh penelitian Chalasani dkk
pada tahun 1997. Beberapa penelitian lain menyebutkan pula bahwa peningkatan
leukosit merupakan sistem kompensasi dari tubuh atas kehilangan darah secara akut
ALT dan creatinine merupakan salah satu parameter yang dapat menilai
berat, sehingga menimbulkan iskemik pada sistem organ, khususnya ginjal dan hati
Kerusakan mukosa,
Robeknya pembuluh
darah Perdarahan SCBA
Vasokonstriksi perifer
Sistem hemostasis
(Trombosit)
mengindikasikan adanya gangguan sistem koagulasi (Maltz dkk, 2000; Laney dan
Greene, 2015). Selain itu, kadar trombosit yang rendah disebutkan dapat digunakan
sebagai penanda beratnya hipertensi portal yang terjadi pada kasus-kasus dengan
SCBA. Penelitian Hoffman dkk (2015) menunjukkan bahwa skor C-WATCH <2
merupakan kelompok dengan risiko rendah terjadinya komplikasi dan skor >2
pemantauan dan terapi endoskopi. Ada pun nilai AUC pada penilitian tersebut
untuk skor C-WATCH adalah sebesar 0,723, hal ini mengindikasikan bahwa secara
statistik skor C-WATCH tergolong baik untuk mendeteksi secara dini adanya
komplikasi perdarahan SCBA (Hoffman dkk, 2015). Penggunaan skor ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat dipergunakan secara luas, mengingat
yang amat penting dan menentukan kualitas dari alat ukur dan pengukuran
dari validasi. Validasi adalah proses untuk menentukan kemampuan dari suatu alat
untuk dapat digunakan. Dalam proses validasi juga meliputi analisis karakteristik
performa dari diagnostik tes adalah kemampuan suatu alat untuk mengkonfirmasi
memberikan nilai yang sama atau hampir sama pada pemeriksaan yang dilakukan
berulang-ulang. Namun harus dipahami bahwa tidak ada satu pengukuran pun yang
2.3.1. Validitas
Suatu pengukuran disebut valid bila pengukuran dengan suatu alat ukur atau
mengacu pada kebenaran dan kesesuaian hasil pengukuran. Terdapat beberapa tipe
validitas.
mewakili atau merupakan representasi dari hal yang hendak diukur. Penilaian
validitas isi adalah secara judgemental oleh seorang pakar dan bukan secara statistik
(Azwar, 2010).
pengukuran lain dengan menggunakan alat yang dianggap baku emas (gold
statistik hasil suatu uji dengan uji lain yang dianggap baku emas. Bila suatu
instrumen yang diuji belum memiliki baku emas, penilaian dilakukan dengan
41
group validity, yaitu apakah suatu alat ukur dapat menunjukkan perbedaan yang
bermakna pada subyek yang hendak diukur dibandingkan dengan hasil pengukuran
populasi yang berbeda karakteristiknya dengan populasi yang akan diukur (Azwar,
Validitas ini menggambarkan seberapa jauh hasil pengukuran suatu alat ukur
sesuai dengan konsep teoritis yang mendasari keadaan yang diukur. Dalam
pertanyaan yang terkandung dalam suatu alat ukur mewakili apa yang hendak
diukur. Dari pengujian tersebut akan menghasilkan nilai koefisien korelasi tiap
butir pertanyaan terhadap nilai total yang bervariasi dari yang lemah hingga yang
2.3.2. Realibilitas
Reliabilitas adalah seberapa konsisten suatu alat ukur menghasilkan nilai yang
stabil pada pengulangan tes. Hasil pengukuran dapat dipercaya bila dalam beberapa
kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil
yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum
berubah. Dalam hal ini berarti tetap adanya toleransi terhadap perbedaan-perbedaan
42
Pengukuran pada subyek yang sama oleh orang yang sama pada waktu yang
berbeda menghasilkan hasil yang sama. Asumsi yang menjadi dasar cara ini adalah
bahwa suatu tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama apabila
dikenakan 2 kali pada waktu yang berbeda. Dalam menggunakan cara ini perlu
perbedaan watu penyajian tes. Dalam bentuk lain, efek bawaan dapat terjadi karena
masih ingatnya subyek pada jawaban yang pernah diberikannya waktu pertama kali
tes disajikan, dan sebagai akibat dari proses pembelajaran dari tes yang pertama
kali dikerjakan. Adalah tidak mudah untuk menentukan berapa lama tenggang
waktu yang disediakan diantara dua kali pemberian tes pada cara ini. Bila tenggang
waktu terlalu singkat akan sangat mungkin terjadi efek bawaan atau pembelajaran
sedangkan bila terlalu panjang mungkin akan terjadi perubahan aspek yang akan
Pengukuran suatu instrumen pada subyek yang sama oleh pemeriksa yang
berbeda menunjukkan hasil yang sama. Karena tes ini dilakukan 2 kali pada subyek
yang hanya dikenakan pada satu kali pengukuran pada sekelompok subyek (single-
kemungkinan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dihindari. Pendekatan ini
bertujuan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Untuk melihat
kecocokan atau koordinasi diantara item tes dapat dilakukan melalui teknik korelasi
(Azwar, 2010).