Anda di halaman 1dari 15

II.

BAB II LANDASAN TEORI

Dalam melakukan optimasi artificial lift maupun kegiatan stimulasi


reservoir sebelum instalasi artificial lift, diperlukan pemahaman yang baik
mengenai kondisi sumur produksi, komponen-komponen artificial lift, prinsip kerja
artificial lift, maupun metode stimulasi reservoir-nya. Pada bab ini akan dijabarkan
mengenai teori-teori yang berkaitan dengan kondisi sumur produksi, komponen-
komponen Electric Submersible Pump (ESP), prinsip kerja Electric Submersible
Pump (ESP) dan acid fracturing.

II.1 Kinerja Reservoir dan Sumur


Untuk mendapatkan hasil optimasi yang baik pada sumur produksi,
diperlukan pemahaman yang baik pula mengenai kinerja reservoir dan sumur
produksinya. Oleh karena itu, perlu dipahami dengan baik mengenai konsep dari
Productivity Index (PI) dan Inflow Performance Relationship (IPR). Pemahaman
yang baik mengenai konsep PI dan IPR akan memberikan gambaran mengenai
kinerja reservoir dan sumur produksi.

II.1.1 Productivity Index (PI)


Productivity Index (PI) merupakan perbandingan laju alir produksi (Q) sumur
dengan perbedaan tekanan reservoir (Pr) dan tekanan alir dasar sumur (Pwf). Laju
alir produksi (Q) memiliki hubungan yang terbalik dengan selisih antara tekanan
reservoir (Pr) dan tekanan alir dasar sumur (Pwf). Selisih antara tekanan reservoir
(Pr) dan tekanan alir dasar sumur (Pwf) juga dikenal dengan sebutan pressure
drawdown. Apabila persamaan itu diplot, maka akan menghasilkan garis yang linier
antara laju alir produksi di sumbu X dan tekanan di sumbu Y. Batas awal dari nilai
PI adalah tekanan reservoir saat laju alir produksi nol dan batas akhir dari nilai PI
adalah maksimum laju alir produksi saat tekanan alir dasar sumur nol. Laju alir
produksi maksimal biasa disebut dengan Absolute Open Flow Potential (AOFP)
(Takacs, 2009).

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
II.1.2 Inflow Performance Relationship (IPR)
Inflow Performance Relationship (IPR) adalah bentuk hubungan antara laju
alir produksi (Q) dengan tekanan alir dasar sumur (Pwf) yang menggambarkan
kinerja suatu sumur dalam berproduksi. Pemahaman mengenai IPR sumur yang
baik adalah salah satu faktor penentu keberhasilan perencanaan operasi produksi,
dimana dengan IPR yang akurat dapat dirancang peralatan produksi yang sesuai.

Gambar II.1 Kurva composite IPR dengan beberapa nilai water cut (Takacs, 2009)

Nilai productivity index di beberapa sumur akan membentuk kurva IPR yang
linier, tetapi pada sumur lainnya nilai productivity index tidak lagi linier, dan
membentuk kurva IPR yang melengkung. Hal ini disebabkan karena turunnya
tekanan alir dasar sumur di bawah tekanan bubble point (Pb) sehingga gas terlepas
dari fluida. Pada beberapa sumur juga bisa memiliki nilai water cut yang tinggi
(lebih dari 50%). Untuk sumur dengan nilai water cut di atas 50% biasanya
menggunakan metode lain dalam membuat kurva IPR, yaitu metode composite IPR.
Dalam membuat kurva IPR dengan metode Composite IPR, menggunakan
perhitungan yang berbeda dengan metode IPR lainnya, yaitu selain menghitung

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
nilai PI, Qb, dan Qomax, juga mempertimbangkan nilai tan α, tan β, dan Qtmax. Setelah
dilakukan plot Q vs tekanan, letak kurva composite IPR akan berada di antara kurva
water IPR dan oil IPR (lihat Gambar II.1).

II.2 Sistem Pengangkatan Buatan (Artificial Lift)


Pada awalnya, hidrokarbon diproduksikan dengan natural flow dari reservoir
yang berarti tekanan alir dasar sumur masih dapat mengatasi pressure loss pada
tubing. Namun, apabila keadaaan tersebut tidak tercapai, natural flow tidak dapat
bekerja lagi dan harus dicari solusinya. Salah satu solusi tersebut adalah dengan
penerapan artificial lift. Menerapkan artificial lift diharapkan dapat mengatasi
pressure loss pada tubing atau memperbesar tekanan alir dasar sumur. Dengan
mengetahui metode artificial lift yang tepat dan sesuai, diharapkan tercapainya
produksi yang optimum dengan biaya produksi yang seefisien mungkin (Takacs,
2009).
Penentuan metode artificial lift ditentukan beberapa faktor, antara lain
ketersediaan sumber tenaga (listrik atau gas), lokasi lapangan (onshore atau
offshore), kondisi reservoir (productivity index, GOR, dan water cut), kondisi
fluida (viskositas dan kandungan pasir), kondisi lubang sumur (tekanan,
temperatur, kedalaman, dan kemiringan), besar produksi sumur, faktor
keekonomian, serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masing-masing
artificial lift. Artificial lift yang umum digunakan ada 5 macam, yaitu Electric
Submersible Pump (ESP), gas lift, Sucker Rod Pump (SRP), jet pump, dan
Progressive Cavity Pump (PCP).
Dalam tugas akhir ini, metode artificial lift yang diterapkan pada sumur
yang diteliti adalah Electric Submersible Pump (ESP). Dalam subbab berikutnya
akan dijelaskan lebih lanjut mengenai artificial lift jenis ESP.

II.3 Electric Submersible Pump (ESP)


Electric Submersible Pump (ESP) merupakan jenis pompa bertingkat (stage)
banyak dimana setiap tingkat memiliki impeller (bagian yang berputar untuk
memberikan kecepatan terhadap fluida) dan diffuser (bagian yang diam untuk

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
mengubah tenaga dari kecepatan tinggi menjadi kecepatan rendah, tetapi memiliki
tenaga besar).
Keuntungan dalam penggunaan ESP adalah sebagai berikut:
1. Dapat digunakan pada deviated well.
2. Cocok untuk memproduksi fluida pada laju produksi tinggi dengan
maksimum laju alir sebesar 30.000 bbl/day.
3. Dapat digunakan pada sumur offshore dan urban location.
4. Tidak membutuhkan lokasi luas dalam menginstalasi ESP.
5. Biaya pengangkatan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan laju produksi
fluida yang diperoleh.
Adapun kerugian dalam penggunaan ESP adalah sebagai berikut:
1. Karena sumber tenaganya berasal dari listrik, maka harus tersedia kapasitas
listrik yang mencukupi.
2. Apabila terlalu banyaknya free gas yang memasuki pompa akan mengganggu
kinerja pompa, sehingga apabila free gas yang memasuki pompa lebih dari
5% harus dipasang gas separator atau Advanced Gas Handler (AGH).
3. ESP sulit diperbaiki apabila rusak di lapangan.
4. ESP tidak mampu bekerja maksimal apabila temperatur lebih dari 250oF.

II.3.1 Prinsip Kerja Electric Submersible Pump (ESP)


Prinsip kerja dari ESP berawal dengan mengalirkan arus listrik menuju motor
yang mengalir dari transformer, switchboard, junction box, dan wellhead melalui
kabel. Di motor, energi listrik akan diubah menjadi energi mekanik berupa tenaga
putaran. Tenaga putaran tersebut akan diteruskan menuju protector, intake, dan
pompa melalui shaft yang dihubungkan dengan coupling. Pada saat shaft berputar,
fluida yang sudah berada di intake akan terdorong menuju impeller pada stage
pertama.
Oleh impeller, energi mekanik akan diubah menjadi energi kinetik sehingga
fluida akan mengalir menuju diffuser. Oleh diffuser, energi kinetik akan diubah
menjadi energi potensial sehingga fluida memiliki energi yang lebih besar dan
dialirkan ke stage berikutnya. Setiap melewati stage, tekanan yang mendorong
fluida akan terus meningkat. Fluida akan terus mengalir hingga mencapai stage

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
terakhir. Setelah melewati stage terakhir pada pompa, fluida akan mengalir menuju
tubing hingga ke permukaan.

II.3.2 Peralatan Electric Submersible Pump (ESP)


Secara umum, peralatan ESP dibagi menjadi dua bagian, yaitu peralatan atas
permukaan dan peralatan bawah permukaan. Baik peralatan atas maupun bawah
permukaan memiliki fungsinya masing-masing yang saling berkaitan antar
peralatan. Pada Gambar II.2 memperlihatkan secara lengkap peralatan atas
permukaan dan bawah permukaan dari ESP.

Gambar II.2 Peralatan atas dan bawah permukaan ESP (Takacs, 2009)

1. Peralatan Atas Permukaan


Peralatan atas permukaan ESP terdiri dari welhead, junction box,
switchboard, dan transformer.

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
a. Wellhead
Wellhead yang digunakan pada ESP tidak sama dengan wellhead pada jenis
artificial lift lainnya. Wellhead pada ESP disesuaikan agar dapat menahan
berat peralatan bawah permukaan. Wellhead dilengkapi dengan tubing
hanger khusus yang mempunyai lubang untuk kabel pack off. Wellhead juga
dilengkapi dengan seal tidak hanya pada tubing, tapi juga pada kabel agar gas
tidak bocor ke permukaan. Pada beberapa jenis wellhead, kabel dipotong pada
wellhead dan disambung dengan connector. Kabel yang berasal dari
switchboard juga memiliki connector dimana kedua connector tersebut akan
disatukan pada wellhead dengan feed through mandrel. Wellhead jenis ini
memungkinkan tekanan wellhead yang lebih besar daripada jenis biasanya.
b. Junction Box
Junction box atau biasa disebut vent box diletakkan di antara wellhead dan
switchboard yang biasanya berjarak 15 ft (minimal) dari wellhead dan
normalnya berada di antara 2 sampai 3 ft di atas permukaan tanah. Junction
box dipasang dengan alasan keamanan karena gas dapat mengalir dari bawah
permukaan melalui kabel menuju ke permukaan lalu ke switchboard yang
dapat menyebabkan kebakaran. Oleh karena itu, kegunaan dari junction box
ini adalah untuk mengeluarkan gas yang naik ke permukaan tersebut.
c. Switchboard
Switchboard adalah pusat kontrol kinerja ESP yang terletak di permukaan.
Switchboard memiliki beberapa fungsi, seperti mengatur on/off dari ESP,
memonitor serta merekam parameter-parameter operasional ESP, dan
mengatasi peralatan atas dan bawah permukaan dari masalah yang mungkin
terjadi. Permasalahan pada peralatan atas permukaan yang bisa diatasi
switchboard, seperti terlalu tinggi atau rendahnya input voltages, unbalance
voltages, dan transient voltages. Dan permasalahan pada peralatan bawah
permukaan yang bisa diatasi switchboard, seperti overloading pada motor
(karena SG fluida terlalu tinggi atau undersized motor), underloading pada
motor (karena kondisi pump-off atau oversized motor), dan unbalanced
currents.

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
d. Transformer
Transformer merupakan alat untuk mengubah besar tegangan listrik, bisa
untuk menaikan atau menurunkan tegangan listrik. Biasanya, ketersediaan
surface voltage tidak sesuai dengan yang dibutuhkan motor sehingga
transformer harus dapat menyesuaikan besarnya surface voltage tersebut.
Surface voltage sendiri besarnya merupakan jumlah dari voltage drop dan
motor voltage. Transformer terdiri dari core (inti) yang dikelilingi oleh lilitan
kawat tembaga dan coil. Core dan coil direndam di dalam minyak trafo
sebagai pendingin isolator. Besar perubahan tegangan berbanding lurus
dengan jumlah lilitan kawatnya. Biasanya, tegangan input transformer di-set
dalam keadaan tinggi agar didapatkan nilai ampere yang rendah pada jalur
transmisi, sehingga tidak dibutuhkan kabel yang berukuran besar. Tegangan
input yang tinggi akan diturunkan dengan step-down transformer sampai
didapatkan tegangan yang dibutuhkan motor.
2. Peralatan Bawah Permukaan
Peralatan bawah permukaan ESP terdiri dari PSI (Prssure Sensing
Instrument) Unit, motor, protector, intake, pompa, kabel, dan peralatan tambahan
lainnya.
a. PSI (Pressure Sensing Instrument) Unit
PSI unit dipasang pada bagian ujung bawah rangkaian ESP. PSI unit memiliki
fungsi untuk mencatat nilai tekanan dan temperatur pada bawah permukaan
sumur.
b. Motor
Motor dipasang pada bagian bawah dari rangkaian ESP. Motor bergerak
karena adanya aliran arus listrik melalui kabel dari peralatan atas permukaan
dengan mengubah energi listrik menjadi energi mekanik. Kemudian, gerakan
dari motor tersebut akan diteruskan menuju pompa. Motor mempunyai dua
bagian utama, yaitu rotor (bagian yang berputar) dan stator (bagian yang
diam). Stator berfungsi mengalirkan aliran listrik dan mengubahnya menjadi
tenaga putaran pada rotor. Seiring berputarnya rotor, maka shaft yang berada
di tengah akan ikut berputar, sehingga shaft yang saling berhubungan (shaft
protector, intake, dan pompa) akan ikut berputar juga.

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
c. Protector
Protector mempunyai fungsi utama, yaitu mencegah masuknya fluida ke
dalam motor dan memberikan ruang untuk pengembangan dan penyusutan
minyak motor sebagai akibat perubahan temperatur dari motor pada saat
bekerja maupun saat dimatikan. Protector diisi dengan minyak yang memiliki
nilai tahanan tinggi karena jika nilai tahanan rendah maka akan dapat
menghantarkan arus listrik, sehingga akan menyebabkan motor terbakar.
d. Intake
Intake terletak di bawah pompa dimana sumbunya dihubungkan dengan
coupling. Intake berfungsi untuk membatasi jumlah gas yang masuk ke
pompa karena akan mengganggu kinerja pompa apabila terlalu banyak gas
yang masuk. Produksi gas yang berlebihan akan dialirkan menuju annulus
dan dialirkan ke flowline di permukaan melalui casing valve, sedangkan
produksi yang berupa fluida akan mengalir menuju pompa, lalu ke tubing
sampai ke permukaan. Fluida yang telah mengalami proses pemisahan di
intake tidak 100% murni fluida, tetapi masih mengandung gas di mana
tergantung dari kemampuan intake tersebut dalam memisahkan gas dari
fluida. Apabila jumlah gas yang masuk masih besar, maka perlu dipasang alat
tambahan lainnya, seperti Advanced Gas Handler (AGH) atau gas separator.
e. Pompa
Pompa pada ESP merupakan jenis multistages pump, yang terdiri dari bagian
utama, yaitu impeller (bagian yang bergerak) dan diffuser (bagian yang diam),
serta bagian lain, yaitu shaft dan housing. Di dalam housing pompa terdapat
sejumlah stage, dimana tiap stage terdiri dan satu impeller dan satu diffuser.
Jumlah stage yang dipasang pada setiap pompa ditentukan dari nilai head
capacity dari pompa tersebut. Fluida yang masuk ke pompa dari intake akan
diterima oleh impeller pada stage pertama dan akan dialirkan menuju diffuser
pada stage pertama dengan mengubah energi mekanik yang berasal dari
motor menjadi energi kinetik. Pada diffuser, energi kinetik tadi akan diubah
menjadi energi potensial untuk mengalirkan fluida menuju impeller pada
stage berikutnya dan seterusnya hingga fluida mencapai stage terakhir.

10

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
f. Kabel
Fungsi utama dari kabel adalah sebagai media penghantar arus listrik dari
switchboard menuju motor. Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai, yaitu
round cable (biasa pada sumur vertical) dan flat cable (biasa pada sumur
deviated). Kabel jenis round memiliki ketahanan yang lebih lama daripada
kabel jenis flat, tetapi memerlukan ruang pemasangan yang lebih luas. Bagian
dari kabel biasanya terdiri dari konduktor, isolator, jacket, dan sarung
(sheath).
g. Peralatan Tambahan
Beberapa peralatan tambahan juga diperlukan untuk menunjang kinerja ESP.
Peralatan tambahan ESP tersebut adalah sebagai berikut:
o Check valve, bertujuan untuk menjaga fluida agar tetap berada di atas
pompa. Jika check valve tidak dipasang, maka dapat menyebabkan back
flow yang berakibat motor akan rusak.
o Bleeder valve, berfungsi untuk mengosongkan tubing dari fluida pada
saat pompa diangkat ke permukaan. Bleeder valve dipasang satu joint
di atas check valve.
o Cable clamp, berfungsi untuk melekatkan kabel pada tubing yang
dibutuhkan setiap 15 ft.
o Centralizer, berfungsi untuk menjaga kedudukan pompa agar tetap di
tengah dan tidak bergeser.

II.3.3 Pump Performance Curve


Kinerja pompa ESP akan digambarkan secara lengkap pada pump
performance curve. Pump performance curve terdiri dari head capacity curve,
horse power curve, dan pump efficiency curve.
1. Head Capacity Curve
Head capacity curve adalah hubungan antara Total Dynamic Head (TDH)
denga laju alir produksi (Q) yang digunakan untuk menentukan jumlah stage
dalam perencanaan pompa ESP.

11

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
2. Horse Power Curve
Horse power curve memperlihatkan nilai HP motor yang diperlukan untuk
menggerakkan pompa, dimana nilai HP motor ini harus mampu mengangkat
fluida dari bawah permukaan sampai atas permukaan.
3. Pump Efficiency Curve
Pump efficiency curve menggambarkan perbandingan antara input horse
power dengan output horse power dengan titik tertinggi berada di Best
Efficiency Point (BEP).

II.4 Acid Fracturing


Acid fracturing merupakan salah satu jenis metode stimulasi reservoir dengan
cara menginjeksikan asam. Asam yang umumnya digunakan adalah asam klorida
(HCl) yang diinjeksikan ke dalam formasi karbonat dengan nilai tekanan di atas
nilai tekanan rekah agar proses perekahan berhasil. Formasi karbonat direkahkan
secara hydraulic, kemudian beberapa mineral di permukaan rekahan akan
dilarutkan oleh asam yang diinjeksikan sehingga akan memberikan arah aliran yang
linier ke arah lubang bor. Konduktifitas rekahan yang tinggi dapat dicapai setelah
dilakukan pengasaman dengan metode ini. Pemahaman mengenai reaksi kimia
antara asam injeksi dengan mineral-mineral batuan yang baik sangat penting untuk
diketahui agar dapat ditentukan dasar pemilihan jenis asam injeksi dan menentukan
volume asam yang dibutuhkan.
Kegiatan acid fracturing merupakan alternatif dari kegiatan hydraulic
fracturing yang tidak mampu menahan rekahan pada formasi yang acid soluble,
seperti formasi karbonat. Laju penginjeksian asam ditentukan dari reaksi kimia
antara batuan dengan fluida fracturing. Konduktivitas didapat dengan etching
rekahan yang terbentuk dari reaksi asam yang diinjeksikan. Kegiatan acid
fracturing ini sangat bergantung pada sifak fisik batuan (Economides & Nolte,
1987).
Prinsip kerja acid fracturing hampir mirip dengan proses perekahan pada
hydraulic fracturing, yaitu membuat rekahan konduktif dengan panjang yang
mencukupi sehingga dapat memberikan pengurasan reservoir yang lebih efektif.
Tetapi, acid fracturing tidak menggunakan proppant dalam kegiatannya, namun

12

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
bergantung pada pelarutan asam di permukaan rekahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas acid fracturing antara lain, panjang rekahan, laju reaksi
asam, karakteristik fluid loss asam, laju alir asam dalam rekahan, dan konduktivitas
rekahan. Keadaan reservoir yang ideal dalam melakukan acid fracturing adalah
pada reservoir karbonat dan suhu rendah (< 200oF).

II.5 Decline Curve Analysis (DCA)


Decline Curve Analysis (DCA) adalah salah satu metode untuk
memperkirakan jumlah cadangan yang masih dapat diproduksikan serta
mengetahui lamanya batas waktu berproduksi suatu sumur. Untuk penerapan
metode Decline Curve Analysis (DCA) diperlukan data-data laju penurunan
produksi yang lengkap, seperti laju alir produksi (Q), decline rate (D), dan waktu
produksi (t). Metode DCA digunakan antara lain untuk memperkirakan laju alir
produksi yang akan datang (Qt), menentukan kumulatif produksi suatu sumur,
menentukan umur produksi suatu sumur, dan menentukan nilai keekonomian
produksi suatu sumur. Ada 3 tipe DCA yang umum digunakan, yaitu jenis
exponential, hyperbolic, dan harmonic.
Karena pada Tugas Akhir ini akan menggunakan DCA tipe exponential, maka
akan difokuskan penjelasan mengenai DCA tipe exponential. DCA tipe exponential
mempunyai nilai exponent decline (b) bernilai 0. Perhitungan DCA tipe exponential
ini memiliki prinsip yang lebih sederhana, karena penurunan laju alir produksi (Q)
per satuan waktu (t) merupakan fraksi laju produksi yang besarnya selalu tetap.
Dalam perhitungan DCA juga diperhatikan nilai economic limit. Economic
limit adalah batas dimana laju produksi minyak yang dihasilkan akan memberikan
penghasilan bersih yang besarnya sama dengan biaya operasional yang dikeluarkan.

II.6 Production Sharing Contract (PSC) Gross Split


PSC gross split yang merupakan pengganti PSC cost recovery merupakan
sistem kontrak bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah berdasarkan pembagian
gross produksi sesuai besar kumulatif produksi per tahun tanpa memperhitungkan
nilai cost recovery.
Tujuan dari PSC gross split adalah mengusahakan kegiatan eksplorasi dan

13

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
eksploitasi lebih cepat serta mendorong para kontraktor bekerja lebih efisien.
Sistem PSC gross split tidak akan menghilangkan peran negara dalam
pelaksanaannya, sebab penentuan wilayah kerja dan kapasitas produksi tetap
ditentukan negara. Dengan sistem ini juga penerimaan negara menjadi lebih pasti
dan pembagian produksi dilakukan di titik serah (Kementrian ESDM, 2017).
Besar bagi hasil ditetapkan berdasarkan base split yang telah disepakati
dengan penyesuaian terhadap komponen variabel dan progresif. Pada Tugas Akhir
ini, perhitungan keekonomian hanya memperhitungkan produksi minyak. Rincian
komponen variabel dapat dilihat pada Tabel II.1.

Tabel II.1 Komponen variabel (KESDM, 2017)

Koreksi
Split
No Karakteristik Parameter
Kontraktor
(%)

POD I 5%

1 Status Lapangan POD II 3%

NO POD 0%
Onshore 0%
Offshore (0<h<20) 8%
Offshore (20<h<50) 10%
2 Lokasi Lapangan (m)
Offshore (50<h<150) 12%
Offshore (150<h<1000) 14%
Offshore (h>1000) 16%

Kedalaman Reservoir ≤2500 0%


3
(m) >2500 1%
Well Developed 0%
Ketersediaan
4 Infrastruktur New Frontier Offshore 2%
Pendukung
New Frontier Onshore 4%
Konvensional 0%
5 Jenis Reservoir
Non-konvensional 16%

14

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
Tabel II.1 Komponen variabel (KESDM, 2017) (Lanjutan)
<5 0%
5≤x<10 0.5%
10≤x<20 1%
6 Kandungan CO2 (%)
20≤x<40 1.5%
40≤x<60 2%
x≥60 4%
<100 0%
100≤x<1000 1%
Kandungan H2S 1000≤x<2000 2%
7
(ppm) 2000≤x<3000 3%
3000≤x<4000 4%
x≥4000 5%
Berat Jenis Minyak <25 1%
8
Bumi (API) ≥25 0%
30≤x<50 2%
9 TKDN (%) 50≤x<70 3%
70≤x<100 4%
Primer 0%
10 Tahapan Produksi Sekunder 6%
Tersier 10%

Dan rinician komponen progresif PSC gross split dapat dilihat pada Tabel
II.2 berikut ini.

Tabel II.2 Komponen progresif (KESDM, 2017)


Parameter Persamaan
Harga minyak
(85-ICP) x 0.25
bumi ($/bbl)
Kumulatif Produksi (MMBOE)
<30 0.10
30≤x<60 0.09
90≤x<125 0.06
125≤x<175 0.04

15

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
Dalam PSC Gross Split, dikenal beberapa istilah keeonomian yang penting
untuk diketahui, yaitu:
1. Gross revenue: pendapatan kotor dari minyak yang diproduksikan pada
jangka waktu tertentu.
2. Government split: besar persentase bagi hasil yang diterima pemerintah.
3. Contractor split: besar persentase bagi hasil yang diterima kontraktor.
4. Operating cost: biaya untuk barang-barang habis pakai (umur barang kurang
dari 1 tahun) dan tidak mengalami depresiasi, disebut juga dengan barang
intangible. Contoh: biaya operasional.
5. Lifting cost oil: biaya pengangkatan setiap barrel minyak.

Gambar II.3 Skema PSC gross split (KESDM, 2017)

6. Oil split contractor: besar minyak yang didapatkan kontraktor setelah


mengalikan nilai gross revenue dengan contractor split.
7. Oil split government: besar minyak yang didapatkan pemerintah setelah
mengalikan nilai gross revenue dengan government split.
8. Contractor taxable profit: besar keuntungan yang diterima kontraktor setelah
mengurangi nilai oil split contractor dengan operating cost.

16

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha
9. Tax: besar pajak yang harus dibayarkan kontraktor kepada pemerintah.
10. Contractor take: pendapatan bersih kontraktor setelah dikurangi pajak.
11. Government take: pendapatan bersih pemerintah setelah ditambah pajak
kontraktor.
12. Contractor cash flow: gambaran aliran uang (input dan output) kontraktor
pada suatu periode tertentu.
13. Net Present Value (NPV): nilai absolut earning power dari modal yang
diinvestasikan di proyek, yaitu total pendapatan dikurangi total biaya
pengeluaran selama proyek.
14. Initial Rate of Return (IRR): nilai relatif earning power dari modal yang
diinvestasikan di proyek.
15. Pay Out Time (POT): waktu yang dibutuhkan agar jumlah penerimaan sama
dengan jumlah investasi. POT menunjukkan berapa lama modal investasi
dapat kembali.

II.7 Prosper
Prosper adalah salah satu jenis perangkat lunak yang berfungsi dalam
menganalisa kinerja sumur, desain sumur, dan optimasi program permodelan
sumur. Prosper dapat membantu ahli produksi dan reservoir untuk mengetahui
apakah sumur sudah bisa berproduksi dengan baik atau belum.
Perhitungan yang dilakukan prosper adalah berupa pengoptimalisasian desain
sumur dan dampak dari perubahan masa depan yang mungkin terjadi dalam
parameter sistem yang diteliti.
Prosper dirancang untuk memungkinkan pembangunan model sumur yang
baik dan konsisten, dengan kemampuan untuk mengolah data-data sumur,
seperti data PVT, IPR, equipment, dan artificial lift. Dengan permodelan dari
komponen data sumur, pengguna dapat melakukan verifikasi pada setiap model
dengan pencocokan kinerja di lapangan. Setelah model sistem telah di-set untuk
data lapangan yang sebenarnya, selanjutnya prosper dapat digunakan untuk model
sumur dalam skenario yang berbeda dan membuat prediksi tekanan reservoir
berdasarkan data produksi yang ada.

17

Studi optimasi produksi dengan beberapa skenario produksi pada sumur FPL dan lapangan Natha
Frans Perkasa Lochannatha

Anda mungkin juga menyukai