Anda di halaman 1dari 11

BAB III

PEMBAHASAN

A. Diagnosa Osteosarcoma
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang pembahasan asuhan
keperawatan pada Tn E dengan osteosarcoma di Ruang Dahlia RSUD RA Kartini
Jepara. Pembahasan ini meliputi pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan
tindakan, pelaksanaan dan evaluasi.Penulis akan membahas denagan
membandingkan kasus pada, Tn. “E” dengan teori asuhan keperawatan menurut
(Nanda, 2013). Sebelum melakukan pengkajian akan dibahas terlebih dahulu
tentang penyakit osteosarcoma yang meyerang Tn.“E” terlebih dahulu menurut
teori yang dipaparkan oleh Mitchel et al (2008), Osteosarcoma merupakan
neoplasma tulang primer ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang
tempat yang paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang,
terutama lutut. Osteosarcoma merupakan keganasan primer pada tulang yang
paling sering dijumpai dan ditandai dengan adanya sel- sel masenkim ganas yang
memproduksi Osteoid atau sel tulang immature (Sihombing, 2009).
Menurut Sain (2010), osteosarcoma adalah suatu pertumbuhan yang cepat
pada tumor maligna tulang. Pada kasus Tn.“E dapat di diagnosa menderita
penyakit osteosarcoma karena ada beberapa gejala yang timbul dan dialami oleh
pasien diantaranya nyeri, bengkak,trauma, dan terjadinya peningkatan massa
tulang atau peningkatan pada tulang yaitu diameter pada pada tulang ± 10cm
massa tidak bearaturan menimbulkan nyeri saat di gerakan, selain itu pasien
mengalami anemia, dan terjadinya metastase pada tulang yang menyebar melalui
peredaran darah dan terjadi pada persendian terletak pada lutut sehingga
terjadinya peningkatan massa tulang yang tidak teratur dan pembengkakan dengan
diameter± 10cm.Gejala yang dialami Tn E sama dengan teori yang di paparkan
oleh Sain (2010) mengenai manifestasi klinis yang timbul pada pasien
osteosarcoma yaitu adanya nyeri, dan yang paling umum adalah terjadinya gejala
rasa sakit dan bengkak di kaki atau lengan. Hal ini paling sering terjadi pada
tulang dari tubuh. Seperti diatas dibawah lutut atau di lengan atas atau dekat bahu.
Tidak jarang terjadi riwayat trauma meski peran utama osteosarcoma tidak jelas
dan trauma tidak dapat dijadikan alsan utama terjadinya atau pencetus penyakit
osteosarcoma,akibat terjadinya metastase pada tulang yang terjadi di dekat
persendia sehingga mengakibatkan terjadinya massa pada tulang yang tidak
beraturan mengakibtkan terbatasnya pergerakan pada pasien akibat nyeri yang
ditimbulkan dan massa yang terjadi pada tulang. Selain itu gejala yang timbul
adalah nyeri pada punggung bawah, merupakan gejala khas yang disebabkan oleh
adanya penekanan pada vertebra oleh fraktur tulang patologis selain itu.
Kecenderungan patologis akibat terjadinya fraktur merupakan ciri - ciri myeloma
dengan 2 alasan utama penurunan trombosit ( trombositopenia) selama adanya
kerusakan megakarosit yang merupakan sel – sel induk dalam sel- sel tulang dan
tidak berfungsinya trombosit, macroglobulin menghalangi elemen- elemen dan
turut serta dalam fungsi hemostatik (Arifah, 2009). Anemia, dapat terjadi akibat
adanya penematan sel- sel neoplasma pada sumsum tulang. Hal ini mengakibatkan
hiperkalsemia, hiperkalasiuria, dan hiperurisemia selama ada kerusakan sel- sel
plasma ganas akan membentuk sejumlah immunoglobulin yang dapat didekteksi
melalui serum atau urine. Apabila terjadi presitasi immunoglobin dalam tubulus
dapat pula menyebabkan gagal ginjal juga dapat terjadi trombosis pada vena ginjal
( Arifah, 2009).
Berdasarkan saran yang diberikan dokter pada Tn.“E” adalah dilakukanya
amputansi, dokter menyarankan dilakukan amputansi karena untuk mencegah
terjadinya metastase penyebaran neoplasma primer yang sangat ganas pada
tulang. Selain itu di perkuat dengan tanda gejala yang di alami oleh Tn.“E” serta
ditunjang dengan adanya hasil CT-Scan pada pasien yaitu terjadinya “Codman
triangle (Arrow) dan difusi, mineralisasi osteid diantara jaringan lunak,
Perubahan perioseal berupa Codman triangles (White Arrow) dan masa jaringan
lunak yang luaas (Black Arrow)”.
Proses terjadinya penyakit osteosarcoma oleh Tn E dimulai dari terjadinya
trauma yang dialami oleh Tn E yaitu jatuh dari motor.Sedangkan menurut teori
yang di paparkan oleh Arifah (2009). Faktor penyebab penyakit osteosarcoma itu
sendiri bukan karena trauma saja melainkan ada faktor penunjang lain yang
manjadi pencetus terjadi nya peyakit osteosarcomatetapi trauma pun menurut
(Arifah, 2009) dapat menjadi peyebab terjadinya osteosarcomayaitu apabila
terjadinya trauma yang menyebabkan terbentuknya hematoma diduga berperan
dalam menentukan timbulnya infeksi di daerah metastase yang kaya akan
pembuluh darah. Hematoma tersebut merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan virus yang mencapai tulang melalui aliran darah, di daerah
hematoma tersebut terbentuk suatu fokus kecil infeksi virus onkogenik sehingga
terjadi edema. Tulang merupakan jaringan yang kaku dan tertutup sehingga tidak
dapat menyesuaikan diri dengan pembengkakan yang terjadi akibat edema dan
oleh karena itu, edema akibat peradangan tersebut menyebabkan kenaikan tekanan
intraseus secara nyata dan menimbulkan rasa nyeri hebat dan menetap. Karena
adanya hematoma yang terjadi akibat trauma yang dialami mengakibtkan
pertumbuhan virus yang mencapai tulang melalui aliran darah. Sehingga sel
kanker terus tumbuh dan merusak sel lain yang normal.Osteosarcomaini
menginvasi dan mendestruksi jaringan yang berdekatan dengan tulang dengan
cara mengeluarkan/ memproduksi subtansi yang meningkatakan reabsorpsi tulang
atau dengan mengganggu/ menghambat suplai darah ke tulang ( Sain, 2010).
Kadang- kadang sel kanker ini lepas dan menjahui dari tumor dan menyebar
kebagian tubuh lainya memlalui aliran darah atau kelenjar limfe, kemudian sel
kanker ini singgah di tempat yang baru dan membentuk tumor baru yaitu pada
bagian lutut Tn E. Permukaan tulang menjadi berubah dan bentuk tulang pada
area dimana sel kanker ini tumbuh mengalami pembengkakan/ membesar.

B. Pengkajian
Dalam melakuakn pengkajian pada Tn E penulis mengalami berbagi kendala
yaitu penulis tidak dapat mencantumkan anatomi patologi dari penyakit yang di
derita oleh Tn E, ada beberapa data yang didapat berdasarkan catatan medik dan
CT Scan serta melakukan wawancara langsung kepada Tn”E” dari wawancara
tersebut di peroleh keterangan bahwa Tn”E” sejak 27 September 2013 sudah
terdapat benjolan dilutut bagian kanan dikarenakan jatuh dari montor, tetapi oleh
oleh keluarga itu di anggap benjolan biasa. Sampai 30 mei 2014 benjolan itu
masih ada dan Tn “E” merasakan nyeri berat dan oleh keluarga di bawa ketukang
urut saja karena menurut merekaTn E mengalami patah tulang,semakin lama
benjolan semakin besar lalu pasien dibawa ke puskesmas sebanyak 4x lalu di
bawa ke ke Rs. Karyadi semarang 1x karena kurang biaya pasien berhenti berobat
di Rs. Karyadi lalu oleh keluarga di bawa ke dokter praktek lalu disarankan di
rujuk di RSUD RA. KARTINI JEPARA Pada pengkajian tanggal 2 juni 2014
dengan keluhan utama yang paling di keluhkan pasien adalah nyeri pada lutut
sebelah kanan. Dari data- data tersebut penulis menganalisa menggunakan analisa
dalam pengakajian pola fungsional menggunakan pola fungsional dari Virginia
Henderson karena menurut teori yang di paparkan proses keperawatan sebagi
sebuah aplikasi nyata dari pendekatan logis baik bio - sosial- spiritual- psikologis
untuk menyelesaikan suatu masalah dengan pendekatan ini setiap orang atau
pasien dapat menerima perawatan secara individu, yang meliputi proses
perawatan pasien selama sakit,
Pada kasus Tn E sendiri membutuhkan pendekatan logis baik bio, sosial
,spiritual, selain masalah fisik yang dialaminya yaitu kehilanagan anggota
tubuhnya, pasien mengalami gangguan psikologisnya sehingga dengan gangguan
psikologis yang dialami pasien akibat gambaran dirinya yang berubah dan tidak
sesui yang diharapkan hal ini mempengaruhi pasien dalam berkomunikasi
terhadap orang lain yaitu ditandai dengan Tn E mudah tersinggung dan tidak
banyak berinteraksi dengan orang lain. Karena adanya perubahan pada diri pasien
ini mengakibatkan terganggunya masalah spiritual pada pasien diamana dalam
pengkajian fungsional pada kebutuhan spiritual pasien tidak terpenuhi. Dan tidak
melakukan sholat. Hal ini sesusi dengan pola fungsional yang di terapkan oleh
Virginia Henderson.

C. Masalah keperawatan
Dalam menentukan masalah keperawatan penulis kurang memahami dalam
menentukan perioritas masalah. Secara Klinis dalam kasus ini masalah
keperawatan yang muncul terdapat 3 masalah keperawatan yaitu :
1. Nyeri Akut berhubungan dengan Post Amputansi Lutut sebelah kanan
Menurut (Nanda, 2013 ).Nyeri Akut adalah : Pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial
atau di gambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International
Association For the Study of pain) awitan yang tiba- tiba atau lambat dari
intensitasnya ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau
diprediksi dan berlangsung < 6 bulan.
Gejala : perubahan selera makan, perubahan tekanan darah, Perubahan frekuensi
jantung, Perubahan frekuensi pernafasan, Gangguan pola tidur. Sikap melindungi
lokasi nyeri. Melaporkan nyeri secara verbal.
Penulis memprioritaskan gangguan rasa nyaman nyeri sebagai masalah pertama,
karena apabila nyeri tidak segera di atasi akan menyebabkan efek yang
membahayakan yaitu terjadinya gangguan fungsional tubuh yaitu terjadi
perubahan organ vital seperti perubahan denyut jantung dan RR pasienakan
mengalami peningkatan yang dapat menyebabkan syok neurogenik di luar
ketidaknyamanan yang di sebabkannya, selaian merasakan ketidak nyamanan dan
mengganggu Respon stress yang terjadi dengan trauma juga terjadi dengan
penyebab nyeri hebat lainya. Respon stress dapat meningkatan resiko pasien
terhadap gangguan fisiologis. Pasien dengan nyeri dan stress yang berkaitan
dengan nyeri dapat tidak mampu untuk bernafas dalam dan mengalami
peningkatan nyeri dan mobilitas menurun.
Mengapa proses amputansi yang dialami oleh Tn E dapat mengakibatkan
menyebabkan terjadinya nyeri karena tejadinya rangsangan mekanik yaitu
terjadinya nyeri karena pengaruh mekanik yaitu terputsnya jaringan sehingga
rangsangan mekanik diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir setiap
jaringan tubuh, rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impus yang di hantarkan
ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah diproses dipusat nyeri, implus di
kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri ( rasa nyeri yang di alami
pasien) ( Mudita, 2007). Untuk mengatasi masalah yang ada, maka penulis
melakukan tindakan keperawatan diantaranya :
a) Catat dan kaji lokasi dan intensitas nyeri, membantu dalam evaluasi kebutuhan
dan keefektifan intervensi. Perubahan dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi, contoh nekrosis/ infeksi.
b) Observasi TTV pasien per jam, respon autonemik meliputi perubahan pada
tekanan darah, suhu, RR berhubungan dengan keluhan atau kehilangan pada nyeri.
c) Berikan tindakanan kenyamanan (Ubah posisi miring kanan dan kiri setiap 2
jam ajarkan tehnik relaksasi), Meningkatkan sirkulasi umum : menurunkan area
tekanan lokal dan kelelahan otot,dan meningkatkan rasa kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri, yang mungkin
menetap untuk periode lebih lama.
d) Pemberian analgetik kaji keefektifan penurunan rasa nyeri, diberikan untuk
menurunkan nyeri dan spasme otot.
Nyeri berhubungan denganPost amputansi lutut sebelah kanan diagnosa
ini diambil oleh penulis karena diagnosa ini merupakan diagnosa aktual pada
pasien dengan trauma tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang, pasien
mengeluh nyeri pada daerah amputansi, pasien susah menggerakan kaki kanan,
pasien tanpak meringis dan nyeri skala 7.Rencana tindakan yang telah disusun
oleh penulis tidak semua dapat dilaksanakan hal ini disesuaikan dengan
kebutuhan pasien diantaranya adalah mengkaji keluhan nyeri pasien , lokasi dan
lamanya dan insentitas (skala 1-10), mengatur posisi klien senyaman mungkin,
dan mengajarkan klien teknik relaksasi. Dari tindakan keperawatan yang telah
dilakukan diagnosa ini tidak dapat teratasi karena diagnosa ini diangkat pada
post Amputansi sehingga hasil evaluasi tidak terdapat dalam kriteria hasil.Dari
pengkajian pada tanggal 2 Juni 2014 di dapatkan data subyektif : Tn. E
mengatakan nyeri pada luka post operasi, nyeri timbul saat bagian kaki post
operasi di gerakkan, nyeri pada seperti tersayat sayat, Nyeri di daerah
lututsebelah kanan Skala nyeri 7, nyeri hilang timbul selama 2 menit, ekspresi
wajah Tn. E tampak tegang , tanda-tanda Vital, Td : 150/80 mmHg, N :
88x/mnt.Untuk mengatasi masalah nyeri masalah yang muncul maka penulis
melakukan rencana tindakan keperawatan selama 3x24 jam di harapkan nyeri
berkurang atau hilang dengn criteria hasil : klien mengatakan nyeri berkurang,
skala nyeri menjadi 0-4, klien tampak rileks dan dapat beristirhat, ekspresi wajah
klien tenang, tanda-tanda vital dalam rentang normal : TD 100/80- 140/80
mmHg,
2. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan proses patogenik dan
proses pembedahan amputansi.
Menurut Nanda, (2013). Resiko tinggi terhadap infeksi adalah :
Mengalami risiko terserang organisme patogenik
Indikasi resiko: Tejadinya peningkatan atau penururnan kadar Leukosit,
terdapat 5 tanda lain yaitu terjadinya Dolor, Kalor, Tumor, Rubor, Fungsio
Laesa.
Mengapa resiko tinggi terhadap infeksi ini di jadikan sebagai
diagnosa ke dua karena dilihat dari Skoring dan Urgensinya resiko tinggi
infeksi ini bukan kategorik gawat karena proses terjadinya infeksi ini
sendiri tidak langsung terjadi secara langsung melainkan disertai tanda-
tanda khas gejala infesksi dan diperkuat dengan kadar leucocyt yang di
miliki oleh pasien. Diletakan di diagnosa ke dua karena proses infeksi ini
akan dapat ditangani apabila dalam proses perawatan luka pada pasien ini
sendiri menggunakan teknik pembersihan luka dengan teknik aspetik yaitu
dengan teknik steril maka proses infeksi itu sendiri dapat di atasi, karena
apabila resiko infeksi ini tidak di tangani dengan benar maka pasien akan
mengalami infeksi pada daerah luka jahitanya sehingga dapat
menyebabkan komplikasi yang berkelanjutan. Selain alasan diatas
pengangkatan diagnosa ini karena berdasarkan observasi dan pemeriksaan
fisik tampak luka operasi pada kaki kanan pasien yang masih terbalut
dengan elastis perban. Klien Post-Op Amputansi, dengan adanya bekas
operasi memberi jalan bagi kuman patogen masuk ke dalam tubuh
sehingga bisa mengakibatkan infeksi, dalam hal ini perlu mendapat
perhatian dari perawat untuk melakukan tindakan keperawatan pada area
kulit yang terdapat luka bekas operasi serta mengobservasi area kulit
Mengapa proses patogenik dan pembedahan dapat menyebabkan
terjadinya resiko tinggi terhadap infeksi karena menurut teori yang di
paparkan oleh (Darmadi, 2008).apabila luka tidak ditangani dengan
perawatan yang baik dan terpapar mikoorganisme, maka mikoorgaisme
yang berada didalam luka mereka akan mulai melakukan invasi kemudian
akan memproduksi dan memperbanyak koloni, pada tahap ini unumnya
antibodi dalam tubuh kita sudah mendekteksi adanya antigen( Kuman,
Virus, parasit) bila antibodi kurang responsife mikoorganisme dapat
leluasa berkembangbiak.Ketika antigen bereaksi terhadap antibodi akan
menimbulkan 5 tanda yaitu dolor, kalor, tumor,rubor, fungsio laesa. Masa
ketika mikoorganisme masuk sampai dengan dia bereaksi dengan antibodi
yang akhirnya menimbulkan gejala infeksi disebut dengan masa inkubasi,
sedangkan pada Tn E beresiko terjadi infeksi apa bila ada 3 diantara 5
tanda yang dipaparkan diatas.
Dengan melihat tanda-tanda infeksi seperti kalor, dolor, rubor,
tumor, fungsio laesa serta memantau tanda-tanda vital klien yang secara
umum perubahan tanda-tanda vital merupakan tanda terjadinya infeksi dan
pemeriksaan leucocyt pasein untuk mengetahui tanda infeksi ada pasien,
sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dari perawat untuk mencegah
hal itu maka penulis mengangkat diagnosa ini. Rencana tindakan yang
telah disusun oleh penulis tidak semua dapat dilaksanakan hal ini
disesuaikan dengan kondisi klien yang baru satu hari post operasi
Amputansi. Tindakan yang telah dialakukan diataranya mengobservasi
tanda-tanda vital (suhu tubuh) dan memberikan anti biotik sesuai dengan
advice dokter yaitu Cefotaxime 3 x 1 gram. Dari tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan diagnosa ini tidak menjadi aktual. Maka penulis
menjadi kan diagnosa ini sebagai diagnosa kedua karena apabila resiko
infeksi ini tidak di tangani dengan benar maka pasien akan mengalami
infeksi pada daerah luka jahitanya sehingga dapat menyebabkan
komplikasi yang berkelanjutan. Tindakan intervensi yang dilakukan disini
adalah meliputi :
a) Kaji keadaan luka (Continuitas dari luka) dan kalor, dolor, rubor, tumor
dilakuan untuk mengidentifikasi tanda- tanda infeksi pada luka, dan
organisme khusus pada luka.
b) Anjurkan pasien untuk tidak mememgang bagian luka untuk mencegah
terjadinya perpindahan mikroorganisme dari tangan ke luka atau
kontaminasi silang
c) Rawat luka dengan menggunakan teknik aseptik perhatikan drainase
luka, meminimalkan kesempatan perkembangbiaan bakteri serta
mempertahankan kebersihan luka dan meningkatkan penyembuhan
kulit yang lunak.
d) Kolaborasi pemeriksaan kadar leukosit pasien, kadar leukosit digunakan
untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami terjadi infeksi pada
luka tau tidak selin itu di gunakan sebgai data penunjang selain tanda
khas infeksi yang dipaparkan.

3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kadar


Haemoglobin
Menurut (Nnada, 2013) Gangguan perfusi jaringan adalah : Beresiko
mengalami penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu
kesehatan.
Gejala : Terjadi gangguan oksigenasi, sianosis, penurunan kadar
Haemoglobin,
Alasan penulis memunculkan diagnosa gangguan perfusi jaringan menjadi
diagnosa karena gangguan perfusi jaringa jika tidak segera ditangani akan
berpengaruh pada gangguan yang lain tergantung pada bagian mana yang
terserang. Maka penulis lebih memprioritaskan diagnosa ini untuk
diangkat menjadi diagnosa ke 3 selain itu pada pasien Tn E yang
mengalami penurunan haeomoglobin sudah di berikan transfusi darah
untuk membantu peningkatan kadar haemoglobinnya,
Gangguan perfusi jaringan atau kekurangan oksigenasi atau
karbondioksidan penghapusan pada membran aveolar – kapiler (Potter
Patricia, 2005 ).Penurunan karbon dioksida, abnormal gas darah arteri,
lekas marah, mengantuk, gelisah, takikardia, sianosis, warna kulit
abnormal, konjungtiva anemis, sakit kepala ketika terbangun, penurunan
kadar HB, irama pernafasan abnormal, diaforesis, normal PH arteri,
normal hidung melebar. Akral dingin, keluar kringat dingin ( Nanda,
2012). Dalam pengkajian Tn “ E” ditemukan data : Pasien lemas,
terpasang 02 kanul nasal 3l / menit, TD : 150 / 90 mmhg N : 88x/ menit, S
: 37ºc RR ; 28x/ menit Hb : 6,8 gr %, sianosis, konjuntiva anemis,akral
dingin, keluar kringat dingin setelah penulis bandingkan dengan data antar
teori menurut teori Nanda ( 2012) dengan yang diperoleh daripengkajian
pasien terdapat persamanaan data, pasien sianosis terpasang O2 kanul
nasal 3l / menit, TD : 150/ 90 mmhg S : 37ºc RR : 28x/ menit, N : 88x/
menit, HB : 6,7 gr % , akral dingin, keluar kringat dingin.
Untuk mengatasi gangguan perfusi jaringan penulis membuat
tujuan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam dengan alasan gangguan
sangat signifikan sehingga mambutuhkan waktu 3 hai untuk mengatasi
masalah tersebut, untuk itu diharapkan gangguan perfusi jaringan dapat
teratasi dengan KH : TTV normal 100/ 80 mmhg – 140/ 80 mmhg, Kadar
HB normal 14- 18 gr %, Akral hangat, konjungtiva tidak anemis. Untuk
mencapai tujuan tersebut penulis merencanakan dengan intervensi
keperawatan yaitu :
1. Mengawasi Tanda- tanda vital pasien, karakteristik kulit ( Warna,
elastisitas, CRT ), memberikan informasi tentang derajat/ keadekuatan
perfusi jaringan dan menentukan kebutuhan intervensi.

2. Tinggikan kepala tempat tidur dgunakan untuk meningkatkan ekspansi


paru dan memaksimalkan oksigenasi untuk kebutuhan seluler.

3. Selidiki atau lakukan pemeriksaan dada keluhan nyeri dada, untuk


mengetahui iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial/ potensial
risiko infark
4. Pemberian oksigen kanul nasal dan pemeriksaan darah untuk cek kadar
HB. Memaksimalkan transpor oksigen ke jaringan dan membantu proses
pernafasan pasien untuk memenuhi kebutuhan oksigen pasien.

Penulis tidak dapat melaksanakan asuha keperawatan sesuai tujuan yaitu


3x 24 jam karena hanya mendapatkan sif diruangan selama 8 jam per sif
sehingga pelaksanaan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam semua
penulis lakukan tetapi masalah belum teratasi dengan catatan. Jadi
kesimpulanya masalah belum teratasi, lanjutkan itervensi.

Anda mungkin juga menyukai