Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah mengenai “LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN
MASALAH INFORM CHOICE DAN INFORM CONCENT ” dapat terselesaikan. Makalah ini
merupakan tugas dalam mata kuliah Etika hukum kesehatan yang bertujuan untuk memberikan
pendekatan belajar agar mahasiswa lebih mudah memahami materi yang terkandung, juga
membangun motivasi mahasiswa untuk dapat mengaitkan suatu materi.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami menerima kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya dan dapat
memenuhi harapan kita semua.

Madiun, 19 November 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa wanita ingin
membuat pilihan kalau diberikan informasi yang cukup dan justru para bidan yang
enggan memberikan informasi yang lengkap agar wanita dapat membuat keputusan.
Wanita dengan pendidikan tinggi dapat membuat pilihan karena banyak membaca
atau mempunyai bekal untuk membuat keputusan, tetapi untuk sebagian besar masih
sulit karena berbagai alasan, misalnya alasan social ekonomi, kurangnya pendidikan
dan pemahaman masalah kesehatan, kesulitan bahasa dan pemahaman system
kesehatan yang tersedia. Maka dari itu kami mengambil judul “INFORMED
CHOICE” agar ibu dapat menentukan pilihannya sesuai kebutuhan berdasarkan
informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan termasuk bidan. Informed consent
berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan
terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk
meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan
kesehatan terhadap diri mereka sendiri.

Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa
yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat
keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.

Dalam permenkes 585/Men.Kes/Per/ IX/1989 tentang persetujuan medik pasal 6


ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang memberikan informasi dalam hal tindakan
bedah adalah dokter yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain
dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab. Dalam hal
tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informasi dapat
diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter
yang bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu
dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah
kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan
dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Tenaga kesehatan yang tidak
menunaikan hak pasien untuk memberikan informed consent yang jelas, bisa
dikategorikan melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat
menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah malpraktek medik
(medical malpractice) yang cenderung merugikan pasien semakin mendapatkan
perhatian dari masyarakat dan sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Kesehatan Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi
di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan oleh informed
consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan, tetapi kasus-kasus malpraktek
baru mulai bermunculan.

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian informed choice?

b. Apa perbedaan informed choice dengan informed consent?

c. Bagaiman rekomendasi yang dianjurkan bagi bidan dalam peningkatan


informed choice?

d. Bentuk pilihan apa saja yang ada dalam asuhan kebidanan?

e. Apa pengertian informed consent ?

f. Bagaimana sejarah informed consent ?

g. Apa tujuan informed consent ?


h. Apa komponen penting dalam informed consent ?

i. Bagaimana dasar hukum informed consent ?

j. Bagaimana dimensi dalam proses informed concent ?

k. Apa syarat sahnya perjanjian atau consent ?

l. Bagaimana segi hukum informed consent ?

m. Bagaimana bentuk informed consent ?

n. Apa masalah yang lazim terjadi pada informed consent ?

o. Bagaimana contoh informed consent secara tulis dan lisan ?

C. Tujuan

1. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian informed choice

2. Agar pembaca dapat mengetahui perbedaan informed choice dan


informed consent

3. Agar mahasiswi kebidanan dapat mengetahui rekomendasi apa saja yang


dianjurkan bagi bidan dalam peningkatan informed choice

4. Agar pembaca dapat mengetahui pilihan yang terdapat dalam asuhan


kebidanan

5. Agar pembaca dapat mengetahui pengertian informed consent

6. Agar pembaca dapat mengetahui sejarah informed consent

7. Agar pembaca dapat mengetahui tujuan informed consent


8. Agar pembaca dapat mengetahui komponen penting dalam informed
consent

9. Agar pembaca dapat memehami dasar hukum informed consent

10. Agar pembaca dapat mengetahui dimensi dalam proses informed consent

11. Agar pembaca dapat mengetahui syarat syah informed consent

12. Agar pembaca mengetahui segi hukum informed consent

13. Agar pembaca mengetahui bentuk informed consent

14. Agar pembaca mengetahui apa saja masalah yang lazim dalam informed
consent

15. Agar pembaca dapat mengetahui contoh informed consent secara tulis
dan lisan

DAFTAR ISI

BAB II

PEMBAHASAN

A. Informed Choice

1. Pengertian Choice
Pengertian informed choice adalah membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan
tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya. Menurut kode etik internasional bidan yang
dinyatakan oleh ICM tahun 1993 bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah
mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab terhadap
hasil dari pilihannya. Definisi informasi dalam konteks ini adalah meliputi: informasi yang
lengkap sudah diberikan dan dipahami ibu, tentang pemahaman resiko, manfaat, keuntungan,
dan kemungkinan hasil dari tiap pilihannya. Hak dan keinginan wanita harus dihormati,
tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya.

Dari riwayat yang sudah lama berlangsung, petugas kesehatan termasuk bidan sungkan
baik untuk membagikan informasi maupun membuat keputusan bersama dengan klien. Ini
bertentangan dengan aspek hukum dan untuk sikap profesionalisme yang wajib dan bersusah
payah untuk menjelaskan kepada klien semua kemungkinan pilihan tindakan dan hasil yang
diharapkan dari setiap pilihannya.

Di negara manapun ada hambatan dalam memberdayakan wanita mengenai pelaksanaan


informed choice ini, misalnya sangat kurang informasi yang diperoleh ketika wanita mulai
hamil dan ada prasangka bahwa wanita sendiri enggan menggambil tanggung jawab untuk
membuat keputusan yang sulit dalam kehamilan maupun persalinan. Dari hasil penelitian
yang pernah dilakukan menunjukan bahwa wanita ingin membuat pilihan kalau diberikan
informasi yang cukup dan justru para bidan yang enggan memberikan informasi yang
lengkap agar wanita dapat membuat keputusan. Wanita dengan pendidikan tinggi dapat
membuat pilihan karena banyak membaca atau mempunyai bekal untuk membuat keputusan,
tetapi untuk sebagian besar masih sulit karena berbagai alasan, misalnya alasan social
ekonomi, kurangnya pendidikan dan pemahaman masalah kesehatan, kesulitan bahasa dan
pemahaman system kesehatan yang tersedia. Sebagai seorang bidan dalam memberikan
inform choise kepada klien harus:

a) Memperlakukan klien dengan baik.

b) Berinteraksi dengan nyaman

c) Memberikan informasi obyektif, mudah dimengerti dan diingat serta tidak berlebihan.
d) Membantu klien mengenali kebutuhannya dan membuat pilihan yang sesuai dengan
kondisinya.

2. Pilihan (choice) berbeda dengan persetujuan (consent) :


a. Persetujuan atau consent penting dari sudut pandang bidan karena berkaitan dengan
aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang akan dilakukan
bidan
b. Pilihan atau choice penting dari sudut pandang klien sebagai penerima jasa asuhan
kebidanan, yang memberikan gambaran pemahaman masalah yang sesungguhnya
dan menerapkan aspek otonomi pribadi menentukan “ pilihannya” sendiri.

3. Tujuannya 
untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam
manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan
keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan
oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan
dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.

4. Rekomendasi

1. Bidan harus terusmeningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek


agar dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan
pelayanan yang aman dan dapat memuaskan kliennya

2. Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk yang dapat
dimengerti oleh wanita dengan menggunakan media laternatif dan penerjemah, kalau
perlu dalam bentuk tatap muka secara langsung

3. Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu wanita melatih diri
dalam menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk keputusan yang
mereka ambil sendiri
4. Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan berdasarkan fakta,
diharapkan bahwa konflik dapat ditekan serendah mungkin

5. Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan untuk
saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan wanita
dari sistem asuhan dan suatu tekanan positif.
Bentuk Pilihan yang Ada dalam Asuhan Kebidanan
Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien, antara lain:

1. Gaya bentuk pemeriksaan ANC dan pemeriksaan laboratorium atau screening antenatal.

2. Tempat melahirkan

3. Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan

4. Pendampingan waktu melahirkan

5. Klisma dan cukur daerah pubis

6. Metoda monitor denyut jantung janin

7. Percepatan persalinan atau augmentasi

8. Diet selama proses persalinan

9. Mobilisasi selama proses persalinan

10. Pemakaian obat penghilang rasa sakit

11. Pemecahan ketuban

12. Posisi ketika melahirkan

13. Episiotomi

14. Penolong persalinan

15. Keterlibatan suami waktu bersalin/kelahiran.

16. Pemotongan tali pusat

17. Metode kontrasepsi


Informed concent bukan hal yang baru dalam bidang pelayanan kesehatan. Informed
concent telah diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya konflik
dalam masalah etik.
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat
penjelasan/keterangan/informasi) dan concent (memberikan persetujuan/mengizinkan. Informed
concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.
Menurut Veronika Komalawati  pengertian informed concent adalah suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

Dalam PERMENES no 585 tahun 1989 (pasal 1)


Informed concent diatfsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
dilakukan terhadap pasien tersebut.

6. Langkah-langkah pencegahan masalah etik

Dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut :
1)      Informed concent
2)      Negosiasi
3)      Persuasi
4)      Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal,
maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap
bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh
informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.

7. Dalam proses informed concent :


1)      Dimensi yang menyangkut hukum
dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang
berprilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :

1. Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien


2. Informasi tersebut harus dimengerti pasien
3. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik

2)      Dimensi yang meyangkut etik


Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :

1. Menghargai kemandirian/otonomi pasien


2. Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai
dengan informasi yang telah dibutuhkan
3. Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai
hasil pemikiran yang rasional
B.  Informed consent

A. Sejarah Informed Consent


Informed consent menjadi kewajiban bagi tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan
medis di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1960. Sejarah informed consent berawal di
revolusi Perancis, sejak Rousseau pada tahun 1780 mencetuskan “Declaration de droit de
I’homme et du citoyen” (pernyataan hak seseorang dan hak warga negara). Pada 1791, Assemble
e Nationale merumuskan pernyataan itu dengan semboyan “Liberte, Egalite, Fraternite”
(Kemerdekaan, Kesamaan, Persaudaraan).1 Presiden Roosevelt Pada tahun 1942 dalam Sidang
Umum PBB mengemukaan gagasan, antara lain: bebas berbicara dan berpikir, bebas beragama,
bebas dari ketakutan, dan bebas dari kekurangan dan kemiskinan. Kemudian pada tahun 1948
General Assemble UNO menyempurnakannya dan menyatakan “Universal Declaration of
Human Rights” berasaskan self determination. Setelah itu, pada tahun 1972 diterbitkan
American Bill of Right. Masyarakat ekonomi Eropa pada tahun 1979 menerbitkan “Charter of
Hospital Patients”, dan “The Rights of Hospital Patiens”.
Declaration of Lisbon (1981) dan Patient`s Bill of Right (American Hospital Association,
1972), menyatakan bahwa “pasien mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan hak
untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan
medik”. Hal ini berhubungan dengan hak menentukan nasib sendiri (the right to self
determination) sebagai dasar hak asasi manusia, dan hak atas informasi yang dimiliki pasien
tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru
dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara
formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari
apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman
Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann
tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp
konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian
besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan
kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten
tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari
pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan
medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis
untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai
berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan
kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang
diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya.
Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara
hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang
lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien
telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang
kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling
menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua,
dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai
dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus
mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan
bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan
kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk
meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.

B. Pengertian

Pesetujuan yang diberikan pasien atau walinya yang berhak terhadap bidan, untuk
melakukan suatu tindakan kebidanan kepada pasien setelah memperoleh informasi lengkap
dan dipahami mengenai tindakan yang akan dilakukan. Informed consent merupakan suatu
proses. Secara hukum informed consent berlaku sejak tahun 1981 PP No.8 tahun 1981.

Informed consent bukan hanya suatu formulir atau selembar kertas, tetapi bukti jaminan
informed consent telah terjadi. Merupakan dialog antara bidan dan pasien di dasari
keterbukaan akal pikiran, dengan bentuk birokratisasi penandatanganan formulir. Informed
consent berarti pernyataan kesediaan atau pernyataan setelah mendapat informasi
secukupnya sehingga setelah mendapat informasi sehingga yang diberi informasi sudah
cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan terhadapnya sebelum
ia mengambil keputusan. Berperan dalam mencegah konflik etik tetapi tidak mengatasi
masalah etik, tuntutan, pada intinya adalah bidan harus berbuat yang terbaik bagi pasien
atau klien.

C. Tujuan Informed Consent:

1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya


tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.

2.  Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).

D. Komponen penting dalam Informed Consent


Komponen penting yang harus dipahami pada suatu consent atau persetujuan menurut Culver
and Gert adalah :

2. Sukarela (Voluntariness). Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat


adalah atas dasar sukarela tanpa ada paksaan didasari informasi dan kompetensi.
Sehingga pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsusr informasi yang diberikan
sejelas-jelasnya.

3.  Informasi (Information). Jika pasien tidak tahu atau sulit untuk dapat mendeskripsikan
keputusan. Dalam berbagai kode etik pelayanan kesehatan bahwa informasi yang
lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan yang tepat. Kurangnya informasi
atau diskusi tentang resiko,efek samping tindakan, akan membuat pasien sulit
mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas dan bingung.

4. Kompetensi(Competence). Dalam konteks consent kompetensi bermakna suatu


pemahaman bahwa seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat
keputusan dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.

5. Keputusan (Decision). Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, dimana


merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan persetujuan
tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir proses pemberian
persetujuan. Keputusan penolakan pasien terhadap suatu tindakan harus divalidasi lagi
apakah karena pasien kurang kompetensi. Jika pasien menerima suatu tindakan
senyaman mungkin.

E. Dasar Hukum informed consent

1. Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan pada Kepmenkes no. 900/2002 Pasal 25

a) Ayat (1) Bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang
diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan
pelayanan berdasarkan standar profesi.

b) Di samping ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bidan dalam


melaksanakan praktik sesuai dengan kewenangannya harus: a. menghormati hak
pasien; b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani; c. menyimpan rahasia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. memberikan informasi tentang
pelayanan yang akan diberikan; e. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
f. melakukan catatan medik (medical record) dengan baik

2. Diatur dalam Registrasi dan Praktik bidan pada Kepmenkes no. 900/2002 Bab IX, Sanksi
Pasal 42 Bidan yang dengan sengaja : a. melakukan praktik kebidanan tanpa mndapat
pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan /atau; b. melakukan
praktik kebidanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; c. melakukan praktik
kebidanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1)
ayat (2); dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan.

3. Pasal 53 pada UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menetapkan sebagai berikut:

a) Ayat 2, Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi


standar profesi dan menghormati hak pasien.

b) Ayat 4, Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana dimaksudkan
dalam Ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Penjelasan Pasal 53 UU No.
23/92 Tentang Kesehatan adalah:

c) Ayat 2, Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik. Tenaga kesehatan yang berhadapan dengan pasien
dalam melaksanakan tugasnya harus menghormati hak pasien. Yang dimaksud dengan
hak pasien adalah hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas
rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua.

4. Secara hukum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8 Tahun 1981.

5. Informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan diundangkannya


Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik,
lebih jelasnya baca dilamppiran. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 Tahun
1989 ini dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (a) menetapkan apa yang
dimaksud Informed Consent; Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.

F. Ada dua dimensi dalam proses informed concent :

1. Dimensi yang menyangkut hukum dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan
bagi pasien terhadap bidan yang berperilaku memaksakan kehendak, dimana proses
informed concent sudah memuat :

a) Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien

b) Informasi tersebut harus dimengerti pasien

c) Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik

2. Dimensi yang meyangkut etik


Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :

a) Menghargai kemandirian/otonomi pasien


b) Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai
dengan informasi yang telah dibutuhkan

G. Syarat Sahnya Perjanjian Atau Consent (KUHP 1320)

1. Adanya Kata Sepakat. Sepakat dari pihak bidan maupun klien tanpa paksaan, tipuan maupun
kekeliruan setelah diberi informasi sejelas – jelasnya.

2. Kecakapan. Artinya seseorang memiliki kecakapan memberikan persetujuan, jika orang itu
mampu melakukan tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Bila pasien seorang anak, yang
berhak memberikan persetujuan adalah orangtuanya, pasien dalam keadaan sakit tidak dapat
berpikir sempurna shg ia tidak dapat memberikan persetujuan untuk dirinya sendiri,
seandainya dalam keadaan terpaksa tidak ada keluarganya dan persetujuan diberikan oleh
pasien sendiri dan bidan gagal dalam melakukan tindaknnya maka persetujuan tersebut
dianggap tidak sah.

Contoh : Bila ibu dalam keadaan inpartu mengalami kesakitan hebat, maka ia tidak dapat
berpikir dengan baik, maka persetujuan tindakan bidan dapat diberikan oleh suaminya, bila
tidak ada keluarga atau suaminya dan bidan memaksa ibu untuk memberikan persetujuan
melakukan tindakan dan pada saat pelaksanaan tindakan tersebut gagal, maka persetujuan
dianggap tidak sah.

3. Suatu Hal Tertentu. Obyek persetujuan antara bidan dan pasien harus disebutkan dengan
jelas dan terinci. Misal : Dalam persetujuan ditulis dengan jelas identitas pasien meliputi
nama, jenis kelamin, alamat, nama suami, atau wali. Kemudian yang terpenting harus
dilampirkan identitas yang membuat persetujuan

4. Suatu Sebab Yang Halal. Isi persetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang – undang,
tata tertib, kesusilaan, norma dan hukum. contoh : abortus provocatus pada seorang pasien
oleh bidan, meskipun mendapatkan persetujuan si pasien dan persetujuan telah disepakati
kedua belah pihak tetapi dianggap tidak sah sehingga dapat dibatalkan demi hukum

H. Segi Hukum Informed Consent


·         Pernyataan dalam informed consent menyatakan kehendak kedua belah pihak, yaitu pasien
menyatakan setuju atas tindakan yang dilakukan bidan dan formulir persetujuan ditandatangani
kedua belah pihak, maka persetujuan tersebut mengikat dan tidak dapat dibatalkan oleh salah
satu pihak.
·         Informed consent tidak meniadakan atau mencegah diadakannya tuntutan dimuka pengadilan
atau membebaskan RS atau RB terhadap tanggungjawabnya bila ada kelalaian. Hanya dapat
digunakan sebagai bukti tertulis adan adanya izin atau persetujuan dari pasien terhadap
diadakannya tindakan.
·         Formulir yang ditandatangani pasien atau wali pada umumnya berbunyi segala akibat dari
tindakan akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab bidan
atau rumah bersalin. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum,
mengingat seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya atas kesalahan yang
belum dibuat.

I. Bentuk Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)

1. Implied constructive Consent (Keadaan Biasa). Tindakan yang biasa dilakukan , telah
diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis
misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.

2. Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat). Secara umum bentuk persetujuan yang
diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

a. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3
ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis
yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent)

b. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif
dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien

c. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima
atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi
seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001). Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar
informed consent dapat diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L.
Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed consent terkandung empat unsur,
dua menyangkut pengertian informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut
perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi,
pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai
unsur pertama, pertanyaan pokok yang  biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan
informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga
kesehata lainnya memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu persetujuan informed.  
Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:

1. Standar praktek profesional (the professional practice standard)

2. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)

3. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)

J. Masalah Yang Lazim Terjadi Pada Informed Consent

1. Pengertian kemampuan secara hukum dari orang yang akan menjalani tindakan, serta siapa
yang berhak menandatangani.

2. Masalah wali yang sah. Timbul apabila pasien atauibu tidak mampu secar hukum untuk
menyatakan persetujuannya.

3. Masalah informasi yang diberikan, seberapa jauh informasi dianggap telah dijelaskan
dengan cukup jelas, tetapi juga tidak terlalu rinci sehingga dianggap menakut – nakuti

4. Dalam memberikan informasi apakah diperlukan saksi, apabila diperlukan apakah saksi
perlu menanda tanagani form yang ada. Bagaimana menentukan saksi?

5. Dalam keadaan darurat, misal kasus perdarahan pada bumil dan kelaurga belum bisa
dihubungi, dalam keadaan begini siapa yang berhak memberikan persetujuan, sementara
pasien perlu segera ditolong.

Contoh-contoh Informed Consent secara Tulis dan Lisan21/03/2017


1.       Contoh Informed Consent secara Tertulis
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung risiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PERMENKES No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung risiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi adekuat tentang perlunya tindakan medis serta risiko yang
berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent).
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama                  :                       (L/P)
Umur/Tgl Lahir     :
Alamat                 :
Telp                     :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang
tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama                              :                        (L/P)
Umur/Tgl lahir      :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis
berupa…………………………………………………………………………….

Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan
penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan
yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.

                                                                                    Jakarta,………………….20……

Dokter/Pelaksana,                                                        Yang membuat pernyataan,


Ttd                                                                                           Ttd

(……………………)                                                  (…………………………..)
*Coret yang tidak  perlu

2.       Contoh Informed Consent secara Lisan


Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung risiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
Contohnya, ketika bidan melakukan komunikasi kepada psien untuk melakukan tindakan
keperawatan yaitu memandikan klien dan perawatn menyanyakan kepada klien dan keluarga
mengenai kesediaan untuk dilakukan tindakan. Kemudian pasien atau keluarga pun hanya
menyetujui dengan lisan tanpa harus dilakukan persetujuan dengan tulisan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Informed choice merupakan bentuk persetujuan pilihan, misalnya tentang metode kontrasepsi
yang dipilih oleh klien setelah memahami kebutuhan reproduksi yang paling sesuai dengan dirinya /
keluarganya. Pilihan tersebut merupakan hasil bimbingan dan pemberian informasi yang obyektif, akurat
dan mudah dimengerti oleh klien. Pilihan yang diambil merupakan yang terbaik dari berbagai alternatif
yang tersedia.
Bidan harus memberikan pilihan kepada klien tanpa bersifat otoriter, karena klien
mempunyai hak untuk menentukan pilihannya dari informasi yang telah diperoleh dari bidan
tentang segi positif dan negatif pilihannya yang sesuai dengan kondisinya dan tindakan apa yang
akan dilaksanakan. Pemberian informasi yang jelas akan membantu klien membuat pilihan
sendiri yang sesuai dan memahami tujuan dan risiko prosedur klinik terpilih. Proses pertukaran
informasi dan interaksi positif antara klien dan petugas untuk membantu klien mengenali
kebutuhannya, memilih solusi terbaik dan membuat keputusan yang paling sesuai dengan kondisi
yang sedang dihadapi
Hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi
dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informed consent). Jadi,
informed consent merupakan implementasi dari kedua hak pasien tersebut. Hak pasien tersebut
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi Undang-Undang.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain.
Peran perawat dalam informed consent terutama adalah membantu pasien untuk
mengambil keputusan pada tindakan pelayanan kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya
setelah diberikan informasi yang cukup oleh tenaga kesehatan. Dasar filosofi tersebut bertujuan
untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi sehingga dapat mewujudkan
keadaan sejahtera.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya.
Secara umum, seorang dokter diharuskan memperoleh suatu informed consent
(persetujuan medik) dari pasien sebelum melakukan pengobatan. Bahwa seorang anak terlalu
muda atau imatur untuk memberi persetujuannya sendiri tidak membebaskan seorang dokter dari
kewajibannya memperoleh suatu persetujuan medic

B. Saran
Demi memajukan keterampilan dan pengetahuan seorang bidan, harus terus
meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat
keputusan klinisdan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan
memuaskan kliennya. Maka informed choice dan informed concent harus di berikan kepada
klien sebagai suatu pilihan untuk klien.
DAFTAR ISI

https://endahdian.wordpress.com/2009/12/21/dilema-etik-moral-pelayanan-kebidanan/

https://inatiganna.blogspot.com/2017/04/pengambilan-keputusan-dalam-pelayanan.html

https://veni-agnestia.blogspot.com/2011/03/makalah-informed-choice.html

https://nahrowy.wordpress.com/2013/01/31/makalah-informed-consent/

Anda mungkin juga menyukai