Agama dan kebudayaan Islam masuk berkembang ke Indonesia setelah era Hindu-
Budha. Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia,
terutama perihal waktu dan tempat asalnya. Masuknya agama Islam ke Indonesia tidak
lepas dari adanya jalur perdagangan di Selat Malaka, banyak kapal-kapal dagang muslim
yang datang dan singgah di Nusantara. Adanya interaksi dengan itensitas tinggi antara
masyarakat pribumi dengan para pedagang asing dari berbagai penjuru dunia
memunculkan berbagai teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Adapun teori yang
berkembang dan paling banyak di gunakan oleh para sejarawan serta didukung dengan
bukti-bukti yang kuat adalah sebagai berikut:
1) Teori Gujarat (abad ke-13 M atau ke-7 H)
Pencetus teori Gujarat adalah J. Pijnapel di dukung oleh C. Snouck Hurgronye dan
J.P. Moquetta. Islam masuk ke wilayah Nusantara dipercaya datang dari wilayah
Gujarat, India sekitar abad ke-13 Masehi atau abad ke-7 Hijriyah. Wilayah Gujarat
terletak di India bagian barat dekat dengan Laut Arab, letaknya sangat strategis berada
di jalur perdagangan antara dunia timur dan barat. pedagang Arab yang bermazab
Syafi’I telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal tahun Hijriyah. Orang yang
menyebarkan Islam ke Nusantara menurut teroi Gujarat, bukanlah orang Arab langsung
melainkan para pedagang Gujarat yang telah memeluk agama islam dan berdagang di
Selat Malaka. Bukti yang mendukung teori Gujarat adalah Batu nisan Sultan Malik
Al-Saleh yang wafat pada 17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Batu nisan
di Pasai dengan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa
Timur memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan di kambay, Gujarat. Selain itu
bukti lain yang mendukung adalah adanya persamaan unsur-unsur islam Nusantara
dengan Islam di India.
2) Teori Persia
Dikemukakan oleh Djajadiningrat, Islam masuk ke Nusantara berasal dari Persia
(Iran). Pendapatnya di dasarkan pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang
antara masyarakat islam Persia dan masyarakat islam di Nusantara. Tradisi tersebut
antara lain tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum syiah
atas kematian Husein bin Ali yang berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di
Sumatra Barat dan Bengkulu.
3) Kerajaan Demak
Para ahli sejarah memperkirakan Kerajaan Demak berdiri sejak tahun 1500
M, sesudah Kerajan Majapahit runtuh sekitar tahun 1478 M. Raja pertama Demak
adalah Raden Fatah bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fatah yang memerintah
Kerajaan Demak tahun 1500 - 1518 M. Menurut cerita rakyat Jawa Timur Raden
Fatah merupakan keturunan terakhir dari Kerajaan Majapahit yaitu Raja Brawijaya
V. Kerajaan Demak berkembang pesat sebagai kerajaan bercorak Agraris dan
Maritim, dibidang agraris Kerajaan Demak memiliki daerah pertanian yang luas
sebagai penghasil pangan dan di bidang maritime Kerajaan Demak terletak di jalur
perdagangan antara Malaka dan Maluku.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi Jepara, Tuban, Sedayu,
Palembang dan Jambi. Kemajuan Demak juga di pengaruhi oleh jatuhnya Selat
Malaka ke tangan Portugis. Karena Selat Malaka dikuasi oleh Portugis banyak
pedagang-pedagang muslim yang tidak mau berdagang lagi ke selat malaka
kemudian pindah haluan transit ke pelabuhan-pelabuhan kekuasan Kerajaan Demak
seperti Jepara, Tuban dan Gresik hal ini menjadikan Demak sebagai pusat
perdagangan di Asia Tenggara. Selain menjadi pusat perdagangan Demak juga
tumbuh menjadi pusat penyebaran agama islam. Kerajaan Demak merupakan
tempat berkumpul Wali Sanga yang merupakan tokoh penyebaran agama islam di
Pulau Jawa.
Kerajaan Demak mengalami kemunduran akhibat perebutan kekuasaan
antara Pangeran Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Sultan Trenggono yang
mengakibatkan perang saudara berkepanjangan. Puncaknya terjadi pemberontakan
besar yang meruntuhkan Kekuasaan Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan
Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Selanjutnya Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan
Pajang dan mendapat gelar Sultan Hadi Wijaya.