Meninjau Pasar Timah Indonesia (2018 - 2020)
Meninjau Pasar Timah Indonesia (2018 - 2020)
Dari data anggota timah di ICDX, tercatat sebanyak 38 smelter timah dan 36 perusahaan
importir timah yang resmi terdaftar untuk melakukan transaksi perdagangan timah di Bursa. Di
tahun 2018, PT Timah Tbk menempati posisi teratas sebagai eksportir timah Indonesia yang
berkontribusi sebesar 39.97% terhadap total volume ekspor, disusul oleh Refined Bangka Tin
(6.59%), Venus Inti Perkasa (5.49%), Menara Cipta Mulia (4.89%), Bangka Prima Tin (4.73%) dan
lainnya.
Berdasarkan data transaksi ekspor melalui ICDX, di tahun 2018, negara tujuan ekspor
timah Indonesia sudah mencakup sebanyak 26 negara importir, dengan porsi terbesar yaitu
Singapore (24.16%), Jepang (14.38%), Korea Selatan (14.21%), Belanda (13.29%), AS (10.78%),
dan negara lainnya.
Sepanjang diperdagangkannya timah di bursa ICDX, telah mencatat keberhasilan dalam
mengambil alih perdagangan timah yang sebelumnya dikuasai oleh Singapura (secondary
market) dengan volume 80% pada tahun 2014 hingga terus menurun hingga menjadi 24% di
tahun 2018, hal ini tentunya disebabkan oleh peningkatan jumlah importir timah di Bursa ICDX
dan secara signifikan tujuan ekspor ke berbagai Negara semakin meningkat setelah timah
diperdagangkan di bursa ICDX, yakni sebesar 86% dari 14 negara menjadi 26 negara tujuan
ekspor.
NO EXPORT DESTINATION
1 SINGAPORE
2 JAPAN
3 SOUTH KOREA
4 NETHERLANDS
5 USA
6 INDIA
7 TAIWAN
8 ITALY
9 THAILAND
10 SPAIN
11 MALAYSIA
12 BELGIA
13 CHINA
14 TURKY
15 POLANDIA
16 HONGKONG
17 VIETNAM
18 UNITED KINGDOM
19 BULGARIA
20 HUNGARY
21 ARAB
22 MEXICO
23 AUSTRALIA
24 AFRICA
25 ISRAEL
26 PHILIPPINES
2018
Tren kenaikan timah yang terjadi setiap tahun di bulan Februari misalnya disebabkan
karena perayaan Tahun Baru China yang jatuh pada bulan tersebut, biasanya para produsen
timah di Indonesia mulai menutup pesanan seminggu sebelum perayaan, sehingga membuat
lonjakan permintaan menjelang perayaan tersebut.
Harga timah Indonesia sudah mengalami penurunan sejak Maret saat isu perubahan
kebijakan pemberian ijin kuota ekspor sedang memanas. Harga timah Maret turun hampir 2
persen secara bulanan. Meski di bulan April resmi dikeluarkan Permendag No 44 sebagai solusi
atas kepastian pemberian ijin, namun, dampaknya adalah volume ekspor Indonesia turun hingga
45 persen karena penyesuaian peraturan tersebut, dari sisi harga juga turun sebesar 0.23 persen.
Melihat tren penurunan harga yang terus berlanjut, PT Timah Tbk selaku produsen timah
terbesar di Indonesia pada akhir September mengumumkan akan melakukan pengurangan
ekspor sebesar 2,000 ton per bulan. Alhasil, harga timah bulan Oktober kembali menguat sebesar
0.39 persen.
Penguatan harga tersebut tidak berlangsung lama, di bulan yang sama muncul masalah
terkait legalitas dari bijih timah yang digunakan, setelah timah dari salah satu smelter yang akan
diekspor ditahan oleh kepolisian. Melihat keseriusan dari masalah yang berpotensi mencoreng
kepercayaan pembeli internasional terhadap timah Indonesia, ICDX selaku pihak yang dipercaya
oleh Pemerintah untuk mengatur tataniaga perdagangan ekspor timah, akhirnya per 16 Oktober
2018 secara efektif dilakukan moratorium bagi smelter yang menggunakan Surveyor Indonesia
untuk memverifikasi asal bijih timah mereka. Pemberlakuan tersebut secara tidak langsung ikut
berdampak penurunan harga di bulan November yang turun sebesar 0.20 persen.
2019
Persyaratan CPI yang ditambahkan ke dalam proses pengajuan RKAB tahun 2019 bagi
para smelter, memberikan goncangan bagi pasar timah Indonesia. Sejak awal tahun, aktivitas
ekspor timah puluhan smelter swasta di Bangka Belitung terhenti dan berlanjut hingga saat ini
dan tercatat hanya beberapa smelter swasta yang mendapatkan persetujuan RKAB dan dapat
melakukan ekspor yakni Refined Bangka Tin (225 MT), Artha Cipta Langgeng (100 MT) yang
bertransaksi di bursa JFX sedangkan dari data ekspor ICDX, tercatat sepanjang tahun 2019 hanya
smelter swasta Mitra Stania Prima (25 MT) yang melakukan ekspor. Kondisi perdagangan timah
telah berubah sehingga berdampak begitu terasa bagi investasi di Bangka Belitung dan juga
tentunya perekonomian masyarakat disana.
Pemilihan Presiden yang jatuh pada bulan April juga turut berdampak pada tren
pelemahan harga timah di tahun 2019. Hal tersebut dikarenakan berhubungan dengan arah
kebijakan terkait tataniaga ekspor timah di Indonesia kedepan.
Selain itu melemahnya perekonomian global akibat perang dagang yang berlangsung
antara China dan AS sejak bulan Juli 2018 mulai berdampak pada penurunan permintaan
komoditi, termasuk timah.
Melihat tren negatif dari harga timah tersebut, PT Timah Tbk mengambil langkah untuk
mulai mengurangi volume penjualan ekspor sebesar 1,000 – 1,500 ton per bulan yang telah
dimulai sejak Juli 2019. Di bulan Oktober, pemangkasan volume tersebut semakin ditingkatkan
hingga sebesar 2,000 – 2,500 ton per bulan.
Langkah tersebut berhasil meredam harga timah jatuh lebih lanjut, harga bergerak stabil
di atas $15,700 per ton hingga $17,000 per ton.
2020
2020 merupakan tahun dimulainya pandemi Covid-19 yang berdampak pada pelemahan
ekonomi global. Aksi penutupan aktifitas ekonomi serta pembatasan kegiatan diluar rumah
berdampak pada penurunan permintaan sejumlah komoditas termasuk timah.
Meski sepanjang kuartal pertama 2020, harga timah terpantau masih stabil di kisaran
harga $15,000 - $17,000 per ton, namun efek lesunya permintaan mulai terasa memasuki bulan
April. Harga timah anjlok dibawah $15,000 per ton.
Oleh karena itu, di bulan April, PT Timah kembali mengumumkan akan mengurangi
produksi sekitar 20% hingga 30% dan juga berencana menunda sejumlah ekspor demi meredam
kemerosotan harga tersebut.