Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RAHAYU SEPDIVA AKLI

NIM : 191211549

KELAS : 2A S1 KEPERAWATAN

Didalam video tersebut menayangkan perjuangan masyarakat Mahuze, sub marga suku Marind-
Anim, yang mendiami Merauke. Mahuze sendiri adalah salah satu marga yang dikenal kental
akan agama dan adat istiadat. Kentalnya unsur keagamaan pada masyarakat Mahuze menjadikan
gereja sebagai tempat yang tak pernah absen dikunjungi. Di gereja, mereka tak hanya beribadah,
tapi juga menjadi tempat untuk menyatukan berbagai persepsi dan pandangan tentang kehidupan.
Misalnya ketika tanah-tanah mereka diserobot oleh perusahaan yang ingin menjadikan membuka
kebun kelapa sawit.

The Mahuzes menceritakan resistensi masyarakat adat terhadap alih fungsi lahan hutan atau sagu
menjadi perkebunan kelapa sawit dan sawah irigasi. Sebuah program yang oleh pemerintah
disebut sebagai Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Program ini ditujukan
untuk meningkatkan nilai pendapatan devisa dan swasembada pangan dalam negeri. Singkat
kata, pemerintah Indonesia ingin menjadikan Papua sebagai lumbung beras dan energi untuk
kepentingan ekspor.

Proyek MIFEE menyajikan potret kelam dan cerita getir bagi orang Malind. Cerita ini dimulai
dari keputusan presiden yang ingin membuka lahan seluas 1,2 juta hektar dalam kurun waktu
tiga tahun. Melalui kampanyenya, perusahaan yang terikat MIFEE menawarkan solusi atas krisis
pangan Indonesia dan dunia. Namun kenyataannya, masyarakat lokal yang sangat bergantung
dengan alam dan hasil hutanlah justru mengalami krisis pangan.

Orang Papua, khususnya Mahuze, menganggap tanah sebagai entitas berharga. Mereka sangat
menjaga pesan para moyang untuk terus melestarikan alam bagi generasi selanjutnya. Mereka
memaknai tanah sebagai ukuran harga diri yang telah menyatu baik lahir maupun batin. Tanah
merupakan rumah yang memberikan perlindungan kehidupan dan arwah tempat tinggal moyang.
“Orang Papua harus makan sagu. Ini alam punya kuasa. Marga lain mereka mau kasih (tanahnya)
itu terserah, tapi kami tidak. Kami punya dusun biar tinggal turun-temurun.”

Oleh karena itu, marga Mahuze menolak menjual tanah mereka kepada perusahaan asing.
Terlebih banyak sekali dampak negatif yang timbul sejak masuknya perusahaan kelapa sawit di
sana,. Misalnya saja, air sungai yang tercemar dan menghilangnya habitat hewan hutan. Dulunya
ketika orang Marind hendak pergi mencari ikan, buaya, maupun burung di hutan, mereka bisa
mengonsumsi air secara langsung dari sungai yang dilewati dengan perahu tradisional. Namun
sekarang, sungai menjadi cokelat dan ikan-ikan tidak terlihat karena keruhnya permukaan air.

Protes warga tak pernah dihiraukan tentunya. Perusahaan melanjutkan pengavelingan hutan
Mahuze mengirim buldozer-buldozer dan merobohkan banyak pohon sumber pangan orang
Marind. Warga geram dan mulai mendatangi para pekerja perusahaan. Warga pun meminta para
pekerja untuk keluar dari hutan bersama alat-alat berat mereka, lalu kemudian mendirikan patok
simbol penolakan. Tak bertahan lama, beberapa hari kemudian patok-patok tersebut dicabut dan
dirusak oleh pihak perusahaan maupun aparat. Bersamaan dengan itu, alat berat kembali
melanjutkan kegiatannya.

Kemarahan warga sudah tak lagi terbendung. Bagi mereka ini merupakan pelecehan adat.
Mereka kembali memasang patok tersebut sembari melakukan upacara tanam ‘kepala babi’
sebagai ritual adat tertinggi. Jika patok itu kembali dilanggar maka konsekuensinya adalah
nyawa. Simbol pernyataan perang para Mahuze bagi mereka yang tetap melawan.

Beberapa dinamika sosial terlihat sangat jelas dalam film ini. Misalnya saja, bagaimana orang-
orang Mahuze melakukan musyawarah mufakat sebagai upaya penyelesaian masalah marga. Di
samping itu, terlihat juga pelibatan tokoh agama dan adat untuk pengambilan keputusan terbaik.
Semua ini adalah bentuk nyata dari praktik demokrasi dan semangat nilai-nilai keagamaan.
Misal, dalam salah satu musyawarah terlihat bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan,
akan tetapi lebih mengutamakan kebersamaan dengan cara berpikir yang bijaksana.

Terdapat beberapa poin yang menjadi catatan dalam film ini. Seperti tempo yang lambat
membuat durasi film terasa lebih panjang. Selain itu film ini juga kurang menampilkan
pandangan dari sisi yang dikritisi, dalam hal ini perusahaan dan pemerintah.

Film ini masih menjadi salah satu film dokumenter yang relevan untuk disaksikan meski dirilis
tahun 2015 silam. Dari film kita bisa melihat bagaimana masyarakat adat bisa begitu beradab.
Seperti saat seorang Mahuze bercerita tentang bagaimana untuk tidak menjadi serakah dan
jangan membuang apa yang sudah diambil dari alam. Hal ini menunjukkan bagaimana cara
hidup Mahuze yang menyatu dengan alam. Cara ini tentu saja kontras dengan masyarakat
kapitalistik yang menaruh alam sebagai komoditas sehingga hanya ditaruh sebagai objek
eksploitasi.

Kita juga bisa melihat bagaimana komunikasi antara sesama warga, berdialog tentang berbagai
masalah, dan bermufakat mencari solusi. Adab Mahuze pula patut diapresiasi, seperti saat
mereka mendatangi para pekerja korporasi dan berbicara. Meski geram, mereka masih bisa untuk
berdialog dengan kepala dingin dan bijak. Tidak serta merta melakukan kekerasan pada para
pekerja, karena Mahuze tahu bagaimana pun mereka adalah orang biasa yang melakukan
pekerjaannya.

Anda mungkin juga menyukai