Anda di halaman 1dari 22

Analisa Pasang Surut Untuk Perencanaan Bangunan Pantai

Richarta Vichotama Nur A.A*


*) Mahasiswa Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

Abstrak
Pasang surut adalah gerakan naik-turunnya muka air laut, dimana amplitudo dan
fasenya berhubungan langsung terhadap gaya geofisika yang periodic, yakni gaya yang
ditimbulkan oleh gerak regular benda-benda angkasa , terutama bulan, bumi dan matahari.

Naik turunnya muka air laut akbibat gaya geofisika ini disebut pasang surut
gravitasi (gravitational tides). Disamping itu, gerak mua air laut juga dipengaruhi oleh
adanya variasi tekanan atmosfir dan angina. Sistem ini disebut pasang surut meteorology
(meteorological tides). Pasang surut meteorologi sangat tergantung dari iklim dan
kejadiannya tidak periodic, sehingga tidak di bahas disini.

Pengamatan pasang surut

Data pasang surut yang berulang untuk penentuan elevasi muka air laut diperoleh
dari rekaman data terus menerus sepanjang 19 tahun. Hal itu dalam perencanaan bangunan
pantai (yang belum terpasang alat pengukur pasang surut) sulit dilakukan karena
keterbatasan waktu. Dalam hal ini elevasi muka air laut (MHWL, MLWL, MSL)
ditentukan berdasarkan pengukuran pasang surut selama minimal 15 hari. Pengukuran
dilakukan dengan system topografi local di lokasi pekerjaan / lokasi proyek.

Dengan pengamatan selama 15 hari , telah tercakup satu siklus pasang surut yang
meliputi pasang purnama (spring tide) dan pasang perbani (neap tide). Pengamatan lebih
lama (30 hari atau lebih) akan memberikan data yang lebih lengkap.
Selain untuk menentukan elevasi muka air laut, pengamatan pasang surut juga
bertujuan untuk hal-hal berikut :

1). Memberikan data untuk peramalan pasang surut dan arus serta
mempublikasikannya dalam table tahunan untuk pasang surut dan arus.
2). Menyelidiki perubahan kedudukan air laut dan gerakan kerak bumi
3). Menyediakan informasi yang menyangkut keadaan pasang surut untuk proyek
teknik.
4). Memberikan data yang tepat untuk studi muara sungai.
5). Melengkapi informasi untuk penyelesaian masalah hokum yang berkaitan dengan
batas-batas wilayah yang ditentukan berdasar pasang surut.

Pengamatan pasang surut atau permukaan air laut pada umumnya dapat dilakukan
dengan alat manual (tide staff), yaitu pengamatan langsung untuk jangka pendek atau
secara otomatis (automatic water level recorder, AWLR), yaitu dengan floating gaeuge
atau pressure tide gauge. Pengamatan secara manual dilakukan pembacaan dengan interval
satu jam selama 24 jam/hari.

Beberapa Istilah dalam Analisa Pasang SUrut :

1). MHWL : Mean High Water Level (tinggi air rata-rata dari air tinggi).

2). MLWL : Mean Low Water Level (tinggi air rata-rata dari air rendah).

3). MSL : Mean Sea Level (tinggi air rata-rata dari muka air laut pada setiap tahap
pasang surut).

4). HHWL : Highest High Water Level (air tertinggi pada saat pasang surut purnama
atau bulan mati).

5). LLWL : Lowest Low Water Level (air terendah pada saat pasang surut bulan
purnama atau bulan mati).
1). Tide staff

Jenis tide gauge yang paling sederhana adalah palm staff atau board dengan nama
umm rambu pasut , yang memiliki ketebalan antara 2,5 ~ 5,0 cm dengan lebar 10 ~ 15 cm,
dengan pembagian skala system meter. Panjang rambu pasut harus meliputi pasut terendah
sampai muka tertinggi di daerah tersebut. Skala nol rambu harus terletak di bawah
permukaan air laut pada saat air rendah terendah dan bacaan skala masih dapat dibaca pada
saat terjadi air tinggi tertinggi.

Berikut ini pedoman pemasangan alat pengamat pasang surut palm staff untuk
mendapatkan data pengamatan yang baik.

a. Terletak di daerah terbuka, tetapi terlindung dari hempasan gelombang.


b. Kecepatan arus tidak melebihi 0,25 m/det.
c. Proses pendangkalan di dekat lokasi harus dihindari.
d. Tidak terletak di daerah akresi maupun erosi.
e. Pada sisi dermaga yang tidak dilewati kapal.
f. Kedalaman air di lokasi harus menjangkau LLWL.
g. Diikatkan ke titik tetap yang sudah ada dan mempunyai ketinggian MSL.
h. Tidak dipengaruhi oleh aliran sungai yang dapat merubah densitas air pada siklus
pasang surut.
i. Tidak terletak di muara sungai.
j. Lokasi tidak dipengaruhi oleh pantulan gelombang oleh adanya struktur bangunan
pantai.

Hal-hal yang perlu diperhatikan :


Apabila range elevasi muka air sungai cukup besar maka satu seri papan duga dapat
dipasang agar elevasi terendah sampai elevasi tertinggi tetap dapat terbaca (section
staff gauge).

Gambar 2.1 Pengukuran elevasi muka air


Agar pembacaan elevasi muka air dapat lebih teliti maka papan duga tersebut
diletakkan miring pada tebing/lereng pantai, garis skala pembacaannya
disesuaikan.
Frekuensi pembacaan papan duga ditentukan satu jaman atau sesuai dengan macam
informasi yang diinginkan dan juga ketersediaan orang yang sering mengamati dan
mencatat papan duga tersebut.
Patok Benchmark (BM) dapat dipakai untuk mengontrol kestabilan posisi papan
duga.
Perawatan papan duga perlu dilakukan agar pembacaan yang teliti masih tetap
dapat dilakukan.

2). Floating tide gauge

Prinsip kerja alat ini berdasarkan gerakan naik dan turunnya permukaan air laut
yang dapat diketahui melalui pelampung yang dihubungkan dengan alat pencatat
(recording unit). Alat ini harus dipasang pada lokasi yang pengaruh pergerakan air laut
tidak begitu besar, sehingga pelampung dapat bergerak vertikal dengan bebas. Elevasi
muka air ditentukan dari/terhadap elevasi bangunan tetap (misal : jembatan).

Gambar 2.2. Floating tide gauge

Lampu kontrol akan menyala apabila pemberat menyentuh muka air. H akan terbaca
setelah pemberat menyentuh muka air (setelah lampu menyala) yaitu merupakan panjang
pita logam.
3). Pressure tide gauge

Prinsip kerja alat ini hampir sama dengan floating tide gauge , namun perubahan
naik-turunnya permukaan air laut direkam melalui perubahan tekanan pada dasar laut yang
dihihubungkan dengan alat pencatat (recording unit).
Gaya penggerak pasang surut (tide generating force).

Dari semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan pasang surut
air laut, hanya bumi dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga gerakan utamanya,
yaitu :

1). Revolusi bulan terhadap bumi

Orbit lintasan bulan mengelilingi bumi tidak bulat melainkan berbentuk elips.
Akibat ketidak seragaman jarak antara bumi dan bulan, gaya tarik yang
ditimbulkannya terhadap bumi juga bervariasi. Pada saat bulan pada posisi
paling dekat dengan bumi disebut perigee, maka gaya penyebab pasang surut
yang dihasilkan naik 20% di atas harga rata-rata. Pada saat bulan pada posisi
terjauh dari bumi disebut apogee, maka gaya penyebab pasang surut yang
dihasilkan turun 20% di bawah harga rata-rata. Interval antara perigee berturut-
turut 27,5 hari.
Waktu revolusi 29,5 hari.
Bidang orbit bulan tidak sebidang dengan equator bumi, tetapi membentuk
sudut 28o terhadap eliptik.

2). Revolusi bumi terhadap matahari

Orbit lintasan bumi mengelilinggi matahari tidak bulat melainkan berbentuk


ellips. Akibat ketidak seragaman jarak antara bumi dan matahari, gaya tarik
yang ditimbulkannya terhadap bumi juga bervariasi. Pada saat matahari pada
posisi paling dekat dengan bumi disebut perihelion dan pada saat matahari
pada posisi terjauh dari bumi disebut aphelion. Perbedaan jarak antara
perihelion dan aphelion hanya 4% , sedangkan antara apogee dan perigee
Waktu revolusi 365,24 hari.
Sumbu bumi membentuk sudut 66,5o terhadap bidang orbit bumi terhadap
matahari.
3). Perputaran bumi terhadap sumbunya sendiri (rotasi bumi).

Waktu putar 24 jam (one day solar)

Dalam keadaan sebenarnya massa matahari lebih besar dibandingkan bulan, tetapi matahari
terletak lebih jauh dibandingkan bulan, jarak bumi matahari kira-kira 360 kali jarak bumi-
bulan, maka gaya tarik Newton pengaruh gaya tarik matahari menjadi lebih kecil (hanya
46% dari gaya tarik bulan). Berdasarkan hokum Newton, gaya tarikmenarik antara dua
benda berbanding langsung dengan massa benda, tetapi berbanding terbalik dengan
kuadrat jarak antara benda-benda tersebut.

Gambar 3.1. Orbit lintasan bulan mengelilingi bumi dan bumi mengelilingi matahari.

Pemahaman interaksi antara pasang surut bulan dan pasang surut matahari akan lebih
mudah jika kita mengasumsikan bahwa deklinasi bulan maupun matahari adalah nol.
Gambar 3.2. memperlihatkan diagram pasang surut bulan dan pasang surut matahari dilihat
dari kutun utara bumi. Lama siklus yang dilalui adalah 29,50 hari.
Gambar 3.2 (a) gaya penggerak pasang surut dari bulan dan matahari bekerja pada arah
yang sama dan keseimbangan pasang surut bulan dan matahari bertepatan. Pasang surut
yang dihasilkan lebih besar, yakni pasangnya lebih tinggi dan surutnya lebih rendah dari
rata-rata. Pasang surut yang demikian dinamakan pasang surut tinggi (spring tides).

Ketika spring tides terjadi, posisi bulan dan matahari berdekatan (conjuction, terjadi pada
bulan baru), atau bulan dan matahari berjauhan (opposition, terjadi pada bulan purnama –
Gambar 3.2 (a)). Posisi bulan pada kedua kondisi tersebut dikatakan sebagai posisi syzygy.

Dalam Gambar 3.2 (b) matahari dan bulan pada posisi saling tegak lurus, dan pasang surut
yang ditimbulkannya saling melemahkan. Pasang surut yang ditimbulkannya lebih kecil
dari pasang surut rata-rata dan disebut pasang surut rendah atau pasang perbani (neap
tides). Posisi bulan pada pasang surut perbani dinamakan quadrature.

Gambar 3.2. Diagram interaksi antara pasang surut matahari dan bulan.
(a). Bulan baru, bulan pada posisi syzygy (matahari dan bulan berkonjungsi), dan
bulan purnama, posisi bulan syzygy (matahari dan bulan beroposisi), pasang
purnama (spring tides)
(b). Seperempat pertama, dan seperempat terakhir, posisi bulan quadrature, pasang
perbani (neap tides).

3.1. Tipe pasang surut

Walaupun telah diketahui bahwa penyebab timbulnya pasang surut adalah gaya
gravitasi, namun masih banyak faktor lain yang mempengaruhi, memodifikasi dan
mengontrol pasang surut. Secara umum faktor-faktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok,
yaitu faktor tidak tetap dan faktor tetap (konstan). Faktor tidak tetap disebabkan oleh
tekanan atmofsir dan angin, sedangkan faktor konstan disebabkan oleh rotasi dan revolusi
dari matahari-bumi, bulan-bumi dan interaksi dari keduanya. Doodson (1920) telah
mengidentifikasi sebanyak 390 faktor kontan yang biasa disebut tidal constituents, dengan
beberapa unsur sebagai berikut :

Tabel 3.1. Tidal Constituents Utama


Tipe pasang surut dapat dibedakan menjadi 3 bentuk dasar, beradasarkan pada nilai
Farmzahl (F), yang diperoleh dari persamaan sebagai berikut :

K 1  O1
F
M 2  S2

Keterangan :

F = Nilai Farmzahl

K1 dan O1 = Amplitudo konstituen (konstanta) pasang surut harian utama

M2 dan S2 = Amplitudo konstituen (konstanta) pasang surut ganda utama

Berdasarkan nilai Farmzahl, maka pasang surut dapat dibedakan menjadi :

1). Pasang surut harian ganda (semi diurnal tides) : F ≤ 0,25

Dalam satu hari pasang surut (24 jam 52 menit) terjadi 2 kali pasang (air tinggi) dan
2 kali surut (air rendah).

2). Pasang surut harian tunggal(diurnal tides) : F ≥ 3,00

Dalam satu hari pasang surut terjadi 1 kali pasang (air tinggi) dan 1 kali surut (air
rendah).

3). Pasang surut campuran : 0,25 < F < 3,00

Dalam satu hari pasang surut kadang-kadang terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut
tidak sama tinggi, kadang-kadang terjadi hanya 1 air pasang dan 1 air rendah.

Lebih lanjut tipe campuran ini dapat dibedakan lagi menjadi :

 Pasang surut campuran condong (dominan) ke harian ganda (mixed-dominant


semi diurnal) untuk 0,25 < F < 1,50
 Pasang surut campuran condong (dominan) ke harian tunggal (mixed-dominant
diurnal) untuk 1,50 < F < 3,00.

Gambar 3.3. memperlihatkan tipe pasang surut, yaitu pasang surut diurnal (a); Campuran
{(b) dan (d)}; dan semi diurnal (c).

Gambar 3.4. memperlihatkan sebaran tipe pasang surut di perairan Indonesia dan
sekitarnya.
Gambar 3.3. Tipe pasang surut, memperlihatkan pasang surut diurnal (a);
Campuran {(b) dan (d)}; dan semi diurnal (c).
Gambar 3.4. Sebaran tipe pasang surut di perairan Indonesia dan sekitarnya.
3.2. Beberapa definisi permukaan air laut

Akibat adanya pasang surut, maka permukaan air laut selalu berubah setiap saat
seirama dengan pergerakan pasang surut. Oleh karena itu, diperlukan suatu elevasi
permukaan laut tertentu yang dapat digunakan sebagai referensi. Sampai saat ini
ada berbagai macam permukaan laut yang dapat dipakai sebagai referensi,
diantaranya adalah sebagai berikut :

Gambar 3.5. Beberapa definisi permukaan air laut

HHWL : Highest High Water Level (tinggi air maksimum pada saat pasang
surut purnama atau bulan mati (spring tide) ).

MHHWL : Mean Highest High Water Level (tinggi air rata-rata dari air tinggi
yang terjadi pada pasang surut purnama atau bulan mati).

MSL : Mean Sea Level (tinggi air rata-rata dari muka air laut pada setiap
tahap pasang surut selama periode 19,60 tahun), biasanya
ditentukan dari pembacaan jam-jaman.
MLLWL : Mean Lowest Low Water Level (tinggi air rata-rata dari air rendah
yang terjadi pada pasang surut purnama atau bulan mati).

LLWL : Lowest Low Water Level (tinggi air minimum pada pasang surut
purnama atau bulan mati (spring tide) ).

MHWL : Mean High Water Level (tinggi air rata-rata dari air tinggi selama
periode 19,60 tahun).

MLWL : Mean Low Water Level (tinggi air rata-rata dari air rendah selama
periode 19,60 tahun).

HWL : High Water Level (tinggi air maksimum yang dicapai oleh tiap air
pasang (high tide) ).

LWL : Low Water Level (tinggi air minimum yang dicapai oleh tiap air
surut (low tide) ).

3.3. Gelombang pasang surut

Persamaan dasar gelombang pasang surut, yang sering digunakan dalam peramalan
pasang dan surut adalah sebagai berikut :

n
Z t  Z o   Ai Cos(2t / Ti   i )
1

Keterangan :

Zt = Elevasi muka air pada saat t


Zo = Elevasi muka air rata-rata diukur dari datum (biasanya LWS)
Ai = Amplitudo masing-masing konstituen harmonik (M 2, S2 dst)
Ti = Periode masing-masing konstituen harmonik
i = Selisih fase masing-masing konstituen harmonik
n = Jumlah komponen pasang surut

Periode dan amplitudo relatif dari tujuh konstituen pasang surut dapat dilihat pada Tabel
3.1.

Posisi muka air laut akibat pasang surut ini sangat penting untuk perencanaan
bangunan pantai, sehingga agar supaya terdapat keseragaman cara penentuannya dapat
digunakan pedoman di bawah ini (Anonim, DEPKIMPRASWIL,2004) :

- MHWS (Mean High Water Spring) atau MHWL = Zo + (M2 + S2)


- MLWS (Mean Low Water Spring) atau MLWL = Zo – (M2 + S2)
- HHWS (Highest High Water spring) atau HHWL = Zo + (M2 + S2 + K1 +
O1)
- LLWS (Lowest Low Water spring) atau LLWL = Zo – (M2 + S2 + K1 +
O1)
- HAT (Highest Astronomical Tides) atau HWL = Zo + A i

- LAT (Lowest Astronomical Tides) atau LWL = Zo -  A i

Beberapa definisi muka air tersebut banyak digunakan dalam perencanaan


bangunan pantai dan pelabuhan, misalnya MHWL atau HHWL digunakan untuk
menentukan elevasi puncak pemecah gelombang, dermaga, panjang rantai pelampung
penambat perahu dan sebagainya. Sedangkan LLWL diperlukan untuk menentukan
kedalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan.
3.4. Permukaan air laut rata-rata

Permukaan air laut rata-rata (mean sea level) merupakan permukaan air laut yang
dianggap tidak dipengaruhi oleh keadaan pasang surut. Permukaan tersebut biasanya
dipakai sebagai referensi ketinggian titik-titik di atas permukaan bumi. Kedudukan
permukaan air laut rata-rata setiap saat berubah sesuai dengan perubahan dari posisi
benda-benda langit, serta kerapatan air laut ditempat tersebut sebagai akibat perubahan
suhu air, salinitas, dan tekanan atmosfir.

Permukaan air laut rata-rata biasanya ditentukan melalui pengamatan terus-


menerus kedudukan air laut dalam setiap jam, hari, bulan, dan tahun. Macam kedudukan
muka laut rata-rata disesuaikan dengan lamanya pengamatan yang dipakai untuk
menghitung kedudukannya, seperti muka laut rata-rata harian, bulanan, dan tahunan.
Dalam survei hidrografi dikenal istilah MSL sementara dan sejati. MSL sementara dibagi
menjadi MSL sementara harian dan MSL sementara bulanan.

MSL harian pada umumnya ditentukan melalui pengamatan kedudukan muka air
laut setiap jam selama satu hari, dari jam 00.00 sampai jam 23.00 waktu setempat,
sehingga diperoleh 24 harga pengamatan. MSL harian ini juga selalu berubah .

MSL sementara bulanan ditentukan melalui nilai rata-rata MSL hurian untuk
waktu satu bulan. MSL sejati atau dikenal sebagai MSL tahunan. besarnya ditentukan
dari MSL untuk satu tahun. Harus diadakan pengamatan kedudukan permukaan laut
selama 18,6 tahun untuk mendapatkan MSL sejati.

3.5. Pasang surut di Estuasi dan Muara

Pasang surut di estuari dan muara lebih banyak ditentukan oleh pasang surut di
basin penerima dan kondisi setempat, daripada pengaruh langsung dari gaya tarik benda-
benda angkasa. Kecepatan rambat pasang surut di estuari tergantung pada kedalaman air,
seperti ditunjukkan dalam rumus berikut ini:

C  g .H
di mana C adalah kecepatan rambat gelombang pasang surut. m/dt dan H
adalah kedalaman air, m.

Berkurangnya kedalaman air menyebabkan kecepatan rambat pasang surut


berkurang. Akibatnya, puncak air pasang merambat lebih cepat dibanding lembah
air surut, sehin-ga terjadi ketidaksimetrisan bentuk gelombang selama periode
pasang surut, di mana periode air pasang (interval antara air rendah dan air tinggi
berikutnya) relatip lebih singkat dibanding air surut (interval antara air tinggi dan
aiair rend ahberikutnya).

Pada waktu air pasang, kecepatan air (aliran kearah hulu) berangsur
meningkat sampai suatu saat menurun dan pada saat ketinggian maksimum V = 0.
Selanjutnya. pada waktu air surut, kecepatan air (aliran kearah hilir) kecepatan
berangsur bertambah dan p<ada suatu saat menurun sampai V = 0. Dalam hal ini
ada kemungkinan muka air mulai naik, tetapi arah aliran masih turun ke hilir.

3.6. Elevasi muka air pasang surut rencana

Perencanaan bangunan pantai dibatasi oleh waktu, biasanya 6 bulan sampai 1 tahun
atau lebih, dimana durasi waktu tersebut tergantung pada volume pekerjaan dan
permasalahannya. Dengan demikian untuk mendapatkan data pasang surut di lokasi
pekerjaan sepanjang 19 tahun tidak dapat dilakukan. Dalam hal ini elevasi muka air laut
(MHWL, MLWL, MSL) ditentukan berdasarkan pengukuran pasang surut selama minimal
15 hari. Pengukuran dilakukan dengan sistem topografi lokal di lokasi pekerjaan.

Dengan pengamatan selama 15 hari tersebut telah tercakup 1 siklus pasang surut
yang meliputi pasang purnama dan perbani. Pengamatan lebih lama (30 hari atau lebih)
akan memberikan data yang lebih lengkap. Gambar 3.6 adalah contoh hasil pengamatan
pasang surut selama 30 hari di Muara Sungai Donan, Cilacap. Dari kurva pasang surut
tersebut dapat ditentukan beberapa elevasi muka air, yaitu MHWL, MLWL, MSL, HHWL
dan LLWL.
Gambar 3.6. Contoh hasil pengamatan pasang surut

3.7. Elevasi muka air laut rencana

Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter sangat penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan dari beberapa
parameter yang telah dijelaskan di depan yaitu pasang surut, tsunami, wave setup, wind
setup, dan kenaikan muka air karena perubahan suhu global. Gambar 3.7. menunjukkan
contoh penentuan elevasi muka air rencana.

Dalam gambar tersebut semua parameter dianggap terjadi dalam waktu yang
bersamaan. Kemungkinan kejadian tersebut adalah sangat kecil. Sebagai contoh,
kejadian tsunami belum tentu bersamaan dengan gelombang badai, karena penyebab
terjadinya kedua peristiwa alam tersebut berbeda. Gempa yang menyebabkan terjadinya
tsunami bisa terjadi pada saat cuaca cerah (tidak ada badai). Sehingga penggabungan
tsunami, gelombang besar (wave setup, wind setup) dan air pasang adalah kecil
kemungkinan terjadinya. Gambar 3.8. adalah penentuan elevasi muka air rencana tanpa
memperhitungkan tsunami.
Sementara itu pasang surut mempunyai periode 12 atau 24 jam, yang berarii
dalam satu hari bisa terjadi satu atau dua kali air pasang. Kemungkinan kejadian air
pasang dan gelombang besar (badai) adalah sangat besar. Dengan demikian pasang
surut merupakan faktor terpenting di dalam menentukan elevasi muka air laut rencana.
Penetapan berdasar MHWL atau HHWL tergantung pada kepentingan bangunan yang
direncanakan.

Gambar 3.7. Elevasi muka air laut rencana dengan tsunami


Gambar 3.8. Elevasi muka air laut rencana tanpa tsunami
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Dirjen SDA, Direktorat
Bintek, Buku I : Pedoman Umum Pengembangan Reklamasi Pantai dan Bangunan
Pengamannya, Jakarta.

Bambang Triatmodjo, 1999. Teknik Pantai, Beta Offset, Cetakan Kedua, Yogyakarta.

Suripin, 2003. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai