Belakangan ini, kembali menyeruak mengenai defisit BPJS Kesehatan yang
mengkhawatirkan masyarakat. Wajar bila masyarakat khawatir mengingat lagi dan lagi BPJS kesehatan kembali mengalami defisit. Dari catatan laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan menunjukan defisit sebesar Rp 3,8 triliun pada 2014, hingga pada tahun lalu mencapai Rp 10,1 triliun. Bahkan, dalam rapat kerja bersama tentang Bailout BPJS Kesehatan, Senin (17/9/2018) BPJS Kesehatan mencatatkan defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 Rp 16,5 triliun. Komposisinya, defisit RKAT 2018 sebesar Rp 12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp 4,4 triliun. Namun, setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) BPJS Kesehatan belum memasukkan bauran kebijakan pemerintah untuk menambal defisit tersebut sehingga terdapat selisih Rp 5,6 triliun sehingga Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo memprediksikan defisit pada tahun 2018 hanya mencapai 10, 98 triliun. "Setelah BPKP melakukan review, defisit BPJS Kesehatan 10,989 triliun," kata Mardiasmo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/9). Di masa depan pun, defisit diprediksi masih akan terjadi dan tentunya ini mengancam kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional. Sumber defisit telah teridentifikasi, penyebab utamanya ialah ketidakseimbangan antara iuran premi peserta dengan biaya manfaat yang harus dikeluarkan badan tersebut. Dari kacamata aktuaria iuran dinilai sangat kecil untuk menutupi biaya manfaat program ini. Dapat dilihat bagaimana bisa dengan iuran yang hanya berkisar pada Rp 23.000,- hingga Rp 80.000,- dapat memperoleh jaminan kesehatan all risk dan layanan kesehatan tanpa batas. BPJS Kesehatan merupakan badan hukum yang dibentuk, berdasarkan UU No. 24/ 2011, yang bertujuan untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional sebagaimana yang diamanatkan UU No. 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdirinya BPJS Kesehatan menandakan lahirnya reformasi sektor kesehatan di Indonesia. Dengan adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola olehnya, asuransi kesehatan yang terjangkau bukan sekadar angan lagi, bahkan oleh masyarakat termiskin sekalipun. Bagi rakyat kecil, BPJS Kesehatan itu adalah ‘malaikat’. Dengan kehadirannya, rakyat merasa sangat tertolong. Akhirnya mereka telah mendapat perhatian lebih oleh pemerintah. Taraf hidup mereka menjadi lebih baik tentunya. Namun, bagi mereka golongan menengah ke atas yang merupakan pihak pemberi subsidi merasa dirugikan oleh system ini. Mereka menganggap apa yang telah mereka berikan dan pelayanan yang didapat tidak sepadan. Mereka merasa mengalami penurunan kualitas pelayanan semenjak ikut serta dalam program ini. Mereka mengeluh karena harus mendapatkan pelayanan yang sama seperti para penerima subsidi, padahal mereka ikut. Seharusnya, mereka sadar bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan layanan kesehatan seperti yang tercantum pada pasal 28H ayat 1 UUUD 1945. Wajar, bila BPJS Kesehatan mengalami defisit mengingat badan ini bukanlah badan yang bertujuan untuk mendapatkan profit, melainkan sebuah badan nirlaba yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana tersebut untuk memberikan manfaat kepada seluruh anggotanya. Walaupun ini merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan, tetapi kepedulian masyarakat menengah ke atas pun sangat berpengaruh pada kesuksesan program ini. Pemerintah dikabarkan telah menyuntikkan dana dari cukai rokok untuk menutupi defisit, hal ini membawa sedikit angin segar. Namun, jika masyarakat itu tidak ikut peduli dengan rajin membayar iuran dan hanya mementingkan haknya. Mereka membayar iuran yang sekecil mungkin, namun ingin mendapatkan layanan yang optimal. Bahkan mereka hanya membayar iuran pada saat sekiranya mereka akan mengeluarkan biaya tinggi untuk keperluan medis. Lalu, setelah sembuh, iuran dihentikan. Bagaimana program ini akan berhasil? Hanya ada dua pilihan untuk menyeimbangkan iuran dan manfaat yang harus dikeluarkan; menaikkan iuran atau mengurangi manfaat. Mengurangi manfaat jelas tidak mungkin karena hal itu hanya akan memperbesar masalah dan mengurangi esensi dari program JKN itu sendiri. Hal yang paling memungkinkan adalah menyesuaikan besaran iuran, terutama kalangan pekerja. Menjadikan iuran ini menjadi suatu kewajiban berupa pajak dan dengan besaran yang tepat dari gaji pokok tentu akan berdampak signifikan terhadap penerimaan iuran program ini Persoalan defisit BPJS Kesehatan pada dasarnya bukan masalah utama. Menuntut agar BPJS menjadi surplus pun bukanlah hal yang tepat. Toh, mengalami defisit pun untuk mencapai tujuannya, memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat. Terpenting adalah mendorong negara agar tetap hadir dalam memenuhi hak warga negara mendapatkan layanan kesehatan tanpa terkecuali. BPJS Kesehatan harus tetap berikhtiar memperbaiki kualitas layanan, manajemen klaim, dan meningkatkan jumlah peserta agar program JKN ini dapat berjalan dengan baik. Selain itu, masyarakat harus memiliki kesadaran dalam berkontribusi membayar iuran. Niatkanlah itu sebagai sebuah bantuan untuk kalangan kurang mampu, dan semoga itu menjadi amal jariyyah kita. Berdoalah agar jangan sampai kita menggunakannya. Dan jika terpaksa, berdoalah agar diberikan rezeki lebih agar kita bisa membayar mandiri. Bukankah tangan diatas jauh lebih baik daripada tangan di bawah?