Anda di halaman 1dari 79

KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H.

MASLOW
DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN
(ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)

Skripsi

Disusun Guna Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata 1 (S1) dalam Ilmu Dakwah
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI)

Oleh:
Oktaful Ghofur
1100046

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2006
KONSEP AKTUALISASI DIRI ABRAHAM. H. MASLOW
DAN KORELASINYA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN
(ANALISIS BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM)

Disusun Oleh:
Oktaful Ghofur
1100046

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji


pada tanggal 30 Januari 2006
dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat

Susunan Dewan Penguji

Ketua Dewan Penguji/ Dekan/ Sekretaris Dewan Penguji/


Pembantu Dekan

Drs Sugiarso. Abdul Satar, M. Ag.


NIP. 150223795 NIP. 150290160

Penguji I Penguji II

Drs. Ali Murtadho, M. Pd. Drs. H. Nurbini.


NIP. 150274618 NIP. 150261768

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hj. Ismawati, M. Ag. Abdul Satar, M. Ag.


NIP. 150094093 NIP. 150290160
ABSTRAKSI

Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang sebaik-baiknya


dibandingkan dengan makhluk lain ciptaan Allah dan tercipta dalam keadaan suci,
apabila pada akhirnya manusia itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi maka itu
adalah tanggung jawab dari orang tuanya.
Manusia diciptakan oleh Allah terbagi menjadi dua unsur yaitu jasmani
dan rohani serta membawa sifat-sifat yang spesifik yang membedakan antara
dirinya dengan manusia yang lain yang pada akhirnya ketika dia tumbuh dan
berkembang hal ini menjadi identitas bagi dirinya sekaligus untuk melakukan
proses aktuialisasi diri.
Maslow berpendapat bahwa kebutuhan manusia terbagi atas lima hal yang
tersusun secara piramidal yang berguna untuk membentuk kepribadian.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah, kebutuhan faali, kebutuhan
rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan
kebutuhan akan aktualisasi diri.
Hampir semua manusia menurut Maslow mampu memenuhi kebutuhan
faali, kebutuhan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga
diri, tetapi tidak semua manusia dapat memenuhi kebutuhan akan akatualisasi diri.
Hal ini tentu saja akan menghambat pembentukan kepribadian individu tersebut,
apabila kebutuhan ini terhambat dapat mengakibatkan adanya metapatologi,
dimana seseorang dapat mengalami penyimpangan-penyimpangan kepribadian.
Aktualisasi diri tidak dapat tercapai oleh semua orang dikarenakan
biasanya individu tersebut mengalami ketakutan, keraguan yang berasal dari
dalam dirinya, bisa juga akibat dari kebutuhan rasa aman yang kuat dari dalam
individu itu sendiri dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Kemudian permasalahan yang ada adalah bagaimana konsep aktualisasi
diri Abraham Maslow dalam membentuk kepribadian, serta bagaimana jika
dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam?
Tujuan yang hendak dicapai penulis adalah mendiskripsikan pembentukan
kepribadian Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam
Metode yang penulis gunakan adalah mendeskripsikan pemecahan
masalah dengan menggambarkan objek penelitian saat sekarang berdasarkan fakta
yang tampak.
Berdasarkan paparan di atas maka bimbingan dan konseling islam
diharapkan mampu mendorong atau menciptakan klien untuk menuju pada taraf
pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi diri, sehingga segala potensi yang ada
pada individu atau klien dapat terungkap dan tersusun secara sempurna sehingga
tercipta suatu kondisi kepribadian yang efektif dan sempurna (kaffah).
Berdasarkan pada hasil paparan data-data yang telah dianalisis melalui
Bimbingan dan Konseling Islam terlihat bahwa konsep aktualisasi diri Abraham
Maslow dapat digunakan dalam membentuk kepribadian secara islami, sehingga
terbentuk kepribadian yang sempurna yang efektif dalam memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai tuntunan ajaran agama islam.
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang
senantiasa telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, kepada penulis
dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul Konsep Aktualisasi Diri
Abraham. H. Maslow dan Korelasinya dalam Membentuk Kepribadian (Analisis
Bimbingan dan Konseling Islam). Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi
tugas sebagai persyaratan mencapai derajat kesarjanaan jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang. Sholawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikuti jejak perjuangannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan
dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah
membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik, dan karena itu penulis
menyampaikan banyak terimakasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo Semarang, yang telah memimpin lembaga
tersebut dengan baik.
2. Bapak Drs. H. Aminuddin Sanwar, MM., selaku Dekan Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang.
3. Ibu Dr. Hj. Ismawati M.Ag dan Bapak Abdus Satar M.Ag selaku
pembimbing skripsi yang dengan segala kebaikannya, kesabarannya telah
membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademika
Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberi ilmu,
pelayanan dan pengalaman selama dalam kuliah.
5. Ayah, Ibunda tercinta serta adik-adikku yang telah memberi dorongan baik
materiil maupun moral dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Semua pihak, terutama sahabat-sahabatku mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah Jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
Semoga kebaikan dan keikhlasan mereka yang telah diberikan kepada
penulis mendapatkan balasan yang setimpal dan berlipat ganda dari Allah SWT,
jazakumullah khairan katsira.
Meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam
penyusunan skripsi ini, akan tetapi sudah barang tentu dalam penulisannya masih
banyak kekurangan mengingat kemampuan dan keterbatasan penulis.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, penulis senantiasa
mengharap kritik kontruktif dan saran inovatif demi kesempurnaan skripsi ini dan
semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri
maupun para pembaca. Amin ya Rabbal 'ALamin.

Semarang, 30 Januari 2006

Penulis
Motto
Persembahan

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Abahe
2. Bapak dan Ibu yang selalu mendidik dan memberi dorongan
sehibngga selesainya skripsi ini
3. Kepada adik-adik penulis yang selalu membantu sehingga
terselesainya skripsi ini.
4. Den I U
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAKSI ............................................................................... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi
MOTTO ..................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN .............................................................................................. ix
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Permasalahan ....................................................................... 6
C. Tujuan Dan Signifikansi Penelitian ........................................ 6
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7
E. Kerangka Teori ....................................................................... 9
F. Metodologi Penelitian.. ........................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 17

BAB II : AKTUALISASI DIRI, PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN,


SERTA , DAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
A. Pengertian Aktualisasi Diri................................................... 18
B. Pengertian Pembentukan Kepribadian ................................ 19
B.1 Pembentukan dan Perkembangan Kepribadian .............. 22
B.2 Kepribadian Muslim ....................................................... 24
B.3 Proses Pembentukan Kepribadian Muslim ..................... 28
C. Bimbingan dan Konseling Islam............................................. 30
a. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling Islam .................... 31
b. Fungsi dan Tujuan Konseling Islam................................. 34
D. Dakwah .................................................................................. 35
a. Unsur-unsur Dakwah ....................................................... 36
BAB III : KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN
KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW
A. Biogarafi Abraham Maslow ................................................. 40
B. Hambatan-Hambatan dalam Aktualisasi Diri
Abraham Maslow ................................................................. 44
C. Pembentukan Kepribadian Menurut Abraham Maslow ......... 46

BAB IV : ANALISIS
Aktualisasi Diri Maslow dan Pembentukan Kepribadian
Perspektif Bimbingan dan Konseling Islam................................... 54

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 60
B. Saran-saran ............................................................................. 61

DAFTAR PUSTAKA
BIODATA PENULIS
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dibandingkan dengan

makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. (Depag, 1989 : 1076). Manusia

dilahirkan dalam keadaan ”fitrah” (suci) seperti kertas kosong. Siapapun yang

mau membentuk atau menggambar dalam kertas kosong itu, maka dia akan

membuat manusia itu seperti yang diinginkannya.

Hal tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah

yang berbunyi:

‫ﻦ‬ ‫ﺎ ِﻣ‬‫ ﻣ‬: ‫ﻢ‬ ‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻋﻠﹶﻴ ِﻪ‬ ‫ﺻﻠﹶﺊ ﺍﷲ‬  ‫ﻧِﺒﻲ‬ ‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬:‫ﺙ‬ ‫ﺪ ﹸ‬ ‫ﳛ‬َ ‫ﺮ ﹶﺓ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻲ ﻫ‬ ‫ﻦ ﹶﺍِﺑ‬ ‫ﻋ‬
‫ﻭ‬ ‫ﺮ َ ﺍ ِﻧ ِﻪ ﹶﺍ‬‫ﻨﺼ‬‫ﻳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﺍ ِﻧِﻪ ﹶﺍ‬ ‫ﻬﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺍ‬‫ﺑﻮ‬ ‫ﺮ ِﺓ ﹶﻓﹶﺎ‬ ‫ﻰ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﹾﻄ‬ ‫ﻠ‬‫ ﻋ‬‫ﻮ ﹶﻟﺪ‬‫ﻮ ٍﺩ ﺍﹶﻻ ﻳ‬ ‫ﻮ ﹸﻟ‬ ‫ﻣ‬
‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺎ ِﻣ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻮ ﹶﻥ ِﻓ‬ ‫ﺴﻨ‬
‫ﺤ‬ِ ‫ﻫ ﹾﻞ ﺗ‬ ,‫ﺎ ًﺀ‬‫ﻤﻌ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻤ ﹰﺔ‬ ‫ﻴ‬‫ﻬ‬ ‫ﻤﺔﹸ ِﺑ‬ ‫ﻴ‬‫ﺒ ِﻬ‬‫ ﺍﻟ‬‫ﺘﺞ‬‫ﻨ‬‫ﺎ ِﻧ ِﻪ ﻛﹶﻤﹶﺎ ﺗ‬‫ﺠﺴ‬
 ‫ﻤ‬ ‫ﻳ‬
(‫ﺎ ًﺀ )ﺭ ﻭ ﺍ ﻩ ﻣﺴﻠﻢ‬‫ﻋ‬

Artinya: “Tiada manusia dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah(


suci ), maka kedua orang tuanyalah yang memepengaruhi anak itu untuk
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan yang melahirkan
anaknya, tentu dalam keadaan utuh, maka apakah kamu merasa adanya cacat
pada tubuhnya? HR.Muslim" (Hamid, Zainudin, 1966:102).

Manusia itu diciptakan oleh Allah dalam struktur jasmani dan rohani.

Dia pada saat diciptakan telah membawa sifat-sifat yang sangat spesifik yang

membedakan dirinya dengan orang lain, yang nantinya dia akan tumbuh dan
berkembang menjadi identitas bagi dirinya. Sekaligus berguna untuk

melakukan proses aktualisasi pada dirinya di masyarakat. Untuk memenuhi

kebutuhan jasmaninya manusia memerlukan makan, minum dan lainnya

agar jasmani tumbuh dan berkembang. Pada bagian rohani, manusia sering

mengisinya dengan sifat-sifat yang berguna baik kehidupannya baik saat ini

atau kelak.

Para intelektual muslim sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang

memiliki dimensi ganda (double dimension) yakni rohani dan jasmani yang

lahir dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud fitrah disini bukan sekedar bersih

dari noda namun dilengkapi dengan seperangkat potensi kodrati yang bersifat

spiritual. Dengan potensi ini manusia diberi kepercayaan untuk menjadi

“kholifah fil ardl”, yang menekankan fungsi-fungsi ke-Tuhanan dimuka bumi

(Hasyim, 2002 : vii ).

Dalam memerankan fungsi ke-Tuhanan-Nya dibumi, manusia tidak

mungkin bekerja dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia memerlukan

bantuan orang lain. Oleh karenanya selain dia sebagai makhluk individu dia

juga hidup sebagai makhluk sosial sehingga kehidupannya berjalan selaras

dan serasi sesuai dengan norma yang ada.

Manusia yang mampu menjalin hubungan dengan manusia lain adalah

manusia yang memiliki kepribadian yang baik, sebab dalam diri manusia itu

terdapat sifat-sifat keluhuran, kebaikan yang berguna didalam kehidupannya.

Pribadi yang baik lebih mudah diterima di masyarakat daripada

pribadi yang kurang baik. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih cenderung
berhati-hati terhadap kedatangan anggota masyarakat lain sebab masyarakat

khawatir bila anggota masyarakat itu datang dengan kepribadian yang kurang

baik dan orang itu dapat membawa dampak yang ditanggung oleh seluruh

anggota masyarakat lainnya. ( Kartono 2001 ; 229 ).

Pada hakikatnya manusia memiliki nilai intrinsik yaitu potensi

kebaikan yang membuat keberadaanya dihargai ditengah-tengah masyarakat.

Menurut Maslow manusia didalam kehidupannya memiliki kebutuhan-

kebutuhan yang bertingkat-tingkat dari mulai kebutuhan fa’ali, kebutuhan

akan rasa aman, rasa cinta dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri

sebagai kebutuhan paling puncak yang dimiliki manusia. (Hasyim, 2002 : 70,

71). Kebutuhan yang pertama yaitu kebutuhan fa’ali (fisiologis) dalam

memenuhi kebutuhan ini sering manusia membutuhkan makan, minum,

berkembang dan lain sebagainya. (Craps, 1993 : 160).

Kebutuhan yang kedua adalah kebutuhan akan rasa aman dari rasa

cemas, takut, teror, kekalutan mental dan lain-lain. Dalam memenuhi

kebutuhan ini biasanya manusia sering memenuhinya dengan menyewa

securities atau untuk menghindari kekalutan mental terkadang manusia sering

berwisata dan sebagainya. (Poduska, 1997 : 132).

Kebutuhan selanjutnya, kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan

adanya rasa cinta dan memiliki. Setelah kebutuhan ketiga tersebut terpenuhi,

kebutuhan yang keempat adalah kebutuhan akan harga diri, dimana manusia

cenderung ingin nama baik, ketenaran dan kemuliaan. Kebutuhan-kebutuhan

tersebut didasari atas motivasi yang ada pada dirinya. (Najati, 1982 : 10).
Selain kebutuhan diatas, menurut Maslow manusia belum merasa puas

bila kebutuhan akan adanya dirinya belum diakui oleh masyarakat. Oleh

karena itu manusia memerlukan kebutuhan yang terakhir atau yang kelima

yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri, diakui oleh masyarakat dimana dia

tumbuh.

Bila keempat kebutuhan-kebutuhan diatas didasari akan motivasi

kebutuhan-kebutuhan dasar, maka kebutuhan yang ke-lima ini yaitu

kebutuhan akan aktualisasi diri dimotivasi oleh kebutuhan yang bernilai tinggi

yang dikenal dengan istilah metamotivasi1 atau b-values (being values).

(Hasyim, 2002 : 169 ).

Orang yang telah tumbuh dewasa dan masak secara penuh adalah

orang yang telah mencapai aktualisasi diri, yaitu dengan konsentrasi penuh

dan mencapai apa yang disebut sebagai manusia yang sempurna (insan

kamil)2. (Hidayanti, 2004 : 81 ).

Kebutuhan akan aktualisasi diri ini didorong motif perkembangan

yang tidak bersifat hierarkis sebagaimana kebutuhan dasar manusia, meskipun

1
Terdiri dari dua kata yaitu meta dan motive. Menurut Sudarsono kata meta bisa berarti
kajian tentang karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh obyek yang dikaji. Sedang motive
menurut Caplin memiliki empat pengertian yaitu; a.suatu variabel penyelang yang ikut campur
tangan yang digunakan untuk menimbulkan factor-faktor tertentu didalam organisme, yang
membangkitkan, mengelola, mempertahankan dan menyalurkan menuju kepada suatu sasaran.
b.suatu keadaan ketegangan didalam individu yang membangkitkan, memelihara dan
mengarahkan tingkah laku menuju pada sasaran atau yang dituju. c.alasan yang disadari atau
yang tidak disadari yang diberikan individu bagi tingkah lakunya. d.dorongan( drive )
perangsang, rangsangan.
2
Menurut Amin Syukur insan kamil diartikan sebagai manusia yang sempurna, bukan
saja memiliki ketaatan pada Allah tetapi juga mengenal dirinya sendiri dan membuat relasi
yang baik antar sesamanya dan lingkungannya, dia mengerti antara yang hak dan yang batil,
sehingga perbuatannya selalu terarah untuk mencapai keridhan Allah meski dalam kondisi
kehidupan seperti apapun.
demikian bila kebutuhan ini terhambat atau tidak terpenuhi akan

mengakibatkan metaphatologi3. (Hasyim, 2002 : 80 ).

Meskipun manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berkembang

secara sehat namun tidak semua dapat mencapai aktualisasi diri. Mengapa

demikian? Karena sebagian manusia ketika dihadapkan pada kenyataan yang

ada mereka terlihat takut terhadap persaingan, mereka khawatir kalau

persaingan itu dapat merugikan diri mereka sendiri. Adapula yang takut

melangkah untuk mengaktualisasikan segala yang ada pada diri mereka

karena adanya pengalaman masa lampau yang mungkin membuat mereka

trauma disinilah Bimbingan dan Konseling Islam berperan sebagai mana

fungsi dari bimbingan konseling yaitu fungsi preventif, kuratif, dan

development. Dengan ketiga fungsi ini konselor mampu membina klien

sehingga klien mampu sembuh dari rasa trauma yang pernah terjadi pada

mereka sehingga klien mampu mengaktualisasikan dirinya dan

mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya sesuai dengan Al -

Quran dan sunah Rasul serta mencegah klien dari prasangka buruk pada

sesana manusia dan Tuhannya.

Untuk kajian tentang tahapan kebutuhan manusia Abraham Maslow

adalah tokoh filsafat yang sangat populer. Bahkan secara tegas, dia

menyatakan bahwa manusia dianggap sempurna bila telah mencapai tahapan

kelima, aktualisasi diri.

3
Menurut Sudarsono,pathologi adalah istilah dari cabang-cabanhg ilmu biologi yang
mengangkut penyimpangan-penyimpangan dari suatu penyakit yang bersifat anatomis,
fisiologis, psikologis, menyangkut studi yang bersifat tidak normal.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membahas lebih lanjut

tentang konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya dalam

membentuk kepribadian. Penulis mencoba melakukan penelitian

menggunakan tema tersebut dengan berupaya melakukannya dalam perpektif

Bimbingan Konseling Islam .

B. PERMASALAHAN

Pokok permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana konsep aktualisasi diri Abraham Maslow dan korelasinya

dalam membentuk kepribadian?

2. Bagaimana pula artikulasinya bila dianalisis dengan perpektif Bimbingan

dan Konseling Islam?

C. TUJUAN DAN SIGNIFIKASI PENELITIAN

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

b. Untuk mendeskripsikan konsep aktualisasi diri Abraham Maslow

dalam membentuk kepribadian.

c. Untuk mendeskripsikan pembentukan kepribadian ala Abraham

Malow dalam perpektif Bimbingan dan Konseling Islam.

2. Signifikansi yang akan dicapai adalah:

a. Secara teoritis mampu menambah hasanah ilmu yang berkaitan

dengan Bimbingan dan Konseliung Islam dan untuk memperluas

cakrawala pengetahuan tentang konseling bagi peneliti dan

mahasiswa Fakultas Dakwah pada umumnya.


b. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah wawasan

peneliti dan mahasiswa di dalam memahami pembentukan

kepribadian manusia berdasarkan Bimbingan dan Konseling

Islam.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan eksplorasi yang penulis lakukan, ada beberapa penelitian

yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan antara lain

kesehatan mental dan urgensinya bagi integritas kepribadian (kajian

pemikiran prof. Dr. Abdul Aziz Al - Qudsi) yang dilakukan oleh Barokah.

(Arbaiati, 2000 : 65). Penelitian ini berisi tentang ilmu kesehatan mental. Di

dalamnya dijelaskan bahwa kepribadian akan dianggap kuat apabila unsur-

unsurnya mengarah pada satu tujuan dalam hidup yang muaranya adalah

integritas kepribadian.

Karya lain mengenai pembentukan kepribadian muslim seperti yang

dikemukakan oleh Handayani. (2004 : 66) yang berjudul: Konsep fitrah Al-

Ghazali dan implikasinya dalam pembentukan kepribadian muslim. Tulisan

ini membahas tentang sifat fitrah manusia yang dianggap sebagai sifat bawaan

atau potensi dasar yang melekat pada diri manusia tersebut, kadang disebut

juga fitrah Ke-Tuhanan. Konsep fitrah tersebut memiliki beberapa susunan

sifat manusia antara lain sifat-sifat binatang liar (sabu’iyahi), sifat binatang

(bahimiyah), sifat-sifat syaithoniyah dan sifat-sifat rabaniyah. Implikasi

konsep fitrah menurut Al-Ghazali terhadap pembentukan kepribadian muslim

adalah fitrah tentang Ke-Tuhanan (Rabbaniyah) yang mampu mendominasi


dibanding dengan konsep fitrah-fitrah lainnya. Sehingga terbentuk

kepribadian yang selaras dengan enam potensi keimanan dan lima potensi

keIslaman.

Ajijah (2002 : 25) dalam penelitiannya yang berjudul: konsep

humanisme dalam da’wah dalam kaitannya dengan penyelesaian konflik

antar umat beragama menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki

kepribadian yang sangat komplek. Manusia dianggap sebagai mahluk

tertinggi, independen, sadar dan mampu menyadari dirinya, bermoral serta

kreatif. Hanya cara humanislah yang dapat merubah manusia menjadi lebih

baik.

Sementara itu Munandziroh (2002 : 68-71) dalam skripsi yang

berjudul: prinsip pendidikan akhlak dan aktualisasinya dalam pembinaan

kepribadian: kajian surah Al-hujurah ayat 1 – 13 menyatakan bahwa

aktualisasi ini dapat ditunjukkan dengan perwujudan taqwa pada Allah, taat

pada rasulnya, membina ukhuwah Islamiyah dan melakukan perbuatan yang

mengandung akhlak terpuji.

Demikian pula Muhammad (2002 : 13) dalam: dialog antara tasawuf

dan psikologi menyatakan bahwa manusia dalam pandangan tasawuf dan

konsep aktualisasi diri Abraham Maslow adalah sama. Artinya ketika manusia

sudah mendekati atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri

(selfactualization), manusia mencapai pengalaman puncak (peak-

eksperience) yang merupakan puncak teori Abraham Maslow. Ini hanya

dapat terjadi ketika manusia sedang mengalami ekstase, perasaan bersatunya


diri seseorang selaku mikro kosmos dengan alam raya(makro kosmos). Dalam

terminology tasawuf ini merupakan tujuan akhir dari pencarian kebenaran,

yaitu penyatuan antara tiga realitas kosmos (mikro kosmos, makrokosmos dan

metakosmos) yang diistilahkan dengan tauhid

Sedang Heraty (2004) dalam psikologi sains dalam memahami

individu seseorang akan terasa lebih mudah apabila semua itu dilihat dari

pandangan sains, Sebab sains, tambahnya adalah dasar segalanya dalam

memahami segala sesuatu termasuk tentang kepribadian.

Menurut Iman dalam bukunya yang berjudul: Motivasi Dan

Kepribadian. Buku ini terdiri dari dua seri. Pada seri satu ia menjelasakan

bahwa motivasi yang dibentuk berdasarkan teori Abraham Maslow bisa

terjadi bila menggunakan pendekatan-pendekatan tentang teori herarkis

kebutuhan secara bertingkat. Sedang pada buku seri kedua ia menyatakan

motivasi dan kepribadian bisa terbentuk bila orang itu mampu mewujudkan

diri.

Sedangkan yang membedakan antara penelitian yang akan penulis

lakukan dengan penelitian yang sudah penulis cantumkan diatas adalah bahwa

penelitian yang penulis lakukan mencoba melihat konsep aktualisasi diri

Abraham Maslow dalam perspektif Bimbingan dan Konseling Islam. Sejauh

ini penelitian serupa belum pernah dilakukan.

E. KERANGKA TEORI

Menurut asal katanya aktualisasi diri terdiri dari kata aktualisasi dan

kata diri. Menurut Purwodarminto (1976 : 253), aktualisasi adalah munculnya


atau terungkapnya suatu keadaan terselubung, sedangkan menurut Sudarsono

(1993 : 81) yang disebut diri adalah seseorang atau orang (terasing dari yang

lain).

Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari

perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis

dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam

mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh

perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak

dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161).

Menurut Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan aktualisasi diri

adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna dengan cara

yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk kepribadian

yang memiliki karakteristik yang unik.

Sigmund freud menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri atas

dua bagian yang pertama, yaitu internalisasi yang terdiri atas tiga bagian

yaitu, id,ego dan super ego. Bagian kedua adalah yang disebut sebagai

identifikasi dimana melalui proses identifikasi ini manusia dapat melakukan

perbuatan yang baik atau yang buruk. (Nugroho, 2002 ; 33).

Secara historis etimologi perkataan persona berarti topeng yang

dipakai dalam sandiwara yunani yang digunakan oleh pemain-pemain drama

bangsa romawi 100 tahun sebelum masehi. Secara teologis kepribadian itu

menjelaskan tentang sesuatu yang lahiriah menjadi sesuatu yang ruhaniyyah,

substansial, essensial dan inner nature. Kepribadian itu menerangkan masing-


4
masing aspek dari pada kepribadian, dimana Tuhan (a deity) sebagai causa

prima dan causa finalis (sebab utama dan sebab terakrir) dari pribadi manusia.

(Patty et.al, 1982 143, 146).

Menurut Allport kepribadian adalah organisasi dinamis dari pada

sistem-sistem rohani dan jasmani (psycophysical )yang menentukan

penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya. (Purwanto, 1993 : 140).

Adler menyatakan dalam kepribadian yang sehat terdapat tiga fokus

kegiatan yang utama yaitu; masyarakat, kerja dan seksualitas dengan dua

tantangan hidup lainnya yaitu spiritualitas dan bagaimana menangani ego.

(Nugroho, 2002 ; 33).

Menurut aliran psikologi kognitif yang dimaksud kepribadian adalah

interaksi silih berganti antara determinan kognitif, prilaku, dan lingkungan.

(Wilcox, 2003:206).

Menurut Darojat (1982 : 16) kepribadian bersifat abstrak, yang dapat

diketahui adalah penampilannya atau bekasnya dalam kehidupan misalnya

dalam tindakan, ucapan, cara bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi

setiap persoalan baik ringan maupun berat. Karena pada dasarnya kepribadian

adalah perhelatan antara fisik dan psikis dalam diri individu yang membentuk

karakter yang unik dalam penyesuaian dengan lingkungannnya. (Najati, 1985

: 240 ). Manusia dalam meraih keluhuran pribadinya sangat dipengaruhi oleh

faktor-faktor eksternal yang melingkupinya termasuk agama. (Purwanto, 1993

: 156 ).

4
Menurut Jhon Echol dalam kamus bahasa inggris - indonesia, 1996, p – 172 berarti
dewata, dewa.
Menurut Arifin (1987 : 173 ) kepribadian samawi atau Islami adalah

suatu prilaku lahiriah dan batiniah manusia yang berbeda dalam nilai ke-

Tuhanan yang positif yang berorientasi pada kesejahteraan dan kebahagiaan

hidup didunia dan akherat. Sedang menurut Anshari (1993 : 88) kepribadian

muslim adalah manusia yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah,

beramal sholeh dan berakhlakul karimah.

Dengan demikian seseorang bisa dikatakan memiliki kepribadian

muslim, apabila seseorang tersebut dalam kehidupannya selalu mengerjakan

perbuatan–perbuatan yang terpuji yang didasari dengan nilai-nilai iman pada

Allah dan dalam kehidupannya selalu berorientasi kepada kebahagiaaan dunia

dan akhirat.

Bimbingan dan konseling merupakan perubahan bahasa dari inggris

guidance and counseling. Pertama-tama di indonesia counseling dianggap

sebagai penyuluhan sehingga sering terdengar adanya bimbingan dan

penyuluhan. Beberapa tahun kemudian pengertian ini sering menimbulkan

kerancuan dan tidak bisa dibedakan antar penyuluhan yang berbentuk

konseling dengan penyuluhan pertanian, kesehatan, keluarga berencana dan

lain-lain, Sehingga untuk menghindari kerancuan tersebut counseling

kemudian dikenal dengan istilah konseling. (Musnamar, 1992 : 3).

Kegiatan bimbingan pada dasarnya adalah merupakan pemberian

bantuan yang diberikan seseorang ahli kepada individu atau beberapa individu

(klien) degan memanfaatkan kekuatan dan sarana yang ada dan dapat
dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. (Erman Amti, 1999 :

99).

Sedang yang disebut sebagai konseling adalah proses pemberian

bantuan yang dilakukan melalui proses wawancara konseling oleh seorang

ahli (Konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien)

yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien. Tujuannya

agar klien dapat mengembangkan diri yang mengacu pada perubahan kearah

yang lebih positif. (Prayitno dan Erman Amti , 1999 : 105,113). Prinsip

sebenarnya dari konseling adalah pengentasan masalah yang diderita klien

dengan cara cepat, cermat dan tepat. (Prayitno dan Erman Amti, 1999 : 214).

Menurut Adz-Dzaki (2002:180) konseling adalah aktifitas pemberian

nasehat yang berupa anjuran–anjuran dan saran-saran dalam bentuk

pembicaraan yang komunikatif antar konselor dan klien (konseli). Jadi

konseling sifatnya hanyalah pemberian nasehat-nasehat kepada klien yang

diberikan oleh konselor yang data-data dari pemberian nasehat tersebut

berasal dari masalah klien yang diperoleh melalui proses wawancara

konseling.

Yang dimaksud dengan Bimbingan Konseling Islam adalah proses

pemberian bantuan kepada klien agar mampu hidup selaras dengan ketentuan

Allah sehiungga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Fungsi dari

Bimbingan dan Konseling Islam yaitu kuratif, preventif, preventif dan

development. Secara kuratif Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan

mampu memecahkan masalah yang dihadapi klien sesuai dengan Al - Quran


dan sunah Rasul. Secara preventif diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam

mampu mencegah timbulnya masalah pada klien sesuai dengan Al - Quran

dan sunah Rasul, sedangkan secara preventif dan development diharapkan

Bimbingan dan Konseling Islam mampu memelihara supaya keadaaan yang

sudah baik yang ada pada diri kien tidak kembali pada keadaan yang kurang

baik seperti sebelumnya. (Rakhim, 2001 : 3, 4).

Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan

dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan

mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup

selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien

tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai

dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia

dan akhirat.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis dan metode penelitian

Ada beberapa jenis pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian

ini antara lain: filosofis, sosiologis dan psikologis.

Pendekatan Filosofis, digunakan dalam konteks filsafat yang mengacu

pada hakikat manusia dengan landasan bahwa manusia diciptakan dalam

keadaan fitroh, memiliki kebutuhan naluri keagamaan. Sehingga manusia

dipandang sebagai makhluk yang biopsikososioreligius. Selain itu Abraham

Maslow juga seorang tokoh filsafat. Jadi, untuk memahami konsep-konsepnya

pendekatan ini diperlukan.


Pendekatan Sosiologis pada dasarnya digunakan dengan pertimbanagn

bahwa manusia adalah makhluk hidup yang hidup pada masyarakat tertentu.

Untuk memahami dan memenuhi kebutuhannya maka pendekatan ini

diperlukan untuk mengetahui permasalahan yang ada dan mencari solusinya.

Sementara pendekatan Psikologis digunkan karena kepribadian

pastilah dimiliki setiap manusia segala potensinya. Dengan pendekatan ini

dapat diketahui keadaan psikologi manusia sehingga diharapkan dia dapat

hidup sebagaimana mestinya. Selain itu pendekatan ini digunakan untuk

menggambarkan suatu keadan psikologis manusia yang tidak dapat

mengaktualisasikan dirinya dan juga dampak yang harus ia terima serta untuk

mengetahui yang menjadi penyebab mengapa dirinya tidak mampu

mengaktualisasikan dirinya.

2. Sumber dan jenis data

Sumber dan jenis data yang penulis dapatkan dalam penelitian ini

sepenuhnya berasal dari data-data tertulis yang secara klasifikatif ada dua

jenis yaitu sumber primer dan sekunder yaitu:

Sumber dan jenis data primer didapat dari pendapat Abraham Maslow

tentang aktualisasi diri yang ada dalam buku-bukunya dan karya-karya ilmiah

lainnya. Buku-buku yang pernah dibuatnya diantaranya adalah Toward a

Psychology of Being (1962), Religius and Peack Experiences (1964),

Eupsychian management; a jurnal (1965), The Psychology of Science; a

reconnaissance (1966), Motivasion Personality (1970), The Father reaches of

human nature. Karena kurangnya penguasaan penulis terhadap bahasa


Inggris maka penulis hanya dapat menggunakan sumber buku yang sudah

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk mengungkap pemikiran tentang

aktualisasi diri Abraham Maslow sebagai sumber data primer.

Sementara sumber dan jnis sekunder diperoleh dari berbagai tulisan

seseorang mengenai Maslow dan pemikiran-pemikirannya.

3. Tekhnik pengumpulan data

Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan penulis

menggunakan teknik kepustakaan yaitu penelusuran data-data yang berkaitan

dengan masalah yang dibahas dengan melakukan penelitian terhadap sumber-

sumber tertulis. (Hadi, 1983 : 9).

4. Analisis data

Dalam penelitian ini teknik analis data yang di gunakan oleh penulis

adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan

sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan

dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu (Consuelo dan Sevilla :

1993 : 71).

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Nawawi (1996 : 73) bahwa

"metodologi deskriptif "merupakan prosedur pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan keadaan obyek penelitian pada saat

sekarang berdasarkan fakta yang tampak. dalam hal ini tidak hanya penyajian

data secara diskriptif tetapi data tersebut dikumpulkan, diolah, dan ditafsirkan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam melakukan penelitian penulis memerlukan tahapan-tahapan

tertentu untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh karena itu penulis

menyertakan sistematika dalam penyusunan penelitian, sehingga lebih

memudahkan penulis dalam mencapai hasil yang hendak dicapai. Sistematika

yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut;

BAB. I. Pendahuluan terdiri atas latar belakang, masalah, tujuan dan

signifikansi yang penelitian, telaah pustaka terhadap penelitian yang

sebelumnya pernah dilakukan sehingga diketahui perbedaan dengan penelitian

yang akan dilakukan, metode yang digunakan penulis dalam melakukan

penelitian, dan sistematika penulisan laporan.

BAB. II. Landasan teori, berisi diskursus tentang obyek penelitian

yakni, tentang aktualisasi diri dan kepribadian. Bab ini membahas tentang

pengertian aktualisasi diri dan kepribadian serta pengertian tentang Bimbingan

dan Konseling Islam dari berbagi ahli dalam membentuk kepribadian.

BAB. III. Berisi paparan data dan hasil-hasil eksplorasi kepustakaan

yang terdiri atas riwayat hidup Abraham Maslow dan konsep aktualisasi diri

menurut Maslow.

BAB. IV. Berisi obyek yang menjadi kajian pokok penelitian. Bab ini

berisi analisis Bimbingan dan Konseling Islam tentang konsep aktualisasi diri

Abaraham Maslow dan korelasinya dalam membentuk kepribadian.

BAB. V. Berisi kesimpulan dari hasil-hasil penelitian, saran-saran

dari penulis dan kata penutup.


BAB II

AKTUALISASI DIRI, KEPRIBADIAN SERTA


BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

A. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI

Menurut Goldstein, salah satu pengembang teori organismik

menyatakan bahwa aktualisasi diri adalah motivasi utama (dorongan utama

individu) yang berarti bahwa manusia terus menerus berusaha merealisasikan

potensi-potensi yang ada pada dirinya, dalam setiap kesempatan yang terbuka

bagi dirinya. Berdasarkan pada tujuan utama inilah yang nantinya mampu

memberikan arah dan kesatuan pada kehidupan seseorang. (Hall: 1993, 74).

Menurut Rogers, organisme mempunyai suatu kecenderungan untuk

mengaktualisasikan diri, mempertahankan dan mengembangkan organisme

yang ada disekitarnya. Kecenderungan untuk mengaktualisassikan dirinya ini

sangat bersifat selektif, hanya menaruh pada aspek pemenuhan kebutuhan

pada lingkungan yang memungkinkan organisme bergerak secara konstruktif.

Disuatu fihak terdapat kekuatan yang mengikat dan memotivasikan yakni

dorongan untuk mengaktualisasikan diri, sementara di pihak lain hanya ada

satu tujuan hidup yakni menjadi pribadi yang utuh atau teraktualisasikan

dirinya secara penuh. (Hall:2001, 136).

Yang menjadi tendensi dasar ini tampak jelas bila individu diamati

dalam jangka panjang. Seseorang tidak mungkin dapat mengaktualisasiskan

dirinya kalau dia tidak dapat membedakan antara cara-cara progressif dan

cara-cara regresif.
Dengan kata lain yang disebut sebagai aktualisasi diri adalah

terungkapnya suatu keadan seseorang yang selama ini terselubung atau

tersembunyi yang mana suatu saat pasti terungkap dengan sendirinya sebagai

tanda atau ciri khas yang membedakan dirinya dengan orang lain.

B. PENGERTIAN KEPRIBADIAN

Istilah yang dikenal dalam kepribadian diantaranya:

1. Mentality yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental

atau intelektual.

2. Individuality yaitu khas seseorang yang menyebabkan seseorang itu

berbeda dengan orang lain.

3. Idendity yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat yang

mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar. (Purwanto: 1993,

150).

Berikut akan dikemukakan beberapa anasir kepribadian antara lain:

1. Menurut Mark Away yang dimaksud dengan kepribadian adalah menilai

perangsang sosial seseorang.

2. Menurut Gustav Jung kepribadian manusia dibentuk dan dicetak oleh

pengalaman-pengalaman komulatif dari generasi sebelumnya.

3. Menurut psikologi transpersonal yang dimaksud dengan kepribadian

adalah keadaan terhipnotis.

4. Menurut psikosintesis kepribadian terdiri dari sub-sub kepribadian yang

berkembang sejak usia dini. (Willcox: 2003, 112).

5. Wetheington menyatakan ciri-ciri kepribadian sebagai berikut:


a. Kepribadian seseorang berubah karena faktor pengaruh lingkungan

sosial dan cara belajarnya.

b. Kepribadian adalah istilah untuk menyebut tingkah laku seseorang

secara terintegrasi dan bukan hanya beberapa aspek dari

keseluruhan itu.

c. Kepribadian tidak berkembang secara pasif. Setiap orang

menggunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan.

d. Kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang statis, contohnya

bentuk badan, ras, tetapi menyatakan keseluruhan kegiatan dari

tingkah laku seseorang.

e. Kepribadian menyatakan pengertian tertentu saja yang ada pikiran

orang lain dan fungsi pikiran tersebut ditentukan oleh nilai

perangsang seseorang. (Willcox: 2003, 120).

6. Menurut Hall dan Lindzey tidak ada definisi yang pasti tentang kepribadian

yang bisa digunakan secara umum. Sebab semua teoritikus melihat

kepribadian secara berbeda-beda. Berdasarkan pada nilai-nilai dan

gagasan-gagasan mereka sendiri. (Hall: 1993, 202).

Menurut Maslow Kepribadian berkembang melalui kematangan dalam

lingkungan yang ditunjang oleh usaha-usaha yang aktif pada pihak pribadi

yang merealisasikan kodratnya, maka daya-daya kreatif dalam manusia secara

lebih jelas. Apabila manusia menderita atau neorotik maka hal itu disebabkan
oleh lingkungan melalui ketidaktahuan dan patologi sosial atau karena

mereka telah mendistorsikan pikiran mereka. (Willcox: 2003, 109).

Maslow melihat pribadi yang sepenuhnya manusiawi adalah orang

yang memiliki apa yang ia namakan nilai-nilai ”B atau being (wujud)”;

didalamnya termasuk berisi nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan,

keutuhan, transedensi polaritas, kegairahan, keunikan, kesempurnaan,

kebutuhan, perampungan, keadilan, keteraturan, kesederhanaan,

kesemerataan, keagungan, suka bercanda, dan kecukupan diri.

Konsep being sangat bertentangan dengan konsep defisiensi yang

dialami oleh sebagian besar orang. Dalam konsep defisiensi, organisme

bertindak untuk memenuhi kekurangannya agar dapat tehindar dari rasa sakit,

sedangkan dalam being sebagian besar kebutuhan organisme dipenuhi dan

organisme bertindak untuk menghasilkan kesehatan yang positif.

Perspektif defisiensi diwarnai dengan keinginan atau hasrat, sedang

being jernih, tak terlibat dan tanpa hasrat. Sebagai contoh kebutuhan akan

cinta menjadi kebutuhan defisiensi yang melibatkan cinta yang tamak pada

mereka yang tidak memperoleh cinta semasa kanak-kanak. Kekurangan ini

merupakan kekosongan yang harus diisi. Bagi orang yang sehat cinta tidak

bersifat tidak membutuhkan, tidak egois dan tidak mengekang. (Wilcox: 2003,

219).

Sedangkan menurut Murray sangat setuju dengan Freud yang

memandang struktur kepribadian tersusun atas tiga hal yaitu: Id, Ego, dan

Super ego. Selain itu Muray menambahkan bahwa Id berisi tentang impuls
yang diterima oleh diri maupun masyarakat, semua tergantung pada individu

dalam mengontrol Id yang mereka miliki.

Super ego menurut Murray bukan hanya faktor penghambat atau

penindas tetapi bertujuan untuk memudahkan atau meningkatkan penyaluran

impuls tertentu dari Id. Kekuatan dan keberhatian ego merupakan faktor

penentu bagi penyesuaian diri sub sistem yang diinternalisasiakan dalam

individu yang berlaku sebagai pengatur tingkah laku seperti yang dilakukan

oleh pelaku-pelaku yang berada di luar individu. (Hall: 1993, 29).

1. Perkembangan Kepribadian

Pembentukan kepribadian merupakan susunan faktor biologis,

psikologis dan sosial. Keseimbangan kepribadian sangat ditentukan oleh

kemampuan mengintegrasikan ketiga faktor tersebut menjadi bagian integral

dari kehidupan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan

pembentukan kepribadian adalah heredity atau pembawaan, pengalaman-

pengalaman yang aktual bagi individu dan kebudayaan.

Secara heredity dapat dilihat pada anak kembar yang identik dimana

faktor hereditas memiliki pengaruh yang signifikan bagi pertumbuhan dan

pembentukan kepribadian. Dengan kata lain lingkungan yang berbeda tidak

akan mempengaruhi pada perkembangan kepribadian anak kembar tersebut.

Selanjutnya faktor yang berpengaruh pada kepribadian adalah

pengalaman dan lingkungan keluarga. Kepribadian pada masa anak-anak

sangat dipengaruhi oleh keluarga terutama pada masa bayi (antara usia 0-2

tahun) bahkan pada usia 2-6 tahun inilah disebut-sebut sebagai masa paling
baik untuk membentuk kepribadian. Meski nantinya pada akhir ketika anak

sudah tumbuh menjadi remaja kepribadian selalu bereaksi terhadap

pengalaman-pengalaman baru menurut pihak kematangan atau kecerdasan

tempramennya, tetapi meski demikian reaksi tersebut akan berubah oleh

interaksinya dengan orang tua dan lingkungan keluarganya.

Faktor ketiga yang sangat mempengaruhi pada pembentukan dan

perkembangan kepribadian adalah faktor kebudayaan. Pada umumnya anak

memiliki kecenderungan untuk meniru orang tuanya. Melalui peniruan ini

anak menyerap sifat-sifat kepribadian dan tidak sedikit menjadi model yang

ditiru secara utuh. Inilah awal dari kebudayaan mempengaruhi kepribadian.

Kebudayaan dipandang sebagai hal yang dapat mempengaruhi kepribadian

selama kebudayaan itu berlangsung secara terus-menerus dalam waktu lama.

(Azhari: 2000, 167,169). Sementara itu kepribadian yang sehat menurut

Maslow dalam Kartono et al. (1989, 8-10) menyatakan bahwa:

a. Memiliki rasa aman yang tepat: mampu berkontak dengan orang lain

dalam bidang kerja, di tengah pergaulan dan dalam lingkungan keluarga.

b. Memiliki penilaian diri dan wawasan yang rasional, dengan

rasa harga diri yang cukup dan tidak berlebihan.

c. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat.

d. Mempuinyai kontak degngan realitas secara efsien, tanpa ada

fantasi dan angan-angan yang berlebihan.


e. Memiliki dorongan dan nafsu-nafsu jasmaniah yang sehat, dan

mampu memuaskan dengan cara yang sehat, teapi dia tidak

bisa diperbudak oleh nafsunya.

f. Mempnyai pengetahuan diri yang cukup, dengan motif-motif

hidup yang sehat dan kesadaraan yang tinggi.

g. Memiliki tujuan hidup yang tepat, yang bisa dicapai dengan

kemampuan sendiri.

h. Memiliki kemampuan belajar dari pengalaman hidupnya.

i. Ada kesanggupan untukl memuaskan tuntutan-tuntutan dan

kebutuhan-kebutuhan kelompoknya.

j. Ada sikap emansipasi yang sehat terhadap kelompoknya, tetapi

dia memiliki individualitas yang khas.

k. Ada integrasi dalam kepribadiannya, yaitu kebulatan, unsur

jasmani dan rohaninya.

2. Kepribadian Muslim

Dalam Al-Qur’an manusia secara akidah terbagi menjadi tiga

golongan yaitu mu’min (beriman), kafir, dan munafik. Antara ketiga golongan

ini manusia memiliki sifat utama yang membedakan antara golongan satu

dengan golongan yang lainnya. Pembagian ini sangat mempengaruhi

pembentukan kepribadian manusia, membentuk sifat-sifat yang khas dengan

mengarahkan tingkah laku kepada suatu arah tertentu. Dalam Al-Qur’an

diuraikan faktor utama dalam menilai kepribadian adalah dengan melihat


akidahnya. Dalam hal ini penulis membatasi penjelasan hanya pada orang-

orang yang beriman.

Orang-orang yang beriman (muslim) banyak disebut Allah dalam

banyak ayat dalam sebagian besar Al-Qur’an sebagai orang yang senang

beribadah baik hubungan dengan keluarga, masyarakat, cinta pada ilmu

pengetahuan, dalam mencari rizki. Sifat orang beriman menurut Najati (1985,

255-260) menyatakan bahwa kepribadian orang-orang yang berkepribadian

muslim dapat diklasifikasikan dalam bidang perilaku yang pokok:

a. Sifat yang berkenaan dengan akidah yaitu beriman pada Allah, para Rasul,

Kitab, Malaikat, hari akhir, kebangkitan dan perhitungan, surga dan

neraka, hal yang gaib, dan qadar. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah

dalam surat Al-Baqarah ayat 285:

Artinya: ” Rasul telah beriman pada Al-Quran yang diturunkan


kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman,
semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan Rasul-rasul-Nya(mereka mengatakan) ”kami tidak membeda-bedakan
antara seorang pun(dengan yang lain) dari Rasul-rasul-nya” ampunilah kami
ya Tuhan dan kepada engkau kami kembali”. (Depag: 1989, 72).

b. Sifat yang berkenaan dengan ibadah yaitu menyembah Allah,

melaksanakan kewajiban-kewajiban sholat, berpuasa, zakat, haji, berjihad


di jalan Allah, memohon ampun kepada-Nya, berserah diri, dan membaca

al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Bayyinah ayat 5:

Artinya: ”Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada


Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat dan demikian itulah agama
yang lurus”. (Depag: 1989, 1084).

c. Sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang

lain, dermawan dan suka berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lain-

lain.

d. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu: berbuat baik

kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan

isteri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Bani isra’il ayat 23:

Artinya: ”Dan Tuhamu telah memerintahkan supaya kamu jangan


menyembah selain Dia. Dan Tuhanmu memerintahkan hendaklah kau berbuat
baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu dari
keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah”. Dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka ucapan
yang baik”. (Depag:1989, 427).

e. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka

memiliki sifat sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati


janji, merendahkan diri, menjauhi dosa, teguh dalam melaksanakan

kebenaran, dan mengendalikan hawa nafsu.

f. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa

cinta pada Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan

kepada sesama.

g. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala

sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam

semesta, memikirkan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak

mengikuti sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas,

bebas dalam berfikir dan berakidah.

h. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka

sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan

menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam

upaya memperoleh rizki.

i. Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki fisik

kuat, sehat, bersih, dan suci dari najis.

Kepribadian muslim tidak terlepas dari sifat-sifat tersebut. Tetapi,

sifat-sifat tersebut saling berinteraksi dan saling menyempurnakan. Oleh

karena itu tingkah laku seorang muslim selalu tampak bersih, serasi baik

dalam hubungan dengan Tuhannya ataupun dengan orang lain. Sifat-sifat

yang berkenaan dengan akidah mempunyai peran utama dalam mengarahkan

tingkah laku seseorang dalam kehidupannya. Seorang mu’min yang kuat,

bertaqwa kepada Tuhannya, maka hubungan antara dirinya sendiri dan orang
lain ia selalu akan mencari ridho Allah dan mengharapkan pahalanya, takut

akan amarah dan azabnya. Sehingga pengendalian dirinya sikapnya yang baik

pada orang lain dan kecintaannya, berbuat kebajikan kepada mereka semua

dan ketulusannya dalam bekerja semuanya merupakan ibadah bagi-Nya.

(Najati: 1985, 260).

3. Proses Pembentukan Kepribadian Muslim

Menurut Marimba (1989, 77-80) bahwa proses terbentuknya

kepribadian muslim terdiri atas tiga tahapan tersebut penulis jabarkan sebagai

berikut:

a. Pembiasaan.

Pembiasaan ini sesuai dengan salah satu dasar perkembangan

manusia. Pembinaan yang lebih banyak memerlukan tenaga kepribadian yang

lebih rendah (jasmaniah) akan lebih mudah dan lebih dahulu dapat mulai

dilaksanakan daripada tenaga-tenaga yang lebih tinggi (rohaniah). Tujuannya

terutama membentuk aspek jasmaniah dari kepribadian atau memberi

kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu dengan mengontrol dan

mempergunakan tenaga-tenaga jasmaniah dan dibantu tenaga-tenaga

kejiwaan.

b. Pembentukan pengertian, sikap dan minat.

Pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan

dalam taraf ini perlu ditanamkan dasar-dasar kesusilaan yang rapat

hubungannya dengan kepercayaan. Hal ini perlu mempergunakan tenaga-


tenaga kejiwaan: karsa, rasa, dan cipta, dimana dasar-dasar tersebut dalam

pembinaan Islam meliputi:

1). Mencintai Allah.

2). Mencintai dan membenci karena Allah.

3). Mencintai Rasul.

4). Ikhlas dan benar.

5). Taubat dan sabar.

6). Takut akan Allah.

7). Berharap pada Allah.

8). Bersyukur dan menepati janji.

9). Tawakal dan ridho pada qadla.

10). Menjauhi ’ujub dan takabur.

11). Mengharap rahmat dan syafaat.

12). Menjauhkan dendam, dengki, marah, tipuan.

13). Suka memberi maaf.

c. Pembentukan kerohanian yang luhur.

Dalam taraf ketiga ini dengan cara menanamkan kepercayaan yang

tercakup dalam rukun iman. Dalam pembentukan ini tenaga budi dan tenaga

kejiwaan sebagai pencapaiannya bisa terjadi setelah kedewasaan rohaniah

tercapai.
C. Bimbingan Dan Konseling Islam

Bimbingan dan konseling Islam merupakan proses pemberian bantuan

kepada individu agar mampu hidup selaras dengan petunjuk Allah sehingga

dapat mencapai kehidupan dunia dan akhirat (Rakhim: 2001, 4).

Sedangkan menurut Hallen (2002, 23) bimbingan dan konseling Islam

adalah usaha membantu indiividu dalam menanggulangi penyimpangan

perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali

menyadari perannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk mengubah

atau mengabdi kepada Allah yang pada akhirnya tercipta hubungan yang baik

dengan Allah, manusia dan alam semesta.

Menurut Hasanah (2004, 48) bimbingan dan konseling Islam

merupakan proses pemberian bantuan kepada individu baik yang sedang

mengalami masalah dengan cara yang mandiri, individu mampu dan memiliki,

agar supaya senantiasa selaras dengan petunjuk Allah, sehingga dengan cara

yang mandiri individu mampu memecahkan masalahnya serta mencapai

kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dengan demikian dapat dikatakan yang dimaksud dengan Bimbingan

dan Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan pada klien dengan

mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga ia mampu hidup

selaras dengan petunjuk Allah, sehingga pada tahapan selanjutnya klien

tersebut dapat mandiri dan mampu memecahkan masalah pada dirinya sesuai

dengan Al - Quran dan sunah rasul untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia

dan akhirat.
1. Asas-asas Bimbingan dan Konseling Islam.

Menurut Hallen (2002, 63-74) menyatkan bahwa asas-asas Bimbingan

dan Konseling Islam terdiri atas:

a. Asas kerahasiaan.

Apapun yang terjadi pembicaraan antara konselor dan klien yang terjadi

dalam proses wawancara konseling kerahasiaannya perlu dijaga dan dihargai.

Demikian pula catatan-catatan yang dibuat sewaktu maupun sesudah

wawancara konseling perlu disimpan dengan baik dan dijaga kerahasiaannya.

Hal ini sebagai firman Allah alam surat Al-Mu’minun ayat 8:

Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat(yang dipikulnya)


dan janjinya. (Depag: 1989, 527).

b. Asas kesukarelaan.

Dalam proses konseling tidak pernah ada keterpaksaan baik yang

dialami oleh klien maupun konselor oleh karena itu perlu diadakannya kerja

sama antara konselor dan klien sehingga tercipta suasana yang sukarela bukan

keterpaksaan.

c. Asas keterbukaan.

Antara konselor dan klien harus ada sikap saling membuka diri, tidak

dibuat-buat sehingga apa yang menjadi proses bimbingan dan konseling dapat

tercapai dengan baik.

d. Asas kekinian.

Masalah yang dihadapi oleh klien bisa terjadi pada masa lalu sekarang

dan masa yang akan datang sehingga ia lupa apa yang harus ia kerjakan
dengan hal ini maka konselor diharapkan mampu mmemecahkan masalah

yang dihadapi oleh klien pada saat sekarang.

e. Asas kemandirian.

Pada tahap awal konseling, biasanya klien lebih tampak tergantung

kepada konselor hal ini karena konselor selalu menanggapi dan merespon

apapun yang terjadi pada klien. Oleh karena itu konselor harus menumbuhkan

sikap kemandirian yang ada pada diri klien.

f. Asas kegiatan.

Dalam proses kegiatan ini konselor diharapkan mampu memberikan

tugas-tugas kepada klien yang tugas-tugas tersebut oleh klien harus

diselesaikan demi terciptanya tujuan bimbingan dan konseling yang telah

ditetapkan.

g. Asas kedinamisan.

Keberhasilan usaha pelayanan dan bimbingan konseling ditandai dengan

perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik, oleh karena

itu perlu adanya kerja sama antara konselor dan klien secara dinamis sehingga

dapat menimbulkan sikap yang lebih baik pada diri klien

h. Asas keterpaduan.

Konselor harus pandai menjalin kerjasama dan saling mengerti serta

saling membantu demi terbentuknya penyelesaian masalah klien.

i. Asas kenormatifan.

Disadari atau tidak bahwa konselor dalam proses bimbingan dan

konseling akan menyertakan norma-norma yang dianutnya dalam hubungan


konseling, baik secara langsung atau tidak. Tetapi harus diingat bahwa

konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai atau norma-norma yang ia anut

pada klien.

j. Asas keahlian.

Untuk menjamin keberhasilan usaha bimbingan dan konseling maka

para konselor harus medapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadahi.

Pengetahuan, keterampilan, sikap dan kepribadian yang ditampilkan oleh

konselor akan menunjang hasil konseling.

k. Asas alih tangan.

Berhubung masalah yang dihadapi klien adalah unik disamping

pengetahuan dan keterampilan yang dimilki oleh konselor juga terbatas ada

kemungkinan bahwa masalah yang dihadapi oleh konselor belum dapat diatasi

oleh konselor tersebut oleh karena itu dalam hal ini konselor perlu mengalih

tangankan klien kepada konselor yang lain yang lebih ahli sehingga masalah

klien bisa terpecahkan. Bahkan menurut Prayitno seperti yang dikutip oleh

Hallen (2002) menyatakan bahwa pengalihtanganan seperti ini adalah wajib

artinya masalah klien tidak boleh terkatung-katung oleh konselor yang

terdahulu.

l. Asas tut wuri handayani.

Sebagai mana diketahui bahwa proses bimbingan dan konseling

merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara sistematika dan berencana,

sengaja, terus-menerus dan terarah kepada satu tujuan. Oleh karena itu

pelayanan dan bimbingan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada saat
klien mengalami masalah dan dihadapkan pada konselor saja. Kegiatan

bimbingan dan konseling harus senantiasa diikuti terus-menerus dan aktif

sampai sejauh mana klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan.

2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan dan Konseling Islam

Secara umum bimbingan dan konseling memiliki tiga fungsi yaitu

fungsi preventif, kuratif, dan developmental. Fungsi preventif bimbingan dan

konseling dapat menghasilkan atau terhindarnya klien dari berbagai macam

permasalahan yang mungkin timbul yang dapat mengganggu, menghambat

atau menimbulkan kesulitan, kerugian-kerugian tertentu dalam proses

perkembangan yang sedang atau sudah dialami oleh klien. (Hallen: 2002, 60).

Fungsi kuratif atau teraputik, maksudnya melalui pelayanan secara

kuratif ini bimbingan dan konseling diharapkan akan menghasilkan

teratasinya masalah yang dialami oleh klien, dalam usahanya membantu

memecahkan berbagai masalah klien. Baik secara sifat atau bentuknya

(Rakhim: 2001, 6).

Fungsi developmental atau pengembangan atau pemeliharaan, dengan

fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya dan terbentuknya

berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih baik. Klien dalam

rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan berkelanjutan. Dalam

hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik dan dimantapkan

sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan secara optimal

(Hallen: 2001, 63).


Sedangkan tujuan dari bimbingan dan konseling Islam adalah

terwujudnya diri sebagai manusia yang utuh sehingga dapat mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. (Musnamar: 1992, 33).

D. Dakwah

Pengertian, fungsi dan tujuan dakwah

Menurut Sanwar (1984, 3) menyatakan bahwa dakwah adalah suatu

usaha dalam proses islamisasi manusia agar taat dan tetap menaati ajaran

islam guna memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Fungsi dari dakwah adalah menyampaikan ajaran islam yang telah

diturunkan oleh Allah kepada Rasululah bagi umat manusia, seluruh alam,

memelihara ajaran tersebut dan mempertahankannya.

Sedangkan menurut Tasmara (1997, 38) menyatakan bahwa dakwah

adalah suatu proses penyampaian pesan-pesan berupa ajaran islam secara

persuasif dengan harapan agar komunikan dapat bersikap dan berbuat amal

sholeh sesuai dengan ajaran islam.

Sementara menurut Sulthon (2003, 16) menyatakan bahwa dakwah

adalah usaha aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat

muslim antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial.

Berdasar pada pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa dakwah

adalah aktifitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat islam yang

disampaikan melalui pesan-pesan berupa ajaran islam yang secara persuasif

supaya manusia itu taat dan tetap menaati ajaran islam guna memperoleh

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.


Sedangkan tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi

perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan-

pesan dakwah yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras

dengan Al-Qur’an dan Sunah.

Unsur-unsur dakwah

a. Dai atau subyek dakwah

Adalah pelaksana dari kegiatan dakwah baik secara perseorangan atau

individu secara bersama-sama terorganisasikan. Dai adalah juru dakwah yang

menjadi dai adalah setiap muslim laki-laki, wanita yang baligh, berakal,

ulama, atau bukan ulama (Sanwar: 1984, 40-44).

Sifat-sifat kesempurnaan dai:

1). Wara’ adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang menimbulkan prasangka.

2). Cinta perdamaian yaitu membalas kejahatan dengan kebaikan dan

memerangi bidh’ah serta kemungkaran dengan hikmah kebijaksanaan serta

nasihat yang baik.

3). Berbudi pekerti dengan sifat-sifat yang terpuji.

4). Mencintai tugas dan kewajibannya serta melaksanakannya dengan penuh

ketaatan pada Allah.

5). Selalu mendekatkan diri pada Allah.

b. Mad’u (penerima dakwah)

Adalah seluruh umat manusia tanpa terkecuali, pria, wanita, beragama

atau belum beragama bail pemimpin maupun rakyat biasa. Sanwar (1987, 66).
Menurut Solahudin Sanusi dalam Sanwar (1987, 72-73) membagi

mad’u menjadi beberapa golongan diantaranya :

1). Secara biologis melihat struktur masyarakat terdiri atas jenis kelamin dan

umur manusia.

2). Secara geografis yaitu melihat masyarakat bedasarkan pada daerah.

3). Secara ekonomi terbagi atas tingkat kekayaan dan pendapatan.

4). Secara agama terdiri atas agama islam, non islam atau yang belum

beragama.

5). Berdasarkan pendidikan yaitu pendidikan tinggi, menengah atau rendah.

6). Berdasarkan pada pekerjaan yaitu buruh, petani, pegawai, seniman dan

militer.

7). Secara kelompok terdiri atas:

a). Secara primer yaitu keluarga, tetangga, dan juga teman

sepermainan.

b). Secara sekunder terjadi karena bersamaan tujuan atau kepentingan

yaitu petani, buruh dan pengusaha.

c). Secara tersier terjadi karena kebetulan dan bersifat sementara

misalnya tim sepakbola.

c. Materi dan metode dakwah

Materi yang digunakan dalam dakwah adlah al-islam yang bersumber

pada Al-Qur’an dan Hadist yang melipuri akidah, sari’ah, akhlak dan berbagai

macam ilmu yang diperoleh darinya. (Bachtiar: 1997, 33-34).


Metode yang digunakan dai dalam menyampaikan dakwah guna

mencapai tujuan dakwah berdasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125

maka dapat dibagi menjadi berikut:

1. Al-Hikmah

Yaitu metode dakwah yang pada intinya merupakan penyeruan atau

ajakan dengan cara bijak, filosofis, argumentatif, dilakukan dengan adil dan

penuh kesadaran serta ketabhana sesuai dengan Al-Qur’an.

2. Mauidzah Al-Hasanah

Metode ini diarahkan terhadap mad’u yang kapasitas intelektualnya

tergolong awam. Dalam hal ini peran dai adalah sebagai pembimbing, teman

dekat yang memberikan segala hal yang bermanfaat serta membahagiakan

mad’u.

3. Wajadilhum bi-al lati hiya ahsan

Metode ini digunakan dalam upaya dakwah melalui bantahan, diskusi

dengan cara terbaik, sopan santun, saling menghargai dan tidak arogan.

Metode ini ditujukan sebagai reaksi alternatif dalam menjawab tantangan dan

respon negatif dari mad’u khususbnya sebagai sasaran yang menolak, tidak

perduli atau bahkan melecehkan seruan (Mukhidin et al.:2002, 80-82).

Berdasarkan pada ketiga metode di atas maka timbul metode-metode

operasionalisasinya, yang menurut Bachtiar (1997, 34-45) yang terdiri atas

beberapa hal diantaranya:

1). Secara lisan yang termasuk dalam hal ini adalah ceramah, seminar,

simposium, diskusi, khutbah dan lain-lain.


2). Secara tulisan yang termasuk dalam hal ini adalah buku-buku,

majalah, surat kabar lukisan dan lain-lain.

3). Bil hal yang termasuk dalam hal ini adalah perilaku dai yang

ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari yang sesuai dengan ajaran

islam.

4). Secara seni yang termasuk dalam hal ini meliputi seni lukis, tari,

suara dan lain-lain.


BAB III

KONSEP AKTUALISASI DIRI DAN PEMBENTUKAN


KEPRIBADIAN ABRAHAM MASLOW

A. BIOGRAFI ABRAHAM MASLOW

Abraham Maslow dilahirkan di Brooklyn, New york, pada tanggal 1

april 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi Rusia yang pindah ke

Amerika Serikat dengan tujuan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Sebagai anak tertua dari 7 bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong

agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal ini menjadikan Maslow

kesepian pada masa kanak-kanak dan remaja. Tentang perlakuan orang tuanya

berikut akibatnya Maslow menulis: ” jika mengingat masa kanak-kanak saya,

cukup menggirangkan bahwa saya tidak menjadi psikotik. Saya adalah anak

yahudi ditengah-tengah anak non yahudi. Di sekolah saya diberlakukan sama

dengan perlakuan yang diperoleh anak-anak negro, terisolasi dan tidak

bahagia. Pendek kata saya tumbuh di perpustakaan diantara buku-buku, tanpa

teman”.

Diduga bahwa hasrat Maslow untuk menolong orang lain agar bisa

hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) berasal dari

hasratnya untuk memperoleh kehidupan yang kaya yang tidak ia peroleh pada

masa mudanya.

Karena desakan ayahnya, Maslow pada mulanya memilih hukum

sebagai bidang studinya di City College, New York. Tetapi baru 2 minggu

kuliah Maslow pindah ke Universitas Cornell, dan tak lama kemudian pindah
ke Universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai pilihannya, disini

ia memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh pada tahun

1931 dan meraih doktor pada tahun 1934. pada waktu masih kuliah Maslow

menikah dengan Bertha Goodman.

Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena

pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme

merupakan sesuatu yang menarik, dan dengan mengikuti program-program

yang diadakan oleh Watson, Maslow berharap bisa mengubah dunia.

Disamping Watson tokoh yang dikagumi dan diikuti Maslow adalah

Koffka, tokoh psikologi gestalt; Dreisch, tokoh terkemuka dalam bidang

biologi; Moklejohn seorang tokoh ahli filsafat. Tetapi ketiga orang tersebut

tidak ia jumpai, karena mereka hanya guru besar tamu. Untuk mengobati

kekecewaannya Maslow menyusun disertasi dibawah bimbingan Harry F.

Harlow.

Maslow mengawali karier akademis dan profesionalnya dengan

memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas

Wisconsin (1930-1934), sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian

Maslow menjadi staf peneliti di universitas Columbia sampai tahun 1937

disana ia bekerja sebagai asisten Edward L. Thorndike, salah satu tokoh

behaviorisme, setelah itu Maslow menjadi guru besar pembantu di Brooklyn

College, New York sampai tahun 1951. Maslow menyebut New York pada

akhir 1930 an dan awal tahun 1940an ketika ia mengajar disana sebagai pusat

psikologi. Disini ia bertemu dengan tokoh intelektual eropa yang melarikan


diri ke Amerika serikat karena penindasan Hitler. Tokoh-tokoh tersebut

diantaranya. Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict, dan

Max Wetheimer. Pada tahun 1951 Maslow menjadi kepala Departemen

Psikologi Universitas Brandeis yang dipegang tahun 1961 dalam periode ini

Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di

Amerika serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan

menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menko Park California.

Maslow menggabungkan diri denghan sejumlah perhimpunan

profesional. Ia menjadi anggota dewan studi psikologi bagi masalah-maslah

sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi negara bagian Massachusetts,

sebagai kepala divisi kepribadian dan psikologi sosial pada perhimpunan

psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika, dan akhirnya memegang

jabatan sebagai presiden perhimpunan psikologi Amerika pada tahun 1967-

1968. selain jabatan-jabatan tersebut Maslow menjadi editor pada beberapa

jurnalis psikologi diantaranya, psikologi humanistik dan humanistik

transperonal, serta menjadi editor ahli dalam beberapa penerbitan berkala.

Maslow tertarik pada sikologi pertumbuhan, dan sampai akhir hayatnya

(1970) ia mendukung Essalen Institut di California dan keompok-kelompok

lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia. (Koeswara: 1991,

109-115).

Sebagian besar buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari

hidupnya yaitu: Toward a Psychology of Being (1962), Religius and Peack

Experiences (1964), Eupsychian management; a jurnal (1965), The


Psychology of Science; a reconnaissance (1966), Motivasion Personality

(1970), The Father reaches of human nature.

B. PENGERTIAN AKTUALISASI DIRI MENURUT MASLOW

Menurut Abraham Maslow aktualisasi diri merupakan puncak dari

perwujudan segenap potensi manusia di mana hidupnya penuh gairah dinamis

dan tanpa pamrih,konsentrasi penuh dan terserap secara total dalam

mewujudkan manusia yang utuh dan penuh. Orang yang tidak tertekan oleh

perasaan cemas, perasaan risau, tidak aman, tidak terlindngi, sendirian, tidak

dicintai adalah orang yang terbebas dari meta motivasi. (Robert, 1993 : 161).

Menurut Maslow, orang yang mengaktualisasikan dirinya terbagi atas

dua hal yakni antara yang sehat tetapi tidak memiliki pengalaman transedensi

dan orang yang berpendapat bahwa transedensi sangat penting bagi orang

yang ingin mengaktualisasikan diri. Dalam hal ini Maslow memberikan

gambaran para transeder diantaranya adalah:

1. Pengalaman puncak maupun pengalaman-pengalaman datar yang

merupkan aspek kehidupan yang paling penting dan berharga.

2. Mereka berbicara dengan bahasa penyair, mistikus dan lebih baik dalam

mencerna seni, musik, paradok, parabel, dan lain-lain.

3. Mereka terlihat kesakralan dalam semua hal pada tataran praktis sehari-

hari.

4. Mereka cepat akrab dan saling memahami serta mengenal satu dengan

yang lain.

5. Mereka lebih tanggap terhadap penampilan diri.


6. Mereka berpandangan holistik, melampaui perbedaan budaya dan

geografis.

7. Mereka sinergis terhadap apa yang mereka berikan, sehingga apa yang

mereka lakukan bermanfaat untuk diri mereka dan orang lain.

8. Mereka berpenampilan memikat, mengundang kekaguman, sholeh dan

sangat mudah dihormati orang lain.

9. Mereka cenderung sebagai penemu.

10. Mereka melihat kesakralan pada benda hidup.

11. Mereka memiliki rasa kagum dan misteri yang sangat kuat.

12. Mereka cenderung berdamai dengan kesehatan, hal tersebut mereka

lakukan karena mereka memahami bahwa hal tersebut tidak dapat

dihindari dan karena terpaksa.

13. Mereka cenderung memandang diri mereka sebagai penghantar.

14. Mereka tidak mementingkan diri sendiri dan lebih mudah melampaui ego.

(Willcox: 2003, 219, 220).

B. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM AKUALISASI DIRI ABRAHAM

MASLOW

Dalam teori Maslow kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan

kebutuhan manusia yang paling tinggi. Kebutuhan ini muncul dengan

sendirinya apabila kebutuhannya yang lain sudah terpenuhi dengan baik.

Kebutuhan akan aktualisasi diri adalah tanda (hasrat) dari individu untuk

menyempurnakan dirinya dan menjadi seseorang dengan keinginan dan

potensi yang ada pada dirinya.


Maslow menyatakan bahwa aktualisasi diri bukan hanya

pengungkapan kreasi atau karya atau kemampuan khusus, dengan kata lain

setiap orang mampu mengaktualisasikan dirinya dengan cara melakukan hal

yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masing-

masing tidak terlepas apakah dia itu orang tua, buruh, mahasiswa ataupun

dosen bahkan sekretaris. Oleh karena itu bentuk dari aktualisasi diri pada tiap-

tiap individu berbeda-beda.

Lebih lanjut Maslow menyatakan bahwa untuk mencapai taraf

aktualisasi diri tidaklah mudah seperti dalam pencapaian kebutuhan

sebelumnya. Hal ini disebabkan karena upaya dalam pencapaian aktualisasi

diri banyak dipenuhi oleh hambatan-hambatan.

Hambatan-hambatan tersebut antara lain:

1. Berasal dari individu itu sendiri yakni berupa ketidak tahuan, keraguan

bahkan bisa karena ketakutan yang dialami oleh individu itu sendiri.

2. Berasal dari luar atau masyarakat, biasanya berupa kecenderungan untuk

mendispersonalisasikan individu, kerepresian sifat-sifat, bakat, potensi.

Dengan kata lain aktualisasi diri hanya mungkin terjadi apabila kondisi

lingkungan amat mendukung. Tetapi kenyataannya tidak ada satu pun

lingkungan yang menunjang anggota masyarakatnya untuk melakukan

aktualisasi diri walaupun ada anggota masyarakat yang mampu melakukan

aktualisasi diri.

3. Berasal dari pengaruh yang dihasilkan dari kebutuhan yang kuat akan rasa

aman. Maslow menyatakan jika masyarakat mengharapkan lebih banyak


orang yang mampu mengaktualisasikan diri maka haruslah ada perubahan

pada dataran dunia sehingga tercipta kesempatan yang luas bagi orang

untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Yang dimaksud

perubahan disini menurut Maslow adalah perubahan struktur politk,

ketentuan-ketentuan sosial. (Koeswara: 1991, 125-126).

C. PEMBENTUKAN KEPRIIBADIAN MENURUT ABRAHAM MASLOW

Maslow menguji teorinya tentang aktualisasi diri pada 49 orang yang

menurut teori psikologi mereka adalah orang-orang yang ideal. Individu-

individu yang dipelajari oleh Maslow diambil dan diseleksi dari orang-orang

yang terkemuka baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, juga

dari mahasiswa. Menurut Maslow mereka adalah orang-orang yang dalam

hidupnya penuh dalam arti merealisasikan seluruh potensi-potensi yang ada

pada dirinya, dan karenanya mereka mampu mencapai kematangan sejati.

Orang-orang yang menjadi subyek penelitian adalah mereka yang tidak

menunjukkan kecenderungan ke arah neurotik, psikotik, dan gangguan jiwa

lainnya. Maslow membagi subyek-subyek yang telah dipelajari ke dalam

ketiga kategori diantaranya:

1. Fairyly sure cases, yang termasuk ke dalam kategori ini adalah orang-

orang yang pasti dan sungguh-sunguh telah mencapai taraf aktualisasi diri

diantaranya adalah Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Einstein, dan

Eleamor Roosevelt.

2. Partial cases terdiri atas lima orang kontemporer yang oleh Maslow tidak

disebutkan namanya tetapi patut dipelajari.


3. Potential or possible cases, mereka yang termasuk dalam kategori ini

adalah orang-orang yang menunjukkan hasrat aktualisaasi diri yang kuat

tetapi belum sungguh-sungguh mencapainya, mereka adalah Franklin,

Whitment, G.W. Carver, Renoir, Pablo Casals dan Adlai Stevenson.

Setelah mereka diteliti secara klinis dan dicari kepribadian yang

membedakan antara mereka dengan orang-orang biasa, kemudian kepribadian

itu dijadikan sebagai ciri-ciri atau tolak ukur orang-orang yang telah mencapai

taraf aktualisasi diri. (Hall: 1993, 110 - 111). Inilah ciri-ciri khas mereka:

1. Mengamati Realitas Secara Efisien

Dengan sifat ini menurut Maslow orang yang telah

mengaktualisasikan diri mereka lebih mudah bisa menemukan kebahagiaan

sebab pandangan mereka tidak dicampuri oleh keinginan-keinginan atau

harapan-harapan sehingga mereka bisa cermat dan efsien. Kemampuan seperti

ini meliputi pengamatan pada bidang seni, musik, ilmu pengetahuan, politik,

filsafat dan bidang kehidupan lainnya mereka mampu meramalkan kejadian-

kejadian yang akan datang dengan tepat. Mereka juga tidak dipengaruhi oleh

kecenmasan-kecemasan, prasangka-prasangka atau optimisme dan pesimisme

yang keliru. (Hall: 1993, 111).

2. Penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat.

Orang yang mengaktualisasikan dirinya menaruh hormat pada dirinya

sendiri dan orang lain, mampu menerima kodrat dengan segala kekurangan

dan kelemahannya secara tawakal. Mereka bebas dari perasaan berdosa yang

berlebihan, malu yang tidak beralasan dan cemas yang melemahkan. Maslow
menyatakan hal ni seperti anak-anak yang melihat dunia luas, polos, tanpa

kritik dan tanpa tuntutan-tuntutan. Mereka cenderung melihat kodrat manusia

sebagai mana yang mereka temukan dalam dirinya dan dalam diri orang lain

apa adanya. (Koeswara: 1991, 139).

3. Spontan, sederhana dan wajar.

Tingkah laku orang-orang yang mengaktualisasikan diri adalah

spontan, sederhana dan tidak dibuat-buat serta tidak terikat. Spontanitas,

kesederhanaan, dan sangat wajar itu terjadi sebab tindakan mereka dalam

mengaktualisasikan dirinya memiliki kode etik yang relatif otonom dan

individual. Meski demikian, mereka juga berusaha mengikuti upacara-

upacara adat dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat selama

tidak mengganggu tugas-tugas penting mereka. Selain itu mereka juga

mengikuti aturan-aturan yang ada yang menurut mereka dengan aturan itu

mereka merasa terlindungi. (Koeswara: 1991, 140).

4. Terpusat pada masalah.

Orang yang mengaktualisasikan diri mereka berorientasi pada

masalah-masalah yang melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka. Dedikasi

terhadap tugas-tugas atau pekerjaan merupakan bagian dari misi hidup

mereka. Mereka hidup untuk bekerja dan bukan bekerja untuk hidup.

Pekerjaan mereka bersifat alami secara subjektif dan bersifat non personal.

(Koeswara: 1991, 141).

5. Pemisahan diri dan privasi.


Kebutuhan privasi orang-orang yang teraktualisasikan dirinya

melebihi kebutuhan privasi orang biasa (kebanyakan orang) dalam pergaulan

sosial mereka dianggap memisahkan diri, hati-hati, sombong dan dingin. Hal

ini disebabkan mereka tidak membutuhkan orang lain dalam pergaulan biasa,

sehingga mereka sepenuhnya percaya pada potensi-potensi yang mereka

miliki. Selain itu, orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya mereka

mempunyai kemampuan konsentrasi yang kuat dari kebanyakan orang

(Koeswara: 1991, 139).

6. Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan.

Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menjadikan mereka

memiliki kadar arah yang tinggi. Mereka memandang diri mereka sebagai

agen yang merdeka, aktif, bertanggung jawab, dan agen yang mendisiplinkan

diri dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka cenderung menghindarkan

diri dari penghormatan status, prestice, dan popularitas. Kepuasan yang

berasal dari luar diri itu mereka anggap kurang penting ketimbang

pertumbuhan diri. (Hasyim: 2002, 92).

7. Kesegaran dan apresiasi.

Menurut Maslow, mereka yang menghargai hal-hal yang pokok dalam

kehidupanya dengan rasa kagum, gembira bahkan heran, walaupun hal-hal

tersebut bagi orang lain terasa membosankan. Dengan kata lain orang yang

mengaktualisasikan diri dalam kehidupanya rutin akan tetap merasakan

fenomena yang baru dengan penuh keharuan dan kesegaran apresiasi.

(Hasyim: 2002, 93).


Meski demikian, menurut Maslow terdapat perbedaan antara subyek-

subyek yang menjadi penelitian Maslow dalam menyangkut obyek-obyek

yang mereka pandang indah dan mengharukan serta menggembirakan.

Misalnya salah satu obyek tertarik pada anak-anak sedang yang lainnya

memandang alam dan karya seni sebagai penimbul pesona. Walaupun

demikian antara obyek-obyek yang berbeda itu para subyek yang memperoleh

berkah yang sama yakni ilham dan kekuatan. (Hasyim: 2002, 93).

8. Pengalaman puncak atau pengalaman mistis.

Menurut Maslow, orang yang mengalami aktualisasi diri pada

umumnya mengalami apa yang disebut sebagai pengalaman puncak atau

pengalaman mistis. Menurut Maslow pengalaman puncak tidak perlu berupa

pengalaman keagamaan atau spiritual, sebab hal itu bisa saja dialami melalui

buku-buku, musik dan kegiatan-kegiatan aktual. Orang-orang yang

mengalaminya merasakan diriya selaras dengan dunia, lupa akan dirinya dan

bahkan melampauinya, juga merasakan silih berganti rasa kuat dan rasa lemah

dari sebelumnya (Hasyim: 2002, 96).

9. Minat sosial.

Menurut Maslow, orang-orang yang mangaktualisasikan dirinya

mereka selalu simpatik pada orang lain walaupun bagaimana bodohnya

seseorang itu. Walaupun orang-orang yang mengaktualisasikan diri kadang

merasa terganggu, sedih, marah oleh kecacatan sesamanya. Maslow

mencontohkan hal ini seperti hubungan saudara; meski saudaranya lemah,


bodoh atau jahat mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu

memperbaiki sesamanya. (Iman: 1994, 96).

10. Hubungan antar pribadi.

Menurut Maslow, orang-orang yang mengaktualisasikan diri

cenderung memiliki hubungan antar pribadi dibanding kebanyakan orang.

Mereka cenderung membangun hubungan yang dekat dengan orang-orang

yang memiliki kesamaan karakter, kesanggupan dan bakat yang biasanya

dianggap persahabatan yang relatif kecil. (Iman: 1994, 96).

Maslow menyatakan, subyeknya tabu untuk minta dikagumi, mencari

pengikat, pengabdi, dan bila dipaksa masuk dalam pergaulan yang

menyulitkan, mereka tetap tenang dan berusaha menghindari sebisanya. Hal

ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki diskriminasi sosial. Hal ini

terbukti ketika mereka bisa menjadi kasar apabila berhadapan dengan orang-

orang sombong dan munafik. (Iman: 1994, 96).

11. Berkarakter demokratis.

Menurut Maslow, orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki

karakter demokrasi yang lebih baik. Mereka mampu belajar dari siapa saja

yang bisa mengajar tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras atau

keyakinan politik, bukan berarti orang yang mengaktualisasikan diri

menyamaratakan semua orang. (Iman: 1994, 98).

Orang yang mengaktualisasikan diri adalah mereka yang elit dan

memilih persahabatan secara elit. Elit disini adalah elit dalam karakter,

kesanggupan, bakat dan bukan elit dalam keturunan ras, darah, nama
keluarga, usia, kemasyuran atau jabatan. Mereka menaruh hormat kepada

semua orang karena condong hormat semata-mata karena mereka adalah

individu yang manusiawi. Mereka tidak pernah berusaha merendahkan,

mengurangi arti atau merusak martabat orang lain meskipun mereka penjahat.

(Iman: 1994, 98).

12. Perbedaan antara cara dan tujuan.

Ciri lain yang terdapat pada orang-orang yang mengaktualisasikan diri

menurut Maslow adalah orang yang mampu membedakan antara cara dan

tujuan. Mereka biasanya terpusat pada tujuan mereka, sehingga dengan

tindakan itu mereka sering dapat menikmati perjalanan ke suatu tujuan

maupun tibanya di tujuan itu. Dengan kata lain orang yang

mengaktualisasikan diri bisa menjadikan kegiatan yang paling kecil menjadi

kegiatan yang menyenangkan. (Iman: 1994, 99).

13. Rasa humor yang filosofis.

Ciri lain orang yang mengaktualisasikan diri menurut Maslow adalah

mereka yang memiliki rasa humor yang filosofis. Kebanyakan orang

menyukai humor yang bertolak dari kelemahan dan penderitaan orang lain

dengan tujuan untuk mengejek atau menertawakan oarang lain. Dengan rasa

humornya yang filosofis orang-orang yang mengaktualisasikan diri menyukai

humor yang mengekspresikan kritik atas kebodohan, kelancangan atau

kecurangan manusia. Rasa humor yang filosofis, memancing senyum daripada

tertawa. (Hall: 2001, 111).


14. Kreatifitas.

Menurut Maslow, kreatifitas yang dimiliki orang yang

mengaktualisasikan diri adalah bentuk tindakan asli, naïf dan spontan seperti

yang dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan masih jujur. Bentuk

kreatifitas ini umumnya digunakan dalam bentuk kegitan-kegiatan seni, dan

ilmu pengetahuan. Kreatifitas tidak harus berupa penciptaan karya ilmiah

yang berat dan serius tetapi bisa juga berupa penciptaan sesuatu yang

sederhana. Pada dasarnya, kreatifitas berkisar pada daya temu dan penemuan

hal-hal baru yang menyimpang dari gagasan lama. (Hall: 2001, 112).

15. Penolakan enkulturasi.

Ciri terakhir dari orang yang mengakualisasikan diri menurut Maslow

adalah mereka yang otonomi yang berani membuat keputusan sendiri,

meskipun berbeda dengan pendapat umum. Hal ini bukan berarti mereka

pembangkang tetapi ini adalah usaha untuk mempertahankan sesuatu dan

tidak terlalu terpengaruh oleh keadaan masyarakat. Tetapi merekapun bisa

meninggalkan kepatuhan mereka pada kebiasaan-kebiasaan yang ada pada

lingkungan. Mereka akan dengan mudah meninggalkannya apabila dengan

adanya kepatuhan itu mengganggu atau terlalu mahal untuk dipertahankan.

(Koeswara: 1991, 146).

Dengan demikian, apabila ciri-ciri tersebut dipenuhi oleh orang-orang

yang mencapai taraf aktualisasi diri maka menurut para psikolog mereka

adalah termasuk yang super dan ajaib. Tetapi hal ini oleh Maslow ditolak
dengan keras dengan menyataklan bahwa mereka bukan manusia sempurna,

mereka bisa marah, tersinggung, keliru, dan tidak luput dari kebiasaan-

kebiasaan buruk lainnya. Mereka juga mengalami kebekuan hati bila

dihadapkan pada kesulitan pribadi. (Hall: 2001, 112).


BAB IV

AKTUALISASI DIRI MASLOW DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN:


PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

Analisis yang akan penulis lakukan berikut ini secara sistematis

tersusun berdasarkan urutan pandangan-pandangan Maslow mengenai ciri

aktualisasi diri yang efektif. Kemudian ciri-ciri itu akan penulis lihat dari

perspektif bimbingan dan konseling islam yang tujuan akhirnya adalah

pembentukan kepribadian muslim yang efektif.

Apabila dicermati konsep aktualisasi diri yang diungkapkan oleh

Maslow memiliki kesamaan dengan konsep aktualisasi diri Goldstein.

Menurut Maslow setiap orang dapat mengaktualisasikan dirinya dengan jalan

melakukan hal yang terbaik atau bekerja sebaik-baiknya menurut bidangnya

masing-masing. Dengan kata lain yang disebut aktualisasi diri oleh Maslow

bukan hanya pengungkapan kreasi atau karya-karya seseorang atau

kemampuan khusus dari seseorang.

Hal ini menurut Goldstein dicontohkan bahwa aktualisasi diri dari

orang yang lapar adalah makan, apabila ia haus akan kekuasaan maka ia akan

mengaktualisasikan dirinya dengan memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain

bahwa aktualisasi diri adalah kecenderungan kreatif dari kodrat manusia. Hal

ini merupakan prinsip dari kodrat manusia yang menjadi penyebab organisme

dapat memiliki kepribadian berkembang secara sempurna. (Hall, 2001: 82).


Dengan demikian untuk mengetahui apakah seseorang itu telah

mencapai aktualisasi maka harus diketahui apa yang disenangi dan apa yang

mereka kerjakan serta bakat apa yang mereka senangi. Sedangkan hal ini tidak

terlepas dari lingkungan apakah lingkungan itu mendukung atau tidak untuk

proses aktualisasi diri. (Hall, 2001: 84).

Selain Goldstein, Rogerspun sependapat dengan Maslow dimana

seseorang atau organisme dalam mengaktualisasikan dirinya sangat

dipengaruhi oleh garis-garis hereditas. Ketika organisme itu matang maka ia

makin berdeferensiasi. Makin luas, makin otonom dan tersosalisasikan. Hal

ini akan tampak jelas apabila diamati dalam jangka waktu yang lama.

Seseorang menurut Rogers tidak dapat mnegaktualisasikan dirinya jika tidak

dapat membedakan antara cara-cara progresif dan regresif. (Hall, 2001: 25).

Hal ini senada dengan Zuhairini (2000:188) yang dimaksud dengan

aktualisasi diri adalah bila manusia itu mampu berkembang secara sempurna

dengan cara yang semaksimal mungkin, sebab aktualisasi merupakan bentuk

kepribadian yang memiliki karakteristik yang unik.

Ciri-ciri kepribadian yang diungkapkan oleh Maslow merupakan ciri-

ciri kepribadian yang sama seperti yang dikatakan oleh Murray (Hall, 2001:

25) dimana fungsi dari kepribadian tersebut adalah menata atau mengarahkan

individu yaitu dari mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan

yang dihadapi individu, memuaskan individu dan menyusun rencana-rencana

untuk mencapai tujuan-tujuan dimasa mendatang.


Hal ini sejalan dengan prinsip developmental dari Bimbingan dan

Konseling Islam dimana fungsi developmental atau pengembangan atau

pemeliharaan, dengan fungsi ini diharapkan akan menghasilkan terpilihnya

dan terbentuknya berbagai macam potensi dan kondisi ke arah yang lebih

baik. Klien dalam rangka perkembangannya secara terarah, mantap, dan

berkelanjutan. Dalam hal ini yang sudah dianggap baik agar dijaga tetap baik

dan dimantapkan sehingga diharapkan klien dapat mencapai perkembangan

secara optimal (Hallen: 2001, 63).

Berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang teraktualisasikan diri menurut

Maslow maka jika dilihat dari tipe-tipe kepribadian menurut Spranger dalam

Patty et al. (1981,166-171) maka tipe kepribadian tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Tipe kepribadian sosial dan ekonomi

Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang

memiliki ciri-ciri mampu mengamati realitas secara efisien, hidup secara

spontan sederhana dan wajar, memiliki kemandirian dari lingkungan, mampu

menerima diri sendiri dan orang lain serta kodratnya, seluruh hidupnya

digunakan untuk membantu sesama dan mampu menjalin hubungan dengan

orang lain.
Hal ini sesuai dengan pendapat dengan Najati (1985, 260) dimana seseorang yang memiliki kepribadian muslim
ditandai dengan sifat yang berkenaan dengan hubungan sosial yaitu: bergaul dengan orang lain, dermawan dan suka
berbuat kebajikan, suka bekerja sama dan lain-lain. Sifat yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan yaitu:
berbuat baik kepada orang tua dan kerabat, pergaulan yang baik antara suami dan isteri.

Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim mereka selalu segala

sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Diantaranya mereka memikirkan alam

semesta, memikirkan ciptaan Allah, selalu menuntut ilmu, tidak mengikuti


sesuatu yang masih ragu, teliti dalam meneliti suatu realitas, bebas dalam

berfikir dan berakidah.

Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini maka dakwah

yang paling cocok digunakan pada tipe kepribadian ini adalah dengan cara bil

hal yaitu dengan ditunjukkan pada perilaku dai yang sopan dan sesuai dengan

ajaran islam dan menolong sesama tanpa membedakan golongan, ras,

kekayaan, sehingga dakwah dalam bentuk tersebut sangat bisa digunakan

dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan upaya

mewujudkan ralitas kehidupan umat islam. Seperti yang diungkapkan Sulhton

(2003, 19) hal ini bisa dilakukan dengan cara jual beli, salam, masaqoh,

muzaroah, zakat, infak dan sodaqoh dan lain-lain sehingga mad’u mampu

terbebas dari rasa angan-angan yang berlebihan.

Hal ini sesuai dengan prinsip dari Bimbingan dan Konseling islam

yang diungkapkan oleh Hallen (2002, 64) dimana dalam melayani klien

konselor tidak boleh membeda-bedakan antara umur, jenis kelamin, suku,

agama dan status sosial dari klien.

Hal ini senada dengan pendapat Rakhim (2001,29)yang menyatakan

bahwa hal ini sesuai dengan salah satu asas dari Bimbingan dan Konselor

Islam yaitu asas sosialitas manusia,yang menyatakan bahwa setiap manusia

sangat dihargai hak-haknya sosialitasnya dengan tetap memperhatikan hak-

haknya sebagai individu.

2. Tipe politik
Yang termasuk dalam golongan ini adlah mereka yang memiliki ciri-

ciri kepribadian mampu melakukan penolakan terhadap enkulturasi, selalu

terpusat pada masalah, memiliki karakter demokrasi, mampu membedakan

cara dan tujuan.

Hal ini sesuai dengan pendapat Najati (1985: 259) bahwa seseorang

yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya mereka memiliki sifat

sabar, lapang dada, lurus, adil melaksanakan, menepati janji, merendahkan

diri, menjauhi dosa, teguh dalam melaksanakan kebenaran, dan

mengendalikan hawa nafsu.

Maka dakwah yang cocok untuk dilakukan terhadap orang-orang yang

memiliki kepribnadian semacam ini adalah dengan cara bil lisan yaitu dengan

jalan saresehan, diskusi, secara islami, maksudnya klien ditunjukkan untuk

mencapi tujuan dalam berpolitik dalam islam dilarang menghalalkan

bermacam cara agar tujuannya tercapai.

Ajaran islam didakwahkan menjadi ideologi negara dalam bidang

politik. Hal ini senada yang diungkapkan oleh Sulhton (2003, 19) dakwah

yang sesunguhnya adalah mewujudkan negara, bangsa yang berdasarkan atas

nilai-nilai islam. Para pelaku polotik menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman

serta menegakkan ajaran-ajaran menjadi tanggung jawab negara dan

kekuasaan. Dalam perspektif dakwah politik, negara adalah instrumen paling

penting dalam mewujudkan ajaran islam.


Hal ini sesuai dengan asas dari Bimbingan dan Konseling islam yang

diungkapkan oleh Hallen (2002, 70) dimana perubahan sikap yan terjadi pada

klien bisa terjadi bila ada kerjasama yang dinamis antara konselor dan klien.

Selain itu hal ini menurut Rakhim (2001,34) sejalan dengan asas

musyawarah yang dianut oleh Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam

asas ini antara konselor dan klien terjadi dialog yang baik tanpa saling

mendikte. Sehingga perubahan yang diharapkan oleh klien dan konselor bisa

terjadi dengan baik.

3. Tipe religi

Orang-orang yang memiliki tipe religi semacam ini ditandai dengan

pengalaman puncak dari klien (mad’u). Apabila ada mad’u yang semacam ini

maka dakwah yang paling baik digunakan adalah dengan cara tulisan. Sebab

seperti yang digambarkan oleh Maslow bahwa objeknya bisa mengalami

pengalaman puncak bukan hanya dapat dilakukan dengan pengalaman

keagamaan tetapi juga bisa melalui tulisan. Tetapi harus diingat sebab tulisan

adalah konsumsi umum maka seyogyanya tulisan ini tidak menyinggung

perasaan dari yang membaca bacaan tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Najati (1985: 259) dimana orang-

orang yang memiliki kepribadian muslim mereka memiliki rasa cinta pada

Allah, takut akan azab, tidak putus asa, serta berbuat kebajikan kepada

sesama.

Orang-orang yang memiliki kepribadian muslim dalam hidupnya

mereka sangat profesional diantaranya: mereka tulus dalam bekerja dan


menyempurnakan pekerjaan tersebut, serta bekerja dengan giat dalam upaya

memperoleh rizki.

Hal ini oleh Rakhim (2001,24) dikatakan sejalan dengan asas fitrah

dari Bimbingan dan Konseling Islam dimana dalam asas ini dikatakan bahwa

manusia dibekali berbagai kemampuan bawaan dan kecenderungan sebagai

muslim dalam hal ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat

membantu klien untuk mengenal dan memahami fitrah-fitrah tersebut

sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup didunia dan akherat.

4. Tipe estetika

Orang-orang yang memiliki kepribadian semacam ini mereka ditandai

dengan dalam diri individu memiliki kreatifitas, kesegaran dan apresiasi serta

memiliki rasa humor yang filosofis. Apabila ditemui mad’u yang semacam ini

dawah yang paling cocok adalah dalam bidang seni, baik itu tari lukis maupun

suara, sehingga hasil dari seni tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai islam. Hal

ni pernah dicontohkan oleh nabi yang diriwayatkan oleh bukhori yang dikutip

oleh Hasyimi (2001, 280) seorang sahabat berkata kepada kami: engkau

bercanda kepada kami nabi berkata namun saya tidak pernah mengatakan

selain kebenaran.

Tujuan dakwah menurut Tasmara (1997, 48) adalah terjadi perubahan

sikap dan tingkah laku sesuai dengan isi dan harapan dari pesan-pesan dakwah

yang disampaikan serta terwujudnya amal soleh yang selaras dengan Al-

Qur’an dan Sunah.


Tujuan dari aktualisasi diri adalah peningkatan atau

pengoptimalisasian segala potensi yang ada pada diri seseorang, tanpa

dipengaruhi oleh keadaan yang ada pada sekelilingnya yang tujuannya untuk

mencapai kebahagiaan. (Robert, 1993: 161).

Hal ini senada dengan tujuan dari Bimbingan dan Konseling Islam

yaitu terwujudnya manusia yang utuh, sehingga dapat mencapai kebahagiaan

di dunia dan kebahagiaan di akhirat. (Tohari: 1992, 33)

Bila dilihat dari ketiga tujuan tersebut yaitu tujuan dakwah tujuan

aktualisasi diri dan tujuan dan Bimbingan dan Konseling Islam adalah sama-

sama membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna dalam memperoleh

kebahagiaan di dalam hidupnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

tujuan aktualisasi diri adalah sama dengan tujuan dari dakwah dan konseling

islam yaitu membentuk kepribadian yang utuh dan sempurna sesuai dengan

ajaran islam.

Untuk mencapai tujuan itu bagi orang-orang yang tidak bisa

mengaktualisasiakn diri diberikan semacam terapi, sehingga yang tadinya

tidak bisa mengaktualisasikan diri, mereka dapat dan mampu

mengaktualisaasikan diri seperti orang lain, dengan cara mengetahui sebab

dari tidak bisanya dia mengaktualisasikan diri dan menghilangkan penyebab

dari tidak bisanya dia dalam mengaktualisasikan diri.

Terapi-terapi tersebut menurut Bimbingan Konseling Islam dilakukan

dengan cara teraputik, preventif dan development (Rakhim, 2001: 3-4) terapi-

terapi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Secara teraputik

Dengan terapi ini Bimbingan dan Konseling Islam diharapkan dapat

mengatasi masalah klien yang tidak bisa mengaktualisasikan diri dengan cara

menghilangkan segala keraguan dan ketakutan dengan cara memotivasi klien

agar tercipta rasa aman, sehingga tercipta kondisi lingkungan yang

mendukung klien untuk mencapai taraf aktualisasi diri.

2. Secara preventif

Dengan terapi ini diharapkan bimbingan dan konseling islam mampu

mencegah timbulnya masalah pada klien dalam usahanya untuk mencapai

taraf aktualisasi, sehingga yang tadinya klien takut dalam usahanya untuk

mencapai aktualisasi diri, klien menjadi sadar dan tidak takut dalam usahanya

dalam mengaktualisasikan diri.

3. Secara development

Dengan melalui terapi ini diharapkan Bimbingan dan Konseling Islam

mampu menciptakan bekerja sama antara konselor dengan klien sehingga

suasana dan perkembangan yang selama ini sudah tercipta dengan baik tetap

menjadi baik dan lebih mantap sehingga terwujud seperti apa yang

diharapkan yaitu pencapaian taraf aktualisasi diri.

Berdasarkan pada paparan di atas tentang aktualisasi diri yang

diungkapkan oleh Maslow tercapai dan dipakai untuk membentuk kepribadian

muslim melalui dalam perspektif bimbingan dan konseling islam, maka

penulis berpendapat bahwa aspek-aspek tersebut adalah bagian dari

pembentukan pribadi muslim secara kaffah atau menyeluruh, hal ini seperti
pendapat dari Tasmara (1999, 108) yang menyatakan bahwa orang-orang

yang memiliki kepribadian yang kaffah mereka memiliki akhlak yang baik,

hormat pada sesama, gagah da

lam menghadapi berbagai macam cobaan. Seperti yang diharapkan

dalam ajaran islam dimana seseorang masuk dalam agama islam secara kaffah

(menyeluruh).

Dengan demikian konsep kepribadian yang teraktualisasikan diri atau

konsep aktualisasi diri menurut Maslow adalah konsep pembentukan

kepribadian muslim secara sempurna (Kaffah) dan hal ini dapat tercapai.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat penulis ambil berdasarkan paparan yang

disusun di atas antara lain:

1. Seseorang yang memiliki kepribadian yang teraktualisasi diri menurut

Maslow adalah jika seseorang melakukan hal yang terbaik atau bekerja

sebaik-baiknya menurut bidangnya masing-masing. Hal ini ditandai dengan

seseorang itu memiliki sifat-sifat mengamati realitas secara efisien,

penerimaan atas diri sendiri, orang lain dan kodrat, spontan, sederhana dan

wajar, terpusat pada masalah, pemisahan diri dan privasi, kemandirian dari

kebudayaan dan lingkungan, kesegaran dan apresiasi, pengalaman puncak

atau pengalaman mistis, minat sosial, hubungan antar pribadi, berkarakter

demokratis, perbedaan antara cara dan tujuan, rasa humor yang filosofis,

kreatifitas, dan penolakan enkulturasi.

2. Orang-orang yang mengaktuaklisasikan diri mempunyai ciri-ciri yang sama

dengan ciri-ciri yang ada pada fungsi asas dan tujuan dari bimbingan dan

konseling islam yaitu terciptanya pribadi yang mantap terarah,

berkelanjutan, mampu mengembangkan diri dan mencapai kebahagiaan

secara optimal, sehingga tercipta manusia yang utuh. Ciri-ciri aktualisasi

diri yang diungkapakan oleh Maslow jika diperhatikan dengan seksama jika

dianalisis melalui Bimbingan dan Konseling Islam adalah merupakan


pembentukan kepribadian Islam secara optimal dan mantap untuk mencapai

kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

B. SARAN - SARAN

Penelitian diatas belumlah sempurna karena baru ditinjau dari segi

Bimbingan Konseling Islam hal ini masih sangat terbuka untuk diteliti melalui

pendekatan lainnya.

C. PENUTUP

Demikian skripsi ini penulis susun, penulis sadar bahwa dalam

penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan oleh karena itu penulis

mengharapkan berbagai macam kritik demi sempurnanya skripsi ini.

Semarang, 30 Januari 2006

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Abror, Abdurrahman. Psychology Pendidikan. Nur Cahaya. Yogyakarta. 1989.

Adz-Dzaky, Hamdani, Bakran. Konseling dan Psikoterapi Islam. Fajar Pustaka


Baru. Yogyakarta 2002.

Ajijah. Konsep Humanisme Dalam Da’wah dalam Kaitannya dengan


Penyelesaian Konflik antar Umat Beragama. Fakultas Dakwah Institut
Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang (Tidak Diterbitkan) (Tidak
Dipublikasikan)

Anshari, Hafi. Pemahaman dan Pengalaman Da’wah. Al-Ikhlas. Surabaya. 1993.

Arbaiati, Barokah. Kesehatan Mental dan Urgensinya bagi Integritas


Kepribadian. Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo
Semarang. 2000 (Tidak Dipublikasikan).

Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. Bina Aksara. Jakarta. 1987.


.
Azhari. Kepribadian Muslim. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000.

Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Logos. Jakarta. 1987.

Caplin, James. Kamus Lengkap Psikologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
.
Consuelo dan Sevilla G. Pengantar Metodologi Penelitian. Unuversitas
Indonesia, Press. Jakarta. 1993.

Darojat, Zakiyah. Kepribadian Guru. Bulan Bintang. Jakarta. 1982.

Departemen Agama. Al Quran dan Terjemah. Mahkota. Surabaya. 1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994.

Hadari, Nawawi. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada.


Jakarta.1996.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Penelitian Kwalitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta.


1983.

Hall, Liezzey. Teori-Teori Kepribadian. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993.


.
Handayani, Umi, . Konsep Fitrah Menurut Al-Ghazali dan Implikasinya dalam
Membentuk Kepribadian Muslim. Fakultas Da’wah Institut Agama Islam
Negeri Walisongo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan)

Hasanah, Hasyim. Pengaruh Konsep Diri Terhadap Pro Aktifitas Remaja di


Kecamatan Banyumanik pada Tahun 2003-2004. Fakultas Dakwah Institut
Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang. 2004. (Tidak Dipublikasikan)

Hasyimi, Ali Muhammad. Menjadi Muslim Ideal. Mitra Pustaka. Yogyakarta.


2001.

Hallen, A. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam.Ciputat Perss. Jakarta. 2002.


.
Heraty, Tuty. Psikologi Sains. Mizan. Jakarta. 2004.

Hidayanti, Ema . Solusi Tasawuf Amin Syukur atas Problem Manusia Modern.
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang.
2004. (Tidak Dipublikasikan).

Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 1 . Pustaka Binaman Pressindo.


Jakarta. 1994.

Iman, Nurul. Motivasi dan Kepribadian Jilid 2 . Pustaka Binaman Pressindo.


Jakarta. 1994.

John, Echols. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Gramedia. Jakarta. 1996.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial III. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.

Kartono. Andari. Hyigiene Mental. Mandar Maju. Bandung. 1989.

Mukhidin. Safii. Metodologi Pengembangan Dakwah. Pustaka Setia.Bandung.


2002.

Munandziroh, Umi. Prinsip Pendidikan Akhlak dan Aktualisasinya dalam


Pembentukan Kepribadian Muslim (Kajian Surat Al-Hujurat Ayat 1-13).
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang.
2004. (Tidak Dipublikasikan)

Marinba, D. Pengantar Filsafat Islam. PT. AL – Ma’arif. Bandung. 1989.

Muhammad, Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi. Pustaka Pelajar.


Yogyakarta. 2002.

Muslim. Shahih Buchori. Terj. Hamid, Zainudin. Widjaya. Jakarta. 1966.


Najati, Ustman, . Al Quran dan Ilmu Jiwa. Pustaka. Bandung. 1985.

Nugroho, Heri. Konsep Pembentukan Kepribadian Menurut Sigmund Freud


dalam Perspektif Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang.2004. (Tidak Dipublikasikan)

Patty. Woeryo. Noor Syam. I Wayan Darma. Pengantar Psikologi Umum. Usaha
Nasional. Surabaya. 1982.

Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1976.

Poduska, Bernard. Empat Teori Kepribadian. Restu Agung. Jakarta. 1997.

Prayitno dan Erman Amti.. Dasar-Dasar Konseling Islam. Rhineka Cipta.


Jakarta. 1999.

Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Remaja Rosda Karya. Bandung. 1993.

Rakhim, Aunur Faqih. Bimbingan dan Konseling Islam . Universitas Islam


Indonesia, Yogyakarta. 2001.

Robert. W. Crapp. Dialog Psikologi Dan Agama. Kanisius. Yogyakarta.1993.


(Diterjemahkan Oleh Hardjana)

Sanwar, Aminudin. Pengantar Studi Ilmu Dakwah. Fakultas Dakwah. Institut


Agama Negeri Walisongo Semarang. 1984.

Sudarsono. Kamus Filsafat dan Psikologi. Rhineka Cipta. Jakarta. 1993.

Sulthon, Muhammad. Desain Ilmu Dakwah. Pelajar Pustaka. Yogyakarta. 2003.

Tasmara, Toto. Dimensi Doa dan Dzikir, Menyelami Samudera Qalbu Mengisi
Makna Hidup. Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. 1999.

Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Gaya Media Pratama. Jakarta. 1997.

Tohari. Zuhad. Tatang. Muzhof. Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan


Konseling Islami. Universitas Islam Indonesia, Press. Yogyakarta. 1992.

Wilcox, Lynn. Imu Jiwa Berjumpa Tasawuf. Serambi. Jakarta. 2003.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta 1999.


BIODATA PENULIS

Nama : Oktaful Ghofur

Nim : 1100046

Jurusan / Fakultas : Bimbingan dan Penyuluhan Islam / Dakwah IAIN


Walisongo Semarang

Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 30 Oktober 1980

Alamat : Karang Gawang Rt O7 Rw 14, Tandang, Semarang

Jenjang Pendidikan : SDN Sawi 01 Semarang Lulus Tahun 1993

SMPN 33 Semarang Lulus Tahun 1997

SMA Muhammadiyah 01 Semarang Lulus Tahun 2000

Lulus Strata 1 (S1) Fakultas Dakwah Iain Walisongo


Semarang Lulus Tahun 2006

Anda mungkin juga menyukai