Abstrak
sampai pada inti atau dasar; yang disebut hakekat, dari objek kajiannya yakni hukum.
Dan oleh karenanya sudah bisa dipastikan bahwa pembahasannya pasti meliputi 3 (tiga)
entitas dan hubungan interaksi antar ketiganya: penguasa, rakyat (subordinate), dan
hukum itu sendiri. Interaksi ke tiga entiti ini bukan hal sederhana, dari hubungan antara
penguasa dan rakyat, maupun hubungan antar rakyat, hubungan antara hukum dan
interaksinya memiliki pembahasan yang sekompleks dan serumit dunia yang diatur
Dalam penulisan tugas ini membahas 1 hal dari beberapa pertanyaan umum yang
seringkali menjadi bahan diskusi dalam studi filsafat hukum yaitu mengapa negara
berhak menghukum orang. Dilihat dari historis dan dari teori-teori yang berkembang saat
itu terlihat telah terjadi pergeseran-pergeseran yang sangat signifikan. Pada bentuk
modernnya, ketika masyarakat sudah semakin pandai, rasional, kritis, dan perbandingan
perlu ditelaah dengan lebih mendalam secara filosofis mengapa hukuman harus
1
Keywords:
Filsafat Hukum, rasio legis sanksi, hak negara menjatuhkan hukuman, hukuman
(sentencing).
Latar Belakang
Pertanyaan pada tugas filsafat ini sudah sangat sering dijadikan bahan pertanyaan
dan diskusi dalam studi filsafat hukum, lihat saja ketika dicari dalam mesin pencarian
seperti google, sudah berapa banyak jawaban yang ada. Belum lagi pembahasan filsafat
hukum sendiri sudah memiliki terlalu banyak acuan referensi tertulis yang di dalamnya
berisi rangkuman dari banyak teori hukum mulai dari zaman klasik dari filsuf Ionia, Sofis,
Sokrates, Plato, Aristoteles, Epicurus yang walau sudah sangat kuno; namun
keakurasiannya sampai saat ini masih teruji dan mewarnai dinamika ilmu hukum, dari
jaman hingga yang termoderen seperti oleh John Austin, Hans Kelsen, Gustav Radbruch,
Max Weber, Talcot Parson, John Rawls, hingga hubungannya dengan analisa ekonomi
Namun dalam batasan yang diberikan dalam pembentukan tugas ini yang hanya 1
malam dan pembahasannya di kelas yang sangat singkat, dan di sisi lain persoalan alasan
mengapa negara berhak menjatuhkan hukuman saat ini tergerus oleh pemikiran kubu
seperti aliran Neo Marxis, ataupun pemikiran critical legal study yang beramunisi awal
pemikiran Jeremy Bentham yang mempertanyakan utilitas dari penjatuhan sanksi yang
kejam (abad 17an), maupun teori kriminologi – determinisme, yang dibawa dengan
pemikiran perjuangan social justice warrior terhadap kalayak ekonomi kurang beruntung
2
yang mendorong peringanana hingga penghapusan sanksi pidana; yang di sebut
abolisionis.
Hal ini perlu dikaji dan diperdalam secara filosofis mengapa hukuman itu perlu
dan bagaimana hukuman itu harus dijatuhkan, pemikiran ini sangat penting untuk
mengembalikan kembali pola pikir civil society terutama dalam ilmu hukum secara
umum, dan terutama khususnya hukum pidana, yang saat ini cenderung kepada upaya
hukum dalam mencapai tujuanya yang terjadi saat ini adalah timbul karena hukum gagal
memberi kepastian yang rasional terhadap sanksi yang dijatuhkan, dan tidak manusiawi:
hukuman yang berorientasi utama memberi penderitaan tidak akan bisa memperbaiki
sikap mental yang sakit: hanya melalui perlakuan yang welas asih dan manusiawi namun
hukuman yang adil, tegas atau berkepastian, namun welas asih dan produktiflah tugas ini
dirangkai dalam penulisan ilmiah singkat. Dalam penulisan ini akan dibahas secara
singkat interkasi dalam sistem hukum, sifat dasar manusia, kebutuhan untuk bersatu,
mengapa ada penguasa, interaksi penguasa dan rakyat, hakekat hukum, dan ditutup
dengan kesimpulan yang berisi rasio legis sanksi yang memberi hak negara untuk
menjatuhkan hukuman. Sebagai penutup sedikit disinggung apa yang dibutuhkan agar
3
Pembahasan
sampai pada inti atau dasar; yang disebut hakekat, dari objek kajiannya yakni hukum.
Dan oleh karenanya sudah bisa dipastikan bahwa pembahasannya pasti meliputi 3 (tiga)
entitas dan hubungan interaksi antar ketiganya: penguasa, rakyat (subordinate), dan
hukum itu sendiri. Interaksi ke tiga entiti ini bukan hal sederhana, dari hubungan antara
penguasa dan rakyat, maupun hubungan antar rakyat, hubungan antara hukum dan
interaksinya memiliki pembahasan yang sekompleks dan serumit dunia yang diatur
penguasa yang juga merupakan manusia menjadikan pembahasan hukum tampak nyata
sebagai ilmu yang membahas interaksi antar manusia termasuk pemikiran filosofis yang
dominan saat itu. Dah oleh karenanya, telah timbul banyak teori-teori hukum yang
membahas hal ini yang tidak mungkin dijelaskan satu demi satu.
Mengingat pembahasan tugas filsafat hukum ini adalah salah satu dari pertanyaan
dan pembahasan dasar yang berada Untuk singkatnya, penulis mengambil referensi dari
buku dengan judul Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi1
oleh Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Y. Hage untuk kemudian
mengambil intisari dari rangkaian teori-teori hukum yang ada yang mana di dalamnya
juga.
1
Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, 2013, Gentha Publishing: Yogyakarta.
4
Untuk mempermudah argumen rasio legis sanksi oleh penguasa atau dalam
kalimat lain memberi alasan mengapa negara berhak menghukum seseorang maka
Sifat dasar manusia adalah mahluk yang indrividualistik2, dan mampu menjadi
serigala bagi yang manusia lain (homo homini lupus), namun di sisi lain manusia juga
diberi kemampuan lebih yaitu berempati; kemampuan untuk merasakan apa yang
dirasakan manusia lain (bahkan mahluk lain), serta mempunyai kemampuan berpikir
lebih rasional dari mahluk lain. Selain itu karakteristik manusia dalam merawat anaknya
yang butuh perawatan lebih lama untuk mencapai kedewasaan menjadikan secara
biologis manusia memiliki sisi mahluk sosial yang bersatu dalam satuan terkecil yaitu
keluarga
keterbatasannya untuk hidup sendiri di alam yang ternyata tidak menguntungkan secara
biologis bagi spesis manusia; dimana masih banyak mahluk lain yang lebih unggul, dan
Dengan bekerja sama dengan sesama manusia, mereka bisa mencapai hal-hal yang lebih
jauh dari apa yang dia bisa capai secara sendiri. Dorongan sifat dan keterbatasan inilah
yang menyebabkan manusia menjadi mahluk sosial. Dorongan ini juga timbul dari
rasional logis dimana dalam kebersamaan lebih didapatkan keuntungan dari pada hidup
sendiri.
karakteristik unggul, karakteristik unggulan ini yang pada akhirnya mendorong manusia
2
Lihat teori Epiricus di Bernard L. Tanya, et .al, Ibid., hlm: 46, yang juga senada dengan teori Roscoe
Pound, baca Ibid., hlm 139.
5
untuk mengangkat tokoh penguasa, sosok pimpinan kumpulan yang memiliki
karakteristik unggul entah secara langsung seperti ayah sebagai pimpinan keluarga, yang
pada tatanan komunitas yang lebih besar mulai muncul pimpinan suku, desa, dan
berkembang seiring pertumbuhan jumlah anggota masyarakat dan ruang lingkup daerah
kekuasaan penguasa atas sekelompok orang dan dalam teretori tertentu menjadi penguasa
seperti raja dalam kerajaan kota tertentu atau kaisar pada kumpulan beberapa kerjaan.
Menurut hemat penulis interaksi penguasa sejak tatanan sosial itu terbentuk maka
begitu juga interaksi antara penguasa dan rakyatnya terbentuk. Dalam rangka upaya
menciptakan ketertiban dan kebersamaan hidup antar manusia tersebut; baik antara
penguasa dan rakyatnya, maupun antara rakyat satu dengan lain, dibutuhkan suatu aturan
main yang terbentuk atau dibentuk dalam masyarakat tersebut. Aturan main inilah yang
menjadi cikal bakal hukum, di sini untuk menegakkan ketertiban hidup bersama dan
untuk menekan sifat dasar manusia masing-masing anggota maka dibuat aturan yang
berisi laranga-larangan, dan untuk menekan sifat dasar manusia yang indrividualistik dan
homo homini lupus, diadakan sanksi yang mengikat dan dengan upaya menjerakan
Namun di sadari juga sebagai penguasa dengan kekuaatan lebih maka sangat
zaman klasik, abad pertengahan; seperti oleh St. Agustin dan Thomas Aquinas, hingga
era Rennaisance di isi dengan pemikiran filosofis memperkuat kekuatan penguasa dengan
mentautkan kekuasaannya tersebut dengan kehendak Tuhan. Pada era tersebut pemimpin
6
memperoleh posisinya kebanyakan secara garis turunan, dan diperkuat dukungan
Di sini terlihat juga terlihat; walaupun tergantung pada kesadaran dan kemampuan
timbangan keutungan vs. resiko dalam memilih mengambil posisi sosial, jika dirasakan
tekanan yang terlalu berlebih sehingga lebih menguntungkan melepaskan diri seperti
memilih pindah komunitas lain langkah itu pasti diambil, jika tidak bisa namun jumlah
yang terjepit keadaan itu banyak maka akan timbul keresahan sosial yang sangat mungkin
jika meningkat menjadi kerusuhan atau makar atau penggulingan kekuasaan seperti pada
revolusi Prancis. Pesan pada bagian ini adalah hukum sebagai alat interaksi penguasa
dengan rakyat tidak boleh terlalu berlebih karena berefek negatif pada penguasa, interaksi
ini tidak lain tidak bukan adalah proses pencariaan keseimbangan antar kepentingan.
Satu hal lagi yang perlu dibahas, sebagai bentuk interaksi antar rakyat tentu tidak
terlepas dari kemungkinan adanya serangan secara tidak sesuai aturan antara rakyat. Di
sini penguasa juga bertindak sebagai penengah (arbiter) dalam penyelesaian masalah.
Ketika terjadi konflik, seluruh upaya mengambil kembali hak salah satu pihak terlihat
sebagai serangan balasan pihak korban. Untuk sesegera mungkin meredam konflik antar
pihak rakyat tersebut maka pilihan logis adalah menyerahkan kepada penguasa atau
menjadi adil dan damai. Jadi di sini fungsi penguasa adalah sebagai penegak hukum yang
akan menjadi penengah konflik antar para pihak baik korban maupun pelaku, sedangkan
hukum dan sanksinya adalah aturan main bersama yang memberi larangan untuk
7
Tanpa penengah dan tanpa sanksi yang dapat dijatuhkan, sangat sulit untuk
melakukan mediasi antar pihak pelaku dan korban untuk kembali damai. Ini juga menjadi
penekanan bahwa tanpa sistem sanksi yang memastikan kejahatan tidak menguntungkan
pelaku, lalu bagaimana menghalau pelaku berbuat kejahatan itu kembali (special
detterent), ataupun memberi pesan pada orang lain untuk jangan melakukan perbuatan
Selain itu, juga disadari bahwa sistem sanksi hingga filosofis penjatuhan sanksi
sebelumnya tunduk pada teori absolut atau yang modernya menjadi teori retributif –
sanksi dijatuhkan sebagai pembalasan (menurut penulis salah terjemahan dari sifat
reciprocity: keseimbangan (reciprocity) antara perbuatan dan kerugian yang timbul. Pada
teori absolut, belum ditemukan acuan bagaimana menghitung sanksi yang pantas
sehingga kebanyakan sanksi saat itu (abad 17) menjadi sangat sadis dan destruktif:
terpidana sangat susah kembali pada masyarakat dan pada akhirnya sanksi hanya
dijadikan pertunjukan kebrutalan masa yang meminta darah terpidana. Olah karena itu
Teori Utilitarian melihat hakekat hukum sebagai alat pencapaian tujuan, teori ini
pertama kali dikembangkan Jeremy Betham (1780) - Existensinya. Teori ini melihat
keadilan sebagai pencapaian tujuan dengan axiom paling dasar, yakni: “It is the greatest
happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong" (ukuran dari
benar dan salah adalah kebahagian terbesar untuk jumlah terbesar). Teori ini secara
singkat membuka pandangan hakikat hukum yang tidak lagi mengacu pada upaya
8
Oleh Jeremy Bentham, hukum mulai dikembangkan ke arah yang lebih jauh
dengan mempertanyakan apa yang selanjutnya terjadi (forward thinking that raised the
3
question what’s next) . Pertanyaan yang juga memikirkan fungsi negara dan
mengarahkan bagaimana negara bisa menjadi penengah yang adil dan bukan sebagai
algojo terhadap pelaku saja. Teori ini menanyakan apa yang selanjutnya terjadi ketika
terjadi pelanggaran hukum dan memberi solusi berupa upaya perbaikan mental pelakunya.
Suatu teori yang mempertanyakan konsekuensi dari aturan yang sudah dibuat.
Selain itu teori utilitarian atau Eudaemonistis4 ini juga memberi pandangan bahwa
perlu suatu cara mengukur keadilan itu sendiri, sehingga Jeremy Bentham menyampaikan
axiomnya paling dasar di atas. Hal yang menurut penulis adalah pesan yang harus dikejar,
keadilan; hal yang sempat lama terlupakan dari ajaran Aristoteles. Teori Utilitarian
melihat keadilan sebagai pencapaian tujuan dengan axiom paling dasar: ukuran dari benar
dan salah adalah kebahagian terbesar untuk jumlah terbesar. Oleh Jeremy Bentham:
keadilan juga dilihat sebagai kodifikasi etika dan kodifikasi sanksi yang seharusnya
adalah sistem timbangan (scale/measurement) yang bisa diukur benar dan salahnya
hukuman yang tidak terlalu berlebih; karena merugikan negara, dan masyarakat.
Selain itu Bentham juga memberi 1 poin penting baru dalam pembentukan sistem
berkeadilan yaitu adanya batasan minimum untuk kemanusiaan yang ia sebut: hak
3
Wikipedia, Jeremy Bentham, 21 March 2014, [Online], (http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham),
hlm. 3.
4
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 103.
5
Wikipedia, Jeremy Bentham, Op.cit., hlm. 5.
9
dalam sistem keadilan, yang masing masing mewakili posisi minimum untuk
kemanusiaan bagi para pihak yang berkonflik. Poin atau prinsip ini dalam bahasa Jawa
bisa disebut prinsip ngewong ke wong; prinsip yang sama dikejar dalam Teori Keadilan
Bermartabat, atau oleh Bernard dilihat sebagai prinsip perlindungan hukum sesuai kebutuhan.
Pada penulisan sebelumnya diajukan dengan nama prinsip batasan minimum untuk
kemanusiaan6.
Axiom prinsip utilitas yang menghitung benar atau salah suatu sistem berdasar
tanpa cela, hal ini yang dipermasalahkan John Rawls karena axiom ini bisa menjadi
sangat tidak adil. Axiom ini tidak salah, namun secara prioritas tidak bisa dijadikan alat
utama untuk menimbang keadilan. Ketika axiom It is the greatest happiness of the greatest
number that is the measure of right and wrong 7 dijadikan patokan penilaian apa yang benar
terbanyak, namun dalam kondisi tertentu; ketika dalam keterbatasan sumber daya atau
dalam pilihan 2 kondisi yang evil (tidak baik); rumusan ini sangat bisa dipakai dan
sampai saat ini belum ada teori yang bisa menggantikan. Teori ini paling tidak didukung
Secara singkat, walau teori-teori hukum yang berkembang pada abad ke 19 dan
20 mengarah pada pengurangan kekuatan penguasa (teori lama hukum, kekuasanan dan
6
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi Edisi Revisi, 2018, Kencana:
Jakarta, hlm. 54,
7
Loc.Cit.,, hlm. 3.
8
“When two evils must be distributed, the lesser of the evils is the more choice worthy and as such is
the greater good (1131b21-25)”, lihat Wikipedia, Nicomachean Ethics,Op.cit, hlm. 13.
9
Lihat Eudaimonia yang artinya “well-being” atau “happiness” pada Wikipedia, Nicomachean
Ethics,Op. Cit., hlm. 13.
10
penguasa sebelumnya melahirkan atau berkembang menjadi sistem hukum civil law yang
menempatkan penguasa / kerajaan sebagai entitas yang lebih tinggi yaitu sebagai entitas
yang berdaulat (sovereign)), dan menuju kesetaraan penguasa dan rakyat, namun secara
prinsip penegakan hukum dibuat dan dijalankan oleh pemerintahan baik oleh polisi, jaksa,
dan lembaga pemasyarakatan, serta lembaga peradilan walaupun berapa pada posisi yang
terpisah sebagai lembaga yudikatif. Teori-teori terbaru hanya mengeser posisi hukum
untuk mengatur dan memastikan penguasa juga tunduk dalamnya dengan rule of law nya.
Pembahasan ini berujung pada pertanyaan hakekat hukum itu sendiri yang secara
singkat penulis sampaikan setuju dengan pemikiran Gustav Rabruch: hukum pada
hakekatnya adalah secara utama untuk keadilan (sebagai cita pencapaian ketertiban
umum bersama antara anggota masyarakat), yang kemudian harus dilengkapi dengan
finalitas atau pencapaian tujuan10, dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas tersebut
maka dibutuhkan kepastian. Aspek finalitas ini menunjukkan bahwa tujuan keadilan yaitu
hidup manusia. Sedang aspek kepastian ini menunjukkan jaminan bahwa hukum harus
Jadi tanpa kewenangan negara menjatuhkan sanksi atas perbuatan yang tidak
10
Baca Bernard L. Tanya et al., Op. Cit., hlm 118-119.
11
Kesimpulan
Hal ini lah yang menjadi salah satu poin pemikiran penulis dalam mengajukan
salah satu konsep yang disebut rasio legis sanksi pidana yaitu pemenuhan ketentuan
kejahatan tidak menguntungkan pelaku (crime does not pay) konsep ini memberi
beberapa keuntungan:
1. Menggantinya konsep sanksi pidana adalah upaya penistaan dan dengan sanksi
adalah upaya pengembalian keadaan dari tidak adil akibat kejahatan menjadi
kembali adil;
namun merumuskan sanksi pidana penjara adalah bentuk kontrak sosial yang
ditimbulkan: ini memberi beberapa keuntungan yang nyata pada upaya victime
panduan petugas pembebasan (parole officer) yang lebih terukur, adil, dan
karena negara sebagai entitas penguasa; dalam interaksi manusia, adalah digambarkan
sebagai sosok yang lebih berkemampuan dalam upaya pengembalian keadaan atas
12
pelanggaran hukum salah satu pihak untuk dikembalikan menjadi kondisi adil dengan
penjatuhan sanksi yang mana harus memastikan perbuatan yang dilanggar tersebut tidak
menguntungkan pelanggarnya.
Paling tidak hal ini senada dengan teori keadilan korektif Aristoteles sebagaimana
dikutip: “To restore both parties to equality, a judge must take the amount that is greater
than the equal that the offender possesses and give that part to the victim so that both
11
have no more and no less than the equal” (garis bawah oleh penulis) , maupun
setidaknya mengacu pada nilai yang sama oleh Jeremy Bentham sebagaimana dikutip:
“The value of the punishment must not be less in any case than what is sufficient to
outweigh that of the profit of the offence ...”12. Kutipan Jeremy Bentham di atas inilah
yang menurut penulis sudah dilupakan oleh para penganut ajarannya sehingga dengan
alasan teori determinisme kriminologi yang dianut saat ini mendorong pada arah
abolisionis yang sudah sejak pertama kali diberi acuan untuk tidak di langgar oleh Jeremy
Bentham sendiri.
11
Wikipedia, Nicomachean Ethics, Diakses pada tanggal 16 Februari 2015, [Online],
(http://en.wikipedia.org/wiki/Nicomachean_Ethics), hlm. 13.
12
Mark Tunick, Punishment Theory and Practice, University Of California Press, Berkeley, 1992,
[Online], UC Press E-Books Collection,
(http://publishing.cdlib.org/ucpressebooks/view?docId=ft4q2nb3dn&chunk.id=d0e2447&toc.depth=1
&toc.id=d0e2430&brand=ucpress), hlm. 73.
13