Anda di halaman 1dari 14

TUGAS FILSAFAT HUKUM

Mengapa Negara Berhak Menghukum Seseorang:


Dari Prespektif Filsafat Hukum

Dosen: Prof. Dr. Made Warka, SH. M.Hum.

Teng Junaidi Gunawan


Nim : 1331800006
DIH – 35
Tanggal 7 Desember 2018

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA


PROGRAM DOKTOR HUKUM
SURABAYA
2018
Mengapa Negara Berhak Menghukum Seseorang:
Dari Prespektif Filsafat Hukum

Abstrak

Berbicara filsafat hukum sudah pasti berbicara pembahasan yang mendalam

sampai pada inti atau dasar; yang disebut hakekat, dari objek kajiannya yakni hukum.

Dan oleh karenanya sudah bisa dipastikan bahwa pembahasannya pasti meliputi 3 (tiga)

entitas dan hubungan interaksi antar ketiganya: penguasa, rakyat (subordinate), dan

hukum itu sendiri. Interaksi ke tiga entiti ini bukan hal sederhana, dari hubungan antara

penguasa dan rakyat, maupun hubungan antar rakyat, hubungan antara hukum dan

penguasa, maupun hubungan hukum dan rakyat, masing-masing entitas maupun

interaksinya memiliki pembahasan yang sekompleks dan serumit dunia yang diatur

hukum itu sendiri yaitu dimensi dunia manusia.

Dalam penulisan tugas ini membahas 1 hal dari beberapa pertanyaan umum yang

seringkali menjadi bahan diskusi dalam studi filsafat hukum yaitu mengapa negara

berhak menghukum orang. Dilihat dari historis dan dari teori-teori yang berkembang saat

itu terlihat telah terjadi pergeseran-pergeseran yang sangat signifikan. Pada bentuk

modernnya, ketika masyarakat sudah semakin pandai, rasional, kritis, dan perbandingan

antara aparat penguasa dengan masyarakat semakin timpang sehingga mendorong

pergeseran nilai mengarah ke “abolisionisme” (penghampusan) sanksi pidana penjara,

perlu ditelaah dengan lebih mendalam secara filosofis mengapa hukuman harus

dijatuhkan dan mengapa negara berhak menghukum seseorang.

1
Keywords:

Filsafat Hukum, rasio legis sanksi, hak negara menjatuhkan hukuman, hukuman

(sentencing).

Latar Belakang

Pertanyaan pada tugas filsafat ini sudah sangat sering dijadikan bahan pertanyaan

dan diskusi dalam studi filsafat hukum, lihat saja ketika dicari dalam mesin pencarian

seperti google, sudah berapa banyak jawaban yang ada. Belum lagi pembahasan filsafat

hukum sendiri sudah memiliki terlalu banyak acuan referensi tertulis yang di dalamnya

berisi rangkuman dari banyak teori hukum mulai dari zaman klasik dari filsuf Ionia, Sofis,

Sokrates, Plato, Aristoteles, Epicurus yang walau sudah sangat kuno; namun

keakurasiannya sampai saat ini masih teruji dan mewarnai dinamika ilmu hukum, dari

jaman hingga yang termoderen seperti oleh John Austin, Hans Kelsen, Gustav Radbruch,

Max Weber, Talcot Parson, John Rawls, hingga hubungannya dengan analisa ekonomi

seperti oleh Richard A. Postner.

Namun dalam batasan yang diberikan dalam pembentukan tugas ini yang hanya 1

malam dan pembahasannya di kelas yang sangat singkat, dan di sisi lain persoalan alasan

mengapa negara berhak menjatuhkan hukuman saat ini tergerus oleh pemikiran kubu

seperti aliran Neo Marxis, ataupun pemikiran critical legal study yang beramunisi awal

pemikiran Jeremy Bentham yang mempertanyakan utilitas dari penjatuhan sanksi yang

kejam (abad 17an), maupun teori kriminologi – determinisme, yang dibawa dengan

pemikiran perjuangan social justice warrior terhadap kalayak ekonomi kurang beruntung

2
yang mendorong peringanana hingga penghapusan sanksi pidana; yang di sebut

abolisionis.

Hal ini perlu dikaji dan diperdalam secara filosofis mengapa hukuman itu perlu

dan bagaimana hukuman itu harus dijatuhkan, pemikiran ini sangat penting untuk

mengembalikan kembali pola pikir civil society terutama dalam ilmu hukum secara

umum, dan terutama khususnya hukum pidana, yang saat ini cenderung kepada upaya

peringanan atau penghapusan.

Secara singkat ditemukan pada penelitian penulis sebelumnya bahwa kegagalan

hukum dalam mencapai tujuanya yang terjadi saat ini adalah timbul karena hukum gagal

memberi keadilan; tidak bisa memastikan kejahatan tidak menguntungkan, gagal

memberi kepastian yang rasional terhadap sanksi yang dijatuhkan, dan tidak manusiawi:

hukuman yang berorientasi utama memberi penderitaan tidak akan bisa memperbaiki

sikap mental yang sakit: hanya melalui perlakuan yang welas asih dan manusiawi namun

tegaslah sikap mental pelaku yang sakit bisa diperbaiki.

Di sini, untuk mempertegas pentingnya fungsi negara dalam menjatuhkan

hukuman yang adil, tegas atau berkepastian, namun welas asih dan produktiflah tugas ini

dirangkai dalam penulisan ilmiah singkat. Dalam penulisan ini akan dibahas secara

singkat interkasi dalam sistem hukum, sifat dasar manusia, kebutuhan untuk bersatu,

mengapa ada penguasa, interaksi penguasa dan rakyat, hakekat hukum, dan ditutup

dengan kesimpulan yang berisi rasio legis sanksi yang memberi hak negara untuk

menjatuhkan hukuman. Sebagai penutup sedikit disinggung apa yang dibutuhkan agar

sanksi yang dijatuhkan penguasa bisa mencapai tujuannya.

3
Pembahasan

Berbicara filsafat hukum sudah pasti berbicara pembahasan yang mendalam

sampai pada inti atau dasar; yang disebut hakekat, dari objek kajiannya yakni hukum.

Dan oleh karenanya sudah bisa dipastikan bahwa pembahasannya pasti meliputi 3 (tiga)

entitas dan hubungan interaksi antar ketiganya: penguasa, rakyat (subordinate), dan

hukum itu sendiri. Interaksi ke tiga entiti ini bukan hal sederhana, dari hubungan antara

penguasa dan rakyat, maupun hubungan antar rakyat, hubungan antara hukum dan

penguasa, maupun hubungan hukum dan rakyat, masing-masing entitas maupun

interaksinya memiliki pembahasan yang sekompleks dan serumit dunia yang diatur

hukum itu sendiri yaitu dimensi dunia manusia.

Kekompleksan dimensi manusia inilah yang mewarnai berkembangan sejarah dan

pergeseran-pergeseran pemikiran yang ada dalam interaksi penguasa-hukum-dan rakyat,

penguasa yang juga merupakan manusia menjadikan pembahasan hukum tampak nyata

sebagai ilmu yang membahas interaksi antar manusia termasuk pemikiran filosofis yang

dominan saat itu. Dah oleh karenanya, telah timbul banyak teori-teori hukum yang

membahas hal ini yang tidak mungkin dijelaskan satu demi satu.

Mengingat pembahasan tugas filsafat hukum ini adalah salah satu dari pertanyaan

dan pembahasan dasar yang berada Untuk singkatnya, penulis mengambil referensi dari

buku dengan judul Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi1

oleh Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Y. Hage untuk kemudian

mengambil intisari dari rangkaian teori-teori hukum yang ada yang mana di dalamnya

juga.

1
Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, 2013, Gentha Publishing: Yogyakarta.

4
Untuk mempermudah argumen rasio legis sanksi oleh penguasa atau dalam

kalimat lain memberi alasan mengapa negara berhak menghukum seseorang maka

pejelasan singkat penulisan ini di mulai dari sifat dasar manusia.

Sifat dasar manusia adalah mahluk yang indrividualistik2, dan mampu menjadi

serigala bagi yang manusia lain (homo homini lupus), namun di sisi lain manusia juga

diberi kemampuan lebih yaitu berempati; kemampuan untuk merasakan apa yang

dirasakan manusia lain (bahkan mahluk lain), serta mempunyai kemampuan berpikir

lebih rasional dari mahluk lain. Selain itu karakteristik manusia dalam merawat anaknya

yang butuh perawatan lebih lama untuk mencapai kedewasaan menjadikan secara

biologis manusia memiliki sisi mahluk sosial yang bersatu dalam satuan terkecil yaitu

keluarga

Sehingga sebagaimana sejarah menyampaikan, manusia mulai sadar akan

keterbatasannya untuk hidup sendiri di alam yang ternyata tidak menguntungkan secara

biologis bagi spesis manusia; dimana masih banyak mahluk lain yang lebih unggul, dan

ternyata menemukan dengan bersama-sama manusia lain mereka mememiliki keunggulan.

Dengan bekerja sama dengan sesama manusia, mereka bisa mencapai hal-hal yang lebih

jauh dari apa yang dia bisa capai secara sendiri. Dorongan sifat dan keterbatasan inilah

yang menyebabkan manusia menjadi mahluk sosial. Dorongan ini juga timbul dari

rasional logis dimana dalam kebersamaan lebih didapatkan keuntungan dari pada hidup

sendiri.

Dari kebersatuan ini pasti akan muncul indrividu-indrividu yang memiliki

karakteristik unggul, karakteristik unggulan ini yang pada akhirnya mendorong manusia

2
Lihat teori Epiricus di Bernard L. Tanya, et .al, Ibid., hlm: 46, yang juga senada dengan teori Roscoe
Pound, baca Ibid., hlm 139.

5
untuk mengangkat tokoh penguasa, sosok pimpinan kumpulan yang memiliki

karakteristik unggul entah secara langsung seperti ayah sebagai pimpinan keluarga, yang

pada tatanan komunitas yang lebih besar mulai muncul pimpinan suku, desa, dan

berkembang seiring pertumbuhan jumlah anggota masyarakat dan ruang lingkup daerah

kekuasaan penguasa atas sekelompok orang dan dalam teretori tertentu menjadi penguasa

seperti raja dalam kerajaan kota tertentu atau kaisar pada kumpulan beberapa kerjaan.

Menurut hemat penulis interaksi penguasa sejak tatanan sosial itu terbentuk maka

begitu juga interaksi antara penguasa dan rakyatnya terbentuk. Dalam rangka upaya

menciptakan ketertiban dan kebersamaan hidup antar manusia tersebut; baik antara

penguasa dan rakyatnya, maupun antara rakyat satu dengan lain, dibutuhkan suatu aturan

main yang terbentuk atau dibentuk dalam masyarakat tersebut. Aturan main inilah yang

menjadi cikal bakal hukum, di sini untuk menegakkan ketertiban hidup bersama dan

untuk menekan sifat dasar manusia masing-masing anggota maka dibuat aturan yang

berisi laranga-larangan, dan untuk menekan sifat dasar manusia yang indrividualistik dan

homo homini lupus, diadakan sanksi yang mengikat dan dengan upaya menjerakan

anggota masyarakat yang melanggar.

Namun di sadari juga sebagai penguasa dengan kekuaatan lebih maka sangat

mungkin dalam kondisi tertentu penguasalah yang bisa memberikan ketentuan-ketentuan

yang memberatkan anggota masyarakatnya. Terlihat juga perkembangan filosofis era

zaman klasik, abad pertengahan; seperti oleh St. Agustin dan Thomas Aquinas, hingga

era Rennaisance di isi dengan pemikiran filosofis memperkuat kekuatan penguasa dengan

mentautkan kekuasaannya tersebut dengan kehendak Tuhan. Pada era tersebut pemimpin

6
memperoleh posisinya kebanyakan secara garis turunan, dan diperkuat dukungan

pemimpin agama untuk berkuasa.

Di sini terlihat juga terlihat; walaupun tergantung pada kesadaran dan kemampuan

masing-masing indrividu, pada akhirnya masing-masing indrividu masih menggunakan

timbangan keutungan vs. resiko dalam memilih mengambil posisi sosial, jika dirasakan

tekanan yang terlalu berlebih sehingga lebih menguntungkan melepaskan diri seperti

memilih pindah komunitas lain langkah itu pasti diambil, jika tidak bisa namun jumlah

yang terjepit keadaan itu banyak maka akan timbul keresahan sosial yang sangat mungkin

jika meningkat menjadi kerusuhan atau makar atau penggulingan kekuasaan seperti pada

revolusi Prancis. Pesan pada bagian ini adalah hukum sebagai alat interaksi penguasa

dengan rakyat tidak boleh terlalu berlebih karena berefek negatif pada penguasa, interaksi

ini tidak lain tidak bukan adalah proses pencariaan keseimbangan antar kepentingan.

Satu hal lagi yang perlu dibahas, sebagai bentuk interaksi antar rakyat tentu tidak

terlepas dari kemungkinan adanya serangan secara tidak sesuai aturan antara rakyat. Di

sini penguasa juga bertindak sebagai penengah (arbiter) dalam penyelesaian masalah.

Ketika terjadi konflik, seluruh upaya mengambil kembali hak salah satu pihak terlihat

sebagai serangan balasan pihak korban. Untuk sesegera mungkin meredam konflik antar

pihak rakyat tersebut maka pilihan logis adalah menyerahkan kepada penguasa atau

perwakilan penguasa untuk menjadi penilai yang mencoba mengembalikan keadaan

menjadi adil dan damai. Jadi di sini fungsi penguasa adalah sebagai penegak hukum yang

akan menjadi penengah konflik antar para pihak baik korban maupun pelaku, sedangkan

hukum dan sanksinya adalah aturan main bersama yang memberi larangan untuk

menyerang kepentingan anggota masyarakat lain yang ditegakkan dengan sanksi.

7
Tanpa penengah dan tanpa sanksi yang dapat dijatuhkan, sangat sulit untuk

melakukan mediasi antar pihak pelaku dan korban untuk kembali damai. Ini juga menjadi

penekanan bahwa tanpa sistem sanksi yang memastikan kejahatan tidak menguntungkan

pelaku, lalu bagaimana menghalau pelaku berbuat kejahatan itu kembali (special

detterent), ataupun memberi pesan pada orang lain untuk jangan melakukan perbuatan

yang sama tersebut (general detterent).

Selain itu, juga disadari bahwa sistem sanksi hingga filosofis penjatuhan sanksi

sebelumnya tunduk pada teori absolut atau yang modernya menjadi teori retributif –

sanksi dijatuhkan sebagai pembalasan (menurut penulis salah terjemahan dari sifat

reciprocity: keseimbangan (reciprocity) antara perbuatan dan kerugian yang timbul. Pada

teori absolut, belum ditemukan acuan bagaimana menghitung sanksi yang pantas

sehingga kebanyakan sanksi saat itu (abad 17) menjadi sangat sadis dan destruktif:

terpidana sangat susah kembali pada masyarakat dan pada akhirnya sanksi hanya

dijadikan pertunjukan kebrutalan masa yang meminta darah terpidana. Olah karena itu

Jeremy Bentham mengajukan memikirannya berubah ini dengan teori utilitarian.

Teori Utilitarian melihat hakekat hukum sebagai alat pencapaian tujuan, teori ini

pertama kali dikembangkan Jeremy Betham (1780) - Existensinya. Teori ini melihat

keadilan sebagai pencapaian tujuan dengan axiom paling dasar, yakni: “It is the greatest

happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong" (ukuran dari

benar dan salah adalah kebahagian terbesar untuk jumlah terbesar). Teori ini secara

singkat membuka pandangan hakikat hukum yang tidak lagi mengacu pada upaya

pencapaian ketertiban dan/atau perdamaian antar masyarakat semata, namun juga

memberi acuan tujuan-tujuan lain seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat.

8
Oleh Jeremy Bentham, hukum mulai dikembangkan ke arah yang lebih jauh

dengan mempertanyakan apa yang selanjutnya terjadi (forward thinking that raised the
3
question what’s next) . Pertanyaan yang juga memikirkan fungsi negara dan

mengarahkan bagaimana negara bisa menjadi penengah yang adil dan bukan sebagai

algojo terhadap pelaku saja. Teori ini menanyakan apa yang selanjutnya terjadi ketika

terjadi pelanggaran hukum dan memberi solusi berupa upaya perbaikan mental pelakunya.

Suatu teori yang mempertanyakan konsekuensi dari aturan yang sudah dibuat.

Selain itu teori utilitarian atau Eudaemonistis4 ini juga memberi pandangan bahwa

perlu suatu cara mengukur keadilan itu sendiri, sehingga Jeremy Bentham menyampaikan

axiomnya paling dasar di atas. Hal yang menurut penulis adalah pesan yang harus dikejar,

Jeremy Bentham juga menghidupkan kembali perlombaan untuk mencari timbangan

keadilan; hal yang sempat lama terlupakan dari ajaran Aristoteles. Teori Utilitarian

melihat keadilan sebagai pencapaian tujuan dengan axiom paling dasar: ukuran dari benar

dan salah adalah kebahagian terbesar untuk jumlah terbesar. Oleh Jeremy Bentham:

keadilan juga dilihat sebagai kodifikasi etika dan kodifikasi sanksi yang seharusnya

adalah sistem timbangan (scale/measurement) yang bisa diukur benar dan salahnya

dengan menghitung utilitas kebahagiaan terbesar, yang mana mendorong penjatuhan

hukuman yang tidak terlalu berlebih; karena merugikan negara, dan masyarakat.

Selain itu Bentham juga memberi 1 poin penting baru dalam pembentukan sistem

berkeadilan yaitu adanya batasan minimum untuk kemanusiaan yang ia sebut: hak

inviolability personal 5 . Hal ini memberi ilham prinsip batasan minimum-maksimum

3
Wikipedia, Jeremy Bentham, 21 March 2014, [Online], (http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham),
hlm. 3.
4
Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 103.
5
Wikipedia, Jeremy Bentham, Op.cit., hlm. 5.

9
dalam sistem keadilan, yang masing masing mewakili posisi minimum untuk

kemanusiaan bagi para pihak yang berkonflik. Poin atau prinsip ini dalam bahasa Jawa

bisa disebut prinsip ngewong ke wong; prinsip yang sama dikejar dalam Teori Keadilan

Bermartabat, atau oleh Bernard dilihat sebagai prinsip perlindungan hukum sesuai kebutuhan.

Pada penulisan sebelumnya diajukan dengan nama prinsip batasan minimum untuk

kemanusiaan6.

Axiom prinsip utilitas yang menghitung benar atau salah suatu sistem berdasar

pencapaian maksimum kebahagian yang dicapai sebagian besar masyarakatnya bukanlah

tanpa cela, hal ini yang dipermasalahkan John Rawls karena axiom ini bisa menjadi

sangat tidak adil. Axiom ini tidak salah, namun secara prioritas tidak bisa dijadikan alat

utama untuk menimbang keadilan. Ketika axiom It is the greatest happiness of the greatest

number that is the measure of right and wrong 7 dijadikan patokan penilaian apa yang benar

dan salah akan memperbolehkan adanya pengorbanan kalangan minoritas untuk

dikorbankan kepentinganya demi pencapaian total kebaikan terbesar untuk jumlah

terbanyak, namun dalam kondisi tertentu; ketika dalam keterbatasan sumber daya atau

dalam pilihan 2 kondisi yang evil (tidak baik); rumusan ini sangat bisa dipakai dan

sampai saat ini belum ada teori yang bisa menggantikan. Teori ini paling tidak didukung

pula oleh Aristoteles8..9.

Secara singkat, walau teori-teori hukum yang berkembang pada abad ke 19 dan

20 mengarah pada pengurangan kekuatan penguasa (teori lama hukum, kekuasanan dan

6
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi Edisi Revisi, 2018, Kencana:
Jakarta, hlm. 54,
7
Loc.Cit.,, hlm. 3.
8
“When two evils must be distributed, the lesser of the evils is the more choice worthy and as such is
the greater good (1131b21-25)”, lihat Wikipedia, Nicomachean Ethics,Op.cit, hlm. 13.
9
Lihat Eudaimonia yang artinya “well-being” atau “happiness” pada Wikipedia, Nicomachean
Ethics,Op. Cit., hlm. 13.

10
penguasa sebelumnya melahirkan atau berkembang menjadi sistem hukum civil law yang

menempatkan penguasa / kerajaan sebagai entitas yang lebih tinggi yaitu sebagai entitas

yang berdaulat (sovereign)), dan menuju kesetaraan penguasa dan rakyat, namun secara

prinsip penegakan hukum dibuat dan dijalankan oleh pemerintahan baik oleh polisi, jaksa,

dan lembaga pemasyarakatan, serta lembaga peradilan walaupun berapa pada posisi yang

terpisah sebagai lembaga yudikatif. Teori-teori terbaru hanya mengeser posisi hukum

untuk mengatur dan memastikan penguasa juga tunduk dalamnya dengan rule of law nya.

Pembahasan ini berujung pada pertanyaan hakekat hukum itu sendiri yang secara

singkat penulis sampaikan setuju dengan pemikiran Gustav Rabruch: hukum pada

hakekatnya adalah secara utama untuk keadilan (sebagai cita pencapaian ketertiban

umum bersama antara anggota masyarakat), yang kemudian harus dilengkapi dengan

finalitas atau pencapaian tujuan10, dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas tersebut

maka dibutuhkan kepastian. Aspek finalitas ini menunjukkan bahwa tujuan keadilan yaitu

untuk memajukan kebaikan (, kebahagian dan kesejahteraan: menurut penulis) dalam

hidup manusia. Sedang aspek kepastian ini menunjukkan jaminan bahwa hukum harus

benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.

Jadi tanpa kewenangan negara menjatuhkan sanksi atas perbuatan yang tidak

dikehendaki hukum bagaimana hukum memberi kepastian pencapaian tujuannya?

Bagaimana menegakkan atau mengembalikan keadaan supaya kembali adil? bagaimana

mendorong pelaku tidak berbuat kembali?

10
Baca Bernard L. Tanya et al., Op. Cit., hlm 118-119.

11
Kesimpulan

Hal ini lah yang menjadi salah satu poin pemikiran penulis dalam mengajukan

salah satu konsep yang disebut rasio legis sanksi pidana yaitu pemenuhan ketentuan

kejahatan tidak menguntungkan pelaku (crime does not pay) konsep ini memberi

beberapa keuntungan:

1. Menggantinya konsep sanksi pidana adalah upaya penistaan dan dengan sanksi

adalah upaya pengembalian keadaan dari tidak adil akibat kejahatan menjadi

kembali adil;

2. Memanusiawikan sanksi pidana dengan tidak mengutamakan sanksi fisik

namun merumuskan sanksi pidana penjara adalah bentuk kontrak sosial yang

diikat pada pelaku kejahatan untuk membayar kembali kerugian yang

ditimbulkan: ini memberi beberapa keuntungan yang nyata pada upaya victime

oriented criminal justice system.

3. Mendorong pelaku membayar baik secara restitusi ataupun dengan sanksi

penjara yang mendorong terpidana untuk seproduktif mungkin untuk

mempercepat kebebasan dirinya: ini juga memiliki keuntungan membuat

panduan petugas pembebasan (parole officer) yang lebih terukur, adil, dan

transparan di samping menghapuskan mind set petugas dari kewajiban

menyakiti terpidana dan mengarah mendorong produktifitas terpidana.

Di sini di simpulkan bahwa rasio legis negara berhak menjatuhkan hukuman

karena negara sebagai entitas penguasa; dalam interaksi manusia, adalah digambarkan

sebagai sosok yang lebih berkemampuan dalam upaya pengembalian keadaan atas

12
pelanggaran hukum salah satu pihak untuk dikembalikan menjadi kondisi adil dengan

penjatuhan sanksi yang mana harus memastikan perbuatan yang dilanggar tersebut tidak

menguntungkan pelanggarnya.

Paling tidak hal ini senada dengan teori keadilan korektif Aristoteles sebagaimana

dikutip: “To restore both parties to equality, a judge must take the amount that is greater

than the equal that the offender possesses and give that part to the victim so that both
11
have no more and no less than the equal” (garis bawah oleh penulis) , maupun

setidaknya mengacu pada nilai yang sama oleh Jeremy Bentham sebagaimana dikutip:

“The value of the punishment must not be less in any case than what is sufficient to

outweigh that of the profit of the offence ...”12. Kutipan Jeremy Bentham di atas inilah

yang menurut penulis sudah dilupakan oleh para penganut ajarannya sehingga dengan

alasan teori determinisme kriminologi yang dianut saat ini mendorong pada arah

abolisionis yang sudah sejak pertama kali diberi acuan untuk tidak di langgar oleh Jeremy

Bentham sendiri.

11
Wikipedia, Nicomachean Ethics, Diakses pada tanggal 16 Februari 2015, [Online],
(http://en.wikipedia.org/wiki/Nicomachean_Ethics), hlm. 13.
12
Mark Tunick, Punishment Theory and Practice, University Of California Press, Berkeley, 1992,
[Online], UC Press E-Books Collection,
(http://publishing.cdlib.org/ucpressebooks/view?docId=ft4q2nb3dn&chunk.id=d0e2447&toc.depth=1
&toc.id=d0e2430&brand=ucpress), hlm. 73.

13

Anda mungkin juga menyukai