Anda di halaman 1dari 6

Nasihat Hujan

Hujan turun lagi hari ini, tidak lebat namun sedikit gemuruh. Keberadaannya sama sekali
tidak mengusikku. Aku yang sedari tadi duduk sambil memegang secangkir teh melihat ke arah
luar jendela, menikmati pemandangan hujan yang luar biasa indah walaupun orang lain
menganggap hujan hanya merupakan kejadian yang alami terjadi dan membosankan. Apalagi di
musim hujan seperti ini, orang-orang akan mencaci maki keberadaan hujan, mereka berkata,
"Sialan hujan, aku tidak bisa keluar," atau disaat ibu-ibu yang kerepotan mengangkat jemurannya
dan tak ayal pasti hujan selalu disalahkan "Hujan lagi hujan lagi, kapan cucian kita kering?,"
setidaknya begitu kata mereka, orang-orang yang merasa kesulitan jika hujan datang mengguyur.

Jika kita telaah lebih dalam, kamu tidak bisa benar-benar membenci hujan. Pada akhirnya,
kamu akan tetap menggangapnya sebagai berkat yang diberikan Tuhan kepadamu, karena kamu
akan selalu membutuhkan hujan, mencarinya bila tidak ada, dan bahkan memohon jika kering telah
melanda.

Hal ini lah yang membuatku akan selalu memilih hujan dibandingkan dengan sang mentari.
Bukannya aku membenci sang mentari yang selalu dirindukan saat fajar maupun senjanya, bukan
begitu. Aku hanya lebih suka dia, si Hujan yang mampu memunculkan sejuta kenangan,
memberikan perasaan emosional yang lekat dibenakku. Kehadiran hujan di mata setiap jiwa selalu
berbeda-beda walaupun wujudnya sama dan di mataku hujan adalah nikmat yang patut disyukuri,
karena bagiku, hujan dapat menunjukkan kasih sayang seorang bapak kepada putrinya.

Sosok bapak akan selalu nampak menganggumkan, hangat, dan memprioritaskan anaknya
meskipun dari hal yang paling sederhana. Bapak selalu pulang saat matahari telah kembali ke
peraduannya, terkadang bapak pulang dengan wajah yang lusuh karena keringatnya dan terkadang
pulang dengan pakaian yang kuyup akibat hujan. Aku selalu menunggu bapak pulang bekerja di
sudut ruangan rumah petak kami sembari membaca buku ensiklopedia yang bapak bawa setiap
bulannya karena putrinya sangat gemar membaca. Jika bapak pulang, tubuhku langsung berlari ke
arahnya, menggapai tangannya yang kasar dan menciumnya. Hari itu bapak pulang dengan pakaian
dan rambut basah yang tentu saja karena kehujanan. Aku ingat memandangnya dengan kesal sambil
menceramahinya.

“Bapak kenapa sih ga bawa payung lagi? Kan Rini udah bilang bawa payungnya pak”

Semalam sebelum bapak bekerja, aku sudah menyelipkan payung ke dalam tas ranselnya.
Bapak tersenyum sambil mengusap kepala putrinya yang pada saat itu masih berumur 9 tahun.

“Bapak kan cuman kebasahan kamu jangan marahin bapak dong Rin,”

“Kamu juga tahu kita cuma punya satu payung, kamu saja yang bawa ya Rin, nanti kalau
ada uang bapak beli payung lagi ya,” bapak kembali mengelus kepalaku, kemudian berjalan
ke dalam dapur.

“Rini ga perlu payung, Rini kan pulang siang jadi jarang ujan, Bapak aja yang bawa,” aku
mengekor dari belakang, menarik-narik kemejanya.

“Kalo pulang siang kamu harus jalan dari sekolahmu kesini, jauh, kamu kepanasan,
makannya kamu harus bawa payung”

Perkataan bapak membuatku berpikir sejenak. Bapak benar, jika siang aku kepanasan
karena harus berjalan dari sekolah ke rumah petak ini yang jaraknya cukup jauh, setidaknya bagi
anak kelas 3 SD sepertiku dulu. Aku menghela nafas panjang dan hanya bisa memasang wajah
cemberut padanya karena tidak bisa membantah lagi. Bapak selalu mampu memahamiku lebih dulu
sebelum aku dapat memahami diriku sendiri. Terlebih saat aku mulai tumbuh dewasa, ia semakin
giat bekerja lembur, bapak banting tulang mencari kerja tambahan karena pekerjaanya yang hanya
sebagai kasir di toko klontong kecil tidak mencukupi kebutuhan kami berdua, terutama kebutuhan
pendidikanku. Untuk pertama kalinya aku bertengkar hebat dengan bapak karena aku diam-diam
bekerja dan menyatakan aku tidak ingin kuliah di depan wajahnya.

“Kenapa kamu gamau kuliah Rin? Bapak ada uangnya, kamu tenang aja,” katanya sambil
melipat koran dengan tatapan penasaran padaku.
“Pokoknya Rini gamau kuliah, Rini mau kerja pak,” aku menjawab dengan tegas. Aku tidak
ingin melihat bapak kesusahan lagi dengan kondisi fisiknya yang terus memburuk akibat
bekerja tiada henti, hanya demi pendidikanku yang lebih tinggi.

“Kamu harus kuliah, bapak gamau dengar.” Kehangatan dari suara bapak yang khas tiba-
tiba hilang dan digantikan oleh suara yang dingin.

“Bapak benar ada uang? Iya? Ngapain sih pak, udah lah. Rini mau kerja, bantuin bapak.
Lagian Rini ini perempuan yang akhirnya juga bakal ikut sama suami Rini nanti”

Aku menatap bapak yang mulai gusar dengan perkataanku, ada jeda sebelum aku
meneruskan menjadi anak yang tidak tau diri dengan memaki bapaknya.

“Buat apa? Toh nanti laki-laki juga gaada yang mau sama Rini kalau pendidikan Rini terlalu
tinggi,” setelah aku melontarkan kata-kata itu, bapak marah. Wajahnya menunjukkan
kekecewaan yang dibalut dengan amarah.

“Bapak kerja cari uang bukan untuk liat kamu dibawahi sama laki-laki, bapak ga pernah
ngajarin kamu untuk menganggap rendah diri kamu hanya karena kamu perempuan. Kamu
juga harus belajar, harus pinter!” bapak mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh, ia
berharap agar aku mengerti. Mengerti akan diriku sendiri.

Bapak, paham betul bagaimana anaknya haus akan ilmu, ia tahu bahwa aku menyukai
ensiklopedia yang dulu sengaja bapak belikan untukku daripada membeli sebuah payung. Bapak
ternyata mengerti aku membutuhkan ilmu yang lebih luas dengan melanjutkan ke perguruan tinggi,
bapak merasa sudah sepantasnya ia berkorban demi anak gadisnya yang ia yakini kelak akan
berhasil. Bapak selalu begitu, memahami aku dengan kata-kata cintanya dalam diam.

Aku menangis dan memeluk bapak. Harum tubuhnya seakan menjadi candu, membuatku
tenang berada dalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk punggungku sambil berbisik di telinga,
“Bapak bisa Rin, kamu juga pasti bisa. Ga perlu khawatirin bapak, yang penting kamu belajar dan
berusaha, bikin Bapakmu ini bangga.”
Sensasi hangat menjalar di dadaku, dalam ingatanku, aku mengangguk pelan sambil
menyeka air mataku dan mendongak untuk menatap bapak. Wajah bapak penuh dengan garis-garis
kerutan, sorot matanya lelah dan rambut yang dulunya hitam mulai berubah menjadi putih. Aku
ingin menyalahkan waktu karena telah membuat bapak menua, tapi siapa yang berani menantang
waktu jika kamu pun hanyalah makhluk yang terbentuk darinya?

Perjuangan bapak begitu hebat sampai waktunya habis. Bapak sakit dan meninggalkanku
seorang diri saat aku berusia 25 tahun. Ia pergi ke tempat yang lebih baik dalam semesta lain, dan
melepaskannya itu adalah hal tersulit yang pernah aku lakukan. Hatiku terasa sesak, membuatku
ingin menangis. Aku segera menarik nafas panjang dan mengelus-elus kepalaku sendiri
sebagaimana bapak dulu melakukannya untukku saat aku menangis.

“Udah Rin, anak bapak ga boleh cengeng,” katanya waktu aku menangis tersedu-sedu saat
bapak memberi tahu penyakit yang sedang dideritanya.

“Rini khawatir pak…” balasku dengan nada gelisah.

“Iya bapak ngerti, tapi jangan terus-terusan. Kalo kamu nangis, bapak jadi ikutan sedih”

Bapak menarik sarung yang dipakainya ke atas dada agar menutupi tubuhnya yang semakin
kurus, ia menggosok belakang lehernya dan kembali berbicara.

“Gausah terlalu dipikirin, yang penting Rini banyakin doa buat bapak biar cepet sembuh”
Kemudian, bapak mengelus kepalaku sambil tersenyum hangat.

Demikianlah bapak dengan kasih sayangnya; Tubuh yang dijadikan tameng untuk
berlindung dan mencari rezeki, nasihat yang menumbuhkan rasa untuk menjadi seorang manusia,
hati yang tulus untuk memberikan segala yang ia punya kepada anaknya, dan senyuman hangat
yang akan selalu aku rindukan.

Ingatan tentang bapak perlahan melayang seiring dengan hujan yang mulai reda. Teh dalam
cangkir sudah habis dan kini hanya menyisakan ampas di dasarnya. Semerbak bau tanah basah
menyeruak masuk ke dalam ruangan ketika aku membuka jendela. Mendengar rintikan hujan yang
tenang membuatku tersenyum. Hujan, lagi-lagi berhasil memberikan nasihatnya kepadaku dengan
kisah yang ia ceritakan pada hari ini.
BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Risa Ayuvirdhani

E-mail : rvirdhani@gmail.com

Nomor HP : 085810526394

Nomor WhatsApp : 085810526394

Alamat Instagram : risaavirdhani

Anda mungkin juga menyukai