Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perpindahan panas dapat diartikan sebagai pemindahan energi panas
yang dihasilkan oleh suatu alat, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Terdapat beberapa cara untuk memindahkan energi panas salah satunya
adalah konveksi. Konveksi sendiri dapat diartikan sebagai pindahnya
energy panas yang terjadi diantara permukaan benda padat dengan fluida
yang mengalir disekitar benda tersebut. Media penghantar yang digunakan
untuk menghantarkan panas berupa fluida seperti zat cair dan juga gas.
Jika kita kaitkan pada kehidupan kita sehari-hari, dapat kita jumpai
banyak sekali comtoh dari konveksi. Dimana salah satunya adalah ketika
kita memanaskan air menggunakan panci. Ketika api dari kompor menyala
dan memanaskan bagian bawah panci, maka seiring berjalannya waktu air
didalam panci akan menjadi panas. Pada proses ini, bantuan fluida gas
sangat dibutuhkan untuk menghantarkan panas dari kompor ke bagian
bawah panci. Maka dari itu, untuk memahami lebih lanjut mengenai
fenomena konveksi akan dilakukan percobaan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang terdapat pada praktikum perpindahan panas
secara Konveksi ini antara lain adalah :
1. Bagaimana konsep dasar perpindahan panas secara konveksi ?
2. Bagaimana pengaruh kecepatan fluida terhadap nilai koefisien
konveksi ?

1.3 Tujuan Percobaan


Tujuan dari diadakannya praktikum perpindahan panas secara
konveksi ini antara lain adalah :

1
1. Meningkatkan pemahaman terhadap konsep dasar proses
perpindahan panas secara konveksi.
2. Mengetahui pengaruh kecepatan fluida terhadap nilai koefisien
konveksi.

1.4 Batasan Masalah


Batasan masalah yang digunakan pada praktikum perpindahan panas
secara konveksi ini antara lain adalah :
1. Steady State
Propertis spesimen terhadap suatu titik tidak berubah terhadap
waktu.
2. No Heat Generation
Spesimen uji tidak memiliki energi bangkitan karena spesimen
dianggap logam murni dimana tidak ada tegangan sisa pada proses
pengerjaannya.
3. Neglected Radiation
Perpindahan panas secara radiasi diabaikan karena nilai konstansta
Boltzman nilainya sangat kecil yaitu 5,67x10-8 W m-2 K-4, pengaruh
radiasi panas matahari tidak sampai ke tempat praktikum, dan suhu
praktikum perubahannya tidak terlalu besar.
4. Perpindahan Panas dianggap Konstan
Karena panas ditimbulkan oleh arus listrik. Dimana arus dan
tegangannya diatur konstan.

2
BAB 2
DASAR TEORI

Gambar 2.1 Thermal Boundary Layer pada Isothermal Plat Datar

Konveksi merupakan bentuk perpindahan panas dimana molekul-


molekul benda membawa energi panas dari satu titik ke titik lainnya.
Umumnya terjadi pada benda cair dan gas. Aliran konveksi dipengaruhi
beberapa faktor:
1. Aliran horizontal dan vertikal.
2. Alian laminer atau turbulen.
3. Permukaan rata atau melengkung.
4. Jenis fluidanya, zat cair atau gas.
5. Sifat-sifat fluida seperti viskositas , kalor jenis, dsb.

Perpindahan panas konveksi dapat dibagi menjadi dua:

1. Force Convection

Yaitu perpindahan panas karena adanya factor kerja dari luar


terhadap fluida perantara, misalnya konveksi dengan adanya
bantuan fan, blower, air conditioning, dan sebagainya.

2. Free Convection

3
Yaitu perpindahan panas tanpa ada factor luar melainkan karena
buoyancy force.
Secara umum,besarnya laju perpindahan panas konveksi dapat
dirumuskan:

q’’= h ( T∞ - Ts ), Ts > T∞ (2.1)


q’’= h ( T∞ - Ts ), T∞ > Ts (2.2)
Dimana:
2
h = koefisien perpindahan panas secara konveksi (W/m K)
2
q” = convection heat flux (W/m )

Cold

T∞,h

Gambar 2.2 Perpindahan Panas secara Konveksi

Konveksi pada Plat Datar secara Aliran Paralel


Konveksi jenis ini banyak sekali dijumpai pada penerapan
engineering. Paralel flow sepanjang plat datar ini dibagi menjadi 6
pembahasan:
1. Laminar Flow Over on Isothermal Plate
Dengan mengasumsikan steady state, incompressible
laminar flow, dengan properti fluida konstan dan
mengakibatkan viskositas didapatkan persamaan boundary
layer sebagai berikut:

4
Kondisi kecepatan boundary layer tidak bergantung pada temperatur
dan konsentrasi spesimen. Perumusan masalah Hydrodynamics dapat
dengan persamaan aliran dimana:

Untuk kasus laminar low on isothermal dapat didekati dengan angka flux
dimana:

Dimana: Re = Reynold number


Pr = Prandtl number
Pe = Peclet number

2. Turbulent Flow Over on Isothermal Plate


Berdasarkan hasil eksperimen untuk turbulen flow dengan
reynold number mencapai koefisien gerakan lokal dapat
dirumuskan sebagai berikut:

5
Persamaan di atas dengan modifikasi reynold local nusselt number
untuk aliran turbulen adalah:

Dan local Sherwood number adalah

3. Mixed Boundary Layer Condition


Pada kasus mixed boundary layer dapat didekati dengan rumus:

Sehingga:

Dengan menganalogikan analogi heat mass ransfer didapatkan rumus


Sherwood number:

4. Unheated Starting Length


Ada daerah dimana tidak ada perpindahan panas pada jarak
tertentu, dimana 0 adalah jarak boundary pada saat belum berpindah. (no
heat transfer).
Dapat dituliskan sebagai berikut :

6
Gambar 2.2 Flat Plate in Parallel Flow

Nusselt number pada kasus ini :

5. Flat Plate with Constant Heat Flux Condition


Ada kemungkinan uniform surface heat flux telah berpengaruh
daripada uniform temperature pada kasus kondisi ini maka nilai Nu
number dirumuskan:

6. Limitation on Use Convection Coefficient


Meskipun persamaan pada bagian ini cocok untuk kebanyakan
perhitungan engineering, dalam prakteknya lebih sering digunakan nilai
exact untuk koefisien konveksi mengacu pada free stream turbulent dan
kekerasan permukaan dan kesalahan 25% mungkin terjadi dalam
persamaan ini.

7
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Peralatan Percobaan


Peralatan yang digunakan pada praktikum ini sebagi berikut:
1. Benda uji (elemen penghantar dan heater)
2. Amperemeter
3. Voltmeter
4. Voltage regulator
5. Kipas
6. Thermocontrol
7. Thermometer
8. Sarung tangan

3.2 Instalasi Praktikum


Praktikum konveksi dilakukan dengan melakukan pemanasan
melalui heater kepada elemen penghantar, kemudian mengamati pengaruh
udara sekitar terhadap proses perpindahan panas secara konveksi, yang
disertai dengan meningkat kecepatan udara dengan kipas. Skema instalasi

peralatan konveksi dapat dlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 3.1 Instalasi Alat Uji Konveksi

8
Keterangan:
1. Benda uji
2. Amperemeter
3. Voltmeter
4. Voltage regulator
5. Kipas
6. Thermocontrol

3.3 Langkah – Langkah Praktikum


Dalam praktikum ini terdapat prosedur untuk memperoleh hasil
yang akurat, berikut ini merupakan langkah – langkah dalam melakukan
praktikum:
1. Tahap Persiapan
a. Selalu pergunakan sarung tangan sebagai perlengkapan dan
tindakan keselamatan diri.
b. Pastikan sistem peralatan uji konveki telah terinsteraksi dengan
baik dan benar sesuai dengan skema peralatan.
c. Pasukan tegangan voltage regulator pada nilai 0.
d. Volt dan set point thermocontrol pada nilai 0o C.
e. Thermocouple referensi dipasang pada heater.

2. Tahap Pengambilan Data


a. Tegangan voltage regulator diatur pada nilai 150o volt.
a. Thermocontrol dinyalakan dengan menahan saklar tegangan
termocontrol pada posisi on.
b. Set point thermocontrol diatur pada nilai 75o C.
c. Kipas dinyalakan pada kecepatan tingkat 1, dengan waktu tunggu
minimum 5 menit setelah prosedur c.
d. Pengambilan data dilakukan dengan variasi kecepatan kipas mulai

9
tingkat 1 sampai 3. Waktu tunggu pengambilan data minimum 5 menit
untuk tiap tingkat kecepatan kipas data yang diambil pada praktikum
konveksi. Pengambilan data arus dapat dilihat pada voltmeter dan data
temperatur tiap
titik dapat diketahui menggunakan infrared thermometer.
e. Lakukan prosedur pengambilan data langkah e dengan kenaikan
nilai tegangan voltage regulator sebesar 25 volt hingga tegangan mencapai
nilai 200 volt.
f. Setelah seluruh pengambilan data selesai, atur set point
thermocontrol pada nilai 0o C kemudian matikan thermocotrol dengan
menekan saklar tegangan thermocontrol.

B A C

10
3.4 Infrared thermometerKipas
Flowchart percobaan
ThermocoupleSarung Tangan
ThermocontrolBenda Uji
Start
AmperemeterVoltmeter
Voltage regulator

Peralatan disusun sesuai skema instalasi

Set point voltage regulator diatur pada V0=150 Volt

End
Thermometer dinyalakan dengan menekan saklar on

Set point thermocontrol diatur pada 75°C

Kipas dinyalakan pada kecepatan N=1

Ditunggu selama 5 menit

11
Pengambilan data dilakukan pada amperemeter, voltmeter, dan
infrared thermometer
Vt>=2
00

N>=3
B C
A
NO
Nt=N+1

YES

Vt=Vo=25 NO

YES

Set point thermometer diatur pada 0°C

Voltage Regulator diatur pada 0 Volt

Arus (i)Tegangan(V)

Temperatur (°C)

12
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Percobaan


(terlampir)

4.2 Flowchart Perhitungan

4.3 Contoh Perhitungan


I. Data Percobaan
Set point : 150
Tingkat kipas :1
Tegangan : 220 Volt
Arus : 1.4 Ampere
Temperatur ruangan : 300 K
T1 = 300.7
T2 = 301.5
T3 = 303.5
T4 = 302
T5 = 304.3

II. Menghitung Temperatur Surface


5
1
Ts, average = ∫ f (x)dx
5−1 1
5
1
= ∫ (0,0786 x ²−0,1186 x +301,44)dx
4 1
Ts, average = 301,471851 K

III. Menghitung Luas Permukaan

A =PxL

13
A = 17 cm x 8 cm

A = 136 cm2

A = 0,0136 m2

IV. Menghitung q

q =VxI

q = 220 V x 1,4 A

q = 308 Watt

V. Menghitung ΔT
∆ T =T S −T ∞
∆ T =301,471851 K−300 K
∆ T =1,471851 K

VI. Menghitung h
q
h =
A ΔT
308
h =
0,0136 x 1,471851
W
h = 15386,78767 2
K
m

4.4.1 Grafik Jarak terhadap Temperatur pada Set point 150 V

14
Temperatur vs Jarak pada Set Point 150 V
305

304
f(x) == −0.08
f(x) x²x²
0.04 + +0.12 x +x +301.44
0.98 299.84
303
f(x) = 0.03 x² + 0.39 x + 300.38

302
Kecepatan Kipas 1
301 Polynomial
(Kecepatan Kipas 1)
Kecepatan Kipas 2
300
Polynomial
(Kecepatan Kipas 2)
299 Kecepatan Kipas 3
Polynomial
(Kecepatan Kipas 3)
298
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

Gambar 4.1: Grafik temperatur terhadap jarak pada set point 150 V
Berdasarkan gambar grafik, Trendline grafik kecepatan kipas 1
mengalami naik turun seiring dengan penambahan jarak. Temperatur
terendah berada pada titik 1 sebesar 300,7 K, sedangkan temperatur
tertinggi berada pada titik 5 sebesar 304,3 K. Trendline grafik kecepatan
kipas 2 mengalami fluktuasi atau kenaikan. Temperatur terendah dari
kecepatan kipas 2 berada pada titik 1 dengan nilai 301,6 K, sedangkan
temperatur tertingginya terdapat pada titik 5 dengan nilai 304 K. Trendline
grafik kecepatan kipas 3 mengalami kenaikan dengan fluktuasi yang
berbeda beda seiring bertambahnya jarak. Temperatur terendah terdapat
pada titik 1 sebesar 300,8 K, sedangkan temperatur tertinggi terdapat pada
titik 5 sebesar 303,1 K.
Kecepatan kipas berpengaruh terhadap nilai Reynold Number,
dimana hubungan kecepatan ( v ) dengan Reynold Number (Re) ,yaitu
Re = ρ  vL / µ Sehingga ketika nilai v meningkat maka nilai Re juga
meningkat. Reynold number (Re) berhubungan dengan Nusselt Number
yang dinyatakan dengan persamaan
Nu = C . Ren .Prm =  hL /Kf

15
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa kenaikan nilai h akan
berbanding lurus dengan kenaikan nilai Nu maupun nilai Re. Formula dari
Reynold Number mengandung variable kecepatan yang mana dapat
dikaitkan dengan nilai h. Formula Reynold Number yaitu:
Re = ρvL / µ
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa Re berbanding lurus
dengan L dan juga V, semakin besar nilai L dan V maka nilai Re juga
semakin tinggi. Re berbanding lurus dengan Nu, semakin besar nilai Re
semakin besar juga nilai Nu. Nu berbanding lurus dengan h, semakin besar
nilai h maka nilai Nu juga semakin besar. Dan dapat dilihat pula hubungan
h, q dan ∆T melalui persamaan heat rate, yaitu:
q =   h A ∆T (Untuk heat flux konstan)
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa apabila nilai h naik
maka nilai q akan naik. Pada q” yang konstan semakin tinggi h maka ∆T
akan semakin turun. Sehingga kecepatan kipas berbanding terbalik dengan
∆T ,yaitu ketika kecepatan kipas (v) semakin tinggi maka ∆T akan
semakin turun. Dimana ∆T = Tsurface – Tinfinity..Untuk T1 yang jaraknya lebih
dekat dengan kipas maka Ts lebih besar, begitu juga untuk T2, T3, T4, T5
yang jaraknya semakin jauh dari kipas maka temperatur yang diterima
surface makin kecil. Hal ini sesuai dengan teori yang ada pada grafik
thermal boundary layer diatas, yang menyatakan bahwa Tsurface
berbanding terbalik dengan jarak(x).
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan hasil yang tidak
sesuai dengan teori yang ada seperti pada kecepatan kipas satu, sedangkan
kecepatan kipas dua dan tiga sudah sesuai dengan teori yang ada. Pada
kecepatan kipas satu didapatkan perbedaan temperatur yang menurun dan
kemudian kembali meningkat. Idealnya suhu akan terus meningkat seiring
dengan peningkatan jarak. Kesalahan ini terjadi dikarenakan ketika saat
pengambilan data dengan menggunakan infrared thermometer,
thermometer tidak lurus dengan titik yang ada dan jarak antara

16
thermometer dengan spesimen tidak konstan pada pengambilan di setiap
titiknya.

4.4.2 Grafik Jarak terhadap Temperatur pada Set point 175 V

Temperatur vs Jarak pada Set Point 175 V


306

305
f(x) = 0.11 x² + 0.25 x + 301.04
304
f(x)
f(x) == 0.34
0.12 x²
x² −− 1.46
0.1 x x++301.04
302.64
303
Kecepatan Kipas 1
302 Polynomial
(Kecepatan Kipas 1)
Kecepatan Kipas 2
301
Polynomial
(Kecepatan Kipas 2)
300 Kecepatan Kipas 3
Polynomial
(Kecepatan Kipas 3)
299
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

Gambar 4.2 Grafik T vs Jarak pada set point 175 V


Pada grafik T=f(x) pada set point 175 volt Trendline grafik
kecepatan kipas 1 mengalami fluktuasi pada setiap titik pengujian.
Temperatur terendah berada pada titik 1 sebesar 301.3 K, sedangkan
temperatur tertinggi berada pada titik 5 sebesar 305 K. Trendline grafik
kecepatan 2 terlihat tidak stabil dikarenakan pada beberapa titik pengujian
terdapat temperature yang menurun. Temperatur terendah dari kecepatan
kipas 2 berada pada titik 1 dengan nilai 301,2 K, sedangkan temperatur
tertingginya terdapat pada titik 5 dengan nilai 304,1 K. Trendline grafik
kecepatan kipas 3 mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar seiring
bertambahnya jarak. Temperatur terendah terdapat pada titik 1 sebesar
301,1 K, sedangkan temperatur tertinggi terdapat pada titik 5 sebesar
303,5 K.
Secara garis besar, trendline grafik diatas sudah sesuai karena
memang seharusnya yang memiliki suhu tertinggi adalah titik 5, namun

17
seharusnya pertambahan panas tidak naik turun seperti pada kecepatan
kipas kedua. Selain itu , adapun hubungan tentang kecepatan kipas dan
temperatur hubungan dari beberapa formula yang berkaitan dengan
variable konveksi diantaranya adalah formula Nusselt number
hL
Nu = C . Ren .Prm =  
kf
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa kenaikan nilai h akan
berbanding lurus dengan kenaikan nilai Nu maupun nilai Re. Formula dari
Reynold Number mengandung variable kecepatan yang mana dapat
dikaitkan dengan nilai h. Formula Reynold Number yaitu:
ρvL
Re =
μ
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa Re berbanding lurus
dengan L dan juga V, semakin besar nilai L dan V maka nilai Re juga
semakin tinggi. Re berbanding lurus dengan Nu, semakin besar nilai Re
semakin besar juga nilai Nu. Nu berbanding lurus dengan h, semakin besar
nilai h maka nilai Nu juga semakin besar. Dan dapat dilihat pula hubungan
h, q dan ∆T melalui persamaan heat rate, yaitu:
q =   h A ∆T
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa apabila nilai h naik
maka nilai q akan naik. Pada q” yang konstan semakin tinggi h maka ∆T
akan semakin turun. Sehingga kecepatan kipas berbanding terbalik dengan
∆T, yaitu ketika kecepatan kipas (v) semakin tinggi maka ∆T akan
semakin turun. Dimana ∆ T =Tsurface−Tinfinity . Untuk T1 yang jaraknya
lebih dekat dengan kipas maka Ts lebih besar, begitu juga untuk T2, T3,
T4, T5 yang jaraknya semakin jauh dari kipas maka temperatur yang
diterima surface makin kecil. Hal ini sesuai dengan teori yang ada pada
grafik thermal boundary layer diatas, yang menyatakan bahwa Tsuface
berbanding terbalik dengan jarak(x).
Jadi berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, hasil dari
percobaan kecepatan kipas 1 dan 3 sudah sesuai dengan teori yang ada
tetapi kecepatan kipas 2 tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dapat
18
diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu dikarenakan ketika saat
pengambilan data dengan menggunakan infrared thermometer,
thermometer tidak lurus dengan titik yang ada dan jarak antara
thermometer dengan spesimen tidak konstan pada pengambilan di setiap
titiknya.

4.4.3 Grafik Jarak terhadap Temperatur pada Set point 200 V

Temperatur vs Jarak pada Set Point 200 V


306

305 f(x) = 0.21 x² − 0.35 x + 301.88

f(x) = 0.23 x² − 0.61 x + 301.9


304
f(x) = 0.14 x² − 0.18 x + 301.36
303
Kecepatan Kipas 1
302 Polynomial
(Kecepatan Kipas 1)
Kecepatan Kipas 2
301
Polynomial
(Kecepatan Kipas 2)
300 Kecepatan Kipas 3
Polynomial
(Kecepatan Kipas 3)
299
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5

Gambar 4.3 Grafik fungsi T terhadap jarak pada 200 V


Dari grafik di atas terlihat bahwa pada kecepatan kipas 3
mempunyai nilai rata-rata yang paling rendah dibanding dengan kecepatan
kipas 1 maupun kecepatan kipas 2. Kecepatan kipas 1 mempunyai nilai
temperatur terendah berada pada titik 1 sebesar 301.8 K, sedangkan
temperatur tertinggi berada pada titik 5 sebesar 305,3 K. Temperatur
terendah dari kecepatan kipas 2 berada pada titik 1 dengan nilai 301,6 C,
sedangkan temperatur tertingginya terdapat pada titik 5 dengan nilai 304,5
C. Temperatur terendah dari kecepatan kipas 3 terdapat pada titik 1
sebesar 301,2 C, sedangkan temperatur tertinggi terdapat pada titik 5
sebesar 304 C.

19
Kecepatan kipas pada praktikum berpengaruh terhadap nilai
Reynold Number, yaitu :
ρvL
Re =
μ
Sehingga ketika nilai V meningkat maka nilai Re juga meningkat
karena V dan Re berbanding lurus. Reynold number (Re) juga
berhubungan dengan Nusselt Number yang dinyatakan dengan persamaan
Nu= C . Ren .Prm
Dari persamaan di atas dapat dilihat hubungan Re dengan Nu
adalah berbanding lurus sehingga semakin besar nilai Nu, maka Re
semakin besar. Selain itu, Nusselt number juga dapat dituliskan dalam
persamaan:
hL
Nu =
kf
Dari persamaan di atas, terlihat bahwa nilai Nu berbanding lurus
dengan nilai h, sehingga apabila nilai Nu meningkat, maka nilai h juga
meningkat. Dari urutan penurunan rumus diatas, diperoleh hubungan
antara h dan v (kecepatan) dimana ketika nilai kecepatan (v) meningkat,
maka nilai h juga meningkat. Dari persamaan tersebut dapat diketahui pula
hubungan antara Koefisien Konveksi (h) dengan perubahan temperatur
(ΔT). Semakin besar nilai ΔT maka nilai h akan semakin kecil. Hubungan
antara Reynold number (Re) dan perubahan temperatur (ΔT) sesuai teori
adalah semakin tinggi kecepatan kipas, maka temperatur spesimen
semakin rendah. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecepatan kipas,
maka temperatur spesimen semakin tinggi.
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan hasil dari kecepatan
kipas kedua tidak sesuai dengan teori yang ada. Pada kecepatan kipas satu
dan kecepatan kipas tiga didapatkan hasil temperature yang meningkat
pada setiap titiknya. Kesalahan terjadi dikarenakan pada saat pengambilan
data dengan menggunakan infrared thermometer, thermometer tidak lurus
dengan titik yang ada dan jarak antara thermometer dengan spesimen tidak
konstan pada pengambilan di setiap titiknya.
20
4.4.4 Grafik h terhadap Voltase

h vs Tegangan
60000.00

40000.00

20000.00 Kecepatan Kipas 1

0.00 Kecepatan Kipas 2


140 150 160 170 180 190 200 210
Kecepatan Kipas 3
-20000.00

-40000.00

-60000.00

-80000.00

Gambar 4.4 Grafik voltase terhadap voltase


Berdasarkan gambar 4.4 di atas, kecepatan kipas 1 memiliki grafik
yang meningkat lalu menurun. Pada set point 150 volt , 175volt , 200 volt,
didapatkan h sebesar -57951,68 W/m2.K , 20527,07 W/ m2.K , 11476,64
W/ m2.K. Pada kecepatan kipas 2 memiliki grafik yang tidak stabil dan
dengan urutan set point 150 volt , 175volt , 200 volt, didapatkan h sebesar
15386,79 W/ m2.K , 9770,87 W/ m2.K , 12792,87 W/ m2.K. Pada
kecepatan kipas 3 memiliki grafik yang turun secara pesat dengan urutan
set point 150 volt , 175volt , 200 volt, didapatkan h sebesar 47990,66 W/
m2.K , 22123,17 W/ m2.K , 17098,14 W/ m2.K.
Berdasarkan persamaan q = V.I = h.A.T diperoleh hubungan
kesebandingan antara h dan v. Apabila nilai v meningkat maka nilai h juga
akan meningkat, atau dapat dikatakan jika nilai Voltase meningkat maka
panas yang dialirkan juga meningkat sehingga nilai koefisien konveksi
meningkat.
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan data yang tidak
sesuai dengan teori yang pada grafik 1 ,2, dan 3. Peningkatan voltase tidak

21
sebanding dengan peningkatan koefisien konveksi dikarenakan pada grafik
ketiganya terdapat penurunan terutama pada kecepatan kipas 3 yang
mengalami penurunan secara signifikan.

4.4.5 Grafik Kecepatan Kipas Terhadap Koefisien Konveksi

h vs Kecepatan
60000.00

40000.00

20000.00 Set Poin 150

0.00 Set Poin 175


0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Set Poin 200
-20000.00

-40000.00

-60000.00

-80000.00

Gambar 4.5 Grafik h terhadap kecepatan kipas 1, 2 dan 3


Berdasarkan gambar grafik 4.5, pada set point voltage 150 volt
grafiknya naik secara signifikan, dengan kecepatan kipas 1,2,3 didapatkan
h sebesar -57951,68 W/m2.K,  15389,79 W/ m2.K, dan 47990,66 W/ m2.K.
Pada set point voltage 175 volt yaitu grafiknya turun kemudian naik
dengan kecepatan kipas 1,2,3 didapatkan h sebesar 20527,07 W/ m2.K,
9770,87 W/ m2.K, 22123,17 W/ m2.K. Dan pada set point voltage 200 volt
grafiknya mengalami peningkatan dengan kecepatan kipas 1,2,3
didapatkan h sebesar 11476,64 W/ m2.K, 12792,87 W/ m2.K, 17098,14 W/
m2.K.
Kecepatan kipas berpengaruh terhadap nilai Reynold Number,
dimana hubungan kecepatan ( v ) dengan Reynold number ( Re ), yaitu Re
= vD/  . Sehingga ketika nilai v meningkat maka nilai Re juga meningkat.
Reynold number berhubungan dengan Nusselt number yang dinyatakan

22
dengan persamaan Nu = C . Ren .Prm = hL /Kf .Dari persamaan ini terlihat
bahwa nilai Nu berbanding lurus dengan nilai h, sehingga apabila nilai Nu
meningkat, maka nilai h juga meningkat. Selain itu, nilai h juga sebanding
dengan nilai Re. Karena Re sebanding dengan nilai v, maka nilai h juga
memiliki nilai kesebandingan dengan nilai v, sehingga saat kecepatan
udara meningkat maka nilai h juga meningkat pula.
Dari data hasil percobaan yang telah diperoleh, data pada voltase
150V dan 200V mengalami peningkatan pada semua kecepatan kipas
tetapi data pada voltase 175 V mengalami sedikit penurunan pada
kecepatan kipas 2. Maka dapat disimpulkan hasil percobaan yang di dapat
oleh kelompok kami ssesuai dengan teori terutama pada voltase 150 V dan
200 V.

23

Anda mungkin juga menyukai