Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

EPILEPSI AND PSYCHIATRIC DISORDER AND


HOW TO TREAT THE PATIENT’S

DISUSUN OLEH :
Fatimah Azzahra Alhabsyi
2016730037

DOKTER PEMBIMBING :
dr. Umie Faizah, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER
PERIODE 19 April - 14 Mei 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai kondisi yang diduga mempengaruhi area sistem limbik di otak
mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku. Salah satunya yaitu epilepsy,
terutama epilepsy lobus temporalis yang pusat kejangnya berada di bagian
medial lobus limbik.
Angka prevalensi epilepsy berkisar di antara 0,5 – 4% dengan rata-rata
sekitar 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada usia pertengahan, kemudian meningkat pada
kelompok usia lanjut. Diperkirakan jumlah penderita epilepsy baru di
Indonesia 250.000 per tahun.
Ada kalanya seseorang mengalami kejang tetapi bukan epilepsy. Sering di
katakana sebagai pseudoseizures. Disebut juga sebagai kejang nonepileptik,
atau sebagai gangguan serangan kejang nonepileptik atau kejang epileptik
palsu. Penelitian epidemiologi tentang insidens dan prevalensi terjadinya
psikopatologi di antara serangan kejang masih sedikit. Namun penelitian yang
ada memerlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri
di antara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsy.
Diperkirakan terdapat 20% - 30% penderita epilepsy mengalami psikopatologi
dalam suatu waktu, terutama ansietas dan depresi. Lifetime prevalensi
terjadinya episode psikotik berkisar antara 4% - 10%, dan meningkat menjadi
10% - 20% pada TLE.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan lepas muatan listrik di otak yang menyebabkan
penderita memiliki kecenderungan kejang-kejang secara berulang. Kejang adalah
gejala utama epilepsi. Penggolongan psikosis yang berkait dengan epilepsy
menjadi psikotik preiktal, iktal, postiktal dan interiktal sangat berguna secara
klinis tetapi tidak dapat membedakan secara jelas patofisiologi dari masing-
masing kondisi tersebut.
Secara umum perubahan perilaku yang berkaitan dengan epilepsy
diklasifikasikan menurut hubungannya dengan masa terjadinya kejang, sebagai
berikut:
1. Berhubungan dengan kejang:
- Peri ictal (termasuk aura dan prodromal)
- Per ictal (berhubungan dengan peningkatan kejang dan clusters)
- Forced normalization (berhubungan dengan hilangnya tanda-tanda
kejang)
- Post ictal (terjadinya penurunan kesadaran setelah kejang disertai EEG
yang kacau)

2. Interictal (di antara kejang):


- Schizophrenia-like psychosis
- Kondisi paranoid
- Gangguan afektif
- Kondisi ansietas
- Gangguan kepribadian

Penyebab utama kejang dapat dikelompokan menjadi:


1. Gangguan metabolik
- Hipoglikemia, hypomagnesemia, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, porfiria intermitten akut, gangguan asam amino.
2. Gangguan neurologis
- Tumor, trauma serebrovaskuler, degenerative dan stroke, penyakit
demyelinisasi (jarang), syndrome Struge-Weber, Sclerosis tuberkulosa.
3. Racun
- Timah, striknin
4. Trauma
- Trauma kepala
5. Infeksi
- Ensefalitis viral, AIDS, sitomegalovirus, toksoplasmosis, meningitis,
sistiserkosis, sifilis
6. Putus zat
- Alcohol, benzodiazepine, barbiturate
7. Defisiensi vitamin
- Piridoksin
8. Suhu tubuh
- Demam

Banyak penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan antara


munculnya gejala psikotik dengan fokus epilepsy di lobus temporal
mediobasal. Pada kondisi yang kronik, psikosis interictal menunjukkan
fenomenologis skizofrenia. Beberapa faktor risiko yang diduga adalah
kondisi epilepsy berat, intraktabel, epilepsy awitan muda, kejang umum
sekunder, problem penggunaan obat-obat antikonvulsan, dan lobektomi
temporal. Penelitian neuropatologi lain menemukan adanya disgenesis
kortikal atau kerusakan otak difus. Disimpulkan bahwa banyak
mekanisme yang mungkin menghubungkan epilepsy dengan psikosis
lir-skizofrenia. Contohnya abnormalitas struktur otak, seperti disgenesis
kortikal atau lesi otak difus mendasari kedua kondisi epilepsy dan
psikosis. Kejang-kejang memodifikasi munculnya psikosis dan
sebaliknya.1
2.2 Gangguan psikiatrik pada epilepsi

Perhatian terhaap psikosis post-ictal telah membuka peluang penting dalam usaha
memelajari timbulnya gejala psikosis pada penderita epilepsy. Psikosis adalah
gangguan psikiatrik spesifik yang paling jelas kaitannya dengan epilepsy.
Lifelong prevalence dari seluruh gangguan psikotik pada pasien epilepsy berkisar
antara 7 – 12%. Pada pengamatan 100 anak dengan kejang kompleks parsial
dalam periode lebih dari 30 tahun, dari 87 yang masih hidup sampai dewasa dan
tidak menderita retardasi mental, 9 (10%) mengalami gangguan psikotik.
Penelitian lobektomi temporal yaitu pengangkatan fokus epilepsinya, terjadi
psikosis pada 7 – 8% kasus, bahkan jauh setelah kejang – kejang berhenti. Hal ini
memerlihatkan bahw risiko terjadinya psikotik pada pasien epilepsy dua kali atau
lebih dibandingkan populasi umum, khususnya pasien yang fokus epilepsinya di
mediabasal lobus temporalis. Penelitian tentang lateralisasi fokus epilepsy
menduga adanya hubungan antara fokus di sisi kiri berkaitan dengan psikosis.

Perbedaan antara sindrom ictal dan interictal tidak selalu jelas. Pada beberapa
pasien terjadi keadaan psikotik post-ictal dalam waktu yang cukup lama dengan
kesadaran baik. Forced normalization yaitu kondisi pada pasien epilepsy
ditemukan gejala psikiatrik saat kejangnya terkontrol. Ini diduga terkait dengan
kejang yang kemungkinan interictal. Awalnya hanya dihubungkan dengan gejala
psikotik saja tetapi ternyata juga mencakup berbagai perubahan perilaku.
Pada gangguan kepribadian interictal dapat dijumpai gambaran sbb:
1. Hiperreligiosity; filosofis dan preokupasi mistik
2. Terdapat gangguan fungsi seksual (hiper atau hiposeksual)
3. Hipergrafia (kecenderungan menulis berlebihan dan kompulsif)
4. Iritabel
5. Viscocity (kelengketan pikiran, bradyphrenia)

Agresivitas bukan merupakan komponen spesifik untuk epilepsy. Lebih sering


pada yang mempunyai faktor risiko seperti penyakit neurologi, sosioekonomi
rendah yang mungkin terkait status gizi dan problem ketidakharmonisan keluarga.
Depresi sering ditemukan pada epilepsy, terutama pada interictal, umumnya
disertai disforia kronik dengan ansietas tinggi dan iritabel. Risiko bunuh diri
ditemukan lebih tinggi pada epilepsy dibandingkan populasi nonepilepsi, terutama
pada epilepsy lobus temporalis.

Psikosis juga sering ditemukan terutama gambaran paranoid dan schizophrenia –


like. Kondisi psikotik lebih banyak ditemukan pada epilepsy lobus temporalis
pada lokus di sisi kiri atau bilateral. Psikosis pada fase akut interictal biasanya
memiliki awitan akut, tetapi pada beberapa kasus juga bisa terjadi perlahan-lahan
selama frekuensi kejang berkurang. Biasanya dicetuskan oleh obat antikonvulsan
terutama benzodiazepine, berbiturat, ethosuximide, lamotrigine, vigabatrin.
Diagnosis banding dengan kondisi psikosis fungsional diterapkan dengan bukti
EEG.

Faktor risiko terjadinya psikosis pada epilepsy:


- Awitan usia muda (pubertas)
- Kejang berlanjut menahun, biasanya dalam waktu kira-kira 14 tahun
akan muncul psikosis
- Jenis kelamin perempuan lebih sering
- Tipe kejang parsial kompleks, automatisme
- Frekuensi kejang
- Lokasi fokus epilepsy (mesial temporal)
- Abnormalitas neurologic
- Gangliogliomas, hamartomas
- EEG, fokus di basal media

Terdapat kondisi yang disebut dengan forced normalization yaitu penderita


mengalami kejang psikotik pada saat kejang terkontrol dan justru gejala psikotik
menghilang bila terjadi kejang. Selain psikosis juga sering dijumpai depresi,
ansietas, agitasi, gangguan koversi, ADHD/GPPH (gangguan pemutusan
perhatian dan hiperaktivitas) pada anak-anak dan gangguan perilaku pada anak.
Gambaran Klinis

Kejang parsial sederhana berkepanjangan atau berulang tanpa perubahan


kesadaran atau abnormalitas EEG, dan bila manifestasi aura berupa gejala psikis,
mungkin sulit dibedakan dari gangguan psikiatrik primer. MMPI pasien epilepsy
menunjukkan skala skizofrenia dan skala paranoia yang lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan disabilitas yang lain.

Gejala-gejala psikotik periiktal sering kali memburuk dengan peningkatan


aktivitas kejang. Kadang-kadang dapat terjadi alternating psychosis yaitu bila
pasien mengalami kejang mereka bebas dari gejala psikotik, tetapi bila mereka
bebas kejang dan EEGnya forced atau peredoxical normalization mereka
menunjukan gejala psikotik. Pola alternating ini sangat jarang dibandingkan
dengan peningkatan munculnya perilaku psikotik pada peningkatan aktivitas
kejang. Kondisi psikiatrik yang penting diperhatikan terdiri atas episode psikotik
singkat mengikuti cluster kejang tonik-klonik. Kondisi ini mereda secara spontan
atau setelah mendapat terapi antispikotik dosis rendah. Psikotik interictal sangat
mirip dengan gangguan skizofrenia yang dengan mudah dapat dikenal yaitu
dengan adanya gejala waham dan halusinasi. Hal hal penting yang membedakan
kondisi ini adalah perjalanannya yang kronik, terdapat remisi dan kambuhan
dalam perjalanannya, dan kondisi psikotik tidak berkait dengan aktivitas iktal.
Gejala psikotik muncul dalam kesadaran yang jernih.

Psikosis lir-skizofrenia pada epilepsi, perlu dibedakan dari skizofrenia dan


gambaran yang dapat membedakannya adalah:
1. Tidak ada riwayat psikosis dalam keluarga
2. Kepribadian premorbid normal
3. Gambaran klinis mirip skizofrenia, tetapi:
- Kepribadian lebih konservatif
- Kontak psikis lebih baik
- Gambaran paranoid lebih dominan
Prognosis dan Terapi

Kebanyakan pasien dengan epilepsy memiliki prognosis yang baik bila kejang
dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebgaian besar pasien tidak mengalami
gangguan psikiatrik dan hanya terjadi bila mengalami kejang-kejang yang tidak
terkontrol dalam jangka Panjang / bertahun-tehun. Untuk yang mengalami
masalah perilaku, obat anti konvulsan atau operasi mungkin dapat mengatasi
beberapa gejala seperti agitas, tetapi mungkin tidak dapat mencegah munculnya
gejala lain seperti psikosis dan perilaku suicidal.

Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvulsan. Walaupin


memiliki efek antikejang juga diduga memiliki efektivitas sebagai psikotropik.
Carbamazepine dan valproate memiliki kemampuan antimanic dan mood
stabilizer.

Belakangan beberapa obat-obatan beru diperkenalkan termasuk vigabatrin,


felbamate, lamotrigine dan gabapentin. Cara kerja antikonvulsan diduga pada
reseptor GABA.

Dalam pengobatan pasien epilepsy dengan gangguan psikiatrik, hal pertama yang
perlu dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat antikonvulsan, seperti
carbamazepine, asam valproate, gabapentin dan lamotrigine. Hal ke dua yang
perlu diperhatikan adalah obat-obat antipsikotik yang menurunkan ambang
kejang. Ini biasanya tidak jadi masalah tapi kadang-kadang bermakna secara klinis
pada pasien epilepsy yang tidak terkontrol. Hal ke tiga yang perlu disadari adalah
potensi terjadinya interaksi antara antikonvulsan dan antipsikotik. Biasnaya obat
antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan akibat penurunana
efek terapinya. Sebaliknya, penghentian obat antikonvulsan dapat mencetuskan
peningkatam pada konsentrasi antipsikotik. Awal pemberian antipsikotik
mengakibatkan inhibisi kompetitif dari metabolisme inhibisi kompetitif dari
metabolisme antikonvulsan yang berakibat elevasi kadar antikonvulsan dan dapat
menjadi toksik. Obat-obat antikonvulsan yang baru memiliki potensi interaksi
yang lebih kecil. Gabapentin, lamotrigine, vigabatrin dan tiagabine relatif bebas
dari enzim yang menginduksi atau menginhibisi.
Terapi lain dengan cara operasi mendapatkan bahwa lebih dari 80% penderita
epilepsy yang menjalani operasi temporolobektomi mengalami penurunan
frekuensi kejang dan 50% nya bebas kejang selamanya. Pasien epilepsi dengan
psikosis mungkin akan terus menjadi psikosis, perubahan kepribadian, dan
perilaku siusidal bahkan lama setelah lobektomi. Pasien dengan gejala psikotik
sebelum operasi berisiko tinggi menjadi psikosis pasca operasi dan hasil akhir
yang buruk.
Penggunaan kombinasi yang mengakibatkan interaksi antara antikonvulsan
dengan antipsikotik penting diperhatikan. Beberapa obat-obat antipsikotik yang
berefek menurunkan ambang kejang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Potensi Nama obat antipsikotik

Tinggi Clozapine

Khlorpromazine

Moderate Golongan piperazine

Thiothixene

Rendah Flufenazine

Haloperidol

Loxapine

DAFTAR PUSTAKA
1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-3.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

Anda mungkin juga menyukai