Anda di halaman 1dari 24

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Diskriptif Karakteristik Individu Responden

6.1.1 Usia responden

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

usia responden paling muda adalah 26 tahun dan usia responden paling tua adalah

57 tahun. Usia terbanyak pada rentan 36 – 49 tahun yang berjumlah 57 orang

(57%), sedangkan kelompok usia terendah pada rentan ≤ 35 tahun yang berjumlah

16 orang (16%).

Kelompok usia tertentu (tua atau muda) tidak memiliki perbedaan

terhadap perilaku buang air besar sembarangan. Secara umum proses perubahan

perilaku buang air besar sembarangan menjadi buang air besar di jamban tidak

diprioritaskan pada kelompok usia tertentu, namun pada seluruh masyarakat.

6.1.2 Tingkat pendidikan responden

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan sedang yaitu pendidikan

tamat SMP/tamat SMA/SMK berjumlah 47 orang (47%). Jumlah responden

paling sedikit pada tingkat pendidikan tinggi yaitu pendidikan tingkat

akademi/perguruan tinggi berjumlah 10 orang (10%).

Faktor pendidikan berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam

menerima dan menolak suatu perubahan yang dirasakan baru. Masyarakat dengan

pendidikan tinggi memiliki kecenderungan lebih mudah menerima inovasi dan

84
SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
85

mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam menjangkau sumber informasi.

Cara pendidikan dapat dilakukan secara formal maupun tidak formal untuk

memberi pengertian dan mengubah perilaku seseorang.

Tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku masyarakat

yang tidak sehat menjadi sehat. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan anggapan

bahwa manusia selalu dapat belajar/berubah, karena manusia selama hidupnya

selalu berubah untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Slamet,

2002).

6.1.3 Status ekonomi responden

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki status ekonomi pada tingkat penghasilan ≤

UMK sebesar Rp 1.150.000,00 yaitu berjumlah 69 orang (69%), sedangkan

responden dengan status ekonomi pada tingkat penghasilan ≥ UMK sebesar Rp

1.150.000,00 berjumlah 31 orang (31%).

Indikator status ekonomi seseorang dapat dilihat dari tingkat penghasilan,

yang mana berhubungan juga dengan lokasi tempat tinggal dan kebiasaan hidup

keluarga. Masyarakat dengan penghasilan rendah akan kesulitan dalam

mencukupi kebutuhan keluarga, selain itu akan mempengaruhi kemampuan suatu

keluarga dalam menyediakan fasilitas sanitasi salah satunya jamban.

6.1.4 Jumlah anggota keluarga responden

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar

responden memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 3orang yaitu sebanyak 58 orang

(58%), sedangkan paling sedikit memiliki jumlah anggota keluarga ≥ 6 orang

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
86

yaitu sebanyak 6 orang (6%). Sebagian besar keluarga responden terdiri dari ayah,

ibu dan anak.

Jumlah anggota rumah tangga memiliki hubungan dengan kebutuhan

kapasitas fasilitas sanitasi. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka

semakin besar pula kapasitas yang dibutuhkan, seperti kebutuhan fasilitas buang

air besar. Setiap rumah tangga setidaknya terdapat satu fasilitas jamban sehat

sehingga mencegah anggota keluarga untuk berperilaku buang air besar

sembarangan.

Secara umum diketahui bahwa balita merupakan segmen populasi yang

paling rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan air (water borne

disease), kebersihan diri dan lingkungan. Rumah tangga yang memiliki balita

akan memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah sanitasi dibandingkan rumah

tangga yang tidak memiliki balita (Dinkes Kabupaten Ponorogo, 2013).

6.1.5 Pengetahuan responden tentang BAB di jamban

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang BAB

di jamban yaitu sebanyak 59 orang (59%). Jumlah paling sedikit pada responden

dengan tingkat pengetahuan yang kurang tentang BAB di jamban yaitu sebanyak

4 orang (4%).

Menurut Notoatmodjo (2007), tingkat pengetahuan dapat dilihat dari

beberapa tingkatan yaitu tahu, memahami, kemampuan mengaplikasikan,

menganalisis, mensintesis hingga mampu mengevaluasi terhadap obyek yang

dipelajari. Pengetahuan yang bersifat kognitif merupakan domain yang sangat

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
87

penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang disadari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng, jika dibandingkan perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan.

Responden mengetahui bahwa kebiasaan BAB di jamban adalah benar

tetapi tingkat pengetahuan responden belum diimbangi dengan perilaku kesehatan

dan sanitasi jamban sehat. Tindakan yang dilakukan masih BAB di area terbuka.

Secara mendasar dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan kesadaran kesehatan

masyarakat tentang cara BAB tanpa menyadari risiko yang akan terjadi jika

dilakukan di sembarang tempat. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan

tindakan seseorang, dalam hal ini pengetahuan tentang BAB di jamban akan

mempengaruhi perilaku buang air besar sembarangan.

6.1.6 Sikap responden tentang BAB di jamban

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden memiliki tingkat sikap yang cukup tentang BAB di

jamban yaitu sebanyak 70 orang (70%). Responden pada tingkat sikap yang cukup

sudah mampu menerima dan merespon tentang BAB di jamban namun belum

secara maksimal, sehingga perubahan perilaku BAB di area terbuka menjadi BAB

di jamban masih perlu ditingkatkan kembali. Jumlah paling sedikit pada

responden dengan tingkat sikap yang baik tentang BAB di jamban yaitu sebanyak

30 responden (30%) dan tidak ada jumlah responden yang menunjukkan tingkat

sikap yang kurang tentang BAB di jamban. Responden pada tingkat sikap yang

baik sudah mampu bertanggung jawab dan sadar akan perilaku hidup bersih dan

sehat terhadap dirinya sendiri sehingga sudah berperilaku BAB di jamban.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
88

Tingkat sikap yang cukup ditunjukkan dengan masih ditemukannya tempat

pembuangan tinja yang belum memadai. Lokasi pembuangan tinja tersebut

terletak dibelakang rumah dengan bangunan yang belum permanen tanpa

dilengkapi dengan jumlah air yang cukup, sabun, penerangan yang kurang dan

lantai yang tidak kedap air. Selain itu masyarakat berpendapat bahwa BAB di

sungai merupakan hal yang wajar tanpa ada larangan. Sebagian masyarakat masih

berpendapat bahwa jamban sehat membutuhkan biaya mahal.

6.2 Diskriptif Lingkungan Sosial

6.2.1 Dukungan sosial

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden merasa kurang mendapatkan dukungan sosial yaitu

berjumlah 79 orang (79%). Responden pernah mendapat dukungan sosial seperti

nasehat/teguran dari masyarakat maupun aparat desa terkait perilaku buang air

besar sembarangan. Jumlah paling sedikit pada responden adalah tidak pernah

mendapatkan dukungan sosial yaitu berjumlah 9 orang (9%). Dukungan sosial

yang kurang menjadikan masyarakat kurang peduli terhadap pemanfaatan jamban

sehat dan masih berperilaku buang air besar sembarangan.

Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, tetangga, tokoh masyarakat

atau aparat desa maupun petugas kesehatan. Peran dari kelompok masyarakat

seperti karang taruna, perkumpulan pemuda, PKK, LSM maupun paguyuban seni

dapat dilibatkan dalam mensosialisasikan jamban sehat dan melakukan

penyadaran perilaku kesehatan masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial. Peran

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
89

pemuda dianggap memiliki pengaruh lebih kuat, cara pikir modern dan mudah

bekerjasama. Begitu pula dengan kelompok masyarakat lainnya seperti karang

taruna dan LSM yang fokus pada kesehatan masyarakat.

Menurut Hayati (2012), Masyarakat merupakan faktor penentu dalam

mensukseskan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

Diperlukannya keterlibatan aktif dalam proses program STBM mulai

perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi program, seperti

keterlibatan warga mau membangun WC, mau menggunakan WC dan mau

menjaga kebersihan WC.

6.2.2 Sanksi sosial

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden merasa tidak pernah ada larangan maupun sanksi yang

diberikan terkait perilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 89 orang

(89%). Jumlah paling sedikit pada responden dengan sanksi sosial yang kurang

yaitu berjumlah 11 orang (11%). Adanya larangan maupun sanksi yang diberikan

terkait perilaku buang air besar sembarangan tetapi larangan dan sanksi tersebut

tidak dijalankan dengan baik sehingga di rasa kurang oleh responden.

Suksesnya program tidak lepas dari penerapan hukum (norma) baik

tertulis maupun tidak tertulis. Norma sosial lebih banyak menitik beratkan

fungsinya sebagai peraturan yang disertai sanksi. Norma tersebut pada masyarakat

biasanya dinyatakan dalam bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat

ataupun hukum adat. Pada awalnya, norma terbentuk secara tidak sengaja, setelah

dalam proses sosial yang relatif lama, muncul berbagai aturan yang kemudian

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
90

diakui bersama secara sadar. Secara sosiologis, norma sosial merupakan rangkaian

peraturan umum, baik tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tingkah laku, baik

buruk, pantas atau tidak pantas menurut penilaian sebagian besar masyarakat.

Dalam kehidupan keseharian norma sosial berfungsi sebagai alat kendali terhadap

perilaku masyarakat agar tetap memihak pada peraturan atau kaidah hukum yang

berlaku (Hayati, 2012).

Kurangnya peraturan menjadikan masyarakat bebas berperilaku termasuk

buang air besar sembarangan. Selain itu kurangnya kesadaran menjadi salah satu

faktor pendukung dalam diri masyarakat. Menurut Slamet (2002), bahwa

pendekatan administratif dapat dilakukan dengan membuat peraturan beserta

sanksinya. Cara ini akan memberikan hasil yang cepat, tetapi perlu dilakukan

pengawasan secara berkelanjutan, karena masyarakat tidak mengerti mengapa

mereka harus mengikuti peraturan dan merubah perilaku.

6.2.3 Pembinaan petugas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden pernah mendapatkan pembinaan petugas dari tenaga

kesehatan maupun aparat desa di lingkungan tempat tinggal terkait penyuluhan

jamban sehat maupun masalah kesehatan lingkungan, tetapi kegiatan tersebut

jarang dilakukan sehingga pembinaan petugas di rasa kurang yaitu berjumlah 78

orang (78%). Jumlah paling sedikit pada responden yaitu sering mendapatkan

pembinaan petugas berjumlah 9 orang (9%). Kurangnya pembinaan petugas

membuat masyarakat kurang memahami pentingnya perilaku buang air besar di

jamban, selain itu kurangnya informasi terkait jamban sehat.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
91

Menurut Darmawan (2010), tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk

merubah perilaku individu maupun masyarakat dalam bidang kesehatan. Kunci

keberhasilan dari penyuluhan kesehatan adalah sejauh mana kemampuan si

penyuluh (komunikator) mampu melakukan komunikasi secara efektif terhadap

sasaran (komunikan), karena komunikasi merupakan proses tercapainya kesamaan

pengertian antara individu yang bertindak sebagai sumber dengan individu yang

bertindak sebagai pendengar.

6.3 Analisis Perilaku Buang Air Besar (BAB) Sembarangan

Praktik buang air besar di area terbuka adalah salah satu faktor risiko bagi

turunnya status kesehatan masyarakat. Selain mencemari tanah juga dapat

mencemari sumber air bersih di lingkungan tempat tinggal. Praktik buang air

besar yang tidak aman juga mempengaruhi status kesehatan masyarakat, seperti

sarana penampungan dan pengolahan tinja yang tidak memadai, tempat yang tidak

kedap air dan jarak ≤ 10 meter dengan sumber air.

Buang air besar merupakan bagian yang penting dari ilmu perilaku dan

kesehatan masyarakat. Pembuangan tinja yang memenuhi syarat merupakan suatu

kebutuhan kesehatan masyarakat dan menjadi bermasalah karena adanya perilaku

buang air besar yang tidak sehat seperti BAB di sungai, pekarangan, saluran

irigasi sawah maupun area terbuka lainnya. Tempat ini merupakan tempat yang

tidak layak dan tidak sehat untuk buang air besar karena dapat menimbulkan

masalah baru yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
92

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden berperilaku buang air besar sembarangan yaitu

berjumlah 55 orang (55%). Perilaku BAB sembarangan sebagian besar di sungai.

Sedangkan berjumlah 45 orang (45%) tidak berperilaku buang air besar

sembarangan. Selain itu tidak ditemukannya fasilitas jamban umum di area

pemukiman warga.

Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku buang air

besar sembarangan, diantaranya faktor sosial ekonomi dan kebiasaan. Kondisi

ekonomi masyarakat yang miskin membuat mereka berperilaku BAB

sembarangan di area terbuka dan cara BAB seperti ini menjadikan masyarakat

tidak perlu membuat WC atau jamban. Perubahan perilaku BAB ini tidak mudah,

seseorang yang terbiasa BAB di sungai dengan kakinya terendam air dan terasa

nyaman kemudian harus merubah kebiasaan BAB di jamban akan menjadi sesuatu

hal yang tidak mudah. Dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah perilaku

tersebut. Mengubah perilaku masyarakat dari BAB sembarangan menjadi BAB di

jamban harus dilakukan secara berkelanjutan, yang mana sebagian masyarakat

menganggap BAB di sungai lebih praktis (Sholikhah, 2014).

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
93

6.4 Analisis Hubungan Karakteristik Individu terhadap Perilaku Buang Air

Besar (BAB) Sembarangan

6.4.1 Analisis hubungan usia terhadap perilaku buang air besar

sembarangan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden pada kelompok usia 36 – 49 tahun berperilaku buang air

besar sembarangan, yaitu berjumlah 31 orang (54,4%). Selain itu sebagian besar

responden tidak berperilaku buang air besar sembarangan pada kelompok usia 36

– 49 tahun yaitu berjumlah 26 orang (45,6%). Hasil uji statistik pada faktor usia

responden menunjukkan hubungan secara signifikan dengan perilaku buang air

besar sembarangan.

Perilaku membuang kotoran di sembarang tempat adalah perilaku salah

dan tidak sehat yang seharusnya sudah dapat diketahui dan diajarkan kepada

seseorang sejak bayi dan anak. Masa usia pertengahan (40 – 60 tahun)

bertanggung jawab penuh secara sosial dan sebagai warga negara serta membantu

anak dan remaja belajar menjadi dewasa, sehingga seseorang mengetahui mana

yang benar dan mana yang salah yang akan mewujudkan perilaku yang sehat.

Selain hal tersebut pada usia pertengahan diiringi dengan menurunnya kondisi

fisik dan psikologis, akan tetapi pada beberapa orang terjadi kegagalan

penguasaan tugas perkembangan karena berbagai faktor. Faktor yang

mempengaruhi terjadinya gangguan kematangan perkembangan adalah tidak

adanya kesempatan belajar, tidak adanya bimbingan, tidak adanya motivasi,

kesehatan yang memburuk dan tingkat kecerdasan yang rendah (Hurlock, 1980).

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94

Kelompok usia tertentu (tua atau muda) tidak memiliki perbedaan

terhadap perilaku buang air besar sembarangan. Maka secara umum proses

perubahan perilaku buang air besar sembarangan menjadi buang air besar di

jamban tidak diprioritaskan pada kelompok usia tertentu, namun pada seluruh

masyarakat.

6.4.2 Analisis hubungan tingkat pendidikan terhadap perilaku buang air

besar sembaranagan

Menurut Murwati (2012), tingkat pendidikan dapat mempermudah

terjadinya perubahan perilaku. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka

semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi baru yang bersifat

membangun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan rendah yaitu tidak

tamat SD/tamat SD berperilaku buang air besar sembarangan berjumlah 35 orang

(81,4%). Responden dengan tingkat pendidikan sedang yaitu tamat SMP/tamat

SMA/SMK tidak berperilaku buang air besar sembarangan sebesar 27 orang

(57,4%). Hasil uji statistik pada faktor tingkat pendidikan menunjukkan hubungan

secara signifikan dengan perilaku buang air besar sembarangan.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan

rendah cenderung berperilaku buang air besar sembarangan dibandingkan dengan

tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang

tinggi akan lebih mengerti dan lebih cepat dalam penerimaan informasi mengenai

perilaku buang air besar yang aman dan sehat.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
95

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Widowati

(2015), bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku buang air besar

sembarangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka pengetahuannya akan

semakin luas sehingga mempunyai kesadaran terhadap pembangunan dan

pemeliharaan sarana kesehatan lingkungan semakin tinggi, hal ini didukung

dengan adanya perilaku BAB di jamban sehat yang berarti tingkat kepemilikan

jamban sehat di masyarakat juga akan semakin tinggi.

6.4.3 Analisis hubungan status ekonomi terhadap perilaku buang air besar

sembarangan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden pada status ekonomi dengan penghasilan ≤ UMK (Rp

1.150.000,00) cenderung berperilaku buang air besar sembarangan yaitu

berjumlah 54 orang (78,3%), sedangkan responden pada status ekonomi dengan

penghasilan ≥ UMK (Rp 1.150.000,00) cenderung tidak berperilaku buang air

besar sembarangan yaitu berjumlah 30 orang (96,8%). Sebagian besar responden

adalah pedagang, petani, mengurus rumah tangga dan beberapa responden bekerja

sebagai kayawan maupun pegawai negeri sehingga memiliki tingkat penghasilan

yang berbeda. Hasil uji statistik pada faktor status ekonomi menunjukkan

hubungan secara signifikan dengan perilaku buang air besar sembarangan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Triyono (2014),

bahwa ada hubungan antara penghasilan keluarga terhadap perilaku buang air

besar sembarangan (50,7%). Semakin tinggi penghasilan keluarga maka memiliki

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
96

kemampuan dalam penyediaan fasilitas sanitasi jamban sehat di keluarga,

sehingga perilaku buang air besar sembarangan semakin rendah.

6.4.4 Analisis hubungan jumlah anggota keluarga terhadap perilaku buang

air besar sembarangan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden dengan jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang cenderung

berperilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 32 orang (55,2%), selain

itu pada responden dengan jumlah anggota keluarga ≤ 3 orang cenderung tidak

berperilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 26 orang (44,8%). Hasil

uji statistik pada faktor jumlah anggota keluarga menunjukkan tidak ada hubungan

secara signifikan dengan perilaku buang air besar sembarangan.

Jumlah anggota keluarga berhubungan dengan kebutuhan kapasitas

fasilitas sanitasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin besar

pula kapasitas yang dibutuhkan. Dalam satu rumah tangga setidaknya memiliki

kapasitas satu jamban sehat, hal ini merupakan upaya pencegahan anggota

keluarga berperilaku buang air besar sembarangan. Balita merupakan segmen

populasi yang paling rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan air

(water borne disease), kebersihan diri dan lingkungan. Rumah tangga yang

memiliki balita akan memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah sanitasi

dibandingkan rumah tangga yang tidak memiliki balita (Dinkes Kabupaten

Ponorogo, 2013).

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
97

6.4.5 Analisis hubungan pengetahuan tentang BAB di jamban terhadap

perilaku buang air besar sembarangan

Menurut Notoatmodjo (2011), bahwa pengetahuan adalah hasil tahu yang

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan dianggap sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang,

pengetahuan sebagai komponen perilaku sangat menentukan masyarakat dalam

menciptakan suatu pola hidup. Apabila pengetahuan yang terbentuk merupakan

pengetahuan yang cukup terhadap kesehatan maka hal tersebut tercermin pada

pola hidup masyarakat.

Tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan penting

dalam hal penyediaan fasilitas jamban keluarga untuk mencegah perilaku buang

air besar sembarangan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada tingkat pengetahuan cukup

tentang BAB di jamban, cenderung berperilaku buang air besar sembarangan

yaitu berjumlah 37 orang (62,7%). Responden pada tingkat pengetahuan baik

tentang BAB di jamban menunjukkan cenderung tidak berperilaku buang air besar

sembarangan yaitu berjumlah 23 orang (62,2%). Hasil uji statistik pada tingkat

pengetahuan menunjukkan ada hubungan secara signifikan dengan perilaku buang

air besar sembarangan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wea (2011),

bahwa tingkat pengetahuan yang kurang berhubungan dengan praktik penggunaan

jamban yang rendah, yang mana tingkat perilaku buang air besar sembarangan

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
98

masih tinggi. Selain itu pada penelitian Pane (2009), menjelaskan bahwa ada

hubungan yang bermakna pengetahuan tentang jamban dengan perilaku keluarga

dalam penggunaan jamban.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam terbentuknya

tindakan seseorang. Perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih

langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,

2007).

6.4.6 Analisis hubungan sikap tentang BAB di jamban terhadap perilaku

buang air besar sembarangan

Sikap merupakan suatu reaksi atau respon terhadap suatu obyek dan sikap

masih merupakan reaksi tertutup. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

masyarakat berada pada tingkat sikap yang cukup terkait BAB di jamban.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden pada tingkat sikap cukup memiliki kecenderungan

berperilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 41 orang (58,6%).

Sedangkan responden pada tingkat sikap yang cukup pula, menunjukkan bahwa

responden cenderung tidak berperilaku buang air besar sembarangan yaitu

berjumlah 29 orang (41,4%). Tingkat sikap yang cukup dilihat dari adanya

responden yang mampu menerima dan merespon terkait BAB di jamban namun

belum secara maksimal, sehingga masih ditemukan responden yang berperilaku

BAB sembarangan. Hasil uji statistik pada tingkat sikap menunjukkan tidak ada

hubungan secara signifikan dengan perilaku buang air besar sembarangan.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
99

Sikap positif masyarakat terhadap masalah kesehatan sangat besar

pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat dalam perilaku buang air besar. Sikap

yang positif akan mendorong terwujudnya suatu tindakan dan praktik berupa

respon terhadap munculnya suatu inisiatif untuk BAB di jamban.

6.4.7 Analisis multivariat hubungan karakteristik individu terhadap

perilaku buang air besar sembarangan

Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani,

unsur raga dan jiwa, unsur fisik dan psikis. Seorang individu adalah perpaduan

antara faktor genotif dan fenotif. Faktor genotif adalah faktor yang dibawa

individu sejak lahir yang disebut faktor keturunan. Seseorang dengan ciri fisik dan

karakter atau sifat yang dibawa sejak lahir maka seseorang tersebut juga memiliki

ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan (Setiadi

et al., 2013).

Berdasarkan hasil uji, yaitu diketahuinya hubungan secara signifikan

antara variabel karakteristik individu terhadap variabel perilaku buang air besar

sembarangan. Hubungan secara signifikan tersebut diantaranya adalah pada faktor

usia, pendidikan, status ekonomi dan pengetahuan sehingga dapat dilanjutkan ke

analisis multivariat regresi linier berganda.

Analisis multivariat regresi linier berganda menunjukkan bahwa status

ekonomi ada hubungan secara signifikan dengan perilaku buang air besar

sembarangan. Responden pada status ekonomi dengan penghasilan ≤ UMK akan

memiliki peluang lebih tinggi berperilaku buang air besar sembarangan

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
100

dibandingkan dengan responden pada status ekonomi dengan penghasilan ≥

UMK.

Status ekonomi penduduk mempengaruhi jenis pekerjaan, secara umum

jenis pekerjaan seseorang mewakili status sosial. Ekonomi merupakan alat ukur

tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, karena ekonomi merupakan indikator

penentu perilaku dalam pemenuhan kebutuhan termasuk penyediaan jamban sehat

di keluarga untuk mencegah perilaku buang air besar sembarangan dalam

keluarga.

6.5 Analisis Hubungan Lingkungan Sosial terhadap Perilaku Buang Air

Besar (BAB) Sembarangan

6.5.1 Analisis hubungan dukungan sosial terhadap perilaku buang air

besar sembarangan

Menurut Pane (2009), bahwa dukungan sosial meningkatkan 2,7 kali

masyarakat untuk berperilaku buang air besar di jamban. Perubahan perilaku

menjadi lebih baik tidak hanya berhasil karena interkasi petugas kesehatan dengan

masyarakat tetapi yang utamanya adalah interaksi sosial antar masyarakat yang

berkaitan dengan perubahan perilaku buang air besar sembarangan menjadi buang

air besar di jamban, yang pada akhirnya akan mempercepat perubahan perilaku

tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Riyadi (2004), bahwa

dari proses interaksi sosial yang ada di masyarakat inilah kemudian lahir nilai

yang menjadi budaya di dalam masyarakat tersebut.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
101

Menurut Loughlin (2006), bahwa penelitian di Amhara Ethiopia

menyebutkan partisipasi dalam pendidikaan kesehatan berpengaruh terhadap

kepemilikan dan penggunaan jamban. Sedangkan menurut Mukherjee (2011),

bahwa keberhasilan menjadi daerah bebas BAB sembarangan adanya kesadaran

masyarakat untuk membangun jamban sendiri dengan bentuk gotong royong,

adanya natural leader dan pemicuan yang melibatkan semua unsur masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden kurang mendapatkan dukungan sosial berupa teguran

maupun nasehat dari masyarakat dan aparat desa sehingga masih ditemukan

perilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 42 orang (53,2%). Selain

itu pada dukungan sosial kurang, terdapat 37 orang (46,8%) tidak berperilaku

buang air besar sembarangan. Hasil uji statistik pada dukungan sosial

menunjukkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan perilaku buang air

besar sembarangan.

Perubahan perilaku memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga

dukungan untuk berubah perlu diberikan untuk jangka panjang pula. Perubahan

perilaku dapat dipermudah apabila perubahan itu tidak bertentangan dengan

kepercayaan, sumber dana tersedia, tidak mengubah prioritas penggunaan dana

oleh masyarakat, banyak yang ikut berubah dan perubahan menyelesaikan

permasalahan masyarakat (Slamet, 2002).

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
102

6.5.2 Analisis hubungan sanksi sosial terhadap perilaku buang air besar

sembarangan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden cenderung berperilaku buang air besar sembarangan

karena tidak pernah adanya sanksi sosial di lingkungan tempat tinggal yaitu

berjumlah 48 orang (53,9%). Selain itu tidak pernah adanya sanksi sosial di

lingkungan tempat tinggal menunjukkan bahwa 41 orang (46,1%) cenderung tidak

berperilaku buang air besar sembarangan. Selain itu tidak ditemukannya slogan

maupun peraturan tertulis tentang larangan BAB sembarangan. Hasil uji statistik

pada tingkat sikap menunjukkan tidak ada hubungan secara signifikan dengan

perilaku buang air besar sembarangan.

Menurut Mikherjee (2011), bahwa tidak adanya sangsi sosial di

masyarakat menjadi salah satu faktor kegagalan suatu daerah untuk menjadi

daerah bebas BABS serta didukung kurangnya monitoring pasca pemicuan CLTS.

Selain itu Amalia (2014) juga menjelaskan bahwa tidak adanya aturan tentang

larangan untuk BAB di sungai menjadikan seseorang lebih leluasa dalam melakukan

praktik perilaku BAB di sungai. Adanya kebiasaan sesama tetangga untuk saling

mengawasi dan saling mengingatkan agar tetap menggunakan jamban/WC dan

tidak kembali pada tempat dan kebiassan BAB di area terbuka. Kebiasaan ini

dapat dilakukan melalui lisan saat saling sapa di jalan maupun di depan rumah.

Pengawasan informal lebih berkesan baik bagi warga yang diingatkan dan akan

merasa dihormati.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
103

6.5.3 Analisis hubungan pembinaan petugas terhadap perilaku buang air

besar sembarangan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden pernah mendapatkan pembinaan petugas dari tenaga

kesehatan maupun aparat desa di lingkungan tempat tinggal terkait penyuluhan

jamban sehat maupun masalah kesehatan lingkungan, tetapi kegiatan tersebut

jarang dilakukan sehingga pembinaan petugas di rasa kurang dan masih terdapat

responden berperilaku buang air besar sembarangan yaitu berjumlah 43 orang

(55,1%). Selain itu kurang mendapat pembinaan petugas menunjukkan bahwa 35

orng (44,9%) tidak berperilaku buang air besar sembarangan. Hasil uji statistik

pada pembinaan petugas menunjukkan tidak ada hubungan secara signifikan

dengan perilaku buang air besar sembarangan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Meiridhawati (2012), bahwa

persentase responden yang memberikan dukungan kurang sebesar 47,1%

dibandingkan pada dukungan yang baik sebesar 43,8%, dari hasil uji statistik

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan petugas

kesehatan dengan pemanfaatan jamban.

Untuk dapat memulai suatu kegiatan kesehatan, petugas kesehatan dapat

menentukan cara pendekatan pada masyarakat yang terbaik, sehingga kegiatan

yang dilakukan bisa mendapat dukungan dari masyarakat. Diperlukan data tentang

keadaan kependudukan, keadaan sosial-ekonomi, taraf pendidikan, kebiasaan,

kepercayaan, media massa yang tersedia, tokoh masyarakat yang ada dan tempat

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
104

yang dapat digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan masyarakat

(Slamet, 2002).

Proses perubahan perilaku menjadi lebih baik dapat dilakukan dengan

pendidikan ataupun penyuluhan. Penyuluhan sering kali dilakukan hanya dengan

memberi ceramah. Hal ini mungkin dapat diterima atau berhasil, bila yang

mendapat penyuluhan adalah mereka yang telah berpendidikan dan mudah

disadarkan akan permasalahan yang dihadapi. Apabila yang dihadapi adalah

masyarakat dalam taraf tradisional maka ceramah saja tidak cukup sehingga tahap

pertama yang perlu dilakukan adalah penyadaran masyarakat akan permasalahan

ataupun kebutuhan yang mereka hadapi. Seringkali masyarakat tidak menyadari

apa yang dibutuhkannya, kesadaran bisa di dapat apabila masyarakat terlibat

dalam suatu kegiatan yang membawa mereka kepada kebutuhan tadi. Perubahan

perilaku dapat terjadi secara alamiah ataupun direncanakan. Pada hakekatnya

manusia terus berubah karena harus beradaptasi terhadap lingkungan yang selalu

berubah. Perubahan itu dapat berarah kepada yang baik atau sebaliknya, agar

manusia berubah dan menjadi lebih baik dari semula maka harus terjadi suatu

inovasi atau pembaharuan (Slamet, 2002).

6.5.4 Analisis multivariat hubungan lingkungan sosial terhadap perilaku

buang air besar sembarangan

Lingkungan sosial menentukan norma di masyarakat, jadi perilaku

masyarakat termasuk perilaku terhadap lingkungan. Kualitas lingkungan

dipengaruhi oleh pendapat dan sikap masyarakat (Slamet, 2002). Berdasarkan

hasil uji, yaitu diketahuinya hubungan secara signifikan antara variabel

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
105

lingkungan sosial terhadap variabel perilaku buang air besar sembarangan.

Hubungan signifikan tersebut pada faktor dukungan sosial dan selanjutnya

dilanjutkan ke analisis multivariat regresi linier berganda.

Analisis multivariat regresi linier berganda menunjukkan bahwa kurang

mendapatkan dukungan sosial ada hubungan secara signifikan dengan perilaku

buang air besar sembarangan. Responden yang kurang mendapatkan dukungan

sosial di lingkungan tempat tinggal memiliki akan peluang lebih tinggi untuk

berperilaku buang air besar sembarangan dibandingkan dengan responden yang

mendapatkan dukungan sosial baik di lingkungan tempat tinggal.

Keberadaan community leader di masyarakat memicu terjadinya

perubahan perilaku. Faktor yang berhubungan dengan keberhasilan daerah

menjadi ODF setelah dilakukan CLTS karena adanya dukungan sosial di

masyarakat yang baik, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan

maupun ketua RT (Meiridhawati, 2012).

6.6 Analisis Hubungan Karakteristik Individu dan Lingkungan Sosial

terhadap Perilaku Buang Air Besar (BAB) Sembarangan

Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Teori Lawrence

Green (1980) menganalisis perilaku manusia mulai dari tingkat kesehatan, dimana

kesehatan manusia dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku

(behaviour cases) dan faktor di luar perilaku (non behaviour cases). Faktor

perilaku khususnya perilaku kesehatan ditentukan atau dibentuk oleh faktor

predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Dalam hal ini, faktor

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
106

predisposisi merupakan faktor yang terwujud dalam pengetahuan, kepercayaan

dan keyakinan, penghasilan keluarga dan usia, yang mana faktor ini lebih bersifat

dari dalam diri individu. Faktor pemungkin merupakan faktor pendukung yang

terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk sarana dan prasarana. Faktor penguat

yang meliputi faktor sikap masyarakat, keluarga, petugas kesehatan maupun

perangkat desa.

Besarnya dampak yang ditimbulkan akibat sanitasi yang buruk turut

mendorong sanitasi menjadi isu yang strategis dalam pembangunan. Isu strategis

tentang pembangunan sanitasi tidak hanya berkembang dalam lingkup nasional

tetapi juga menjadi isu hangat di dunia internasional, salah satunya yaitu lahirnya

kesepakatan dari berbagai negara di dunia pada tahun 2000 mengenai Millenium

Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 butir kesepakatan. Salah satu butir

pada kesepakatan MDGs mengenai environment sustainability yang teridiri dari

beberapa poin yang mana salah satunya berkaitan dengan sanitasi (Priatno, 2014).

Akses masyarakat terhadap sarana sanitasi khususnya jamban, saat ini

belum tercukupi seluruhnya. Banyak program dilakukan, seperti program Sanitasi

Total Berbasis Masyarakat (STBM). Upaya tersebut mengarah pada terpenuhinya

akses sanitasi masyarakat, khususnya jamban. Namun akses tersebut selain

berbicara kuantitas yang terpenting adalah kualitas.

Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang paling penting dalam

menentukan kesehatan lingkungan. Norma, perilaku dan adat kebiasaan dapat

didasarkan atas ketidak tahuan atau ketidak pedulian masyarakat terhadap

kesehatan, tetapi hasil akhirnya adalah sama yaitu terjadi pencemaran lingkungan

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS


ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
107

dan terjadi penyakit sebagai akibatnya. Norma masyarakat, seperti buang air besar

di sungai merupakan hal yang dianggap normal atau dapat diterima secara sosial

budaya. Dengan demikian hygiene lingkungan sangat ditentukan oleh norma atau

kebiasaan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa status ekonomi ada hubungan secara

signifikan dengan perilaku buang air besar sembarangan. Responden pada status

ekonomi dengan penghasilan ≤ UMK memiliki peluang lebih tinggi untuk

berperilaku buang air besar sembarangan dibandingkan dengan responden pada

status ekonomi dengan penghasilan ≥ UMK.

Status ekonomi penduduk mempengaruhi jenis pekerjaan, secara umum

jenis pekerjaan seseorang mewakili status sosial. Ekonomi merupakan alat ukur

tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, karena ekonomi merupakan indikator

penentu perilaku dalam pemenuhan kebutuhan termasuk penyediaan jamban sehat

di keluarga untuk mencegah perilaku buang air besar sembarangan dalam

keluarga.

SKRIPSI ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK ... EMA SURYANINGTIAS

Anda mungkin juga menyukai