Disusun Oleh:
1. Anjar Hanif Fadhlia (11180850000052)
2. Hana Fauziah (11180850000065)
3. Ahmadullah Khan Zada (11180850000109)
Segala puji bagi Allah SWT atas kehdirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini yang
berjudul “Harta dan Kepemilikan”. Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi
tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam yang diajarkan oleh Bapak Dr. Suhenda, SE., M.Si
Makalah ini telah kami selesaikan dengan dengan kerjasama yang baik dan
juga referensi dari berbagai sumber yang kami gunakan. Oleh sebab itu kami
mengucapkan sangat amat terimakasih pada rekan rekan yang ikut berkontibusi
dalam penyusunan makalah ini.
Meskipun makalah ini telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai
manusia menyadari bahwa banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Demikian
apa yang bisa kami sampaikan dalam makalah ini, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari makalah yang kami sajikan.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB II PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................. .............................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ .................2
1.3 Tujuan Penelitian..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................4
2.1 Definisi Harta................................................................................................................4
2.1.1 Kedudukan dan Fungsi Harta..................................................................................5
2.1.2 Pembagian Harta.....................................................................................................5
2.2 Hak Kepemilikan..........................................................................................................7
2.2.1 Kepemilikan dalam Islam......................................................................................11
2.2.2 Prinsip Kepemilikan dalam Islam..........................................................................12
2.2.3 Jenis Kepemilikan..................................................................................................12
2.2.4 Sebab Kepemilikan................................................................................................13
2.2.5 Cara Kepemilikan dalam Ekonomi Islam..............................................................16
2.2.6 Implementasi Konsep Kepemilikan Harta dalam Ekonomi Islam Pada Saat ini...18
BAB III PENUTUP.........................................................................................................26
3.1 Kesimpulan................................................................................................... ...............26
3.2 Saran.............................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dari harta
1.3.2 Mengetahui macam-macam kedudukan dan fungsi harta
1.3.3 Mengetahui macam-macam pembagian harta
2
1.3.4 Mengetahui pengertian hak kepemilikan
1.3.5 Mengetahui konsep kepemilikan dalam islam
1.3.6 Mengetahui prinsip kepemilikan dalam islam
1.3.7 Mengetahui Jenis Kepemilikan
1.3.8 Mengetahui Sebab Kepemilikan Pribadi
1.3.9 Mengetahui Cara Kepemilikan Harta Dalam Ekonomi Islam
1.3.10 Implementasi Konsep Kepemilikan Harta dalam Ekonomi Islam Pada Saat Ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hlm. 9
2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 73
3
Al-FairuzAbadi. t.th, Al-Qamus al-Muhit, Juz. 4. (Beirut: Dar al-Jail.t.t),
hlm. 53.
4
Ibn Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Sharh Tanwir al-Absar, Jil. 4 (Mesir: Matbaah
Mustafa al-Halabi: 1966), hlm. 501
4
d. Sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan dalam keadaan biasa seperti setitik air
atau sebiji beras, walaupun boleh dimiliki, tidak dianggap sebagai harta. Maksud
kegunaan dalam keadaan biasa ialah kegunaan mengikut kebiasaan manusia dan
tabiat sesuatu benda tersebut. Beras, sebagai contohnya adalah makanan manusia
yang mengenyangkan sebaliknya jika sebiji saja, beras tidak lagi sebagai sesuatu
yang memberi manfaat kepada manusia walaupun boleh disimpan dan dimiliki.
e. Sesuatu yang dicegah oleh syara’ untuk dimanfaatkan oleh semua orang, tidak
dianggap sebagai harta walaupun benda itu dapat dimiliki dan dimanfaatkan oleh
seseorang. Contoh seperti bangkai yang dicegah oleh syara’ untuk
dimanfaatkan.
f. Seandainya sesuatu itu diharuskan boleh dimanfaatkan oleh sebagian golongan
manusia, ia masih dianggap sebagai harta bagi mereka seperti babi dan arak,
yaitu dianggap harta bagi kafir dhimmi tetapi tidak bagi orang Islam. Karena
orang-orang Islam tidak boleh mengambil manfaat dari arak dan babi kecuali
dalam keadaan darurat yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga,
kedua-duanya tidak boleh dijadikan hak milik. Harta jenis ini dikenal sebagai
harta yang tidak bernilai pada pandangan syara’. Walau bagaimanapun, Imam
Abu Hanifah menganggap bahwa arak dan babi merupakan harta yang bernilai
bagi orang-orang bukan Islam. Sebaliknya, jumhur ulama’ secara mutlak tidak
menganggap kedua-duanya sebagai harta yang bernilai walaupun kepada bukan
Islam.
Mempertahankan harta dari segala upaya yang dilakukan orang lain dengan cara
yang tidak sah, termasuk di dalam kelompok yang penting dalam Islam. Dalam hal ini,
misalnya, Allah menentukan hukuman potong tangan bagi pencuri seperti yang tertuang
dalam firman Allah dalam Al-Qura’an, surat al-Maidah 5:38 sebagai berikut: “laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
5
Bijaksana.”. Hukuman bagi pencuri yang ditentukan Allah ini tidak lain adalah sebagai
bentuk pemeliharaan dan penghormatan Islam atas harta seseorang. Pemanfaatan harta
pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk
fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia. Seorang Muslim
diperintahkan untuk mencari nafkah dan menghasilkan harta dengan berjuang sekuat
tenaga. Tangan yang memberikan bantuan, dalam pandangan Islam jauh lebih baik
dari tangan yang menerima kucuran bantuan sebagaimana yang dikemukakan dalam
sebuah hadith Rasulullah saw : “Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata, Rasulullah saw.,
bersabda tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”. (HR. al-Bukhari).
(Maktabah al-Samilah: Sahih al-Bukhari Juz. 18: hal. 64).
Harta tidak saja berkedudukan untuk mendekatkan diri kepada Allah tetapi
harta juga berfungsi dalam kehidupan ini. Antara fungsi harta tersebut adalah:
3) Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut tentang cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Qur’an, surat al-Anfal, 8: 28:
“Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu menjadi fitnah (ujian) dan sesungguhnya
di sisi Allah pahala yang besar.”
6
4) Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan
melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah. Hal ini selari dengan firman Allah dalam Qur’an, surat al- Taubah
ayat 41: “Keluarlah kamu (ke medan pertempuran) dengan berjalan kaki atau
berkendaraan dan berjuanglah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Demikian itu
lebih baik bagimu.”
Pertama dilihat dari segi kebolehan pemanfaatannya menurut syara’, harta itu
dapat dibagi kepada harta bernilai (al-mal al- mutaqawwim) dan tidak bernilai (al-mal
ghair al-mutaqawwim). Harta bernilai (al-mal al-muta qaww im), ialah harta yang dimiliki
dan syara’ membolehkan penggunaannya. Ibn Abidin mendefiniskan bahwa al- mal al-
mutaqawwim ialah harta yang diakui kepemilikannya oleh syarak bagi pemiliknya 5.
Pengakuan syarak ini hanya akan berlaku dengan adanya syarat-syarat yang berikut: (a)
harta tersebut dimiliki oleh pemilik berkenaan secara sah. (b) harta tersebut boleh
dimanfaatkan mengikut hukum syarak dalam keadaan biasa6.Seperti harta-harta tidak
bergerak, harta bergerak, makanan dan sebagainya. Sedangkan harta yang tidak bernilai
(al-mal ghair al-mutaqaww im), ialah sesuatu yang tidak dimiliki, atau sesuatu yang
syara’ tidak membolehkan penggunaannya kecuali ketika darurat (terpaksa)7.
Kedua, dilihat dari sifat harta itu sendiri, maka harta boleh dibagi kepada
5
Ibn Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar ala al-Dar al-Mukhtar Sharh Tanwir al-Absar, Jil. 4 (Mesir: Matbaah
Mustafa al-Halabi: 1966), hlm. 501.
6
Faizah Ismail, Asas Muamalat dalam Islam, hlm. 475.
7
Al-Syarbaini al-Khatib, Mughnii al-Muhtaj , hlm. 7.
7
harta tidak bergerak dan harta bergerak. Harta tidak bergerak (’aqâr) ialah harta yang
kekal di tempatnya yang tidak boleh dipindah dan diubah sama sekali ke tempat lain.
Muhammad Salam Madkur mengemukakan bahwa definisi harta tidak bergerak
menurut al-Malikiyah ialah segala sesuatu yang kekal di tempatnya tidak boleh diubah
atau dipindah tempat dari satu temapat ke tempat yang lain serta bentuk dan
strukturnya tetap tidak berubah. Sedangkan harta bergerak (al-manqul) ialah harta yang
boleh dipindah dan diubah dari satu tempat ke satu tempat yang lain. Apakah bentuk
dan strukturnya tetap atau bertukar karena perpindahan itu. Harta bergerak ini
termasuklah uang, barang perniagaan, binatang, barang sukatan dan timbangan.
Akibat hukum dari perbedaan harta dari segi sifatnya ini adalah sebagai berikut:
a) Berlakunya hak syuf ’ah (hak istimewa yang dimiliki seseorang ke atas rumah
jirannya yang akan dijual, agar rumah itu terlebih dahulu ditawarkan
kepadanya). Ini berlaku bagi harta tidak bergerak. Akan tetapi, jika harta itu
bergerak, maka tidak tetap syuf ’ah, sekira ia dijual berasingan dengan dari
’aqar.
b) Dalam masalah wakaf, menurut ulama Hanafiyah, hanya benda tidak bergerak
yang boleh diwakafkan. Mewakafkan harta bergerak tidak dibolehkan kecuali
harta bergerak itu mengikuti sesuatu yang ’aqar. Akan tetapi, Jumhur ulama
berpendapat bahwa kedua-dua benda tersebut boleh diwakafkan.
c) Dalam penjualan harta orang yang cacat pikiran oleh wâsi. Wâsi tidak boleh
menjualkan sesuatu harta ’aqar (harta tidak bergerak) yang dimiliki oleh orang
yang cacat pikiran kecuali dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh syara’
seperti untuk membayar hutang, menyempurnakan sesuatu keperluan yang
mendesak ataupun untuk sesuatu yang nyata maslahatnya. Akan tetapi,
mengenai harta bergerak wâsi boleh menjualnya kapan saja jika dia mendapati
ada maslahat untuk berbuat demikian.
d) Berlainan dengan ahli-ahli fiqh yang lain. Abu Hanifah dan Abu Yusuf
membenarkan penjualan ’aqar sebelum diterima dari pembeli. Harta manqul
tidak boleh dijual sebelum diterima atau diserah. Ini karena harta manqul lebih
8
banyak berpotensi untuk rusak. Sedangkan harta ’aqar tidak banyak berlaku
sedemikian.
e) Hak kejiranan (jiwar) dan hak penggunaan (irtifaq) hanya ada pada harta ’aqar.
Hak ini tidak ada pada harta manqul.
f) Abu Hanifah dan Abu Yusuf mengatakan bahwa mustahil ’aqar boleh
dirampas, sebab ia tidak boleh dipindahkan. Sedangkan Muhammad dan ahli
fiqh yang lain mengatakan tidak mustahil.
Ketiga, dilihat dari segi pemanfaatannya, harta dapat dibagikepada harta al-
isti’mali dan harta al-istihlaki. Harta al-isti’mali ialah harta yang apabila digunakan atau
dimanfaatkan benda itu kekal zatnya (tidak habis), sekalipun manfaatnya sudah banyak
digunakan. Contoh harta al-isti’mali ialah lahan pertanian, rumah, dan buku. Sedangkan
harta al-istihlaki ialah harta yang apabila dimanfaatkan berakibat habisnya harta itu.
Contohnya ialah sabun, pakaian, dan makanan.
Keempat, Harta serupa (mithliy) dan harta senilai (qimiy). Pembagian ini dibuat
berdasarkan harta tersebut ada yang serupa dengannya atau sebaliknya. Yang dimaksud
dengan harta serupa ialah harta yang mempunyai persamaan dengan harta lain di
pasaran, sama dari segi bentuk atau nilai. Jika ada perbedaan antara kedua-dua harta
tersebut, perbedaan itu dalam kadar yang boleh diterima oleh semua pihak. Harta yang
dimaksudkan ialah yang dinilai berdasarkan sukatan, timbangan atau bilangan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan harta senilai ialah harta yang tidak ada jenis yang
sama dengannya dipasaran atau terdapat jenis yang sama tetapi berbeda dari segi nilai dan
harga dengan kentara dan tidak boleh diterima oleh semua pihak baik pembeli maupun
penjual.
Kelima, Pembagian lain yang dikemukakan para ulama fiqh tentang harta adalah
dari segi kepemilikannya. Ada harta milik pribadi yang pemiliknya bebas
memanfaatkan harta itu selama tidak merugikan orang lain. Ada pula harta milik
masyarakat umum yang pemanfaatannya untuk semua orang. Harta milik bersama
boleh berubah menjadi milik pribadi apabila telah diambil dan dipelihara dengan baik
oleh seseorang. Sebaliknya harta pribadi pun boleh berubah menjadi milik bersama.
Perubahan kepemilikan dari milik pribadi kepada milik masyarakat bisa melalui hal-
9
hal berikut: (a) kehendak sendiri dari pemiliknya; misalnya seseorang menjadikan
hartanya menjadi harta wakaf yang boleh dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat; (b) kehendak syara’, seperti keperluan umat yang mendesak untuk
membuat jalan umum di atas tanah milik pribadi. Dalam hal ini pihak penguasa boleh
mempergunakan tanah pribadi untuk kepentingan umum.
10
berpotensi pada konflik. Untuk itu, Locke mengatakan bahwa dengan kebebasan
akhirnya manusia mengorganisasikan dirinya dalam sebuah sistem kekuasaan yang
diharapkan dapat menjamin terselenggarakannya keteraturan dan keadilan. 8
8
Dede Nurohman, memahami dasar dasar ekonomi islam, Teras, yogyakarta hal 124-125
11
Hambatan syar’I kepemilikan :
Gila / sakit ingatan / hilang akal
Masih kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang (belum baligh)
9
Dr Mardani, Hukum ekonomi syariah di indonesia, PT Refika Aditama, Bandung hal 21
10
ibid
12
orang saja, tidak ada orang lain ikut andil dalam kepemilikan itu. Contoh :
kepemilikan tanah, kendaraan, perabot rumah tangga, buku dan sebagainya,
Islam menetapkan adanya kepemilikan jenis ini sebagai bentuk akomodatif
islam dalam memiliki harta.
b) Kepemilikan Pererikatan (organisasi)
Merupakan kepemilikan yang manfaatnya dapat dipergunakan oleh
beberapa orang yang dibentuk dengan cara tertentu, seperti kerjasama yang
melibatkan orang tanpa melibatkan sekelompok orang lain. Contohnya : semua
bentuk perserikatan telah ditetapkan oleh islam dan sebagainya seperti
organisasi perserikatan Muhamadiyah, Nahdatul Ulama (NU), Majelis dakwah
islamiah dan sebagainya.
c) Kepemilikan Kelompok
Merupakan kepemilikan yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau
kelompok kecil, namun pembagiannya harus didasarkan pada persebaran
terhadap banyaknya pihak, dimana manfaatnya diprioritaskan untuk orang
orang ang sangat membutuhkan dan dalam keadaan kritis, sperti properti dan
kekayaan penduduk desa terhadap tanah bersama, jalan, sekolah, fasilitas
umum. Dilihat dari ruang lingkupnya, jenis kepemilikan ini melibatkan banyak
orang dibanding kepemilikan perserikatan namus tidak sebesar kepemilikan
umum (negara)
13
hukum syara’ sekaligus dapat dijadikan sebagai sebab kepemilikan harta,
adalah pekerjaan pekerjaan yang diantaranya :
Menghidupkan tanah yang mati
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknmya, dan
tidak dimanfaatkan oleh satu orangpun. Sedangkan yang dimaksud
dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan
menanaminya atau dengan mendirikan bangunan di atasnya.
Menggali kandungan bumi
Yang termasuk kategori bekerja adalah menggali apa yang
terkandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang
dibutuhkan oleh suatu komunitas (jama’ah), atau disebut rikaz.
Dengan kata lain, harta tersebut bukan merupakan hak seluruhnya kaum
muslimn. Adapun jika harta temuan hasil penggalian tersebut
merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas, atau
merupakan hak seluruh kaum muslimin, maka harta galian tersebut
merupakan hak milik umum. (QS. Yasih ayat 33)
Berburu
Yang termasuk dalam kategori bekerja adalah berburu.
Berburu ikan, mutiara, batu permata, bunga karang serta yang
diperoleh dan hasil buruan laut lannya, maka harta tersebut adl hak
milik orang yang memburunya, sebagaimana yang berlaku dalam
pemburuan barang dan hewan-hewan yang lain. Demikian halnya
harta yang diperoleh dari hasil buruan darat, maka harta tersebut
adalah milik orang yang memburunya (QS. Al-Maidah ayat: 96).
Makelar (sam sarah)
Makelar yaitu suatu cara untuk memperoleh harta dengan
bekerja untuk orang lain dengan upah, baik itu untuk keperluan
menjual maupun membelikan. Makelar termasuk dalam kategori
bekerja yang bisa dipergunakan untuk memiliki harta, secara hak
menurut syara’ (QS. Yusuf ayat 72).
14
Syirkah
Syirkah atau perseroan dari segi bahasa bermakna
penggabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi
antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan menurut
syara’ perseroan adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang dua-
duanya sepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial
dengan tujuan mencari keuntungan.
Ijarah
Ijarah yaitu suatu transaksi jasa yang dimiliki oleh seseorang
untuk dikontrak oleh orang lain dengan kompensasi. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dengan surat ath-Thalaq ayat 6 yang berbunyi:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untuk mu,
maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
b) Penguasaan
Penguasaan adalah beberapa mediasi yang dapat digunakan oleh
manusia untuk menguasai harta orang lain tanpa harus melakukan usaha keras
atau perniagaan. Contohnya warisan, pemberian sedekah, zakat, dan wasiat.
Waris merupakan salah satu mekanisme pembagian harta milik orang yang
meninggal kepada ahli warisnya. Hukum waris menyebabkan seorang ahli
waris dapat memiliki harta sebagai hak atas bagian harta waris yang ada.
Hukum syara’ menetapkan hukun waris sebagai salah satu sarana untuk
mendistribusikan kekayaan di tengah masyarakat, meskipun pembagian
kekayaan bukanlah dasar hukum bagi waris itu sendiri.
c) Kepemilikan barang barang yang halal
Kepemilikan barang barang yang halal, dimana seseorang memiliki
sesuatu yang belum pernah dimiliki oleh orang lain, seperti mencari kayu bakar
di hutan dan mengankap ikan di laut
d) Harta dari pemberian negara kepada rakyat atau individu
Melalui lembaga baitul mal, negara dapat emmberikan sebagian harta
kepada rakyat. Pemberian ini dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak
15
langsung dengan jalan memberikan berbagai sarana dan fasilitas sehingga
individu rakyat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau agar dapat
memanfaatkan kepemilikan mereka
e) Transaksi
Transaksi diantaranya adalah transaksi jual beli dan sewa, dan transaksi
tanpa adanya barang seperti pemberian dan pelepasan barang. Juga berkaitan
dengan keputusan hakim terhadap perubahan status kepemilikan umum seperti
tanah dan perkebunan. 11
11
Lukman Hakim, Prinsip prinsip ekonomi islam , Erlangga, hal 48 - 58
16
pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda beda kepada warganya.
Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di
bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada
individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik
individu secara keseluruhan bedasarkan kepentingan umum. Contoh : tentang
kepemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah wakaf.
17
selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan islam
tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram.
Sehingga Imam Al Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang diimbangi oleh
Islam (sah menurut agama islam) :
diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang tambang,
menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air
sungai, dll
diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal :
harta rampasan
diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan
kewajiban, misal : zakat
diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli dan ikatan
perjanjian dengan menjauhi syarat syarat yang tidak sesuai syariat 12
12
Lukman Hakim, Prinsip prinsip ekonomi islam , Erlangga, hal 42
18
“kapital“, untuk itu kapitalis memandang pemilikan harta adalah hak milik mutlak
berada di tangan individu, dimana peran utama dalam menguasai harta adalah individu.
Dalam Ekonomi Islam sendiri, telah jelas mengenai sistem ekonomi, dimana keaslian
Islam dalam memandang ekonomi adalah dengan menitik beratkan moral dan rohani
sebagai landasan berekonomi. Kewajiban moral dengan gigih mengendalikan dan
memperkuat tekanan ekonomi agar selaras dengan ketentuan filsafat moral Islam.
Islam tidak memiliki otoritas dalam proses ekonomi, sedang campur tangan Negara
ditujukan untuk mengokohkan pertentangan sosial yang mungkin terjadi antara
perilaku moral dan ekonomi manusia yang telah mengarahkan masyarakat pada jalan
perbudakkan. Sedang sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah itu sama-sama untuk
beribadah kepadanya. Untuk itu Islam sangat menghormati hak milik orang lain atau
individu. Pengakuan hak milik perseorangan adalah berdasarkan kepada tenaga dan
pekerjaan, baik sebagai hasil pekerjaan sendiri ataupun yang diterimanya sebagai harta
warisan dari keluarganya yang meninggal.
A. Wahab Khalaf menegaskan dalam bukunya asy-Syiyasatus asy- Syari’ah,
bahwa dasar dari pemindahan hak milik dari seseorang kepada yang lain ialah “an
taradhin” (karena atas sama suka dan ridho). Dia mengemukakan tiga ketentuan bagi
pengakuan hak milik dalam Islam :
a. Larangan memiliki barang-barang orang lain melalui jalan yang tidak sah.
b. Menghukum orang-orang yang mencuri, merampas atau mengambil barang
yang bukan miliknya baik secara main-main, apalagi kalau benar- benar
mengambilnya.
c. Larangan menipu dalam jual beli dan membolehkan khiyar (berfikir
meneruskan atau membatalkan jual beli) dalam masa tiga hari. Dari ketiga
ketentuan di atas, dimaksudkan agar harta yang kita miliki benar-benar bersih
dan diridhoi oleh Allah SWT. Selain itu juga untuk memberikan pelajaran bagi
orang-orang yang berani untuk mencuri dan serta mengajarkan bagaimana jujur
dalam jual beli. Semua ini tidak lain untuk kemaslahatan bersama sehingga
terhindar dari kekacauan di masyarakat.
19
Adapun batas-batas yang ditetapkan oleh agama Islam dalam mengimplementasikan
hak milik adalah :
a. Melarang pengambilan harta orang lain, kecuali dengan jalan yang sah.
Sebagaimana dalam Firman Allah dalam QS. 2 : 188, Artinya : “Dan janganlah
kamu memakan harta orang lain diantara kamu, dan kamu pergunakan tangan
kakimu untuk dapat mengambil sebagian harta orang lain dengan jalan yang
tidak sah sedang kamu mengetahui.
b. Mengharamkan riba dan perjudian. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. 2 :
275 dan 276. dan QS.3:130, Allah menetapkan diharamkanya riba dan
QS.2:219, Allah mengharamkan perjudian.
c. Melindungi harta anak yatim dan safieh (orang yang tidak sanggup menjaga
hartanya.) Sebagaimana dalam QS.Al-Isra:24 dan QS4:9, Allah melarang
memakan harta anak yatim yang di dalam penjagaannya dengan jalan yang
tidak sah QS.4:55 Allah menetapkan perlindungan atas harta orang-orang yang
safieh.
d. Mencegah peredaran harta dan kekayaan di antara orang-orang kaya saja.
Sebagaimana dalan QS. Al-Hasyr : 7, Allah berfirman bahwa janganlah diberi
kesempatan harta benda hanya beredar dikalangan orang-orang kaya belaka.
Susunan ekonomi harus diatur begitu rupa sehingga seluruh manusia dapat
mempunyai hak milik.
e. Menyerahkan jaminan bagi orang-orang yang terlantar. Sebagaimana dalam
QS. al-Isra : 26, diperintahkan sokongan atas kerabat, orang- orang terlantar
dalam perjalanan. Di dalam zaman modern ini, lebih peraktis jaminan itu kalau
diserahkan kepada organisasi-organisasi sosial yang menjurus masalah di atas.
Meskipun sangat terlihat jelas implementasi hak milik dalam kedua sistem
ekonomi di atas (sistem kapitalisme dan Islam) saling bertentangan, tetapi
masih ada yang beranggapan bahwa antara Islam dan kapitalis ada sedikit
relevansinya yaitu dalam menghargai kebebasan individu.
20
Jika dalam kapitalisme beranggapan bahwa adanya pengaturan terhadap hak
individu secara mutlak dan Islam pun mengakui hak milik individu, namun dalam hal
ini kapitalisme lebih pada penguasaan harta mutlak milik individu, sehingga individu
bebas untuk mengkonsumsi, memproduksi atau mendistribusikan.
Dalam menghargai kepentingan untuk hak milik umum, dari terhahulu sampai
dengan saat ini kapitalisme mewajibkan pembayaran pajak, namun dititkberatkan pada
tanggungjawab individu yang kaya, tanpa campur tangan pemerintah. Padahal, jika
melihat basis individu dalam masyarakat kebanyakan melakukan penyerobotan dari
pada pemberian. Bahkan sampai penghindaran dan pengelakan pajak, hal ini
disebabkan karena tidak ada pengawasan dari negara. Sedang negara hanya sebagai
pengelola dengan memberi kebebasan kepada individu. Ini menunjukkan bahwa
kapitalisme tidak menitikberatkan pada tanggungjawab kolektif, sebagaimana yang
telah dilakukan Islam.
Dalam Islam sendiri juga terdapat hak milik umum yaitu berupa zakat namun
bukan dalam artian biasa tetapi dalam arti khusus yang dipungut dari anggota-anggota
masyarakat muslim saja dan dibayar oleh mereka sebagai kewajiban agama yang
implementasi untuk mencari ridha Allah SWT, dan merupakan sebagai alat
kebijaksanaan Islami. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa didalam harta yang
dimiliki seseorang tersebut terdapat hak-hak orang lain.
Menurut Afzalur Rahman masyarakat yang kaya harus membayar pungutan
tahunan atau hari-hari lain dalam hal ini zakat sebagai mana yang telah diwajib oleh
Allah SWT dalam al-qur’an dan hadits atas kekayaan yang terkumpul untuk kaum
miskin dan yang memerlukannya dalam masyarakat. Ini merupakan bentuk ansuransi
terbaik bagi masyarakat, sehingga menghilangkan semua kejahatan yang berasal dari
tiadanya peraturan resmi yang mengatur kerja sama dan bantuan-bantuan kolektif.
Dengan zakat menyediakan sarana kebutuhan hidup bagi yang memerlukan dan
terlantar, membantu meningkatkan daya beli mereka, memperluas perdagangan,
industri dan kegiatan usaha lain dalam masyarakat, hal ini juga membantu menegakkan
keseimbangan yang mantap antara produksi dan konsumsi dalam masyarakat Islam
sehingga membebaskan masyarakat dari kejahatan yang muncul dari lingkaran
21
perdagangan dan yang muncul dari daerah kumuh.
Karena salah satu dari tujuan zakat yang penting adalah untuk mempersempit
perbedaan ekonomi di masyarakat sampai batas serendah mungkin. Hal ini bertujuan
karena untuk menjaga perbedaan ekonomi di kalangan masyarakat dalam batas-batas
yang adil dan wajar sehingga si kaya tidak boleh tumbuh semakin kaya dengan
mengeksploitasi anggota komunitas yang kurang beruntung sedangkan simiskin
menjadi semakin miskin.
Nabi menjelaskan zakat sebagai uang yang diambil dari orang yang kaya yang
dikembalikan pada orang miskin. Tujuannya adalah untuk mendistribusikan kekayaan
ke masyarakat yang adil dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak sorang
muslimpun yang dibiarkan miskin.
Oleh karena setiap orang kaya harus mengeluarkan sebagian hartanya yang
dapat diinvestasikan. Dalam hal ini pemerintah harus memaksa si kaya untuk
mengeluarkan zakat yang sama halnya bahwa pemerintah telah membangun pilar
penting dalam proyek penyejahteraan rakyat dan sekaligus telah membangun pilar
keadilan sosial. Adapun perlunya pengawasan pemerintah terhadap harta zakat adalah
dimulai dari tahapan penarikan atau dalam pengoperasian. Menurut M. Faruqan
Nabahan, sistem pengawasan pemerintah secara garis besar dapat dikategorikan pada
dua hal berikut ini :
a. Mengawasi sistem penarikan zakat.
Pemerintah bisa menugaskan aparat perpajakan dalam mengecek harta
apa saja yang harus dizakati. Pemerintah juga harus memiliki dewan
kehormatan zakat yang manjamin bahwa zakat dioperasikan sesuai program
agung syariah.
b. Pengoperasian harta hasil zakat.
Harta zakat sangat berperan penting dalam mewujudkan keadilan sosial
yang lebih merata. Di mana zakat sebagai solusi yang sangat realistis dalam
penyelamatan problem sosial diera modern. Dalam mengalokasikan harta
zakat, bisa memulai dengan mengategorikan para mustahiq (yang berhak atas
zakat) ke dalam berbagai kelas, dalam artian sesuai dengan kebutuhan mereka.
22
Untuk yang telah lemah bekerja, maka diberikan kebutuhan rutin
perbulan, kemudian untuk yang berpenghasilan tetapi tidak mencukupi
kebutuhan, maka diberi tambahan yang dapat mencukupi kebutuhannya.
Pemberian zakat tidak harus berupa uang, tetapi bisa berupa peralatan yang
dapat menunjang penghasilan mereka, bahkan bisa berupa asuransi untuk
menjamin mereka yang tidak bekerja.
Selain zakat, Islam memerintahkan manusia untuk memberikan sedekah
atau shodaqoh, yaitu pengeluaran wajib untuk membantu fakir miskin, atau
usaha-usaha sosial lainnya yang harus dibantu, misalnya akibat bencana alam,
kelaparan dan sebagainya. Dan juga memberikan amal kebajikan, kebenaran,
berupa bantuan secara umum dan menyediakan bantuan bagi orang yang tidak
dapat memperoleh bagian yang memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Cara
terbaiknya adalah dengan menyalurkannya kepada orang lain yang
membutuhkannya sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya. Keadaan
seperti ini dianggap sebagai salah satu sikap moral tertinggi dalam Islam.
Hukum hanya mengambil sebagian tertentu (tidak seluruhnya) harta si
kaya dan tidak melebihi batas tertentu. Tetapi pendidikan moral memberikan
hasil yang jauh lebih luas dan membangkitkan semangat semacam itu diantara
umatnya sehingga mereka menyerahkan seluruh hartanya kepada jalan Allah
dalam hal ini infak.
Zakat bukanlah semata-mata urusan yang bersifat karitatif
(kedermawanan), tetapi juga otoritatif (perlu ada kekuatan memaksa). Hal ini
karena zakat memiliki posisi dan kedudukan yang sangat strategis dalam
membangun kesejahteraan, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan
ekonomi masyarakat, jika pengumpulan dan penyalurannya dikelola secara
amanah, transparan dan profesional.
Di Indonesia sendiri pada saat ini praktek pengelolaannya,
pengumpulan dan penyaluran dana zakat itu sendiri sudah berkembang, hal ini
ditandai dengan adanya peran serta langsung pemerintah dengan membentuk
lembaga lembaga khusus yang mengelola zakat tersebut, dari pusat hingga
23
tingkat Kecamatan yang pembentukannya berdasarkan Undang-undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang Pengelolaan Zakat
ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor
581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 dan Keputusan
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Sebelumnya pada tahun 1997 juga keluar
Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberi wewenang
kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial
bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan
menyalurkan Zakat,Infak dan Sodakoh dan Peraturan Pemerintah No 60 Tahun
2010 tentang zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.
Dengan disahkannya UU Pengelolaan Zakat tersebut Indonesia telah
memasuki tahap institusionalisasi pengelolaan zakat dalam wilayah formal ke
Negaraan, meskipun masih sangat terbatas. Lembaga-lembaga pengelola zakat
mulai berkembang, termasuk pendirian lembaga zakat yang dikelola oleh
pemerintah, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dari pusat hingga
tingkat daerah dan lembaga zakat yang dikelola masyarakat dengan
manajemen yang lebih baik dan modern.
Substansi utama Undang-Undang Pengelolaan zakat adalah pengaturan
harta obyek zakat dan pendayagunaan, serta pengaturan organisasi pengelola
zakat. Dalam Undang-Undang tersebut organisasi pengelola zakat dibedakan
menjadi dua, yaitu Badan Amil Zakat yang dikelola oleh pemerintah dan
Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh masyarakat. Kedua organisasi
pengelola zakat tersebut pada dasarnya merupakan pengganti peran otoritatif
pemerintah dalam pengelolaan zakat. Meskipun demikian, kedua organisasi ini
memiliki kelemahan mendasar karena sebagai otoritas pengelola zakat, undang-
undang tidak memberikan kekuatan memaksa organisasI pengelola zakat
kepada para muzakki.
24
Namun, setidaknya dengan Undang-undang Zakat tersebut telah
mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat
dan dipercaya masyarakat. Tentu saja hal ini meningkatkan pengelolaan zakat
sehingga peran zakat menjadi lebih optimal.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
26
3.1.5 Kepemilikan dalam islam
Kepemilikan pribadi dalam pandangan islam tidaklah bersifat
mutlak/absolut ( bebas tanpa kendali dan batas ). Ajaran islam sangat
menjungjung tinggi kemerdekaan seseorang untuk memiliki sesuatu, selama
tidak bertentangan dengan syariat islam
3.1.6 Prinsip Kepemilikan dalam islam
1. Tidak mendatangkan mudharat kepada orang lain
2. Berfungsi Sosial
3. Tidak monopoli, sehingga menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi, dapat
merusak harga pasar, bahkan dapat berakibat munculnya kriminalitas dalam
masyarakat.
4. Harus halal, seperti tidak riba, tidak ikhtikar, iktinaz, tidak nazasyi (
melambungkan harga ), dan lain lain
3.1.7 Jenis Kepemilikan
-Kepemilikan pribadi
-Kepemilikan Pererikatan ( organisasi )
-Kepemilikan Kelompok
3.1.8 Sebab Kepemilikan Pribadi
-Bekerja
-Penguasaan
-Kepemilikan barang barang yang halal
-Harta dari pemberian negara kepada rakyat atau individu
-Transaksi
3.1.9 Cara Kepemilikan Harta Dalam Ekonomi Islam
-Hak Milik Umum
-Hak Milik Negara
-Hak Milik Individu
3.1.10 Implementasi Konsep Kepemilikan Harta dalam Ekonomi Islam Pada
27
Saat Ini
Pada saat ini implementasi dari kepemilikan harta dikalangan muslim
sudah mulai pudar dimana orang lebih mementingkan kepentingan pribadinya
dibandingkan kemaslahatan. Setiap orang berlomba-lomba dalam mencari
harta dengan cara-cara yang tidak baik yang lebih mengarah kearah kapitaslis
dan sosialis, yaitu setiap orang selalu merasa penguasa mutlak terhadap harta
yang dimilikinya, tanpa memikirkan orang lain, sehingga individu bebas
untuk mengkonsumsi, memproduksi atau mendidtribusikannya, hal ini
mengakibatkan adanya penguasaan hak individu dan mengesampingkan hak
umum, sehingga yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya alam dan
manusia, akibatnya menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya akibatnya menjadi sangat miskin.
3.2 Saran
Menyadari penulis masih jauh dari kata sempurna, penulis berusaha akan lebih
baik lagi kedepannya, lebih fokus, lebih mendetail tentang apa yang dipaparkan
dalam makalah ini dengan begitu menambah sumber-sumber lebih banyak lagi yang
tetunya dapat dipertanggung jawabkan.
Dengan begitu penulis berharap pembaca dapat memberikan saran agar kami tau
kekurangan yang ada dan berusaha memperbaikinya kedepannya.
28
Daftar Pustaka
Abidin, Ibn. Hasyiah Rad al-Mukhtar c ala al-Dar al-Mukhtar Sharh Tanwir al-Absar. Jil.
4, Mesir: Matbaah Mustafa al-Halabi, 1966.
Afzalur, Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995)
Al-Khatib, Al-Syarbaini, Mughnii al-Muhtaj. Jil. 4, Beirut: Dar al- Fikr. 1978.
Dari jurnal eksistensi harta dalam islam . thn 2015 vol. 9, no. 1. Jawa tengah.
Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2000.
Hakim, Lukman.2012. Prinsip Prinsip Ekonomi Islam.Jakarta:Erlangga
Ismail, Faizah, Asas Muamalat dalam Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
1995.
Mardani. Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia. 2011. Bandung: Pt Refika Aditama
Nurohman, Dede. 2011. Memahami prinsip prinsip dasar ekonomi islam.
Yogyakarta:Teras
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Yakarta: Rajawali Press, 2005.
29