Anda di halaman 1dari 26

i

Asuhan Keperawatan Jiwa Pada pasien Dengan Gangguan


Proses Pikir : Waham Kebesaran

Tugas Individu

Oleh
Mohd. Rizal Fahmi Adha
2012201010002

PEMBIMBING:
Ns. Syarifah Rauzatul Jannah, MNS., Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
iii

Daftar isi
BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang………………………………………………………………1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………...3

C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………3
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Gangguan Jiwa………………………………………………………………4

B. Waham………………………………………………………………………8

BAB III Pembahasan

A. Proses keperawatan jiwa…………………………………………………...13

Daftar Pustaka
4

BAB I
5

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang bersifat kronis


yang ditandai dengan ganggguan komunikasi, gangguan realitas (halusinasi
atau waham), afek tidak wajar atau tumpul, gangguan fungsi kognitif serta
mengalami
kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, 2015). Gejala skizofrenia
dapat mengalami perubahan semakin membaik atau semakin memburuk dalam
kurun waktu tertentu, hal tersebut berdampak dengan hubungan pasien dengan
dirinya sendiri serta orang yang dekat dengan penderita (Pardede, Keliat &
Wardani, 2015).
Skizofrenia adalah gangguan yang berlangsung selama minimal 6 bulan
dan mencakup setidaknya 1 bulan gejala fase aktif. Sementara itu gangguan skizofrenia
dikarakteristikan dengan gejala positif (delusi dan halusinasi), gejala negatif
(apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek), dan gangguan
kognitif (memori, perhatian, pemecahan masalah, dan sosial) (Hendarsyah, 2016).
Salah satu jenis gangguan jiwa skizofrenia adalah skizofrenia paranoid. Secara
klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama oleh adanya gangguan waham.
Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas. Gangguan orientasi
realitas adalah ketidakmampuan klien menilai dan berespons pada realitas (Sofian,
2017).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 memperlihatkan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak
7 per 1.000 penduduk. Adapun provinsi-provinsi yang memiliki gangguan jiwa terbesar
pertama antara lain adalah Bali sebanyak 11 per 1.000 penduduk, kemudian urutan
kedua Daerah Istimewa Yogyakarta 10 per 1.000 penduduk, urutan ketiga Nusa
Tenggara Barat 10 per 1.000 penduduk, dan urutan keempat Aceh 9 per 1.000
penduduk pada tahun 2018 (Sinurat, 2019)
Prevalensi (permil) ART dengan gangguan jiwa Skizofrenia/psikosis tercatat
sebanyak 282.654 kasus di Indonesia, dimana 6,7% merupakan penderita Skizoprenia
pernah mengalami tindakan pasung. Prevalensi ART dengan gangguan Skizofrenia di
Aceh mencapai 5.111 kasus, di antaranya 8,7% penderita pernah mengalami tindakan
pasung (Riskesdas, 2018).
6

Gangguan proses pikir waham biasanya dianggap sulit untuk diobati


(Skelton, 2015). Pada populasi umum gangguan proses pikir waham memiliki
prevalensi sekitar 0,18%, sedangkan prevalensi pada rawat inap psikiatris antara 1
dan 4%. Prevalensi gangguan proses pikir waham sebenarnya cenderung lebih
tinggi, dikarenakan kurangnya wawasan dalam mencegah serta mencari bantuan
dalam mengenali penyakit tersebut (Rowland, 2019). Penelitian yang
dilakukan Christenson, dkk. Di sebuah komunitas orang tua di San Francisco,
mereka yang dinilai memiliki gangguan kejiwaan mengalami gejala kecurigaan
sebanyak 17% dan yang memiliki gangguan proses pikir waham sebanyak 13% (Asis,
2018).
Menurut Prakasa, (2020) Gangguan proses pikir waham merupakan suatu
keyakinan yang sangat mustahil dan dipegang teguh walaupun tidak memiliki
bukti-bukti yang jelas, dan walaupun semua orang tidak percaya dengan
keyakinannya. Waham sendiri terbagi menjadi lima macam, yaitu waham kebesaran,
waham curiga, waham keagamaan, waham somatik, dan waham nihilistik.
Gangguan proses pikir waham ini adalah gejala positif dari skizofrenia dan biasanya
orang yang memiliki gejala tersebut akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan
jenis wahamnya, yaitu dengan memiliki rasa curiga yang tinggi terhadap diri
sendiri maupun orang lain, merasa memiliki kekuasaan yang besar, merasa
mempunyai kekuatan yang luar biasa jauh diatas manusia pada umumnya, merasa
dirinya mempunyai penyakit yang sangat parah atau dapat menular ke orang lain,
serta menganggap dirinya sudah meninggal. Gangguan proses pikir waham ditandai
oleh adanya setidaknya selama satu bulan mengalami waham dan tidak adanya gejala
lain yang biasanya termasuk waham itu sendiri.
Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa orientasi realita dapat meningkatkan
fungsi perilaku. Pasien perlu dikembalikan pada realita bahwa hal-hal yang
dikemukakan tidak berdasarkan fakta dan belum dapat diterima orang lain dengan tidak
mendukung ataupun membantah waham. Tidak jarang dalam proses ini pasien
mendapatkan konfrontasi dari lingkungan terkait pemikiran dan
keyakinannya yang tidak realistis.
7

Hal tersebut akan memicu agresifitas pasien waham. Reaksi agresif ini
merupakan efek dari besarnya intensitas waham yang dialami pasien. Salah satu
cara untuk mengontrol perilaku agresif dari pasien waham yaitu dengan memberi
asuhan keperawatan jiwa (Keliat, 2019). Pemberian intervensi keperawatan jiwa pada
pasien dengan waham berfokus pada orientasi realita, menstabilkan proses pikir,
dan keamanan (Townsend, 2015). Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik
untuk mengetahui lebih lanjut terkait proses keperawatan pada pasien dengan ganggan
proses pikir waham kebesaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan pada latar belakang maka rumusan
masalah dalam askep ini yaitu : Asuhan Keperawatan Jiwa Pada pasien Dengan
Gangguan Proses Proses Pikir : Waham Kebesaran
1. Tujuan Umum
untuk menjelaskan terkait asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan proses pikir:
Waham kebesaran
2. Tujuan Khusus

a. Mampu mengetahui defenisi, penyebab, tanda dan gejala,


rentang respon dan penatalaksanaan pada klien Waham Kebesaran
b. Mampu melakukan pengkajian dengan Waham Kebesaran
c. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan dengan Waham Kebesaran
d. Mampu menetapkan intervensi keperawatan dengan Waham Kebesaran
e. Mampu melakukan implementasi keperawatan dengan Waham Kebesaran
f. Mampu mengevaluasi hasil asuhan keperawatan dengan Waham Kebesaran
8

BAB II

Tinjauan pustaka

A. Konsep Gangguan Jiwa


1. Pengertian
Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami
perubahan baik dari segi mental, emosi, pikiran, perasaan, motivasi, keinginan,
kemauan dan persepsi sehingga mengganggu dalam kehidupan sehari-hari (Asriani et
al., 2020)
Sedangkan menurut (Mawaddah, 2020) gangguan jiwa merupakan suatu perubahan
yang mempengaruhi individu dalam berpikir, berprilaku serta dapat menyebabkan
hambatan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Selain itu, menurut (Hasan et al., 2020) gangguan jiwa terjadi karena adanya
penyimpangan dari segi prilaku serta adanya perubahan dalam emosi yang membuat
prilakunya menjadi aneh serta dapat menurunkan fungsi mentalnya yang membuat dia
sulit dalam melakukan aktivitas sehari-hari di masyarakat.
2. Penyebab
Menurut (Widodo, 2019) gangguan jiwa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :
a. Faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis
Merupakan unsur yang ada pada diri pasien yang menyebabkan timbulnya
Skizofrenia seperti gangguan neroanatomi, nerofisiologi, nerokimia, tingkat
kematangan dan perkembangan organik, faktor-faktor pre dan peri natal.
b. Faktor Psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif
Seperti komunikasi antara ibu dan anak yang terganggu atau abnormal berdasarkan
keadaan yang terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan) kekurangan, peranan
ayah, adanya persaingan antara saudara kandung, intelegensi, hubungan dalam
keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat, kehilangan yang menyebabkan
kecemasan, depresi dan rasa malu atau rasa bersalah.
c. Faktor Sosio-budaya (sosiogenik) atau sosiokultural
Berhubungan dengan pola dalam mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan (di
kota dan di desa), masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka yang salah
terkait fasilitas kesehatan, tingkat pendidikan yang rendah, kesejahteraan yang tidak
memadai dan adanya pengaruh rasial dan keagamaan.
9

Sedangkan Menurut (Andrawina et al., 2014) gangguan jiwa disebabkan oleh


beberapa faktor diantaranya :
a. Faktor Keturunan
Individu atau anggota keluarga yang memiliki gangguan jiwa akan cendrung lebih
tinggi mengalami gangguan jiwa dibandingkan individu atau keluarga yang tidak
memiliki riwayat keturunan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Wahyuningsih,
2015) dengan judul penelitian Hubungan Faktor Keturunan Dengan Kejadian
Gangguan Jiwa Di Desa Banaran Galur Kulor Progo Yogyakarta menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor keturunan dengan kejadian
gangguan jiwa di Desa Banaran Galur Kulon Progo.
b. Faktor Cacat kongenital
Cacat kongenital atau cacat sejak lahir dapat juga mempengaruhi perkembangan
psikologis anak seperti retardasi mental yang berat, dan bisa menyebabkan gangguan
jiwa apabila individu tidak dapat menilai dan menyesuaikan diri dengan kondisi dia
saat ini. Dan ditambah lagi tuntutan yang diberikan keluarga terhadap dirinya di luar
kemampuannya.
c. Deprivasi
Deprivasi atau kehilangan fisik merupakan cacat yang dibawa sejak lahir ataupun
akibat kecelakaan yang menyebabkan anggota geraknya yaitu tangan atau kaki harus
diamputasi.
d. Penyalahgunaan obat-obatan
Merupakan pemakaian obat-obatan yang berlebihan sehingga menyebabkan individu
ketergantungan. Zat yang dimaksud disini adalah zat psikoaktif yang dapat
berpengaruh pada sistem saraf pusat yang mempengaruhi kesadaran, pikiran dan
perasaan.
3. Tanda dan Gejala gangguan Jiwa
Menurut (Widodo, 2019) tanda dan gejala dari gangguan jiwa meliputi :
a. Gangguan kognisi
Gangguan kognisi merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi seseorang dalam
berpikir, mengingat dan belajar
b. Gangguan perhatian
Gangguan perhatian merupakan gangguan berupa kesulitan seseorang dalam
memusatkan perhatian serta memiliki prilaku yang impulsif dan hiperaktif
10

c. Gangguan ingatan
Gangguan ingatan merupakan suatu kondisi dimana individu mengalami masalah di
otak yang menyebabkan kesulitan dalam menyimpan, mengendalikan bahkan sulit
mengingat kembali apa sudah di lakukan sebelumnya.
d. Gangguan asosiasi
Gangguan asosiasi adalah proses mental di mana perasaan, kesan, atau gambaran
ingatan cenderung menimbulkan kesan atau gambaran.
e. Gangguan pertimbangan
Gangguan pertimbangan merupakan suatu kondisi dimana individu kesulitan dalam
memutuskan aktivitas apa saja yang harus dilakukan terlebih dahulu dan kesulitan
dalam membandingkan atau menilai suatu pekerjaan
f. Gangguan pikiran
Gangguan pikiran merupakan suatu kondisi dimana seseorang kesulitan dalam
proses berpikir secara normal dan sulit membedakan antara fantasi dan kenyataan.
g. Gangguan kemauan
Gangguan kemauan merupakan suatu kondisi yang dialami individu dimana
keinginan ataupun kemauannya harus segera dilaksanakan. Adapun bentuk dari
gangguan kemauan adalah :
1) Kemauan yang lemah (abulia) merupakan kehilangan motivasi atapun dorongan
untuk memulai suatu kegiatan
2) Kekuatan adalah ketidakmampuan individu dalam memutuskan atau merubah
prilaku
3) Negativisme merupakan suatu kondisi dimana individu menolak atau menentang
nasihat ataupun permintaan dari pihak lain untuk merubah prilaku tertentu
4) Kompulasi merupakan suatu kondisi dimana individu berkeinginan untuk
melakukan sesuatu yang tidak masuk akal atau di luar kebiasaan orang pada
umumnya
h. Gangguan emosi dan afek
Perasaan dan emosi merupakan spontan reaksi dari individu yang bila tidak diikuti
perilaku tersebut maka tidak akan menetap persepsi seseorang tersebut terhadap
sekelilingnya atau dunianya. Perasaan berupa perasaan emosi positif seperti merasa
gembira, kagum, senang, cinta dan bangga. Sedangkan perasaan emosi negatif
berupa merasa sedih, marah, cemas, takut, kecewa, depresi, kehilangan rasa senang
dan tidak dapat merasakan kesenangan.
11

i. Gangguan psikomotor
Gangguan psikomotor merupakan gerakan badan dipengaruhi oleh keadaan jiwa
sehinggga afek bersamaan yang megenai badan dan jiwa, juga meliputi perilaku
motorik yang meliputi kondisi atau aspek motorik dari suatu perilaku.
B. Konsep Waham
1. Pengertian
Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh kesimpulan yang
salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat. Waham
merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita yang
berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata dan yang
tidak nyata (Victoryna, 2020)
Gangguan proses pikir waham merupakan suatu keyakinan yang sangat
mustahil dan dipegang teguh walaupun tidak memiliki bukti-bukti yang jelas,
dan walaupun semua orang tidak percaya dengan keyakinannya (Bell, 2019)
2. Penyebab
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak
kemungkinan penyebab waham, termasuk gangguan neurodegeneratif,
gangguan sistem saraf pusat, penyakit pembuluh darah, penyakit menular,
penyakit metabolisme, gangguan endokrin, defisiensi vitamin, pengaruh
obat-obatan, racun, dan zat psikoaktif.
a.Faktor Predisposisi
1) Biologis
Pola keterlibatan keluarga relative kuat yang muncul di kaitkan
dengan delusi atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga
yang di manifestasikan dengan gangguan ini berada pada resiko lebih
tinggi untuk mengalaminya di bandingkan dengan populasi
umum.Studi pada manusia kembar juga menunjukan bahwa ada
keterlibatan factor.
2) Teori Psikososial
a). System Keluarga
Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi
keluarga.Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak.
Bayaknya masalah dalam keluarga akan mempengaruhi
perkembangan anak dimana anak tidak mampu memenuhi tugas
perkembangan dimasa dewasanya. Beberapa ahli teori menyakini
12

bahwa individu paranoid memiliki orang tua yang dingin,


perfeksionis, sering menimbulkan kemarahan,perasaan
mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan tidak percaya pada
individu. Klien menjadi orang dewasa yang rentan karena
pengalaman awal ini.
3). Teori Interpersonal
Dikemukakan oleh Priasmoro (2018) di mana orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang tua-anak yang
penuh dengan ansietas tinggi.Hal ini jika di pertahankan maka konsep
diri anak akan mengalami ambivalen.
.b).FaktorPresipitasi
1). Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
a) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi
b) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan.
2).Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
3). Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering
menunjukkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa
terdapat pada respon neurobiologik yang maladaptif berhubungan
dengan kesehatan. Lingkungan, sikap dan perilaku individu
(Direja, 2011)
13
14

3. Fase Waham
Menurut Eriawan (2019) Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam
yaitu :
a. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham
dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi
sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita.
Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya
untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara
Reality dengan selfideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana
tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dan diperhitungkan dalam
kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan
bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang (life span history).
b. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan
antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi
sertamemiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal
yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh.
Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
c. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa- apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting
dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar
15

klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan


klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat
karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak
merugikan orang lain.
d. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama
kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut
sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari
sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma ( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada
lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri
dan menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).
f. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema
waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu
atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang
hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi
waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara
konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-
apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
16

4. Jenis Waham
Menurut Prakasa, (2020) jenis waham diantaranya yaitu :
a). Waham kebesaran
individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulangkali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Sayainipejabatdi separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
b). Waham curiga
individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan diucapkan berulangkali, tetapi tidak sesuai
kenyataan.Contoh,“Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c). Waham agama
individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian
putih setiap hari.”
e. Waham somatic
individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya
pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker,
tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
f. Waham nihilistik
Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal dan
diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, ”Ini kan
alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”.
g. Waham sisip pikir
keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke dalam
pikirannya.
17

h. Waham siar pikir


keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
i. Waham kontrol pikir
keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di luar dirinya.
5. Tanda dan Gejala
Menurut Prakasa, (2020) bahwa tanda dan gejala gangguan proses pikir waham
terbagi menjadi 8 gejala yaitu, menolak makan, perawatan diri, emosi, gerakan
tidak terkontrol, pembicaraan tidak sesuai, menghindar, mendominasi
pembicaraan, berbicara kasar.
a. Waham Kebesaran
1). DS : Klien mengatakan bahwa ia adalah presiden, Nabi, Wali, artis dan
lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dirinya.
2). DO :
a). Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b). Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan,
secara keseluruhan tidak dapat dimengerti
c). Klien mudah marah
d). Klien mudah tersinggung
b. Waham Curiga
1). DS :
a). Klien curiga dan waspada berlebih pada orang tertentu
b). Klien mengatakan merasa diintai dan akan membahayakan dirinya.
2). DO :
a). Klien tampak waspada
b). Klien tampak menarik diri
c). Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
d). Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan, secara
keseluruhan tidak dapat dimengerti )
18

c. Waham Agama
1). DS : Klien yakin terhadap suatu agama secara berlebihan,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2). DO :
a). Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b). Klien tampak bingung karena harus melakukan isi wahamnya
c). Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak
berhubungan, secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d.WahamSomatik
1). DS :
a). Klien mengatakan merasa yakin menderita penyakit fisik
b). Klien mengatakan merasa khawatir sampai panik
2). DO :
a). Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b). Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan, secara
keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c). Klien tampak bingung
d).Klien mengalami perubahan pola tidur .
e). Klien kehilangan selera makan
e.WahamNihilistik
1). DS :
Klien mengatakan bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2). DO :
a). Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b). Inkoheren ( gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan, secara
keseluruhan tidak dapat dimengerti )
c). Klien tampak bingung
d). Klien mengalami perubahan pola tidur
e). Klien kehilangan selera makan
19

f. Waham Sisip Pikir


1) DS :
a) Klien mengatakan ada ide pikir orang lain yang disisipkan dalam
pikirannya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
b) Klien mengatakan tidak dapat mengambil keputusan
2) DO :
a) Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
b) Klien tampak bingung
c) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan,
secara keseluruhan tidak dapat dimengerti)
d) Klien mengalami perubahan pola tidur
g.KontrolPikir
1) DS :
a)Klien mengatakan pikirannya dikontrol dari luar
b). Klien tidak mampu mengambil keputusan
2) DO : - Perilaku klien tampak seperti isi wahamnya
a) Klien tampak bingung
b) Klien tampak menarik diri
c) Klien mudah tersinggung
d) Klien mudah marah
e) Klien tampak tidak bisa mengontrol diri sendiri
f) Klien mengalami perubahan pola tidur
g) Inkoheren (gagasan satu dengan yang lain tidak logis, tidak berhubungan, secara
keseluruhan tidak dapat dimengerti)
20

Bab III
Pembahasan

A. Konsep Asuhan Kepearawatan


1. Pengkajian
a. Identifikasi klien
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien tentang:
Nama klien, panggilan klien, Nama perawat, tujuan, waktu pertemuan, topic
pembicaraan.
b. Keluhan utama/alasan masuk
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang ke
Rumah Sakit, yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah dan
perkembangan yang dicapai.
c. Tanyakan pada klien/keluarga ,apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa
lalu pernah melakukan ,mengalami, penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal. Dapat dilakukan
pengkajian pada keluarga faktor yang mungkin mengakibatkan terjadinya gangguan:
d. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis
dari klien.
e. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak, pertumbuhan dan perkembangan individu
pada prenatal, neonatus dan anak-anak.
f. Sosial Budaya
Seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan),
kehidupan yang terisolasi serta stress yang menumpuk.
g. Aspek fisik/biologis
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi, suhu,
pernafasan. Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji fungsi
organ kalau ada keluhan
21

h. Aspek psikososial
1) Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah yang
terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan dan polaasuh.
i. Konsep diri
1) Citra tubuh: mengenai persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian yang disukai
dan tidak disukai.
2) Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap
status dan posisinya dan kepuasanklien sebagai laki- laki/perempuan.
3)Peran: tugas yang di emban dalam keluarga/kelompok dan masyarakat dan
kemampuan kliendalammelaksanakantugas tersebut.
4) Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas, lingkungan
dan penyakitnya.
5) Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian dan penghargaan orang
lain terhadap dirinya, biasanya terjadi pengungkapan kekecewaan terhadap
dirinya sebagai wujud harga diri rendah.
j. Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok yang diikuti dalam masyarakat
k. Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah,.
l. Status mental
Nilai penampilan klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktvitas motori klien, alam perasaan klien (sedih, takut, khawatir), afek
klien, interaksi selama wawancara, persepsi klien, proses pikir, isi
pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentasi dan berhitung,
kemampuan penilaian dan daya tilik diri.
m. Proses pikir.
Proses pikir dalam berbicara jawaban klien kadang meloncat-loncat dari satu
topik ketopik lainnya, masih ada hubungan yang tidak logis dan tidak
sampai pada tujuan (flight ofideas) kadang-kadang klien mengulang
pembicaraan yang sama (persevere)
22

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Damaiyanti (2012) Masalah keperawatan yang sering muncul pada klien
waham adalah: Gangguan proses pikir: waham, Kerusakan komunikasi verbal dan Harga
diri rendah kronik.
3. Rencana Keperawatan
Rencana Keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada masalah
waham sebagai diagnosa penyerta lain. Hal ini dikarenakan tindakan yang
dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan dicapai. Rencana
tindakan keperawatan pada klien dengan diagnosa gangguan proses pikir : waham
yaitu (Keliat, 2009) :
a. Bina hubungan saling percaya
Sebelum memulai mengkaji pasien dengan waham, saudara harus membina hubungan
saling percaya terlebih dahulu agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi
dengan saudara. Tindakan yang harus saudara lakukan dalam rangka membina hubungan
saling percaya adalah:
1). Mengucapkan salam terapeutik
2). Berjabat tangan
3). Menjelaskan tujuan interaksi
4). Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realita
1). Tidak mendukung atau membantah waham pasien
2). Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman
3). Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari
4).Jika pasien terus menerus membicarakan wahamnya dengarkan tanpa memberikan
dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya
5). Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan
realitas.
6).Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah.
7).Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional
pasien
dimiliki
9). Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki
10). Berdiskusi tentang obat yang diminum
23

11).Melatih minum obat yang benar


4. Implementasi keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata
sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana hal ini terjadi karena perawat
belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan
keperawatan Dalami (2009).
5.Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan klien (Dalami, 2009). Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon
klien terhadap tindakan yang telah dilaksanakan, evaluasi dapat dibagi dua jenis
yaitu : evaluasi proses atau formatif dilakukan selesai melaksanakan tindakan.
Evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada
tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ditentukan.
Menurut Yusuf (2015) evaluasi yang diiharapkan pada asuhan keperawatan
jiwa dengan gangguan proses pikir adalah:
a. Pasien mampu melakukan hal berikut:
1). Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
2). Berkomunikasi sesuai kenyataan.
3). Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
b. Keluarga mampu melakukan hal berikut:
1). Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai kenyataan.
2). Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan pasien.
3). Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
Daftar pustaka

Andrawina, L. R., Ningtyas, F. W., & Ririanty, M. (2014). Peran Pekerja Sosial dalam
Penanganan Orang dengan Gangguan Jiwa ( ODGJ ) di UPT Liposos Jember
( The Role of Social Workers in the Handling of People With Mental Disorders
( ODGJ ) in UPT . Liposos Jember ). 118–122.
Asriani, Nauli, F. A., & Karim, D. (2020). Hubungan Tingkat Pengetahuan Terhadap
Sikap Masyarakat Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa. Health Care : Jurnal
Kesehatan, 9(2), 77–85. https://doi.org/10.36763/healthcare.v9i2.80
Asis, S. J. De. (2018). Psychiatric Disorders Late in Life. Psychiatric Disorders
Late in Life, 11–20. https://doi.org/10.1007/978-3-319-73078-3
Direja, A. H. (2011). Buku ajar asuhan keperawatan jiwa.
Eriawan, A. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Klien Tn “O” Yang Mengalami
Bipolar Dengan Masalah Keperawatan Waham Paranoid Di Ruangan
Palm Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2019. https://lib.akpermpd.ac.id/index.php?p=show_detail&id=1451
Habibi, (2017). Hubungan antara perilaku merokok dengan harga diri pada remaja
akhir‘.
Hasan, L. A., Pratiwi, A., & Sari, P. (2020). Pengaruh Pelatihan Kader Kesehatan jiwa
Dalam Peningkatan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, Persepsi dan Self Efficacy
Kader Kesehatan Jiwa Dalam Merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa. 1(6),
377–384.
Hendarsyah, F. (2016). Diagnosis dan tatalaksana skizofrenia paranoid dengan
gejala-gejala positif dan negatif. Jurnal Medula, 4(3), 57-62.
Herlina (2013) ‗Perkembangan Usia Remaja (Usia 11/12 – 18 tahun)‘, Mengatasi
Masalah Anak Dan Remaja Melalui Buku, pp. 1–5.
Keliat, B. A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Keliat, B.A., & Pawirowiyono, A. (2015). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas
Kelompok Edisi 2. Jakarta: EGC.
Kusumaryani, M. and Antarwati, E. (2017) ‗Brief notes : prioritaskan kesehatan
reproduksi remaja untuk menikmati bonus demografi‘, Lembaga Demografi
FEB UI, pp. 1–6. Available at: http://ldfebui.org/wp-
content/uploads/2017/08/BN-06-2017.pdf.
Mawaddah. (2020). Faktor Predisposisi Dan Presipitasi Terjadinya Gangguan Jiwa Di
Desa Sumbertebu Bangsal Mojokerto. 28(2), 1–43.
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1120700020921110%0Ahttps://doi.org/1
0.1016/j.reuma.2018.06.001%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.arth.2018.03.044%0Ahtt
ps://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S1063458420300078?
token=C039B8B13922A2079230DC9AF11A333E295FCD8
Pardede,J.A.,&Siregar,R.A.(2016).Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat
Terhadap Perubahan Gejala Halusinasi Pada Klien skizofrenia. Mental Health,
3(1).
Pardede, J. A., Keliat, B. A., & Yulia, I. (2015). Kepatuhan dan Komitmen Klien
Skizofrenia Meningkat Setelah Diberikan Acceptance And Commitment
Therapy dan Pendidikan Kesehatan Kepatuhan MinumObat.Jurnal
Keperawatan Indonesia, 18(3), 157-166.
https://doi.org/10.7454/jki.v18i3.419
Puslitbang (2015).Perilaku Berisiko Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di
Indonesia, Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI, pp. 1–116.
Townsend, M. C., & Morgan, K. I. (2017). Psychiatric mental health nursing:
Concepts of care in evidence-based practice. FA Davis.
WHO (2018). Adolescent health and development‘, Http: //Www. Searo.
Who.Int/Entity/Child_Adolescent/Topics/Adolescent_Health/En/.Availableat:ht
tp://www.searo.who.int/entity/child_adolescent/topics/adolescent_health/en/.
Widodo. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Pengetahuan
Masyarakat Tentang Gangguan Jiwa Di Rt/Rw 002/04 Desa Sukarahayu
Kecamatan Tambelang Kabupaten Bekasi Tahun 2019. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Widodo, S. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Skizofrenia di
wilayah kerja UPT Puskesmas Gantrung Kabupaten Madiun. 15–16.
Yusuf, A., dkk. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba.
Daftar pustaka

Lestari, W. (2016) Analisis Faktor-Faktor Penyebab Bullying Di Kalangan Peserta


Didik, Sosio-Didaktika - Social Science Education Journal. doi:
10.15408/sd.v3i2.4385.

Oliveira, F. R. et al. (2018) ‘Bullying effect on student’s performance, EconomiA.


National Association of Postgraduate Centers in Economics, ANPEC, 19(1),
pp. 57–73. DOI: 10.1016/j.econ.2017.10.001.

Prasetyo, A. B. E. (2014). Bullying di Sekolah dan Dampaknya bagi Masa Depan Anak.
el-Tarbawi, 4(1), pp. 19–26. doi: 10.20885/tarbawi. vol 4 .iss1.art2.
Pratama, Krisnatuti, D. H. (2014) ‘Gaya Pengasuhan Otoriter Dan Perilaku Bullying Di
Sekolah Menurunkan Self-Esteem Anak Usia Sekolah’. DOI:
org/10.24156/jikk.2014.7.2.75.

Setyawan, D.(2018) Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Kpai. Available at:


https://www.kpai.go.id.

Ybarra, M. L. et al. (2018) ‘Perceptions of middle school youth about school bullying’,
Journal of Adolescence. Elsevier, (October), pp. 1–13. doi:
10.1016/j.adolescence.2018.10.008.

Anda mungkin juga menyukai