Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM PERNIKAHAN DALAM

ISLAM DAN

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

DISUSUN:

1. 5191011034 FAJRI CHAIRUL ANANG


2. 5191011012 ANDI AKBAR
3. 5191011033 SONI KURNIAWAN
4. 5191011048 MUHAMMAD ALWIYAZI
5. 5191011017 GUSTI RIYAN RAMADAN

JURUSAN TEKNIK KOMPUTER

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS TEKNOLOGI

YOGYAKARTA 2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Hukum Pernikahan Dalam Islam Dan
Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Deraman,
S.Pd.I., MSI pada Agama Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Hukum Pernikahan Dalam Islam Danhukum Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Deraman, S.Pd.I., MSI, selaku Dosen Agama Islam
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Madiun, 04 April 2021

Fajri Chairul Anang


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................2
DAFTAR ISI............................................................................3
BAB I.......................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................4
A. Latar Belakang..................................................................4
B. Rumusan Masalah.............................................................4
BAB II......................................................................................5
PEMBAHASAN......................................................................5
A. Hukum Pernikahan dalam Islam.......................................5
1. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah..............................5
2. Rukun Islam...................................................................5
3. Hukum Nikah.................................................................8
4. Tujuan Menikah.............................................................9
B. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam.................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan
tanggung jawab. Umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang seagama
sehingga dapat membangun keluarga berdasarkan satu prinsip dan akan lebih mudah
dalam membangun kesepahaman dalam hal tujuan hidup ataupun mendidik agama
bagi keturunannya. Namun tidak sedikit pula pasangan yang akan melakukan
pernikahan dengan perbedaan keyakinan, hal itu dapat dimungkinkan karena adanya
pergaulan antar manusia yang tiada batas. Berbagai kondisi tersebut tidak dapat
menghindari adanya pernikahan antar agama, ini menjadi hal yang semakin umum di
lingkungan masyarakat. Apalagi Indonesia mengakui lebih dari 1 (satu) agama,
sehingga tidak menutup kemungkinan calon pasangan yang akan melangsungkan
pernikahan dengan pasangan yang berbeda dalam hal agamanya.
Hal tersebut menjadi permasalahan dalam penerapannya karena Undang-
Undang pernikahan tidak memberikan ruang pengaturan bagi 2 pasangan yang akan
melangsungkan pernikahan dengan berbeda agamanya. Jadi sah atau tidaknya
pernikahan ditentukan oleh hukum agama calon mempelai. Jika kedua calon
mempelai berbeda agama, maka keabsahan pernikahannya ditentukan menurut
agamanya masing- masing. Oleh karenanya, tidak jarang mereka melakukan upacara
pernikahan dua kali menurut agamanya masing-masing. Sedangkan pencatatan
pernikahan hanyalah merupakan persyaratan administratif saja. Kantor Catatan Sipil
diberi kewenangan pencatatan dan penerbitan kutipan akta-akta bagi mereka yang
bukan beragama Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pernikahan Dalam Islam?
2. Apa Saja Kah Syarat Syarat Pernikahan Dalam Islam?
3. Bagaimana Hukum Pernikahan Dalam Islam?
4. Bagaimanan Hukum Pernikahan Beda Agama Dalam Islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Pernikahan dalam Islam


1. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ‫) اﻟﻨﻜﺎح‬, adapula yang mengatakan
perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj. Sedangkan
menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara
pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan
hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja. Pernikahan adalah ;
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukun- rukun
dan syarat-syarat.
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali)
pada umumnya mereka mendefinisikan pernikahanpada :
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan
dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau
makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan
nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan
dalam Firman Allah:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21).

2. Rukun Islam
a. Wali nikah
Wali nikah adalah sebutan bagi pihak laki-laki dari keluarga perempuan yang
bertugas mengawasi keadaan dan kondisi mempelai dalam prosesi perkawinan.
Perwalian, secara syariat merupakan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas
keadaan si perempuan yang dinikahkan.
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka
wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap
kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa
adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.”

b. Saksi
Pernikahan yang sah diperlukan saksi dari kedua belah pihak. Persyaratan
saksi antara lain orang tersebut beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan
adil. Saksi bisa berasal dari pihak keluarga, tetangga, dan orang yang dipercaya
seperti sahabat sebagai saksi.
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan
Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist di
kuatkandengan hadits-hadits lain.”)

c. Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Qabul adalah penerimaan
dari pihak suami dengan ucapannya
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1) Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
2) Adanya Ijab Qabul.
3) Adanya Mahar.
4) Adanya Wali.
5) Adanya Saksi-saksi.
Untuk terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2) Ijab qobulnya dalam satu majelis, yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak
boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut adat dianggap ada
penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qobul.
Di dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh masing-
masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul
dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang
dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul Muslim.
“Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah aku dengan
putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu dengan
putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah
putrimu.”

d. Mahar (Mas Kawin)


Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang
wanita.Mahar juga merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang
dinikahinya, yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Kita bebas
menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan
mahar dalam syari’at Islam,tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan
dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar
meringankan mahar.
Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling
mudah (ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

e. Khitbah
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita,
hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya. Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh
lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut.
Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya
hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan
pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Diantara yang perlu diperhatikan oleh wali ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki
yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah
perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
 Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki
yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka
hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda:

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan
akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan
orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan
terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-
Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

 Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh


memaksanya. Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya
ia malu.

3. Hukum Nikah
Adapun hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang ada lima,
yaitu :
a) Wajib bagi orang yang sudah mampu nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak
untuk melakukan persetubuhan yang dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek
perzinahan.
b) Haram bagi orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin
kepada calon istrinya,sedangkan nafsunya belum mendesak.
c) Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan
untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri dari berbuat haram.
d) Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu member belanja calon
istrinya.
e) Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas an-alasan yang mewajibkan segera nikah
atau karena alas an-alasan yang mengharamkan untuk nikah.
4. Tujuan Menikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan
syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun
hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini: Pertama, Melaksanakan anjuran
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk
menikah maka hendaknya ia menikah….”

Kedua, Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari
kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang
lain.”

Ketiga, Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan


pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita

B. Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam


Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221 yang menerangkan
larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.

QS.Al-Baqarah(2):221:
Allah swt. berfirman: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang beriman lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya.”

Tetapi secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama dalam
teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya
pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab,
pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat alMaidah ayat 5 yang
menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum
muslim.
QS. Al-Maa`idah (5): 5:
Allah swt. berfirman: “….(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”

Tetapi pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama, dalam
pembahasan hukum pernikahan beda agama ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a) Pernikahan dengan non muslim/ kafir


para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan
oleh pakar AlQur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang
bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah
pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan
segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan
kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam.

QS. surat Al-Hajj: 17 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang


Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan
orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara merekapada
hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.

Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai
non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ashShabiin, al-Majus, al-
Musyrikun.

Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk


tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka
beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir
secara global telah disepakati oleh para ulama. Lebih lanjut, Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga
didasarkan pada surat Al-Baqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.

b) Pernikahan dengan ahli kitab.


Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahli kitab adalah orang Yahudi dan orang
Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang
menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i
adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan
bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar
hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang
nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab.
Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang
memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh
pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan
bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli
kitab menjadi diperbolehkan. Pendapat ini juga mendapat dukungan dari
Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS Al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus
oleh surat Al- Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab
tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/57103423/05_PERNIKAHAN_DALAM_ISLAM_-
_Wahyu.pdf?1533000395

https://almanhaj.or.id/3553-nikah-tidak-sah-kecuali-dengan-keberadaan-wali.html

https://tirto.id/urutan-wali-nikah-dan-syaratnya-dalam-islam-fNYt

Anda mungkin juga menyukai