Anda di halaman 1dari 41

KEKUATAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH

NOTARIS DALAM PENDAFTARAN TANAH BERDASARKAN


HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Latar Belakang Masalah


Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional yang
giat kita laksanakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan nasional
Negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) alinea
IV, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
abadi, kemerdekaan, dan keadilan sosial. Adapun pelaksanaan dari pembangunan
nasional itu bukan semata-mata merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi
juga merupakan tanggung jawab masyarakat.

Kekayaan alam yang ada di Indonesia dikuasai oleh negara dan


dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat di Indonesia. Hal ini tercantum
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengatakan bahwa:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya


dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi
Bangsa Indonesia untuk memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam
tersebut secara optimal demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia.”

Pernyataan tersebut bermakna kekuasaan yang diberikan kepada Negara


atas bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya itu meletakan
kewajiban kepada Negara untuk mengatur pemilikan dan memimpin
penggunaanya, sehingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan Negara
1
2

indonesia dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran


rakyat.1

Dari pernyataan tersebut diatas juga menjelaskan dua hal yaitu: secara
konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah
sebagai bagian dari bumi, namun di lain hal penguasaan tersebut bertujuan dalam
rangka untuk kemakmuran rakyat yang merupakan landasan lahirnya Undang-
undang Pokok agraria (UUPA).

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:

“Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-undang dasar dan hal-hal


sebagaimana dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh
rakyat.”

Pasal 2 ayat (1) ini memberikan suatu sikap bahwa untuk mencapai tujuan
dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidaklah pada tempatnya bangsa indonesia atau
negara bertindak sebagai pemilik tanah, hal ini sesuai dengan penjelasan dari
UUPA tersebut sehingga negara sebagai suatu organisasi kekuasaan seluruh
rakyat ( bangsa ) bertindak selaku badan penguasa atas bumi, air ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara.2

Terkait Hak menguasai Negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penguasaan pelaksanaan tugas
kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. isi wewenang
menguasai Negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 Ayat 2 UUPA,
adalah sebagai berikut:3

1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan , Jakarta, 2003, hlm.173.
2
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Poko Agrarian, Mandar Maju, Cet
Kedelapan, Bandung, 1998, hlm.43.
3
Benhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012 ,
hlm.222.
3

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,


dan pemeliharaan tanah.
b. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antar orang-
orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antar orang-
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.

Termasuk dalam wewenang ini adalah :4

1. Mengatur pelaksaaan pendaftaran tanah diseluruh wilayah republik


Indonesia.
2. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah
3. Mengatur penyelesaian sengketa–sengketa pertanahan, baik yang bersifat
perdata maupoun tata usaha Negara dengan cara mengutamakan
musyawarah untuk mencapai kesepakatan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal


24 September 1960, mengubah sendi-sendi hukum agraria yaitu, dari hukum
agraria kolonial menjadi hukum agraria nasional.5 Salah satu yang berubah adalah
sistem pendaftran tanah. Sesuai dengan Pasal 19 UUPA penyelenggaraan
pendaftaran tanah adalah dalam rangka kepastian hak atas tanah sehingga
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari system hukum agrarian nasional.
Untuk memperoleh hak atas tanah UUPA menjamin bahwa, masyarakat
diindonesia dapat memperoleh hak atas tanah.

Hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang


bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang angkasa yang ada
diatasnya. Menurut Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) hak atas tanah ialah :

a. Hak milik
b. Hak guna usaha
4
Ibid., hlm.224.
5
Waskito Dan Ardi Arnowo M. Arnowo, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2019, hlm. 24-25.
4

c. Hak guna bangunan


d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas. Hak-hak atas
air dan ruang angkasa ialah :
1)Hak guna air
2)Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3)Hak guna ruang angkasa.

Berdasarkan hal pasal tersebut maka objek tanah adalah bidang-bidang


tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai.

Sebagian masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang


kehidupannya berasal dari hasil bertani, atau dapat disebut juga bahwa sebagian
masyarakat di Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, keberadaan tanah
merupakan suatu keharusan. terutama dalam hal kepemilikan atas tanah.

Pengertian Hak milik berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, adalah:

“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah”.

Pengertian turun temurun adalah bahwa hak milik atas tanah dapat
berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal
dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik, terkuak artinya hak milik atas tanah
lebih kuat kedudukannya dibanding dengan hak atas tanah lainnya, terpenuh
5

artinya hak milik atas tanah memberikan atas wewenang kepada pemiliknya lebih
luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya6
Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 ( tiga ) cara, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 22 UUPA, yaitu :
a. Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat
b. Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah
c. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-undang.
Hak milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 ( dua ) cara, yaitu 7:
a. Secara originair, artinya terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama
kalinya menurut Hukum adat, penetapan pemerintah dan undang-
undang.
b. Secara derivative, artinya suatu subjek hukum memperoleh tanah dari
subjek hukum lain yang semula sudah berstatus tanah hak milik
dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah atau pewarisan.

Pendaftaran tanah merupakan persoalan yang sangat penting dalam


UUPA, dan dapat dikatakan pendaftaran hak atas tanah merupakan suatu hal yang
mutlak dilakukan. bahkan terhadap setiap bentuk peralihan, hapusnya maupun
pembebanan terhadap hak milik juga wajib didaftarkan,8 karena pendaftaran tanah
merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah,
begitu pentingnya persoalan pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA
memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dalam ketentuan Pasal 19 UUPA tentang
Ketentuan Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan


pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah
(2) Pendafataran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;
b.Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan-peralihan hak-
hak tersebut;

6
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah , Kencana, Jakarta, 2009, hlm .
94.
7

8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008,
hlm.85.
6

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai


alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan
Negara dan masyarakat, keperluan lalulintas sosial ekonomi serta
kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pewrtimbangan
menteri agraria.
(4) Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran tanah termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan
ketentuan bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran
biaya-biaya tersebut.

Sebagai tindaklanjut dari perintah Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut,


Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah. berpatok pada perkembanagan yang begitu pesat dan
banyaknya persoalan tentang pendaftaran tanah yang muncul kepermukaan, dan
tidak mampu diselesaikan oleh PP No 10 tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah,
maka setelah berlaku kurang lebih 38 tahun, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.9

Bila pada UUPA dan Peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tidak
ada penegertian yang tegas apa yang disebut dengan pendaftaran tanah maka pada
pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 diuraikan secara jelas definisi
pendaftaran tanah10, yaitu:11

“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus


menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan datafiisik
dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar.mengenakan bidang-
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan rumah
susun serta hak –hak tertentu yang membebaninya”.
Adapun tujuan dari pendaftaran tanah berdsarkan Pasal 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
9
Supriadi, Op.Cit., hlm.152-153.
10
Muhammad Yamin Lubis, Dan Abd Rahman Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi
Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.168.
11
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
7

“Pendaftaran tanah bertujuan untuk:


a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanahsatuan rumah susun dan hak
hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat dibuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah atau satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana
setiap bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya
hak atas tanah wajib didaftar.”

Selanjutnya dalam proses peralihan hak atas tanah tidak terlepas dari
adanya peran seorang Notaris/ PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang
disebut juga sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk
melayani masyarakat dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum yaitu berupa akta otentik. Sedangkan fungsi pokok dari pendaftaran tanah
ialah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan
hukum mengenai tanah dan memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas
tanah.12
Notaris, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan notary, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan van notaris, mempunyai peranan yang
sangat penting dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum
keperdataan, karena notaris berkedudukan sebagai pejabat publik, yang
mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya 13.
Pengertian Notaris itu sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), yang
menyebutkan bahwa14:

12
Ana Silviana, Teori dan Praktek Pendaftran Tanah, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, hlm.21-22.
13
Salim H.S., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaries,
Bentuk Dan Minuta Akta), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.33.
14
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
8

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada notaris, terlihat bahwa


notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut
pengetahuan luas serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan
umum, karena dari inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik
hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris.
Sehingga tidak jarang berbagai hal dalam peraturan perundang-undangan mewajibkan
perbuatan hukum tertentu dibuat dalam bentuk akta otentik, seperti pendirian
perseroan terbatas, koperasi, akta jaminan fidusia dan sebagainya disamping akta
tersebut dibuat atas permintaan para pihak.
Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya negara untuk
menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat, mengingat
dalam wilayah hukum privat/perdata, negara menempatkan notaris sebagai pejabat
umum yang berwenang dalam hal pembuatan akta otentik untuk kepentingan
pembuktian/alat bukti.
Kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN, yang menyatakan bahwa:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.15

Selain kewenangan yang dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris
juga berwenang dalam hal yang telah dicantumkan pada Pasal 15 ayat (2), yaitu
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
15
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm.18.
9

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;


f. Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan.

Berdasarkan Pasal tersebut diatas, Notaris dalam melaksanakan tugasnya


sebagai pejabat pembuat akta otentik adalah mempunyai kewenangan lainnya
yaitu membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan yang tercantum dalam
Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN.
Terkait dengan kewenangan membuat akta yang berkaitan pertanahan ini
terjadi kekaburan makna atau juga disebut Vague Norm. Pada ayat (1) dalam
penjelasan undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pasal 15 ayat 2 huruf (f),
disebutkan “cukup jelas”, artinya harusnya tidak terjadi perbedaan penafsiran
terkait dengan ketentuan ayat tersebut sehingga dengan serta merta semua hal yang
berkaitan dengan pertanahan notaris berwenang untuk membuat akta.
Pengaturan mengenai akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang diatur dalam Pasal 1868, Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), dan Pasal 1 angka 7 UUJN.

Pasal 1868 KUHPerdata mengatakan bahwa:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta
dibuatnya”.
Pasal 1870 KUHPerdata juga mengatakan bahwa:16

“Suatu akta memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli


warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya”.

Sedangkan Pasal 1 angka 7 UUJN mengatakan bahwa:17

“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini”.

16
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
17
Pasal 1 Angka 7 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
10

Pembuatan akta otentik di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh seorang


notaris. Hal ini dikarenakan masih ada beberapa profesi di Indonesia yang berhak
untuk membuat akta otentik. Adapun pemberian kewenangan untuk membuat akta
otentik tersebut diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Pembuatan akta otentik yang dibuat selain oleh notaris dapat dilihat dalam
Pasal 15 ayat (1) pada kalimat bagian akhirnya mengatakan:

“ ...semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga


ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang”.
Pasal 15 ayat (1) ini bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak semua akta
otentik itu dibuat oleh notaris. Adapun pejabat lain selain Notaris yang dapat
membuat akta otentik antara lain Camat, Kantor Urusan Agama dan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pejabat pembuat akta Tanah (PPAT) pada saat sekarang ini diberikan
mandat oleh Peraturan Pemerintah yang ada untuk membuat akta otentik yang
berhubungan dengan tanah. Ketentuan mengenai jabatan PPAT pada saat ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan PP
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Diundangkannya PP Nomor 24 Tahun 2016 ini berdasarkan amanat dari UUPA
yang mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah.
Amanat UUPA dalam melaksanakan pendaftaran tanah ini kemudian
diimplementasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan diundangkannya PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ini menetapkan bahwa PPAT diberikan
kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun.
Boedi Harsono menyatakan bahwa: “ PPAT yaitu Pejabat-pejabat yang
menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat yang
diberikan wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
11

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”
18
. PPAT adalah pejabat yang didalam struktur organisasi tidak mempunyai unsur
atasan maupun unsur bawahan, artinya jabatan dari PPAT merupakan suatu
profesi mandiri, akan tetapi PPAT didalam menjalankan tugas kesehariannya
membantu Kepala Kantor Pertanahan, yaitu mempunyai fungsi sebagai Pejabat
Umum yang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan mendapat kewenangan
dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Kantor Pertanahan
Nasional dalam hal membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
pembebanan hak atas tanah yang merupakan alat bukti yang otentik.19
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 telah memberikan kewenangan
kepada PPAT untuk membuat akta otentik. Kewenangan yang diberikan oleh
Pemerintah kepada PPAT dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 tersebut yaitu untuk
membuat akta yang berhubungan dengan tanah. Sebagai pejabat yang berwenang
dalam membuat akta otentik, Notaris telah diberi kewenangan dalam UUJN-P
untuk membuat berbagai akta otentik, adapun kewenangan Notaris tersebut seperti
diatas telah diuraikan diatur dalam Pasal 15 UUJN-P. Kewenangan untuk
membuat akta otentik telah disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN-P. Pasal 15
ayat (2) UUJN-P menjabarkan berbagai akta otentik yang dapat dibuat oleh
seorang Notaris. Kewenangan tersebut antara lain:20
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi cetakan Kedua Belas,
2008, hlm.506.
19
A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPA, Bandung,
Alumni, 1990, hlm.40.
20
Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
12

Kewenangan yang diberikan kepada seorang Notaris telah jelas


disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN-P akan tetapi dari beberapa
kewenangan yang diberikan kepada Notaris tersebut diatas, ada kewenangan yang
pada saat sekarang ini menjadi suatu permasalahan dikalangan Notaris dan juga
PPAT yaitu dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN-P, yang mengatakan
bahwa Notaris berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
Kebijakan yang diatur didalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN-P ini tidak dapat
berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan adanya benturan yang terjadi antara
kewenangan yang dimiliki oleh Notaris dan kewenangan yang dimiliki oleh
PPAT. Kehadiran Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN-P telah menimbulkan silang
pendapat yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. Ada tiga penafsiran dari
Pasal tersebut, yaitu:
1. Notaris telah mengambil semua wewenang PPAT menjadi wewenang
Notaris atau telah menambah wewenang Notaris.
2. Bidang pertanahan telah kembali menjadi wewenang Notaris.21.
3. Tidak ada pengambilalihan dari PPAT atau pengambilan wewenang
kepada Notaris, baik PPAT maupun Notaris telah mempunyai wewenang
sendiri-sendiri.
Dari Penafsiran-penafsiran ini terkadang menimbulkan konflik tersendiri
antara PPAT dengan Notaris. Apabila kita telaah kembali berdasarkan hierarkhi
peraturan perundang-undangan terdapat asas hukum yang dijadikan patokan bagi
para pelaku peraturan perundang-undangan, yakni asas “Lex Superiori Derogate
Legi Lex Inferiori”, artinya hukum yang urutan atau tingkatannya lebih tinggi
mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang tingkatannya lebih rendah.
Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, didalam Bab III Pasal 7 ayat 1
menyatakan :
(1) Jenis dan hierarkhi Peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

21
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, hlm. 83.
13

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;


c. Undang- undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota .

Didalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang


Pendaftaran Tanah menyebutkan: “Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan
Pertanahan Nasional”, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek yang
harus mendaftarkan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), sementara
objeknya adalah masyaratkat umum yang akan mengajukan bidangan tanah.
Selanjutnya menurut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa dalam melaksanakan
pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, artinya bahwa untuk dapat mengajukan
permohonan Pendaftaran atas status kepemilikan suatu tanah, seseorang harus
mempunyai data yurudis (alas hak) berupa akta pertanahan yang dibuat oleh
notaris apakah melalui jual beli, hibah, waris, APHB, tukar menukar dan lain-lain,
sementara akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang yakni, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), PPATS, dan PPAT khusus, serta pejabat lain yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dari pasal tersebut sejalan dengan amanat UUJN pasal 15 ayat (2) huruf f
yang menyebutkan, Notaris berwenang untuk membuat akta pertanahan akan
tetapi didalam prakteknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) belum mau
memproses akta pertanahan yang dibuat oleh Notaris untuk pendaftaran tanah, hal
ini disayangkan karena hal ini merupakan amanat Undang-undang dimana tingkat
hierarkhinya lebih tinggi dari peraturan pemerintah sehingga Badan Pertanahan
Nasional dalam hal ini semestinya mau menerima dan memproses akta pertanahan
yang dibuat oleh notaris. Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut dan mengangkat permasalahan tersebut ke dalam tesis
14

yang akan penulis buat dengan Judul: “KEKUATAN HUKUM AKTA TANAH
YANG DIBUAT OLEH NOTARIS DALAM PENDAFTARAN TANAH
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka identifikasi
masalah dalam penelitiaan ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana Kedudukan Hukum Notaris sebagai Pembuat Akta yang
Berkaitan dengan Pertanahan Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia?
2. Bagaimana Kekuatan Hukum Akta yang dibuat oleh Notaris di Bidang
Pertanahan Berdasarkan Ketentuan Pendaftaran Tanah di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah :
1. Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Notaris sebagai Pembuat Akta
Tanah yang Berkaitan dengan Pertanahan Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui Kekuatan Hukum Akta yang dibuat oleh Notaris di
bidang pertanahan berdasarkan ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan, antara
lain :
15

1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum agrarian.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya dengan topik sejenis.
2. Kegunaan praktis
a. Bagi Notaris
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan presepsi atau
pandangan mengenai konsekuensi yuridis Pasal 15 ayat (2) huruf f
UUJN jo UUJN-P yang memberikan kewenangan notaris dalam
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
b. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi
masyarakat/pembaca mengenai kedudukan hukum Notaris sebagai
pembuat akta tanah terhadap pelaksaannya didalam praktek dan
kekuatan hukum suatu akta tanah yang dibuat oleh notaris terhadap
proses pendaftaran tanah.

E. Kerangka Pikir

Kerangka pikir ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai dasar


pemecahan masalah. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Teori Kepastian hukum, Teori Kewenangan, dan Teori Perjanjian.

Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini untuk


membahas belum diaturnya kekuatan hukum akta tanah yang dibuat oleh
notaris yang berhubungan dengan pendaftaran tanah menurut hukum
positif. Kepastian dalam kepastian hukum memiliki arti “ketentuan;
ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata
16

hukum menjadi kepastian hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu


Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara”.22

Mengingat pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka


tema kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab
itu, pengertian kepastian yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian
kedua dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun, sebelum itu, ada
baiknya untuk mengetahui latar belakang pemikiran mengenai nilai
Kepastian dalam hukum terlebih dahulu. Secara normatif, kepastian hukum
merupakan suatu keadaan ketika suatu peraturan dibuat dan kemudian
diundangkan secara pasti sehingga dapat memberikan pengaturan secara
jelas dan logis. Jelas di sini dalam pengertian tidak menimbulkan multi tafsir
atau keragu-raguan dan logis dalam pengertian hukum tersebut menjadi
suatu kesatuan sistem norma dengan norma yang lainnya sehingga tidak
terjadi benturan antar norma yang menimbulkan konflik norma ataupun
adanya kekaburan norma atau bahkan kekosongan norma.23

Suatu aturan hukum, baik itu berupa undang-undang maupun


hukum tidak tertulis, menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungannya dengan masyarakat. Pelaksanaan dari undang-undang
tersebut akan menimbulkan suatu kepastian hukum. Roscoe Pound
sebagaimana dikutip O. Notohamidjojo menyebutkan bahwa kepastian
hukum memungkinkan adanya predictability24.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian


hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, yang
berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Terkait dengan kepastian

22
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2010,
hlm.652.
23
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm.163.
24
O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011,
hlm.33.
17

hukum, Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar


berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu:

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-


undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada
fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan
dilakukan oleh hakim, seperti ”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga,
bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah
dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-
ubah…..25
Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya
bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri.
Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus
perundang-undangan. Bronislav Totskyi menyatakan bahwa kepastian
hukum dikembangkan di negara-negara yang berbeda dengan cara yang
berbeda.26 Kepastian hukum menurut Taha Ayhan sebagaimana dikatakan
sebagai berikut:
“ The primary objective of the principle of legal certainty is to establish
consistency in legislation and practice, thus preventing arbitrariness in
administration legislation (Tujuan utama dari prinsip kepastian hukum
untuk membangun konsistensi dalam peraturan perundang-undangan dan
praktek, sehingga mencegah kesewenang-wenangan dalam pembuatam
peraturan perundang-undangan). 27
Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno
Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti
bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu28. Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis
dogmatik yang didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat
25
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The Legal Philosophy of Lask, Radbruch,
Harvard University Press, Massachusetts, 2010, hlm.107.
26
Bronislav Totskyi, “Legal Certainty As A Basic Principle of the Land Law of Ukraine”,
Jurisprudence, Vol.21, No.1, 2014, hlm.206
27
Taha Ayhan, The Principle of Legal Certainty in EU Case Law, McGraw Hill
Kugakusha, London, 2010, hlm.153.
28
Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2009,
hlm.153.
18

hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini
hanya sekumpulan aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-
mata untuk kepastian hukum.29

Kepastian hukum menurut Van Kan seperti dikutip Utrecht dan


Jindang menyatakan bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian
hukum dalam pergaulan manusia30. Lebih lanjut Van Kan sebagaimana
dikutip Fernando M. Manullang menyatakan:31

“ Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu


menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum
tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena
hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu
terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan
hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan, 2) kepastian
dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika hukum
itu sebanyak-banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang
bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti),
dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan di
dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan
(tertutup).”
Bachsan Mustafa mengungkapkan bahwa kepastian hukum itu
mempunyai tiga arti, yaitu : Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya
yang mengatur masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti
mengenai kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan hukum administrasi negara. Ketiga,
mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang
(eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak pemerintah32.

29
Achmad Ali , Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 2006, hlm.67.
30
Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru dan
Sinar Harapan, Jakarta, 2009, hlm.25.
31
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm.92.
32
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hlm.53.
19

Menurut John Braithwaite kepastian hukum dapat dimaknakan


bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan
peraturan ini. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada
kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat.
Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian hukum yaitu
adanya kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua
warga masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian
hukum dapat juga berati hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-
hal yang konkret. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena
bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.

Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari


hukum terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian
hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman
perilaku bagi semua orang33.

Teori kepastian hukum yang digunakan dalam penelitian ini


mengacu pada pendapat John Braithwaite yang menyatakan kepastian
hukum diartikan sebagai kejelasan norma yang dapat dijadikan pedoman
bagi notaris untuk membuat akta otentik khususnya akta tanah yang
berhubungan dengan pendaftran tanah. Kepastian hukum juga diartikan
kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum sehingga tidak terjadi
banyak salah tafsir. Kepastian hukum dalam pembuatan akta tanah harus
jelas, tidak menimbulkan multitafsir atau keragu-raguan untuk menghindari
adanya tumpang tindih kewenangan dalam membuat akta yang
berhubungan dengan pertanahan antara Notaris dengan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT).

Terkait dengan teori peralihan hak atas tanah, dengan berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, mengubah

33
John Braithwaite, Rules and Principles: A Theory of Legal Certainty, Pearson Prentice
Hall, New Jersey, 2002, hlm.62.
20

sendi-sendi hukum agrarian yaitu, dari hukum agraria kolonial menjadi hukum
agraria nasional. Salah satu yang berubah adalah sistem pendaftran tanah. Sesuai
dengan Pasal 19 UUPA penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah dalam rangka
kepastian hak atas tanah sehingga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
system hukum agrarian nasional. Untuk memperoleh hak atas tanah UUPA
menjamin bahwa masyarakat diindonesia dapat memperoleh hak atas tanah.34

Hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang


bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang angkasa yang ada
diatasnya. Menurut Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Agraria (UUPA) hak atas tanah ialah :

a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas. Hak-hak atas
air dan ruang angkasa ialah :
1) Hak guna air
2) Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3) Hak guna ruang angkasa.

Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka objek tanah adalah bidang-bidang


tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai. Dalam teori hak milik, Curzon mendefinisikan hak milik dengan
property yakni:

“ The following are example of many definitions of “ property”:“


the highest right men have to anything “:“ a right over a determination
34
Waskito, Msi Dan Ardi Arnowo M. Arnowo,Op.Cit., hlm.24-25.
21

thing either a tract of land or a chattel “:“an exlusive right to control an


economic good “:“an aggregate of rights guarantted protected but the
government”: everythings which is the subject of ownership“.a social
institutions where by people regulate the aquasitions and use od the
reseources of our environment according to a system of ruls”: a concept
that’s refers to the rights, obligations, privililages and restrictions that
govern the relations of the men with respect to things of value”. 35
Berdasarkan Teori pengalihan hak atas tanah tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa hak milik merupakan hal yang penting bagi manusia
untuk dapat melaksanakan hidupnya didunia, semakin tinggi nilai hak milik
atas suatu benda, semakin tinggi pula penghargaan yang diberikan kepada
benda tersebut.

Tanah adalah salah satu hak milik yang sangat berharga bagi umat
manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia. Setiap warga negara
Indonesia dijamin oleh undang-undang untuk dapat mempunyai hak milik
atas tanah. Pengertian pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum
pemindahan hak-hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada
pihak lain. Pada pemberian status hak dengan balik nama, haruslah ada
perbuatan hukum diatas hak tanah itu.36 perbuatan hukum dimaksud adalah
pengalihan dari orang pertama yang telah mendaftrkan hak itu kepada orang
kedua ( pihak lain ) yang menerima hak atas tanah yang disebut pemindahan
hak.

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo


Pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Panitia
Pemeriksaan Tanah, pemindahan hak ini dapat dilakukan dengan cara jual
beli, sewa menyewa, tukar menukar, hibah pewarisan, lelang, merger dan
pemasukan (inbreng).

Selanjutnya menurut Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor


24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa dalam

35
L.B Curzon , Land Law , Seventh Edition, Peterson Educations Limited, Great Britain,
1999, hlm.8-9.
36
Mhd.Yamin Lubis,Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftran Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 2002 , hlm.121.
22

melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh


Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan pejabat lain yang ditugaskan
untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan
pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
artinya bahwa untuk dapat mengajukan permohonan Pendaftaran atas status
kepemilikan suatu tanah, seseorang harus mempunyai data yurudis ( alas
hak ) berupa akta pertanahan yang dibuat oleh notaries apakah melalui jual
beli, hibah, waris, APHB, tukar menukar dan lain-lain, sementara akta
tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang yakni, Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT), PPATS, dan PPAT khusus, serta pejabat lain yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dari pasal tersebut sejalan dengan amanat UUJN pasal 15 ayat (2)
huruf f yang menyebutkan, Notaris berwenang untuk membuat akta
pertanahan akan tetapi didalam prakteknya Badan Pertanahan Nasional
( BPN ) belum mau memproses akta pertanahan yang dibuat oleh Notaris
untuk pendaftaran tanah, hal ini disayangkan karena hal ini merupakan
amanat Undang-undang dimana tingkat hierarkhinya lebih tinggi dari
peraturan pemerintah sehingga Badan Pertanahan Nasional dalam hal ini
semestinya mau menerima dan memproses akta pertanahan yang dibuat oleh
notaris.

Sehingga terkait dengan kewenangan membuat akta yang berkaitan


pertanahan ini terjadi kekaburan makna atau juga disebut Vague Norm. Pada
ayat (1) dalam penjelasan undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pasal
15 ayat 2 huruf (f), disebutkan “cukup jelas”, artinya harusnya tidak terjadi
perbedaan penafsiran terkait dengan ketentuan ayat tersebut sehingga
dengan serta merta semua hal yang berkaitan dengan pertanahan notaris
berwenang untuk membuat akta.37 Dalam masalah kewenangan membuat
akta yang berkaitan dengan pertanahan, maka haruslah dipahami dahulu
tentang masalah tanah dan hak atas tanah.
37
Keberadaan Tanah Begitu Penting Dan Sangat Dibutuhkan Setiap Orang , dalam
Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yakni UU.No. 5 Tahun 1960, Pada Pasal 1 Ayat (1)
yang Intinya bahwa Tanah (Bumi ) Air Dan Ruang Ankasa Merupakan Kekayaan Alam Indonesia.
23

Pengertian tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi Pasal 4


ayat (1), sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar
disebut hak atas Keberadaan tanah begitu penting dan sangat dibutuhkan
setiap orang, dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria yakni UU no.
5 tahun 1960, pada pasal 1 ayat (1) yang intinya bahwa tanah (bumi), air dan
ruang angkasa merupakan kekayaan alam Indonesia. (Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.- LN RI Tahun 1960 Nomor 104)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) tanah adalah38 :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali,


2. Keadaan bumi di suatu tempat,
3. Permukaan bumi yang diberi batas,
4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir,
cadas, napal dan sebagainya).
Dari uraian tersebut lantas siapakah yang berwenang membuat akta yang
berkaitan dengan pertanahan apakah itu notaris sebagaimana yang
diamanatkan oleh UUJN atau PPAT yang diatur dalam PP Nomor 37 Tahun
1998, di sinilah terdapat kekaburan makna (Vague Norm), apakah notaris
dapat membuat akta tersebut dalam arti luas meliputi kewenangan yang
dimiliki oleh PPAT atau dalam arti yang lebih sempit yaitu notaris dapat
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan tetapi selain yang menjadi
kewenangan PPAT.

Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan untuk


membahas kewenangan notaris dalam pembuatan akta otentik khususnya
akta tanah. yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,
sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu
saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang
(rechtsbe voegdheden).39

38
Ibid., hlm.19.
39
Robert J. Akerlof, A Theory of Authority, University of Warwick, Coventry City, 2012,
hlm.17.
24

Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh wewenang atas dua


cara, yaitu atribusi dan delegasi dan juga mandat40. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt seperti dikutip
Ridwan H.R. yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3
(tiga) cara antara lain:

1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat


undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengijinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.41 Sjahran
Basah mengemukakan bahwa kewenangan seseorang atau pejabat
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan dapat
diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung
(atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas
dasar penugasan (mandat).42

Habib Adjie menegaskan kewenangan pada statu jabatan


merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
mengatur jabatan yang bersangkutan.43

Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan


perbedaan. Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang
bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan
perbedaannya adalah (1) pada delegasi selalu harus didahului adanya
atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang mendahului dan (2) pada

40
.Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, hlm.195.
41
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm.45.
42
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2005, hlm.7.
43
Habib Hadjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.77.
25

atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada delegasi terjadi


penyerahan wewenang. 44

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan


yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga
Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah
asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan
legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan
kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten.45

Relevansi dalam penelitian ini ditinjau dari Teori Kewenangan,


kewenangan notaris untuk membuat akta otentik adalah kewenangan atribusi
mengingat kewenangan notaris diberikan langsung oleh UUJN yaitu dalam
Pasal 15 ayat (1) UUJN. Max Weber menyebutkan bahwa:
“In legal authority, Legitimacy is based on abelief in reason, and
laws are obeyed because they have been enacted by proper procedures.”46
(Dalam kewenangan hukum, keabsahan suatu perbuatan didasarkan pada
keyakinan dalam penalaran dan hukum yang dipatuhi karena telah
diberlakukan dengan prosedur yang tepat).

Kaitan teori kewenangan dengan permasalahan yang diangkat


adalah apabila seorang notaris yang kedudukannya ditunjuk oleh
pemerintah sebagai pejabat public dalam membuat akta otentik juga
mempunyai kewenangan dalam membuat akta tanah dimana penalaran dan
hukum yang dipatuhi karena telah diberlakukan dengan prosedur yang tepat.
Salah satu hasil politik hukum dalam peraturan perundang-
undangan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Undang-
Undang Jabatan Notaris (UUJN ) Jo Undang–Undang No. 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Jabatan Notaris ( UUJN-P ).
Lahirnya UUJN Jo UUJN-P menimbulkan pro dan kontra mengenai

44
S.F. Marbun, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 109-120.
45
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, 1998, hlm. 16-17.
46
Max Weber, Mastering Public Administration, CQ Press,Washington, 2008, hlm.32.
26

keberadaan Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN Jo UUJN-P yang multitafsir,


batasan-batasan kewenangan notaries dalam membuat akta-akta pertanahan
didalam UUJN Jo UUJNP tidak dijabarkan lagi, artinya ketentuan pasal 15
ayat (2) Huruf f UUJN Jo UUJN-P dapat ditafsirkan bahwa notaries dapat
membuat akta-akta dibidang pertanahan sebagaimana yang telah diberikan
kewenanagannya kepada PPAT dan jika hal itu dilakukakan oleh notaries
bukan merupakan tindakan kesewenangan-wenangan, karena sudah ada
sumber kewenangannya yaitu UUJN jo UUJN-P.

Dua jabatan yang berbeda antara notaris dengan PPAT, yang


mempunyai landasan hukum yang berbeda pula. Notaris dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya berdasarkan pada UUJN Jo UUJN-P sedangkan
PPAT berlandaskan pada Peraturan Pemerintah No.37/1998 tentang PPAT.
Secara konsep notaries adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud
dalam UUJN Jo UUJN-P, sedangkan yang dimaksud PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun. meskipun ada perbedaan namun keduanya terdapat
persamaan yaitu pejabat umum tertulis yang berwenang membuat akta
otentik, sebagai alat bukti yang sempurna bagi masyarakat dalam dalam
menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan.
Otentisitas sebuah akta harus memenuhi unsur-unsur antara lain
adalah pejabat yang berwenang membuatnya. Wewenang institusi atau
pejabat diperoleh melalui atribusi atau delegasi. Atribusi adalah pemberian
wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum, sedangkan delegasi merupakan
pemindahan / pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum.
Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan untuk membahas
kewenanangan notaries dalam pembuatan akta yang berhubungan dengan
pertanhaan. Kewenagan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
27

kekausaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,


sedangkan wewenanag hanya mengenai suatu “ onderdeel” (bagian )
tertentu saja dari kewenangan, didalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang ( rechtsbe voegdheden ) 47
Kewenangan Notaris yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN Jo
UUJN-P yang menyatakan :
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undanagan
dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.
Selanjutnya dalam pasal 15 (2) Huruf f UUJN Jo UUJN-P yang
dinyatakan bahwa :

“Notaris berwenang pula untuk membuat akta yang berkaitan


dengan pertanahan.”

Hal ini mengandung pengertian bahwa Notaris keberadaannya


menurut Pasal 15 ayat (2) Huruf f UUJN Jo UUJN-P yang multitafsir,
batasan-batasan kewenangan notaries dalam membuat akta-akta pertanahan
didalam UUJN Jo UUJNP tidak dijabarkan lagi, artinya ketentuan pasal 15
ayat (2) Huruf f UUJN Jo UUJN-P dapat ditafsirkan bahwa notaries dapat
membuat akta-akta dibidang pertanahan sebagaimana yang telah diberikan
kewenanangannya kepada PPAT dan jika hal itu dilakukakan oleh notaries
bukan merupakan tindakan kesewenang-wenangan, karena sudah ada
sumber kewenangannya yaitu UUJN jo UUJN-P.

Selanjutnya Teori hierarki peraturan perundang-undangan atau


Teori Stufenbau yang digunakan sebagai applied theory, pertama kali
dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum
yang berbentuk perundang-undangan merupakan sistem anak tangga dengan
kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus
47
Robert J Akerlof, A Theory Of Auythority, University Of Warwick, Conventry City,
2012, hlm.17.
28

berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang
tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm). Menurut Hans Kelsen norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),48 contoh
norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.

Menurut Hans Kelsen, hukum yang ada pada suatu negara


khususnya Indonesia harus tersusun secara sistematis dan berjenjang. Dalam
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori hierarki
norma atau penjenjangan norma atau biasa disebut teori Stufentheorie yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya Hans Kelsen berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki atau tata sususan dalam arti suatu norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar atau
Grundnorm. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem
norma dan norma tersebut tidak dibentuk dari norma lebih tinggi lagi, tetapi
norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma
dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.49

Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-
norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi
rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.

48
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), Russel
and Russel, New York, 2016, hlm.179-180.
49
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm.41.
29

Salah satu murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky


mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya
dengan suatu negara, menurut Nawiasky suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang berada
dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pasa suatu norma yang tertinggi
yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain
norma itu berlapis-lapis, norma itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokan norma menurut Hans Nawiasky terdiri dari empat yaitu:
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz
(Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang
Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana/Aturan
Otonom)”.

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, Abdul Hamid Saleh Attamimi


membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada
struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A.
Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan
Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S.
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan
menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata
hukum Indonesia adalah:50

1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD NRI 1945)


2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan
3. Formell Gesetz : Undang-Undang
4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya
hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut TAP MPR
No.III/MPR/2000 yang mana urutannya adalah sebagai berikut:

50
Ibid., hlm.48.
30

1. Undang Undang Dasar 1945


2. TAP MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Perda

Hierarkhi peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR


No.III/MPR/2000 adalah telah menimbulkan permasalahan karena
menempatkan Perpu dibawah Undang-undang sehingga bertentangan
dengan UUD/ inkonstitusional, sehingga untuk menjamin kepastian hukum
hierarkhi peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
berbunyi:51

1. UUD RI 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan


pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan
untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
Staatsfundamentalnorm, maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam
Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan
suatu norma hukum harus lah berpegang pada norma hukum yang lebih

51
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
31

tinggi, dan sudah semestinya antar tingkatan norma hukum yang satu dan
yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas
dasar Pancasila sebagai cita hukum bangsa

Selanjutnya dalam teori perjanjian yang digunakan sebagai applied


theory dalam menganalisis kekuatan akta notaries dalam membuat akta
pertanahan. Menurut Van Dunne sebagaimana dikutip Salim H.S
mengartikan perjanjian sebagai berikut:

“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya
melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat
perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu:
(1) Tahap Pracontraktual, Yaitu Adanya Penawaran Dan Penerimaan,
(2) Tahap Contractual, Yaitu Adanya Persesuaian Pernyataan Kehendak
Antara Para Pihak, Dan
(3) Tahap Post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.52
Dengan demikian perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dapat dikatakan peristiwa dimana
dua orang atau lebih saling mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu.
Definisi perjanjian batasannya telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata
yang mengatur “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
sebenarnya tidak lengkap karena terdapat beberapa kelemahan yang perlu
dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (a) hanya menyangkut
sepihak saja; (b) kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus; (c)
pengertian perjanjian terlalu luas; dan (d) tanpa menyebut tujuan.53

52
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hlm.26.
53
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,
hlm.224.
32

Sementara itu R. Subekti menyatakan perjanjian merupakan suatu


peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan atau melaksanakan suatu hal. 54
Dengan mendasarkan pada pendapat para sarjana dan rumusan Pasal 1313
KUHPerdata di atas, maka dapat dirumuskan pengertian perjanjian adalah
hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak lain yang dilandasi
oleh kehendak yang sama. Secara bebas untuk sepakat melakukan suatu
perbuatan hukum, demi kepentingan dan keuntungan para pihak yang
terlibat di dalamnya.

Selanjutnya Menurut Van Eikema Hommes seperti dikutip Sudikno


Mertokusumo asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma
konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis
perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas
hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif.55

Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya,
tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan
harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah
yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum serta tata
hukum.56

Menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting dalam
perjanjian sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

54
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008, hlm.1.
55
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
2002, hlm.42.
56
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2010, hlm.87.
33

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia.57 Dengan kebebasan berkontrak berarti
orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam
Buku III KUHPerdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian. Pasal-pasal
di dalam Buku III KUHPerdata baru mengikat terhadap mereka, jika
mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam
perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur
tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.

b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian,
meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa terhadap asas
konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan
perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi
bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.58

c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)


Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum, berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang mengatur: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.59 Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk

57
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1996, hlm.86.
58
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.29.
59
Salim H.S, Op.Cit., hlm.26.
34

memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-


janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya undang-undang.60

d. Asas Itikad Baik


Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata yang mengatur: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik”. Dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu
perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup,
perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan
kepentingan debitor maupun kreditor, maupun pihak lain atau pihak
ketiga lainnya di luar perjanjian.61

e. Asas Kepribadian (Personalia)

Asas personalia diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan


Pasal 1315 KUHPerdata, yang mengatur: “Pada umumya tak
seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu perjanjian daripada untuk dirinya sendiri”. Suatu
perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara
para pihak yang membuatnya dan tidak mengikat orang lain (pihak
ketiga).62

Perjanjian mengikat para pihak ditentukan oleh sah atau tidaknya


perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Hal tersebut dengan tegas
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, mengatur tentang empat syarat
yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian yaitu: (1) Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; (2) cakap untuk membuat suatu
perjanjian; (3) Mengenai suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal.

60
H.R. Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004,
hlm.5.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
61

Grafindo Persada, Jakarta,2003, hlm.80.


62
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 15
35

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif,


karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan
hukum yang dilakukan itu.63

Selanjutnya menurut kaidah Islam kedudukan notaries dalam


menjalankan kewenangannya sebagai pejabat pembuat akta otentik terdapat
dalam kandungan Q.S. Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi :

‫ين َءا َمنُ ٓو ۟ا إِ َذا تَ َدايَنتُم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰ ٓى أَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُب‬ َ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذ‬
ْ‫ب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُب‬ َ ُ‫ب َكاتِبٌ أَن يَ ْكت‬ َ ْ‫بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َواَل يَأ‬
‫ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَب َْخسْ ِم ْنهُ َش ْئـًًٔˆا ۚ فَإِن‬ ِ َّ‫ق َو ْليَت‬
ُّ ‫َو ْليُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح‬
‫ض ِعيفًا أَ ْو اَل يَ ْستَ ِطي ُع أَن يُ ِم َّل هُ َو‬ َ ‫ق َسفِيهًا أَ ْو‬ ُّ ‫ان ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح‬ َ ‫َك‬
‫وا َش ِهي َدي ِْن ِمن رِّ َجالِ ُك ْم ۖ فَإِن لَّ ْم يَ ُكونَا‬ ۟ ‫فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهۥُ ب ْٱل َع ْد ِل ۚ َوٱ ْستَ ْش ِه ُد‬
ِ
‫ض َّل‬ َ
ِ َ‫ض ْو َن ِم َن ٱل ُّشهَ َدٓا ِء أن ت‬ َ ْ‫ان ِم َّمن تَر‬ َ
ِ َ‫َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوٱ ْم َرأت‬
۟ ‫ب ٱل ُّشهَ َدٓا ُء إ َذا ما ُد ُع‬
ۚ ‫وا‬ َ ْ‫إِحْ َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر إِحْ َد ٰىهُ َما ٱأْل ُ ْخ َر ٰى ۚ َواَل يَأ‬
َ ِ
‫ص ِغيرًا أَ ْو َكبِيرًا إِلَ ٰ ٓى أَ َجلِ ِهۦ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم أَ ْق َسطُ ِعن َد‬ َ ُ‫َواَل تَسْٔـََٔˆ ُم ٓو ۟ا أَن تَ ْكتُبُوه‬
ِ ‫ون تِ ٰ َج َرةً َح‬
ً‫اض َرة‬ َ ‫ٱهَّلل ِ َوأَ ْق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة َوأَ ْدنَ ٰ ٓى أَاَّل تَرْ تَاب ُٓو ۟ا ۖ إِٓاَّل أَن تَ ُك‬
ۚ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَاَّل تَ ْكتُبُوهَا ۗ َوأَ ْش ِه ُد ٓو ۟ا إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم‬ َ ‫تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬
ۖ َ ‫وا ٱهَّلل‬ ۟ ُ‫ق ب ُك ْم ۗ َوٱتَّق‬ ۢ ۟
ِ ٌ ‫ُضٓا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوإِن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّ ۥهُ فُسُو‬ َ ‫َواَل ي‬
‫َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ُ ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِيم‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
63
R. Subekti, Op.Cit., hlm.17.
36

kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang


mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi salng sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.

Makna yang terkandung dalam Q.S Al Baqarah ayat 282 tersebut


diatas adalah bahwa didalam kalimat “Hai orang-orang yang beriman”
menegaskan bahwa subjek hukum yang dibebani perintah ini adalah orang-
orang beriman, dan kalimat selanjutnya “maka catatkanlah ( ُ‫) فَˆˆا ْكتُبُوه‬
mengandung perintah yang sifatnya anjuran kepada para pihak untuk
mencatat/ yakni menulis perjanjian utang-piutang, jika dikaitkan dengan
kalimat setelahnya faktubuubbaynakuum katiib mengandung maksud bahwa
hendaknya perjanjian dibuat secara tertulis dihadapan Notaris. Kalimat yang
menyatakan “hendaklah dia menulis” mengandung perintah yang sifatnya
anjuran bagi juru tulis “katiib” dalam hal ini adalah notaries untuk menulis
perjanjian, dan isi perjanjian tersebut diwajibkan adil.
Kewenangan notaris ini terdapat pula didalam QS. An-Nisa Ayat
59 yang berbunyi:

‫ول ي‬ ِ ُ‫س و َل وَ أ‬ ُ ‫يع وا اللَّ َه وَ َأ ِط ي ُع وا ال َّر‬ ُ ‫يَا َأ يُّ َه ا الَّ ِذ ينَ آ َم نُوا َأ ِط‬
ِ‫وه ِإ لَ ى اللَّ ه‬
ُ ‫ش يْ ٍء َف رُ ُّد‬ َ ‫ا أْل َ مْ ِر ِم ْن ُك ْم ۖ َف ِإ ْن تَ نَ ازَ عْ ت ُْم ِف ي‬
‫ول ِإ ْن ُك ْن ت ُْم ت ُْؤ ِم نُ ونَ ِب اللَّ ِه وَ ْال يَوْ ِم ا آْل ِخ ِر ۚ ٰ َذ ِل كَ خَ ْي ٌر‬ ِ ‫س‬ ُ َّ‫وَ الر‬
‫س نُ تَ ْأ ِو ي اًل‬
َ ‫وَ َأ ْح‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rosulNya, dan ulil amri diantara kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
rosul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
37

dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan
lebih baik akibatnya.
Makna yang terkandung dalam QS. An-Nisa Ayat 59 tersebut adalah bahwa
ulil amri adalah orang yang membawahi sesuatu urusan (Pemerintah).
Mukhatab dari ayat ini adalah orang-orang beriman termasuk Notaris,
dengan demikian notaris wajib taat terhadap peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah) dalam hal ini UUJN, yang
mencakup tentang kewenangan, kewajiban, larangan dan sanksi. Jika
notaries mempunyai kewenangan yang ditentukan oleh Undang-undang,
maka secara argumentum contrario, notaries tidak berwenang melakukan
tindakan diluar kewenangannya yang sudah ditentukan.

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam penelitian tesis ini
adalah menggunakan metode yuridis normative, yaitu penelitian hukum
yang dilakaukan dengan cara meneliti dan mengkaji data kepustakaan atau
yang disebut data sekunder berupa hukum positif dan bagaimana
pelaksanaaanya dalam praktek khususnya mengenai kewenangan notaris
dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

2. Sifat Penelitian
Sejalan dengan identifikasi masalah maka metode penelitian
hukum yang digunakan bersifat hukum doktrinal. Penelitian hukum
doktrinal disebut juga sebagai penelitian hukum normatif64 yang
merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian data sekunder. Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji65 penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat
dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

64
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetil, Ghalia,
Indonesia, 2000, hlm. 11-12.
65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.13-14.
38

Metode yuridis normatif yang digunakan dalam penelitian ini


dengan alasan untuk menganalisis data yang mengacu kepada norma-
norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undang. Metode yuridis
normatif ini mengacu pula kepada penelitian yang mengarah kepada dasar
filosofis, khususnya yang berkaitan dengan kekuatan hukum akta tanah
yang dibuat oleh notaries dalam pendafatran tanah berdasarkan hukum
positif pertanahan diindonesia66
3. Jenis Data
Jenis data yang disampaikan oleh penulis adalah data kualitatif
yaitu peneliti menyajikan data yang berupa kata atau kalimat 67, yang
selanjutnya disusun secara utuh dalam bentuk penulisan hukum.

Penelitian hukum ini, terutama didasarkan atas bahan-bahan hukum


bersifat normative-prespektif.68 Bahan-bahan hukum bersifat normative-
prespektif, digunakan terutama untuk mengkaji permasalahan hukum yang
terkait dengan substansi peraturan hukum positifnya (ius constitutum) yang
sifatnya mengatur kedudukan hukum terhadap notaries yang membuat akta
pertanahan berdasarkan kekuatan hukum akta mengikatnya
diklasifikasikan sebagai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier, 69 yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer,


yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
66
Norma K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Sage
Publication, London, 1994, hlm. 205.
67
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
2001, hlm. 34.
68
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2010, hlm.193.
69
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta, 1986, hlm. 52.
39

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Jabatan Notaris ;
5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
9) Peratutan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.70
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
bahan-bahan hukum primer seperti misalnya hasil penelitian dan karya
ilmiah para ahli.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang objek penelitian seperti jurnal, diktat kuliah, bulletin, kasus
hukum ensiklopedia dan internet.

4. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk
mendapatkan data.71 Tanpa mengetahui metode pengambilan data, maka
penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar dan yang
ditetapkan.72
70
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Empiris, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009, hlm. 93.
71
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif Dan Dilengkapi Dengan Contoh Proposal
Dan Laporan Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2009, hlm.62.
72
Ibid., hlm.65.
40

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik studi dokumen.


Teknik studi dokumen ini salah satu cara dalam melakukan library research
(studi kepustakaan). Teknik studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan-
bahan hukum bersifat normatif-perspektif, dilakukan dengan cara
penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian, baik
secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi
seperti internet, dan lain-lain.

5. Metode Analisis Data


Data yang diperoleh, dikelompokkan dan disusun secara sistematis
dan untuk selanjutnya data tersebut dianalisis, secara analisis kualitatif. yaitu
analisis yang berupa kalimat dan uraian.73 Metode yang digunakan adalah
analisis yuridis, yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep
dan peraturan perundang-undangan. Setelah itu data yang diperoleh disusun
secara sistematis dan untuk selanjutnya analisis kualitatif dipakai untuk
mencapai penjelasan yang dibahas.

Dalam penelitian hukum normatif, alat analisis hukumnya berupa


teori-teori, asas, prinsip dan konsep-konsep hukum. Alat analisis ini
digunakan untuk menafsirkan hasil penelitian yang berupa bahan-bahan
hukum bersifat normatif-prespektif yang diinteraksikan dengan hasil analisis
fakta kemasyarakatan bersifat empiris-deskriptif. Analisis ini bertujuan
menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi temuan-temuan hukum
baru yang menjadi dasar untuk pengambilan kesimpulan sehingga tujuan
akhir penelitian hukum ini dapat tercapai.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang penulis maksudkan dalam penulisan ini adalah


gambaran-gambaran secara singkat pokok-pokok bahasan dengan membagi
pembahasan kedalam lima bab, dimana dalam setiap bab dibagi dalam sub-

73
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone,
Jakarta, 2008, hlm.188.
41

sub bab yang merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama
lain. Adapun bentuk sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PROFESI NOTARIS,


KEWAJIBAN, LARANGAN DAN KEWENANGAN NOTARIS,
TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA, TINJAUAN UMUM
PROFESI DAN KEWENANGAN PPAT, TINJAUAN UMUM
TENTANG PENDAFTARAN TANAH.

BAB III ANALISIS TENTANG KEWENANGAN NOTARIS DALAM


PEMBUATAN AKTA PERTANAHAN
a. EKSISTENSI DAN KEWENANGAN NO
b. TARIS DALAM MEMBUAT AKTA YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PERTANAHAN
c. KEDUDUKAN HUKUM AKTA NOTARIS DIBIDANG
PERTANAHAN KHUSUSNYA BIDANG PENDAFTARAN
TANAH.
BAB IV PEMBAHASAN
a. KEDUDUKAN HUKUM/ EKSISTENSI NOTARIS SEBAGAI
PEMBUAT AKTA YANG BERKAITAN DENGAN
PERTANAHAN BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
b. KEKUATAN HUKUM AKTA YANG DIBUAT OLEH
NOTARIS DI BIDANG PERTANAHAN BERDASARKAN
HUKUM POSITIF
BAB V PENUTUP
MELIPUTI KESIMPULAN DAN SARAN

Anda mungkin juga menyukai