Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dari pernyataan tersebut diatas juga menjelaskan dua hal yaitu: secara
konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah
sebagai bagian dari bumi, namun di lain hal penguasaan tersebut bertujuan dalam
rangka untuk kemakmuran rakyat yang merupakan landasan lahirnya Undang-
undang Pokok agraria (UUPA).
Pasal 2 ayat (1) ini memberikan suatu sikap bahwa untuk mencapai tujuan
dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidaklah pada tempatnya bangsa indonesia atau
negara bertindak sebagai pemilik tanah, hal ini sesuai dengan penjelasan dari
UUPA tersebut sehingga negara sebagai suatu organisasi kekuasaan seluruh
rakyat ( bangsa ) bertindak selaku badan penguasa atas bumi, air ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara.2
Terkait Hak menguasai Negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penguasaan pelaksanaan tugas
kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik. isi wewenang
menguasai Negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 Ayat 2 UUPA,
adalah sebagai berikut:3
1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Djambatan , Jakarta, 2003, hlm.173.
2
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Poko Agrarian, Mandar Maju, Cet
Kedelapan, Bandung, 1998, hlm.43.
3
Benhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012 ,
hlm.222.
3
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
4
Ibid., hlm.224.
5
Waskito Dan Ardi Arnowo M. Arnowo, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di
Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, 2019, hlm. 24-25.
4
“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah”.
Pengertian turun temurun adalah bahwa hak milik atas tanah dapat
berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal
dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik, terkuak artinya hak milik atas tanah
lebih kuat kedudukannya dibanding dengan hak atas tanah lainnya, terpenuh
5
artinya hak milik atas tanah memberikan atas wewenang kepada pemiliknya lebih
luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya6
Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 ( tiga ) cara, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 22 UUPA, yaitu :
a. Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat
b. Hak milik atas tanah yang terjadi karena penetapan pemerintah
c. Hak milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-undang.
Hak milik atas tanah juga dapat terjadi melalui 2 ( dua ) cara, yaitu 7:
a. Secara originair, artinya terjadinya hak milik atas tanah untuk pertama
kalinya menurut Hukum adat, penetapan pemerintah dan undang-
undang.
b. Secara derivative, artinya suatu subjek hukum memperoleh tanah dari
subjek hukum lain yang semula sudah berstatus tanah hak milik
dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah atau pewarisan.
6
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah , Kencana, Jakarta, 2009, hlm .
94.
7
8
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Kencana, 2008,
hlm.85.
6
Bila pada UUPA dan Peraturan pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tidak
ada penegertian yang tegas apa yang disebut dengan pendaftaran tanah maka pada
pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 diuraikan secara jelas definisi
pendaftaran tanah10, yaitu:11
Selanjutnya dalam proses peralihan hak atas tanah tidak terlepas dari
adanya peran seorang Notaris/ PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang
disebut juga sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh pemerintah untuk
melayani masyarakat dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum yaitu berupa akta otentik. Sedangkan fungsi pokok dari pendaftaran tanah
ialah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat tentang sahnya perbuatan
hukum mengenai tanah dan memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas
tanah.12
Notaris, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan notary, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan van notaris, mempunyai peranan yang
sangat penting dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum
keperdataan, karena notaris berkedudukan sebagai pejabat publik, yang
mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya 13.
Pengertian Notaris itu sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), yang
menyebutkan bahwa14:
12
Ana Silviana, Teori dan Praktek Pendaftran Tanah, Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, hlm.21-22.
13
Salim H.S., Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaries,
Bentuk Dan Minuta Akta), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.33.
14
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
8
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
Selain kewenangan yang dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, notaris
juga berwenang dalam hal yang telah dicantumkan pada Pasal 15 ayat (2), yaitu
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
15
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2008, hlm.18.
9
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta
dibuatnya”.
Pasal 1870 KUHPerdata juga mengatakan bahwa:16
“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan
Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini”.
16
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
17
Pasal 1 Angka 7 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
10
Pembuatan akta otentik yang dibuat selain oleh notaris dapat dilihat dalam
Pasal 15 ayat (1) pada kalimat bagian akhirnya mengatakan:
Pejabat pembuat akta Tanah (PPAT) pada saat sekarang ini diberikan
mandat oleh Peraturan Pemerintah yang ada untuk membuat akta otentik yang
berhubungan dengan tanah. Ketentuan mengenai jabatan PPAT pada saat ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan PP
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Diundangkannya PP Nomor 24 Tahun 2016 ini berdasarkan amanat dari UUPA
yang mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah.
Amanat UUPA dalam melaksanakan pendaftaran tanah ini kemudian
diimplementasikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dengan diundangkannya PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ini menetapkan bahwa PPAT diberikan
kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun.
Boedi Harsono menyatakan bahwa: “ PPAT yaitu Pejabat-pejabat yang
menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat yang
diberikan wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
11
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”
18
. PPAT adalah pejabat yang didalam struktur organisasi tidak mempunyai unsur
atasan maupun unsur bawahan, artinya jabatan dari PPAT merupakan suatu
profesi mandiri, akan tetapi PPAT didalam menjalankan tugas kesehariannya
membantu Kepala Kantor Pertanahan, yaitu mempunyai fungsi sebagai Pejabat
Umum yang berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan mendapat kewenangan
dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Kantor Pertanahan
Nasional dalam hal membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
pembebanan hak atas tanah yang merupakan alat bukti yang otentik.19
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 telah memberikan kewenangan
kepada PPAT untuk membuat akta otentik. Kewenangan yang diberikan oleh
Pemerintah kepada PPAT dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 tersebut yaitu untuk
membuat akta yang berhubungan dengan tanah. Sebagai pejabat yang berwenang
dalam membuat akta otentik, Notaris telah diberi kewenangan dalam UUJN-P
untuk membuat berbagai akta otentik, adapun kewenangan Notaris tersebut seperti
diatas telah diuraikan diatur dalam Pasal 15 UUJN-P. Kewenangan untuk
membuat akta otentik telah disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN-P. Pasal 15
ayat (2) UUJN-P menjabarkan berbagai akta otentik yang dapat dibuat oleh
seorang Notaris. Kewenangan tersebut antara lain:20
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
18
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi cetakan Kedua Belas,
2008, hlm.506.
19
A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPA, Bandung,
Alumni, 1990, hlm.40.
20
Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
12
21
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009, hlm. 83.
13
yang akan penulis buat dengan Judul: “KEKUATAN HUKUM AKTA TANAH
YANG DIBUAT OLEH NOTARIS DALAM PENDAFTARAN TANAH
MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka identifikasi
masalah dalam penelitiaan ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana Kedudukan Hukum Notaris sebagai Pembuat Akta yang
Berkaitan dengan Pertanahan Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia?
2. Bagaimana Kekuatan Hukum Akta yang dibuat oleh Notaris di Bidang
Pertanahan Berdasarkan Ketentuan Pendaftaran Tanah di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah :
1. Untuk mengetahui Kedudukan Hukum Notaris sebagai Pembuat Akta
Tanah yang Berkaitan dengan Pertanahan Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui Kekuatan Hukum Akta yang dibuat oleh Notaris di
bidang pertanahan berdasarkan ketentuan pendaftaran tanah di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan, antara
lain :
15
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum agrarian.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya dengan topik sejenis.
2. Kegunaan praktis
a. Bagi Notaris
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan presepsi atau
pandangan mengenai konsekuensi yuridis Pasal 15 ayat (2) huruf f
UUJN jo UUJN-P yang memberikan kewenangan notaris dalam
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
b. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi
masyarakat/pembaca mengenai kedudukan hukum Notaris sebagai
pembuat akta tanah terhadap pelaksaannya didalam praktek dan
kekuatan hukum suatu akta tanah yang dibuat oleh notaris terhadap
proses pendaftaran tanah.
E. Kerangka Pikir
22
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2010,
hlm.652.
23
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm.163.
24
O. Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011,
hlm.33.
17
hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini
hanya sekumpulan aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian
hukum. Kepastian hukum diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-
mata untuk kepastian hukum.29
29
Achmad Ali , Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 2006, hlm.67.
30
Utrecht dan Moh. Saleh Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru dan
Sinar Harapan, Jakarta, 2009, hlm.25.
31
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm.92.
32
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hlm.53.
19
Terkait dengan teori peralihan hak atas tanah, dengan berlakunya Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, mengubah
33
John Braithwaite, Rules and Principles: A Theory of Legal Certainty, Pearson Prentice
Hall, New Jersey, 2002, hlm.62.
20
sendi-sendi hukum agrarian yaitu, dari hukum agraria kolonial menjadi hukum
agraria nasional. Salah satu yang berubah adalah sistem pendaftran tanah. Sesuai
dengan Pasal 19 UUPA penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah dalam rangka
kepastian hak atas tanah sehingga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
system hukum agrarian nasional. Untuk memperoleh hak atas tanah UUPA
menjamin bahwa masyarakat diindonesia dapat memperoleh hak atas tanah.34
a. Hak milik
b. Hak guna usaha
c. Hak guna bangunan
d. Hak pakai
e. Hak sewa
f. Hak membuka tanah
g. Hak memungut hasil hutan
h. Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas. Hak-hak atas
air dan ruang angkasa ialah :
1) Hak guna air
2) Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3) Hak guna ruang angkasa.
Tanah adalah salah satu hak milik yang sangat berharga bagi umat
manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia. Setiap warga negara
Indonesia dijamin oleh undang-undang untuk dapat mempunyai hak milik
atas tanah. Pengertian pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum
pemindahan hak-hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada
pihak lain. Pada pemberian status hak dengan balik nama, haruslah ada
perbuatan hukum diatas hak tanah itu.36 perbuatan hukum dimaksud adalah
pengalihan dari orang pertama yang telah mendaftrkan hak itu kepada orang
kedua ( pihak lain ) yang menerima hak atas tanah yang disebut pemindahan
hak.
35
L.B Curzon , Land Law , Seventh Edition, Peterson Educations Limited, Great Britain,
1999, hlm.8-9.
36
Mhd.Yamin Lubis,Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftran Tanah, Mandar Maju,
Bandung, 2002 , hlm.121.
22
38
Ibid., hlm.19.
39
Robert J. Akerlof, A Theory of Authority, University of Warwick, Coventry City, 2012,
hlm.17.
24
40
.Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, hlm.195.
41
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm.45.
42
Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2005, hlm.7.
43
Habib Hadjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm.77.
25
44
S.F. Marbun, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 109-120.
45
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, 1998, hlm. 16-17.
46
Max Weber, Mastering Public Administration, CQ Press,Washington, 2008, hlm.32.
26
berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang
tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm). Menurut Hans Kelsen norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),48 contoh
norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan
berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah
daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang
tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-
norma di bawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi
rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.
48
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (terj. Raisul Muttaqien), Russel
and Russel, New York, 2016, hlm.179-180.
49
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm.41.
29
50
Ibid., hlm.48.
30
1. UUD RI 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
51
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
31
tinggi, dan sudah semestinya antar tingkatan norma hukum yang satu dan
yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas
dasar Pancasila sebagai cita hukum bangsa
“Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya
melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan
sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat
perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu:
(1) Tahap Pracontraktual, Yaitu Adanya Penawaran Dan Penerimaan,
(2) Tahap Contractual, Yaitu Adanya Persesuaian Pernyataan Kehendak
Antara Para Pihak, Dan
(3) Tahap Post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.52
Dengan demikian perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dapat dikatakan peristiwa dimana
dua orang atau lebih saling mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu.
Definisi perjanjian batasannya telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata
yang mengatur “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
sebenarnya tidak lengkap karena terdapat beberapa kelemahan yang perlu
dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (a) hanya menyangkut
sepihak saja; (b) kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus; (c)
pengertian perjanjian terlalu luas; dan (d) tanpa menyebut tujuan.53
52
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hlm.26.
53
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,
hlm.224.
32
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa
dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Oleh
karena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya,
tidak bisa hanya melihat peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan
harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah
yang memberi makna etis pada peraturan-peraturan hukum serta tata
hukum.56
Menurut para sarjana perdata terdapat lima asas yang penting dalam
perjanjian sebagai berikut:
54
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008, hlm.1.
55
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
2002, hlm.42.
56
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2010, hlm.87.
33
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia.57 Dengan kebebasan berkontrak berarti
orang dapat menciptakan hak-hak perseorangan yang tidak diatur dalam
Buku III KUHPerdata, tetapi diatur sendiri dalam perjanjian. Pasal-pasal
di dalam Buku III KUHPerdata baru mengikat terhadap mereka, jika
mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya dalam
perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak diatur
tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang
mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian,
meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa terhadap asas
konsensualisme terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan
perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi
bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.58
57
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1996, hlm.86.
58
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.29.
59
Salim H.S, Op.Cit., hlm.26.
34
60
H.R. Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004,
hlm.5.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
61
ين َءا َمنُ ٓو ۟ا إِ َذا تَ َدايَنتُم بِ َدي ٍْن إِلَ ٰ ٓى أَ َج ٍل ُّم َس ًّمى فَٱ ْكتُبُوهُ ۚ َو ْليَ ْكتُب َ ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذ
ْب َك َما َعلَّ َمهُ ٱهَّلل ُ ۚ فَ ْليَ ْكتُب َ ُب َكاتِبٌ أَن يَ ْكت َ ْبَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْٱل َع ْد ِل ۚ َواَل يَأ
ق ٱهَّلل َ َربَّهۥُ َواَل يَب َْخسْ ِم ْنهُ َش ْئـًًٔˆا ۚ فَإِن ِ َّق َو ْليَت
ُّ َو ْليُ ْملِ ِل ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح
ض ِعيفًا أَ ْو اَل يَ ْستَ ِطي ُع أَن يُ ِم َّل هُ َو َ ق َسفِيهًا أَ ْو ُّ ان ٱلَّ ِذى َعلَ ْي ِه ْٱل َح َ َك
وا َش ِهي َدي ِْن ِمن رِّ َجالِ ُك ْم ۖ فَإِن لَّ ْم يَ ُكونَا ۟ فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهۥُ ب ْٱل َع ْد ِل ۚ َوٱ ْستَ ْش ِه ُد
ِ
ض َّل َ
ِ َض ْو َن ِم َن ٱل ُّشهَ َدٓا ِء أن ت َ ْان ِم َّمن تَر َ
ِ ََر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج ٌل َوٱ ْم َرأت
۟ ب ٱل ُّشهَ َدٓا ُء إ َذا ما ُد ُع
ۚ وا َ ْإِحْ َد ٰىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر إِحْ َد ٰىهُ َما ٱأْل ُ ْخ َر ٰى ۚ َواَل يَأ
َ ِ
ص ِغيرًا أَ ْو َكبِيرًا إِلَ ٰ ٓى أَ َجلِ ِهۦ ۚ ٰ َذلِ ُك ْم أَ ْق َسطُ ِعن َد َ َُواَل تَسْٔـََٔˆ ُم ٓو ۟ا أَن تَ ْكتُبُوه
ِ ون تِ ٰ َج َرةً َح
ًاض َرة َ ٱهَّلل ِ َوأَ ْق َو ُم لِل َّش ٰهَ َد ِة َوأَ ْدنَ ٰ ٓى أَاَّل تَرْ تَاب ُٓو ۟ا ۖ إِٓاَّل أَن تَ ُك
ۚ ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَاَّل تَ ْكتُبُوهَا ۗ َوأَ ْش ِه ُد ٓو ۟ا إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َ تُ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي
ۖ َ وا ٱهَّلل ۟ ُق ب ُك ْم ۗ َوٱتَّق ۢ ۟
ِ ٌ ُضٓا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد ۚ َوإِن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّ ۥهُ فُسُو َ َواَل ي
َويُ َعلِّ ُم ُك ُم ٱهَّلل ُ ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِيم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
63
R. Subekti, Op.Cit., hlm.17.
36
ول ي ِ ُس و َل وَ أ ُ يع وا اللَّ َه وَ َأ ِط ي ُع وا ال َّر ُ يَا َأ يُّ َه ا الَّ ِذ ينَ آ َم نُوا َأ ِط
ِوه ِإ لَ ى اللَّ ه
ُ ش يْ ٍء َف رُ ُّد َ ا أْل َ مْ ِر ِم ْن ُك ْم ۖ َف ِإ ْن تَ نَ ازَ عْ ت ُْم ِف ي
ول ِإ ْن ُك ْن ت ُْم ت ُْؤ ِم نُ ونَ ِب اللَّ ِه وَ ْال يَوْ ِم ا آْل ِخ ِر ۚ ٰ َذ ِل كَ خَ ْي ٌر ِ س ُ َّوَ الر
س نُ تَ ْأ ِو ي اًل
َ وَ َأ ْح
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
rosulNya, dan ulil amri diantara kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
rosul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
37
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan
lebih baik akibatnya.
Makna yang terkandung dalam QS. An-Nisa Ayat 59 tersebut adalah bahwa
ulil amri adalah orang yang membawahi sesuatu urusan (Pemerintah).
Mukhatab dari ayat ini adalah orang-orang beriman termasuk Notaris,
dengan demikian notaris wajib taat terhadap peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh ulil amri (pemerintah) dalam hal ini UUJN, yang
mencakup tentang kewenangan, kewajiban, larangan dan sanksi. Jika
notaries mempunyai kewenangan yang ditentukan oleh Undang-undang,
maka secara argumentum contrario, notaries tidak berwenang melakukan
tindakan diluar kewenangannya yang sudah ditentukan.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam penelitian tesis ini
adalah menggunakan metode yuridis normative, yaitu penelitian hukum
yang dilakaukan dengan cara meneliti dan mengkaji data kepustakaan atau
yang disebut data sekunder berupa hukum positif dan bagaimana
pelaksanaaanya dalam praktek khususnya mengenai kewenangan notaris
dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
2. Sifat Penelitian
Sejalan dengan identifikasi masalah maka metode penelitian
hukum yang digunakan bersifat hukum doktrinal. Penelitian hukum
doktrinal disebut juga sebagai penelitian hukum normatif64 yang
merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian data sekunder. Menurut
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji65 penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat
dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
64
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetil, Ghalia,
Indonesia, 2000, hlm. 11-12.
65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.13-14.
38
G. Sistematika Penulisan
73
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone,
Jakarta, 2008, hlm.188.
41
sub bab yang merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama
lain. Adapun bentuk sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN