Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

QIRA’AT QUR’AN

Diajukan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah


Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu

NURUL ZAKIAH, S. Kom. I ., M. Sos

Kelompok V
IMANIYATUL CHAIRIYAH

Program Studi S1 Perbankan Syariah


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri Ternate

2021

i
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyusun tugas makalah ini. Shalawat nan salam penulis
kirimkan buat junjungan tercinta Rasulullah Saw.

Penulis diberi tugas menyusun makalah dengan judul “ Qira’at Qur’an “ guna
memenuhi tugas pada mata kuliah “ Ulumul Qur’an “. Selain itu penulis berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi kita semua.

Penulis berterima kasih kepada Ibu Nurul Zakiah, S. Kom. I., M. Sos selaku dosen
mata kuliah Ulumul Qur’an telah memberikan tugas kepada penulis untuk menambah
pengetahuan dan wawasan penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
kritik dan saran demi kesempurnaan penulis sampaikan terima kasih.

Ternate, 17 Maret 2021

Imaniyatul Chairiyah

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.................................................................................................................................3
A. Definisi Qira’at Qur’an..................................................................................................................3
B. Popularitas Tujuh Imam Qira’at....................................................................................................6
C. Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya............................................................................7
D. Faedah Beraneka Ragamnya Qira’at yang Sahih.........................................................................11
E. Al-Waqfu dan Al-Ibtida’..............................................................................................................12
F. Macam-macam waqaf..................................................................................................................13
G. Tajwid dan Adab Tilawah...........................................................................................................14
H. Adab membaca Qur’an................................................................................................................17
I. Mengajarkan Qura’an dan menerima Upah (bayaran) Atasnya....................................................19
BAB III................................................................................................................................................20
PENUTUP...........................................................................................................................................20
A. Kesimpulan.................................................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Qara’a mempunyai definisi arti mengumpulkan dan menghimpun, sedangkan Qira’ah


berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lainnya dalam suatu
ucapan yang tersusun rapih.

Qira’at adalah jamak dari qira’ah, yang berarti ‘bacaan’ dan ia adalah masdar (verbal
noun) dari qara’ah. Sedangkan menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab
(aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu
mazhab yang berbeda.

Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu AL-Qur’an, tetapi tidak banyak orang
yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya di kalangan
akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah ilmu ini tidak
berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari, tidak
seperti ilmu fiqih, Hadist dan tafsir misalnya, yang dapat dikatakan berhubungan
langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini karena ilmu qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal atau haram atau hukum-
hukum tertentu dalam kehidupan.

Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari karena banyak hal yang harus
dikuasai, antara lain penguasaan bahasa Arab secara mendalam, peguasaan ilmu ini
sangat berhasa dalam menggali, menjaga, dan mengajarkan berbagai “cara membaca” Al-
Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulllah Saw.

Para ahli Qira’at elah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan


ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan Al-Qur’an terjaga dari
adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat
merusak kemurniaan Al-Qur’an.

Dengan demikian, maka qira’at Qur’an adalah cara melafazkan, mengucapkan dan
membaca Qur’an dengan mengikuti mazhab (metode) yang benar yang telah ditentukan.

1
Oleh karena itu, sangat diperlukan pengetahuan dan pemahaman dalam pengucapan
Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan serta
menghindari kesalahan pengucapan di dalam Qur’an.

B. Rumusan Masalah.
1. Definisi Qira’at Qur’an.
2. Popularitas imam tujuh Qira’at.
3. Macam-macam Qira’at, Hukum dan kaidahnya.
4. Faedah Beraneka Ragamnya Qira’at yang Shahih.
5. Al- Waqfu dan Al- Ibtida’.
6. Macam-macam waqaf.
7. Tajwid dan adab Tilawah.
8. Adab membaca Qur’an.
9. Mengajarkan Qur’an dan Menerima Upah (bayaran) atasnya.

C. Tujuan.
1. Untuk memahami definisi Qira’at Qur’an.
2. Untuk mengetahui apa saja Popularitas imam tujuh Qira’at.
3. Untuk mengetahui macam-macam Qira’at , Hukum dan Kaidahnya.
4. Untuk mengetahui Faedah Beraneka Ragamnya Qira’at yang Shaih.
5. Untuk mengetahui apa itu Al- Waqfu dan Al- Ibtida’.
6. Untuk mengetahui macam-macam waqaf.
7. Untuk mengetahui Tajwid dan Ada Tilawah.
8. Untuk mengetahui apa saja Adab membaca Qur’an.
9. Untuk mengetahui tentang Mengajarkan Qur’an dan Menerima Upah (bayaran)
Atasnya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Qira’at Qur’an.

Qira’at secara etimologi berarti “bacaan”, sedangkan secara terminology umunya


berarti “suatu mazhab yang dianut oleh seorang iman qurra’ (ahli bacaan Al-Qur’an) yang
berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan, dan metode, dan riwayatnya”. Walaupun
merupakan sisi bacaan Al-Qur’an, qira’at berimplikasi pada makna dan penafsiran yang harus
dipertanggungjawabkan. Itulah sebabnya, banyak terjadi perbedaan di antara imam qurra’.1

Qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode


qurra’ (ahli atau imam qira’at yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut
cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada para sahabat. Di antara para
sahabat yang terkenal mengajarkan Qira’at ialah, Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu
Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di
berbagai negeri belajar Qira’at. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.

Az-Zahabi menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal


sebagai guru dan ahli qira’at Qur’an ada tujuh orang, yaitu :

a. Usman .
b. Ali.
c. Ubai.
d. Zaid bin Sabit.
e. Abu Darba’ dan
f. Abu Musa al-Asy’ari.

1
Hermawan Acep, Ulumul Qur’an. Ed. Pipih Latifah ( Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011 &2013)

3
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubai, di
antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada
Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap Negeri
mempelajari qira’at.

Di antara para tabi’in tersebut ada yang tinggal di Medinah yaitu Ibnu Musayyab,
‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ‘ata’, keduannya putra Yasar, Mu’az bin
Haris yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab
az-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslm.

Yang tinggal di Mekkah ialah, ‘Ubaid bin ‘Umair’, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tuwus,
Mujahid, ‘ikrimah dan Ibn Abu Malikah.

Tabi’in yang tinggal di Kufah ialah ‘Alqamah, al-Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin
Syurahbil, al-Haris bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdurrahaman as-Sulami, Sa’id bin
Jabir, an-Nakha’I dan asy-Sya’bi.

Yang tinggal Basrah ialah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar,
al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.

Sedang yang tinggal di Syam ialah al-Mugairah bin Abu Syihab al-Makhzumi (murid
Usman), dan Khalifah bin Sa’d (sahabat Abu Darda’).

Pada dasawarsa pertama Abad IV Hijriah, seorang ulama dari Bagdad pernah dikecam.
Menurut tuduhan yang dijatuhkan kepada ulama itu, ia telah mengakibatkan kerancuan
pemahaman orang banyak terhadap pengertian “tujuh kata” yang dengannya Al-Qur’an
diturunkan.

Abu Bakar Ahmad, alias Ibnu Mujahid, demikian nama ulama yang dituduh itu
sesungguhnya tidak sengaja melahirkan sesuatu yang baru dan telah menyebabkan ia dituduh
menyesatkan banyak orang. Padahal apa yang ia lakukan waktu itu hanyalah mengoleksi
qira’at-qira’at para imam qira’at terkemuka. Akan tetapi, agaknya ulama-ulama yang
menuduhnya sesat, misalnya Abu Al-Abbas bin Amar, tidak mau tahu apa sesungguhnya
yang telah dibuat Abu Bakar. Abu Al-Abbas secara pedas mengecap Abu Bakar sebagai “Si
Pembuat Tujuh”. “Si Pembuat Tujuh ini telah berbuat sesuatu yang tak layak baginya. Ia
telah mengaburkan persoalan dengan meresahkan orang-orang yang berpandangan picik

4
bahwa qira’at ini (tujuh huruf) yang dibut di dalam Al-Hadis”, kecam Abu Al-Abbas bin
Amar.

Serangan pedas Abu Al-Abbas bin Amar yang di awal Abad V hijriah tersohor sebagai
“imam Muqri” ini gara-gara Ibnu Mujahid tertarik membukukan qira’at (Bacaan Al-Qur’an)
tujuh tokoh Madinah, Mekah, Irak, dan Syam yang ia kagumi, tetapi karena qira’at itu belum
memasyarakat, maka banyak orang mengira bahwa tujuh huruf yang dimaksud Rasulullah
Saw. Tak aneh bila Abu Al-Abbas mengecam Ibnu Mujahid dengan begitu pedasnya.

Istilah qira’at sab’ah pada zaman Abu AL-Abbas memang belum popular, tetapi tidak
berarti tidak ada. Qira’at ini sesungguhnya sudah akrab di dunia akademis sejak Abad II
Hijriah. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qira’at itu karena kecenderungan
ulama-ulama saat itu hanya mengambil sekaligus memasyarakatnya satu jenis qira’at saja.
Sementara qira’at-qira’at lainnya jika tidak dianggap tidak benar, maka ditinggalkan dan
tidak ditoleh. Apa yang dilakukan Ibnu Mujahid adalah terobosan baru di dunia Qira’at.
Seperti sering terjadi terobosan-terobosan baru memang kerap kali mendapat tantangan. Ibnu
Mujahid-lah orang yang pertama kali menginventarisasi tujuh bacaan, berikut ini merupakan
ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qira’at di seluruh dunia diantaranya :

 Abdullah bin Katsir Al-Dariy dari Mekah (wafat 120 H). Al-Dariy termasuk generasi
tabi’in. qira’at yang ia riwayatkan diperolehnya dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
Sahabat Rasulullah Saw. Yang sempat ditemui Al-Dariy di ataranya Anas bin Malik,
Abu Ayyub Al-Anshariy, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah.
 Nafi’ bin Abd Al-Rahman bin Abu Na’im, dari Madinah (wafat 169 H). Tokoh ini
belajar qira’at kepada 70 orang tabi’in. Dan para tabi’in yang menjadi gurunya itu
belajar kepada Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah.
 Abdullah Al-Yahshibiy, yang terkenal dengan sebutan Abu ‘Amr al-Dimasyqiy dari
Syam , (wafat 118 H). Beliau mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-
Mahzumiy, dari Utsman bin Affan, tokoh tabi’in ini sempat berjumpa dengan sahabat
Rasulullah Nu’man bin Basyirdan Wa’ilah bin Al-Asyqo’. Sebagian riwayat mengatakan
bahwa Abdullah Al-Yahshibiy sempat berjumpa dengan Utsman bin Affan langsung.
 Abu Amar dan Ya’kub tokoh ini berasal dari Basrah, Irak. Nma lengkap Abu Amar
adalah Zabban bin Al-‘Ala bin ‘Ammar, (wafat 154 H), ia meriwayatkan qira’at dari
Mujahidbin Jabar , Said bin Jubair yang mengabil qira’at dari Abdullah bin Abbas dan
‘Ubai bin Ka’ab, sedangkan Ya’kub BERNAMA LENGKAP Ibnu Ishak Al-Hadhramiy,

5
(wafat 205), Ya’kub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang
mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
 Hamzah dan Ashim. Nama lengkap Hamzah adalah Ibnu Habib Al-Zayyat, (wafat tahun
188 H). Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin
Watstsab, dari Zar bin Hubaisy, daru Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu
Mas’us. Adapun nama lengkap ‘Ashim adalah Ibnu Abi Al-Najud Al-Asadiy, (wafat 127
H). Ia belajar qira’at pada Zar bin Hubaisy, dari Abdullah bin Mas’ud.

B. Popularitas Tujuh Imam Qira’at.

Imam atau guru qira’at itu cukup banyak jumlahnya, namun yang popular hanya ketujuh
orang itu. Qira’at tujuh orang imam ini adalah qira’at yang telah disepakati. Akan tetapi di
samping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang
shahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa al-Madani, ya’qub bin
Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam di atas
satu pun dari qira’at. Dan qira’at di luar yang sepuluh ini dipandang qira’at syaz, seperti
qira’at Yazidi, Hasan, ‘Amasy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti
tidak satu pun dari qira’at sepuluh dan bahkan qira;at tujuh yang masyhur itu terlepas dari
kesyazan, seba di dalam qira’at-qira’at tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan
sekalipun hanya sedikit.

Pemilihan qurra’ (ahli qira’at) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada
abad ketiga Hijri. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat
dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya.

Imam Ibn Jaziri di dalam an-Nasyr mengemukakan, imam pertama yang dipandang telah
menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adala Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn
Salam. Menurut perhutungannya, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at
selain dari imamyang ketujuh tadi. Ia wafat pada 224. Kemudian al-Jaziri mengatakan pula,
sesudah itu, Abu bakar Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid merupakan prang pertama
yang membatasi hanya pada qira’at tujuh orang imam saja. Ia wafat pada 324. Selanjutnya ia
mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa
qira’at yang ebnar hanyalah qira’at-qira’at yang berasal dari ketujuh imam. Bahkan dalam

6
pandangan sebagian besar orang yang jahil, qira’at-qira’at yang benar itu hanyalah yang
terdapat di dalam asy-Syatibiyyah dan at-Taisir.

Para penulis kita tentang qira’at telah memberikan andil besar dalam membatasi qira’at
pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qira’at tertentu tersebut,
merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari’-qari’ lain yang lebih
tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari’
yang qira’at-qira’atnya dituliskan itulah imam-imam qira’at terpecaya. Ibn Jabr al-Makki
telah meyusun sebuah kitab tentang qira’at, yang hanya membatasi pada lima orang qari’
saja. Ia memilih seorang imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang
dikirimkan Usman ke negeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu sebuah pendapat
mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf ; lima buah seperti ditulis oleh
al-Makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi
kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritannya. Kemudian Ibn Mujahid dan
lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut, maka dari
mushaf Baharin dan mushaf Yaman itu mereka mencantumkan pula ahli qira’atnya untuk
menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa
berpegang pada qira’at tujuh ahli qira’at (qari’) itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan
pada asar maupun sunah. Sebeb jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa
orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas.

C. Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawatir, ahad, dan syaz.
Menurut mereka, qira’at mutawatir ialah qira’at yang tujuh, sedang qira’at ahad ialah tiga
qira’at yang menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at ditambah qira’at sahabat, dan selain
itu adalah qira’at syaz. Dikatakan, bahwa qira’at yang sepuluh adalah mutawatir. Kemudian
dikatakan pula bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qira’at yang termasuk
qira’at tujuh, qira’at sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang
shahih. Abu-Syamah dalam al-Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepatansanya kita
tertipu oleh setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at tujuh dengan
menyatakannya sebagai qira’at yang shahih (benar) dan seperti itulah qira’at tersebut
diturunkan kecuali bila qira’at itu telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam dabit.

7
Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak segoyahnya hanya memindahkan (menukil)
qira’at yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qira’at yang dari
yang lain, atau khusus hanya menukilkan qira’at tujuh imam saja. Tetapi hendaknya dia
menukilkan semua qira’at yang berasal dari qurra’ lain. Cara demikin ini tidak mengeluarkan
susuatu qira’at dari keshahihnya. Sebab, yang menjadi pedoman adalah terpenuhinya sifat-
sifat atau syarat-syarat, bukan siapa yang kepada qira’at itu dihubungkan. Hal ini karena
qira’at yang dihubungkan kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lain itu, ada yang
disepakati (mujma’ ‘alaih) dan ada pula yang syaz. Hanya saja, karena popularitas qari’ yang
tujuh dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati keshahihnya, maka jiwa lebih
tentram dan cenderung menerima qira’at yang berasal dari meraka melebihi qira’at yang
bersumber dari qari’-qari’ lainnya.

Menurut mereka, dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut :

1. Kesesuaian qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi,
baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti,
diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu
(penalaran).
2. Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati
saja. Sebab, dalam penulisan Mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh
dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek
qira’at yang mereka ketahu. Misalnya, mereka akan menuliskan َ‫ الصِّ َراط‬dalam ayat ‫ْال ُم ْستَـقِ ْي َم‬
‫الصِّراطَ اِ ْھ ِدنَا‬
َ (al-Fatihah [1]:6), dengan sad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan
sin yang merupakan asal ini agar lafaz tersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni ‫اط السر‬
. Meskipun dalam satu segi berbeda dengan rasam, namun qira’at dengan sin pun telah
memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua
bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekedar mendekati saja (muwafaqah
ِ ِ‫( ل ِّد ْي ۗنِيَوْ ِم مٰ ل‬al-Fatihah
ihtimaliya) adalah seperti contoh di atas. Misal yang lainnya seperti ‫ك‬
[1]:4). Lafaz ‫ك‬
ِ ‫ مٰ لِ ـ‬dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang alif, sehingga
dibaca ‫ مالي‬sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula ‫ك‬
ِ ِ‫ مٰ ل‬sesuai dengan
rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh-contoh yang lainnya.
Contoh qira’at-qira’at sesuai yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adala
‫ تغكمون‬, dengan ta dan ya. Juga ‫ ئغفر لكم‬dengan ya dan nun, dan lain-lain. Kekosongan rasm
dari titik dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti

8
betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang
cemerlang terhadap kajian setiap ilmu. Dalam menceritakan qira’at yang shahih tidak
disyaratkan qira’at itu sesuai dengan mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam
sebagian mushaf saja. Misalnya qira’at Ibn ‘Amr ‫ُــر‬ ِ ‫الزب‬ ِ ‫( َو ْال ِك ٰت‬Ali-‘Imran [3]:184),
ُّ ‫ب َو‬
dengan menetapkan ba pada kedua lafaz itu, qira’at ini dipandang sahih yang demikian
ditetapkan pula dalam Mushaf Syami.
3. Qira’at itu harus sahih isnadnya, sebab qira’at merupakan sunah yang diikuti yang
didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa
Arab mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu tidak sejalan dengan aturan
atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at tidak menanggung
beban apa pun atas keingkaran mereka itu. Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam
dabit bagi qira’at yang sahih. Apabila ketiga syarat ini telah terpenuhi, yaitu :
a. Sesuai dengan bahasa Arab.
b. Sesuai dengan rasam Mushaf.
c. Sahih sanadnya,

Maka qira’at tersebut adalah qira’at yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak
terpengaruhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syaz atau batil. Yang
mengherankan ialah bahwa sebagian ahli Nahwu masih juga menyalahkan qira’at yang sahih
yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semat-mata qira’at tersebut bertentangan
dengan kaidah-kaidah ilmu Nahwu yang mereka jadikan tolak ukur kesahihan bahasa.
Seharusnya qira’at yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah
nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya menjadikan kaidah ini sebagai pedoman bagi
Qur’an. Hal ini karena Qur’an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah
bahasa-bahasa, sedang Qur’an sendiri didasrkan pada kesahihan penukilan dan riwayat yang
menjadi landasan para qari’, bagaimanapun juga adanya Ibn Jaziri ketika memberikan
komentar terhadap syarat pertama kaidah qira’at yang sahih ini menegaskan, “Kata-kata
dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi
dari ilmu nahwu, baik itu sei fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan.
Sedikit berlawanan dengan kaidah Nahwu tidaklah mengurangu kesahihan sesuatu qira’at
jika qira’at tersebut telah tersebar luas, populerdan diterima para imam berdasarkan isnad
yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama.
Memang, tidak sedikit qira’at yang diingkari oleh ahli Nahwu atau sebagian besar mereka,
tetapi keingkaran mereka itu tidak perlu dihiraukan, seperti mensukunkan ‫ باريكوم‬dan ‫ ياموركم‬,

9
mengkhafadkan ‫والرحــامي‬, menasabkan ‫ ليجــزي كوما‬, dan memisahkan antara mudaf dengan
mudaf ilaih, seperti dalam ayat, ‫ قاتل أوأل دهم شر كتهم‬dan sebagainya.

Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, “para imam qira’at tidak memperlakukan sidkit pun huruf-
huruf Qur’an menurut aturan yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut
yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat
itu mantap, maka aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau
mengingkarinya, sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya
serta dijadikan sumber acuan.” Zaid bin Sabit berkata “ Qira’at adalah sunnah muttaba’ah,
sunnah yang harus diikuti.

Baihaqi menjelaskan, maksud perkataan tersebut ialah bahwa ”mengikuti orang-orang


sebelum kita dalam hal qira’at Qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti, tidak
boleh menyalahi Mushaf yang merupakan imam dan tidak pula menyalahi qira’at-qira’at
yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab.”

Ada macam-macam qira’at ada enam sebagai berikut :

1. Mutawatir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya
bersambung hingga penghabisannya, yakini Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam
hal qira’at.
2. Masyhur, yaitu qira’at yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai darajat mutawatir,
sesuai dengan kaidah dengan bahasa Arab dan rasam Usmani serata terkenal pula di
kalangna para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikatagorikan qira’at yang salah
atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang
dapat dipakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qira’at yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Usamani, menyalahi
kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah
disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.
Contohnya diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca :
ٍ‫ســـان‬ ِ َ‫ضـــ ٍر َّوع َۡبق‬
َ ‫ـــرىٍّ ِح‬ ‫ ( ُمتَّ ِكـٕـِِٕـ ۡينَ ع َٰلى َر ۡفـــ َر ٍـ‬ar-Rahman
ۡ ‫ف ُخ‬ [55]:76) dan yang

ِ ُ‫( لَقَ ْد َج ۤا َء ُك ْم َرسُوْ ٌل ِّم ْن اَ ْنف‬at-


diriwayatkan dari ‘Ibn ‘Abbas bahwa ia membaca ‫س ُك ْم‬
Taubah [9]:128), dengan membaca fatah huruf fa.

10
ِ ِ‫( ل ِّد ْي ۗنِيَوْ ِم مٰ ل‬al-Fatihah
4. Syaz, yaitu qira’at yang tidak sahih sanadnya, seperti qira’at ‫ك‬
[1]:4). Dengan bentuk fi’l madi dan menasabkan ‫ ئوم‬.
5. Maudu, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at
Ibn Abbas ‫ن‬ ۡ َ‫س َعلَ ۡي ُکمۡ ُجنَــا ٌح اَ ۡن ت َۡبتَ ُغـ ۡـوا ف‬
ۡ ‫ضـاًل ِّم‬ ٍ َ‫َّربِّ ُكم فى مواسم العح فَإِ َذٓا أَفَضْ تُم ِّم ْن َع َر ٰف‬
َ ‫ت لَ ۡي‬
(al-Baqarah [2]:198), kalimat ‫ فى مواسم العح‬adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam
ayat. Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur
berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh
dibaca dalam maupu luar sholat. Nawawi dalam Syaral-Muhhazab berkata “Qira’at
yang syaz tidak boleh dibaca, baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan
Qur’an. Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qira’at yang
syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil.
Seandainya seseorang meyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syaz,
maka ia harus diingkari baik bacaan itu di dalam maupun di luar. Para fuqaha Bagdad
sepakat bahwa orang yang membaca Qur’an dengan qira’at yang syaz, maka harus
bertobat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa Qur’an tidak boleh
dibaca dengan qira’at yang syaz dan juga tdak sah shalat di belakang orang yang
menbaca Qur’an dengan qira’at-qira’at syaz itu.”

D. Faedah Beraneka Ragamnya Qira’at yang Sahih.

Bervariasinya qira’at yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, di antaranya :

1. Menunjukan betapa terjaga dan terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan dan
penyimpanan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-
beda.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.
3. Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)nya, karena setiap qira’at
menunjukan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz. Misalnya
ayat ‫جلَ ُكمۡ اِلَى ۡالــــ َك ۡعبَ ۡي ِن‬
ُ ‫ـــق َوامۡ َســـح ُۡوا بِ ُر ُء ۡو ِســـ ُكۡـم َواَ ۡر‬ ۡ
ِ ِ‫( ال َم َراف‬al-Maidah [5]:6), dengan
menasabkan dan menkhafadkan kata ۡ‫ َواَ ۡر ُجلَ ُكم‬. Dalam qira’at yang menasabkannya
terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di ‘atafkan kepada
ِ ‫فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َرافِـ‬. Sedang qira’at
ma’mul fi’l (objek kata kerja) gasala ‫ـق‬

11
dengan jar (khafad) menjelaskan hukum menyapu sepatu ketika terdapat keadaan
yang menuntut demikian, dengan alas an lafaz itu di’atafkan kepada ma’mul fi’l
masaha ‫ َوا ْم َســـحُوْ ا بِ ُرءُوْ ِســـ ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَ ْي ۗـ ِن‬. Dengan demikian, maka kita dapat
menyimpulkan duahukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna
kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain. Misalnya,
ْ َ‫( َواَل تَ ْق َربُــوْ ه َُّن َح ٰتّى ي‬al-Baqarah [2]:222), yang dibaca
ْ َ‫ ي‬dalam ayat َ‫طهُــرْ ن‬
lafaz ‫طهُــرْ ن‬
dengan tasydid ‫ ئطهرن‬dan takhfif ‫طهُرْ ن‬ ْ َ‫ ي‬. Qira’at dengan tasydid menjelaskan makna
qira’at dengan takhfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang
haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya
darah haid, sebelum ister tersebut bersuci dengan air. Dan qira’at ِ ‫ـر هَّللا‬
ِ ‫فَامصؤا إِلَى ِذ ْك‬
ْ َ‫ ف‬yaitu pergi, bukan berjalan cepat –
menjelaskan arti yang dimaksud qira’at‫اس ـ َعوْ ا‬

ِ ‫ي لِلصَّال ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا إِلَى ِذ ْك‬


Dalam firman-Nya ِ ‫ر هَّللا‬ ‫( ا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا نُو ِد َـ‬al-
Jum’ah [62]:9). Qira’at ‫َّارقَةُ فَــا ْقطَع ُْٓوا‬ ِ ‫( اَيم نَهُ َما َوالس‬al-Maidah [5]:38) sebagai
‫َّار ُـ‬
ِ ‫ق َوالس‬
ganti kata ‫ اَ ْي ِديَهُ َما‬juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong. Kemikian pula
ُّ ‫اح ٍد ِّم ۡنهُ َما ال‬
qira’at ُ‫س ُدس‬ ٌ ‫( َّولَهٗۤ اَ ٌخ اَ ۡو اُ ۡخ‬an-Nisa [4]:12) menjelaskan bahwa yang
ِ ‫ت فَلِ ُكلِّ َو‬
dimaksuddengan saudara dalam ayat ersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh
karena itu, para ulama mengatakan :”Dengan adanya perbedaan qira’at, maka
timbullahperbedaan dalam hukumnya.”

E. Al-Waqfu dan Al-Ibtida’.

Pengetahuan tentang al-waqfu dan al-ibtida’ mempunyai peranan penting dalam cara
pengucapan Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan
menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang
berbagai ilmu kebahasaan, qira’at dan tafsir Qur’an, sehingga arti suatu ayat tidak menjadi
rusak. Dibawah ini merupakan contoh yang dikemukakan :

Wajib waqaf misalnya, pada ayat ‫( َولَمۡ يَ ۡج َعــلْ لَّهٗ ِع َوجًا‬al-Kahfi [18]:1). Kemudian ibtida’
(memulai) dengan  ُ‫( قَيِّ ًما لِّي ُۡن ِذ َر بَ ۡاسًا َش ِد ۡيدًا ِّم ۡن لَّد ُۡنه‬al-Kahfi [18]:2), hal ini agar tidak mengesankan
bahwa lafadz ‫ قَيِّ ًما‬adalah sifat lafadz ‫ ِع َوجًا‬, sebab al-iwaj’ (kebengkokan) itu tidaklah
gayyiman (lurus).

12
Tidak dapat diragukan bahwa pengetahuan tentang waqaf dan ibtida’ sangat berfaedah
dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam Qur’an.

F. Macam-macam waqaf.

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian waqaf, ada yang mengatakan bahwa
waqaf terbagi mejadi delapan macam, yaitu:

a. Tamm.
b. Syabihun bi tamm.
c. Naqis.
d. Syabihun bi naqis.
e. Hasan.
f. Syahibun bi hasan.
g. Qabih
h. Syabihun bi qabih.

Ada pula yang mengatakan terbagi menjadi tiga yaitu: tamm, ja’iz dan qabih. Ada juga
dikatakan terbagi menjadi dua yaitu: tamm dan qabih.

Namun menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi menjadi empat macam yaitu :

1. Tamm ialah waqaf pada lafaz yang tidak berhubungan sedikit pun denga lafaz
sesudahnya. Waqaf tamm banyak terdapat pada ra’sul ayat (penghujang ayat), sepeti
pada firman-Nya َ‫ُـــــون‬ َ ‫ولٓ ِٕٕٮِـ‬
ۡ ‫ك هُ ُم ۡال ُم ۡفلِح‬ ٰ ُ‫( َوا‬al-Baqarah [2]:5). Kemudian dilanjutka

dengan…….. ‫( اِ َّن الَّ ِذ ۡينَ َكفَر ُۡوا‬al-Baqarah [2]:6). Namun terkadang pula waqaf ini terjadi
sebelum berakhir fasilah, seperti waqaf pada firman-Nya ً‫( َو َج َعلُ ْٓوا اَ ِع َّزةَ اَ ْهلِهَٓا اَ ِذلَّة‬an-Naml
[27]: 34) , karena perkataan bilkis berakhir sampai di sini. Kemudian Allah berfirman
َ‫( َو َك ٰذلِكَ يَ ْف َعلُوْ ن‬an-Naml [27]:34), firman ini merupakan ra’sul ayat.
2. Kafin-ja’iz. Yaitu waqaf pada sesuatu lafaz yang dari segi lafaz telah terputusndari
lafaz sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung. Di atara contohnya ialah
setiap ra’sul ayat yang pada lafaz sesudahnya terdapat lam kai, misalnya pada firman

َ‫ق ۡالقَ ۡو ُل َعلَى ۡال ٰكفِ ِر ۡين‬


َّ ‫ين لِّي ُۡن ِذ َر َم ۡن َكانَ َحيًّا َّويَ ِح‬ ٌ ‫( إِ ْن هُ َو إِاَّل ِذ ْك ٌر َوقُرْ َء‬Ya sin [36]69-70).
ٌ ِ‫ان ُّمب‬

3. Hasan. Yaitu waqaf pada lafaz yang dipandang baik pada lafaz itu tetapi tidak baik
melalui dengan lafaz yang sesudahnya karena masih berhubungan dengan dalam lafaz
dan maknanya. Misalnya, ayat ‫( ْال َح ْم ُد هّلل ِ َربِّ ْال َعالَ ِمين الرَّحْ مـ ِن ال َّر ِحي ََِـِم‬al-Fatihah [1]:2-3).

13
4. Qabih. Yaitu waqaf pada lafaz yang tidak dapat dipahami maksud sebenarnya, seperti
waqaf pada firman ‫( لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذ ْينَ قَالُ ْٓوا‬al-Maidah [5]:17), dan memulai dengan ‫اِ َّن هّٰللا َ هُـ َو‬
‫( ْال َم ِس ـ ْي ُح ابْنُ َمــرْ يَ ۗ َم‬al-Maidah [5]:17), sebab makna yang dapat dipahami bila dimulai
dengan kalimat itu menunjukan kekafiran. Begitu pun firman ‫ث‬ ُ ِ‫لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذ ْينَ قَالُ ْٓوا اِ َّن هّٰللا َ ثَال‬
‫( ثَ ٰلثَ ٍة‬al-Maidah [5]:73). Maka waqaf pada lafaz ‫ قَالُ ْٓوا‬tidak dibenarkan. Dan seterusnya…

G. Tajwid dan Adab Tilawah.

Abdullah bin Mas’ud seorang qari’yang memilki suara merdu dan pandai membaca
Qur’an. Bacaan(tilawah) yang baik mempunyai pengaruh tersendiri bagi pembaca dan
pendengar dalam memahami makna-makna Qur’an dan menangkap rahasia kemukjizatannya,
denga khusyuk dan rendah hati. Nabi pernah mengatakan “ Barang siapa ingin membaca
dengan suara merdu seperti ketika diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan Ibn
Ummi ‘Abd.” Yakini Ibn Mas’ud.

Demikian itu disebakan Ibn Mas’ud dikaruniai suara yang bagus dan tajwid Qur’an. Para
ulama, dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besar terhadap Tilawah (cara membaca)
Qur’an sehingga pengucapan lafaz-lafaz Qur’an menjadi baik dan benar. Vara membaca ini,
dikalangan mereka dikenal dengan Tajwidul Qur’an. Ilmu tentang Tadjwidul Qur’an ini telah
dibahas oleh segolongan ulama secara khusus dalam karya tersendiri, baik berupa nazma
maupun prosa. Kemudian mereka mendefinisikan tajwid sebagai”memberikan kepada huruf
akan hak-hak dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya, serta
menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-
gesa, dan dipaksa-paksa.

Tajwid sebagai suatu disiplin ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus
dipedomani dalam pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya di samping harus pula
diperhatikan hubungan setiap huruf dengan yang sebelum dan sesudahnya dalam cara
pengucapannya. Oleh karena itu, ia tidak dapat diperoleh hanya sekedar dipelajari namun
juga harus juga harus melalui latihan, praktek dan menirukan orang yang baik bacaannya.
Sehubungan dengan ini Ibn Jaziri menyataka : “Aku tidak mengetahui jalan paling efektif

14
untuk mencapai puncak tajwid selai dari latihan lisan dan mengulang-ngulang lafaz yang
diterima dari mulut orang yang baik bacaannya. Dan kaidah tajwid itu berkisar pada cara
waqaf, imalah, idgam, penguasan hamzah, tarqiq, tafkhim, dan makhrijul huruf.

Para ulama menganggap qira’at Qur’an tanpa tajwid sebagai suatu lahn. Lahn adalah
kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafaz, baik secara jaliy maupun secara khafiy. Lahn
jaliy adalah kerusakan pada lafaz secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qira’at
maupun lainnya, misalnya kesalahan I’rab atau saraf. Lahn khafiy adalah kerusakan pada
lafaz yang hanya dapat diketahui oleh ulama qira’at dan para pengajar Qur’an yang cara
bacanya diterima langsung dari mulut para ulama qira’at dan kemudian dhafalnya dengan
teliti, berikut keterangan tentang lafaz-lafaz yang salah satu itu.

Berlebihan di dalam tajwid sampai terlewat batas dan terjadi pemaksaan tidak lebih kecil
bahayanya dari lahn, sebab hal itu merupakan penambahan hauruf-huruf bukan pada
tempatnya, misalnya dilakukan orang-orang yang membaca Qur’an dewasa ini dengan
iramamelankolis dan suara yang diulang-ulang seperti halnya nyayian yang diiringi alunan
musik dan petikan alat-alat hiburan. Para ulama telah mensinyalir perbuatan tersebut sebagai
suatu bid’ah dan menyebutnya dengan “tar’id, tarqis, tatrid, tahzin, atau tardid.” Hal ini
sebagaimana telah dinukil oleh as-Suyuti dalam al-itqan,dan diungkapkan kembali oleh ar-
Rafi’I dalam I’jazul Qur’an dengan mengatakan “Di anatara perbuatan bid’ah dalam qira’at
dan ada’ adalah talhin atau melagukan bacaan hingga sekarang ini masih ada dan disebar-
lauskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengagumi. Mereka
membaca Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyayian. Dan di antara
macam-macam talhin yang mereka kemukakan – sesuai dengan pembagaian irama lagu
adalah :

a) tar’id, yaitu bilaqari’ menggeletarkan suaranya, laksana suara yang menggeletar


karena kedinginan atau kesakitan.
b) tarqis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya
secara tiba-tiba disertai gerakan tubuh, seakan-akan sedang melompat atau
berjalan cepat.
c) tatrib, yaitu mendemdamgkan dan melabukan Qur’an sehingga membaca panjang
(mad) bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan tepat pada
tempatnya.

15
d) tahzin, yaitu membaca Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang bersedih
sampai hamper menangis disertai kekhusyukan dan suara lembut.
e) tardad, yaitu bila sekelompk orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya
denga satu gaya dari cara-car di atas.

Qira’at itu sebenarnya ada yang bersifat tahqiq, yaitu dengan cara memberikan
kepada setiap huruf akan haknya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan para ulama
dan disertai tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang serta suara lembuh,
bersifat hadar, yaitu membeca cepat dengan tetap memperhatikan syarat-syarat pengucapan
yang benar, dan ada pula yang bersifat tadwir yaitu pertengahan atara kedua sifat dan cara
tadi.

Membaca Qur’an adalah salah satu sunnah dalam islam, dan dianjurkan
memperbanyaknya agar setiap Muslim hidup kalbunya dan cemerlang akalnya karena
mendapat siraman cahaya Kitab Allah yang dibacanya. Tentang hal ini Ibn ‘Umar telah
meriwayatkan sebuah hadist Rasulullah :

“Tidak dipebolehkan iri (kepada seseorang) kecuali dalam dua hal, yaitu orang yang
dianugerahi Allah kekayaan harta lalu digunakannya (di jalan yang diridai Allah) di waktu
malam dan siang, dan orang yang diberi Allah Kitab suci lalu ia membacanya di waktu siang
dan malam.

Membaca Qur’an dengan niat yang ikhlas dan maksud baik adalah suatu ibadah yang
karenanya seorang Muslim mendapatkan pahala. Ibn Mas’ud meriwayatkan :

.‫حرْ ًفا‬
ََ‫ « َمنْ َق َرأ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫د رضى هللا عنه َيقُو ُل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬#ٍ ‫َعنْ َعبْد هَّللا ِ ب َْن َمسْ عُو‬
‫ب هَّللا ِ َفلَ ُه ِب ِه َح َس َن ٌة َو ْال َح َس َن ُة ِب َع ْش ِر أَمْ َثالِ َها الَ أَقُو ُل الم حرْ فٌ َولَكِنْ أَلِفٌ َحرْ فٌ َوالَ ٌم َحرْ فٌ َومِي ٌم‬
ِ ‫مِنْ ِك َتا‬
ْ ٌ‫حرْ ف‬َ

16
“Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu
kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya
dan aku tidak mengatakan ‫الم‬ satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan
Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi).

‫ا ْق َر ُءوا ْالقُرْ آنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َشفِيعًا ألَصْ َحابِه‬

” Bacalah Qur’an! Karena pada hari kiamat ia akan datang sebagai penolong bagi
pembacannya.” (H.R. Muslim).

H. Adab membaca Qur’an.

Di ajurkan bagi orang yang membaca Qur’an memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Membaca Qur’an sesudah berwudhu karena ia termasuk zikir yang paling utama,
meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadas.
2. Membaca di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga keagungan membaca
Qur’an.
3. Membaca dengan khusyuk, tenang dan penuh hormat.
4. Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
5. Membaca ta’awwuz (“A ‘uzu billahi minasy syaitanir rajim”)
6. Membaca Basmalah pada permulaan setiap surah, keecuali surah al-Bara’ah, sebab
basmalah termasuk salah satu ayat Qur’an menurut pendapat yang paling kuat.
7. Membacanya dengan tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan terang serta
memberikan kepada setiap huruf akan haknya seperti membaca panjang dan idgam.
8. Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya. Cara pembacaan seperti inilah yang sangat
dikehendaki dan diaanjurkan, yaitu dengan mengkonsentrasikan hati untuk
memikirkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat yang dibacanya dan berinteraksi
kepada setiap ayat dengan segenap perasaan dan kesadarannya baik ayat itu berisikan
doa, istigfar, rahmat maupun azab.
9. Meresapi makna dan maksud ayat-ayat Qur’an, yang berhubungan dengan janji
maupun ancaman, sehingga merasa sedih dan menangis ketika membaca ayat-ayat
yang berkenaan dengan ancaman karena takut dan ngeri.

17
10. Membaguskan suaranya dengan membaca Qur’an, karena Qur’an adalah hiasan bagi
suara dan suara yang bagus lagi merdu akan lebih berpengaruh dan meresap dalam
jiwa.
11. Mengeraskan bacaan Qur’an karena membacanya dengan suara jahar lebih utama. Di
samping itu, juga dapat membangkitkan semangat dangelora jiwa untuk lebih banyak
beraktivias, memalingkan pendengaran kepada bacaan Qur’an, dan membawa
manfaat bagi para pengenggar serta mengkonsentrasikan segenap perasaan untuk
lebih jauh memikirkan, memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat yang di baca itu.
Tetapi bila suara jahar itu dikhawatirkan timbul rasa riya, atau akan menggagu orang
lain, seperti menggangu orang yang sedang shalat, maka membaca Qur’an rendah
adalah lebih utama.
12. Para ulama berbeda pendapat tentang membaca Qur’an dengan melihat langsung pada
Mushaf dan membacanya dengan hafalan, manakah yang lebih utama? Dalam hal ini
mereka terdapat tiga pendapat :
a. Pertama, membaca langsung dari Mushaf adalah lebih utama sebab melihat
kepada Mushaf pun merupakan ibadah. Oleh karenanya, membaca dengan melihat
itu mencakup dua ibadah, yakni membaca dan melihat.
b. Kedua, membaca di luar kepada adalah lebih utama,karena hal ini akan lebih
mendorong kepada perenungan dan pemikiran makna dengan baik. Pendapat, ini
dipilih oleh al-I’zz bin ‘Abdus Salam. Lebih lanjut ia mengatakan : “Ada yang
berpendapat bahwa membaca Qur’an secara langsung dari Mushaf itu lebih
utama, karena hal ini mencakup perbuatan 2 anggota yaitu lisan dan penglihatan,
sedang pahala itu sesuai dengan kadar kesulitan. Pendapat demikian ini tidak
benar, karena tujuan utama membaca Qur’an adalah tadabbur (memikirkan,
merenungkan) berdasarkan firman Allah :

“Supaya mereka memperhatikan (tadabbur) ayat-ayatnya” (Sad [38]:29)


c. Ketiga, bergantung pada situasi dan kondisi individu masing-masing. Apabila
membaca dengan hafalan lebih dapat perasaan khusyuk, pemikiran, perenungan
dan konsentrasi terhadap ayat-ayat yang dibacanya daripada membacanya
Mushaf, maka membaca dengan hafalan lebih utama. Tetapi bila keduanya sama
maka membaca dari Mushaf adalah lebih utama.

18
I. Mengajarkan Qura’an dan menerima Upah (bayaran) Atasnya.

Mengajarkan Qur’an adalah fardu kifayah, dan menghafalnya merupakan suatu kewajiban
bagi umat islam agar dengan demikian tidak terputus jumlah kemutawatiran para penghafal
Qur’an disamping untuk menghindari timbulnya pembiasan makna dan penyimpangan arti.
Bila tugas ini telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu dari yang
lain. Bila tidak ada satu pun yang melakukannya, maka semuanya berdosa.

Cara mempelajari Qur’an ialah dengan menghafalnya ayat demi ayat. Cara inilah yang
dewasa ini dipakai dalam media pendidikan modern, yakni setiap pelajar diharuskan
menghafal sedikit demi sedikit, kemudian dtambah lagi dengan pelajaran berikutnya, dan
begitu setersunya.

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menerima upah mengajar
Qur’an. Para penyelidik (Ahlut tahqiq) mengautkan pendapat yang membelokannya,
berdasarkan sabda Nabi : bahwa “ Pekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah
(mengajarkan) Kitab Allah.

Sebagian ulama telah membagi tipe pengajaran Qur’an dengan baiknya menjadi beberapa
macam dan menjelaskan hukumnya masing-masing, sebagaimana ditegskan oleh Abu Lias
dalam kitabnya al-Bustan :”Pengajaran Qur’an itu ada tiga macam. Pertama, pengajaran yang
karena Allah semata dan tidak mengambil upah, kedua pengajaran dengan memungut upah
dan ketiga pengajaran tanpa syarat, namun bila diberi hadiah, maka diterimanya.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Setelah penulis menguraikan makalah tersebut, maka berikut ini penulis beri beberapa
kesimpulan sebagai berikut :

1. Qira’at merupakan sisi bacaan Al-Qur’an yang berimplikasi pada makna dan
penafsiran yang harus dipertanggungjawabkan. Selain itu Qira’at juga merupakan
cara melafazkan, membaca dan mengucapkan Qur’an sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, baik itu fasih maupun lebih
fasih. Sehingga kita dapat mengetahui cara pengucapan Qur’an yang benar, sebab ini
merupakan hal yang penting untuk diketahui agar saat membaca Qur’an
pengucapannya tidak salah. Yang dimana dia bertujuan untuk menjaga keselamatan
makna ayat, mejauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan dalam pengucapan.
2. Di dalam qira’at juga mengajarkan kita tentang hukum, kaidah dan macam-macam
qira’at. Di dalam qira’at juga mengajarkan kita bahwa dalam tilawah (cara membaca)
Qur’an itu ada adabnya dan perhatikan tajwidnya supaya kita tidak asal dalam
membaca Qur’an. Serta mengetahui beberapa keutaman dalam membaca Qira’at
Qur’an yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.

B. Saran.

Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan karena
terdapat beberapa kesalahan. Tentunya saya sebagai penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan
makalah diatas.

20
DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Acep. 2011& 2013. Ulmul Qur’an. Bandung : PT remaja Rosdarkarya. Ed


pipih Latifah.

Khalil al-Qattan, Manna. 2007. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Diterjemahkan dari Bahasa
Arab oleh Mudzakir AS. Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa.

21

Anda mungkin juga menyukai