Anda di halaman 1dari 61

• Penyakit Akibat Kerja (PAK) merupakan penyakit

yang terjadi pada pekerja, akibat resiko pekerjaan


dan atau lingkungan kerjanya.
• Penetapan diagnosis PAK memerlukan beberapa
langkah terkait dengan pajanan yang dialami dan
hubungan pajanan dengan penyakit yang
diderita.
• Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan
pemeriksaan khusus yang membutuhkan waktu
dan biaya.
• Pelaksanaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) telah
meningkatkan cakupan kepesertaan pada pekerja
sektor informal, untuk itu diperlukan upaya
penetapan diagnosis PAK yang dapat
dilaksanakan dengan lebih cepat, tepat dan
sesuai standar.
• Konsensus Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja yang
disepakati oleh Perhimpunan Dokter di bawah
Ikatan Dokter Indonesia, menjadi acuan bagi
Dokter dalam mendiagnosis PAK
• Konsensus ini merupakan satu langkah untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan pada pekerja
A. LATAR BELAKANG
• Setiap pekerjaan memiliki potensi untuk menimbulkan
masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses kerja,
lingkungan kerja serta perilaku kerja. Hal ini
menyebabkan pekerja tidak hanya berisiko menderita
penyakit menular dan tidak menular sebagaimana yang
dialami masyarakat luas tetapi pekerja juga dapat
menderita penyakit akibat kerja dan/atau penyakit
terkait kerja.
• Penyakit Akibat Kerja (PAK) bukan penyakit yang umum
terjadi pada masyarakat karena Penyakit Akibat Kerja
terjadi akibat adanya pengaruh faktor risiko yang
disebabkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja.
• Berdasarkan data BPS tahun 2018 menyatakan bahwa sekitar
54% penduduk Indonesia berada pada usia kerja dan sebagian
besarnya merupakan pekerja.
• International Labour Organization (ILO) tahun 2013
menyebutkan bahwa setiap tahun ditemukan 2,34 juta orang
meninggal terkait pekerjaan baik penyakit maupun kecelakaan
dan sekitar 2,02 juta kasus meninggal terkait Penyakit Akibat
Kerja.
• Menurut kajian WHO menunjukkan bahaya di tempat kerja
merupakan penyebab atau memberikan kontribusi bagi
kematian dini jutaan orang di seluruh dunia dan
mengakibatkan penyakit serta kecacatan bagi lebih dari
ratusan orang setiap tahunnya.
• Dari 2,2 juta kematian/tahun, 800.000 diantaranya
disebabkan faktor risiko di tempat kerja, seperti bahan kimia
karsinogenik, partikulat yang ada di udara, risiko ergonomik,
penyakit infeksi HIV/AIDS dan TBC.
• Besarnya jumlah pekerja di Indonesia dan masih
tingginya risiko kesehatan di tempat kerja membawa
konsekuensi kemungkinan tingginya gangguan kesehatan
yang disebabkan/terkait dengan aktifitas dan lingkungan
kerja.
• Namun di Indonesia gambaran penyakit akibat kerja saat
ini seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, dimana
penyakit akibat kerja yang dilaporkan masih sangat kecil.
Pada tahun 2017, kasus PAK yang dilaporkan ke BPJS
Ketenagakerjaan hanya berjumlah 107 kasus per tahun.
Bila
• dibandingkan dengan pekerja Indonesia yang berjumlah
121,02 juta orang
• maka jumlah kasus PAK yang dilaporkan masih sangat
rendah
• Hal ini diantaranya disebabkan karena kompetensi tenaga
kesehatan yang belum optimal dalam mendiagnosis Penyakit
Akibat Kerja. Minimnya identifikasi Penyakit Akibat Kerja oleh
tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
menyebabkan tempat kerja kurang mendapatkan “feed back”
dalam upaya pencegahan dan pengendalian hazard di
lingkungan kerja.
• Selain itu deteksi dini Penyakit Akibat Kerja seharusnya dapat
membatasi timbulnya keparahan penyakit dan mencegah
terjadinya kecacatan.
• Selama berjalannya SJSN sejak tahun 2015, telah terjadi
ketidak seimbangan pemanfaatan jaminan pelayanan
kesehatan antar berbagai badan penyelenggara, dimana
Penyakit Akibat Kerja yang seharusnya ditanggung penjamin
bidang Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan, PT. TASPEN,
PT. ASABRI), maka menjadi tanggungan BPJS lain, karena tidak
teridentifikasi oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
• Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan
penguatan fasilitas pelayanan kesehatan
dalam mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja.
• Sehingga Organisasi Profesi Kedokteran perlu
menyusun konsensus Penyakit Akibat Kerja di
Indonesia yang dapat menjadi acuan bagi
dokter untuk melakukan pelayanan Penyakit
Akibat Kerja di semua fasilitas pelayanan
kesehatan di Indonesia.
B. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009


tentang Keselamatan Kerja. tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Ketenagakerjaan. tentang Badan Penyelenggara
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Jaminan Sosial.
tentang Praktik Kedokteran. 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan.
tentang Sistem Jaminan 8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
Sosial Nasional tentang Penerapan
Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 12. Peraturan Presiden tentang Penyakit Akibat
tentang Penyelenggaraan Kerja.
Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan 13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1
Jaminan Kematian. Tahun 2012 tentang Sistem
10. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.
2015 tentang Jaminan 14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56
Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Tahun 2016 tentang
Pegawai Aparatur Sipil Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat
Negara. Kerja.
11. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141
tentang Jaminan Kesehatan Tahun 2018 tentang
Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan
dalam Pemberian Manfaat
Pelayanan Kesehatan.
C. PENGERTIAN
• Kompetensi adalah kemampuan seorang dokter untuk menjalankan
praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
• Kompetensi dalam diagnosis Penyakit Akibat Kerja adalah kompetensi
dokter terkait Penyakit Akibat Kerja yang diperoleh melalui pendidikan
formal atau pelatihan yang terstandar.
• Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
dan/atau lingkungan kerja.
• Diagnosis Klinis adalah penentuan jenis penyakit oleh dokter
berdasarkan tanda dan gejala serta pemeriksaan fisik dan laboratorium
dengan menggunakan metode, alat dan pemeriksaan penunjang
lainnya.
• Diagnosis Okupasi adalah penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja
yang dilakukan melalui pendekatan 7 langkah diagnosa.
• Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja adalah rangkaian pelayanan
kesehatan yang komprehensif pada pekerja yang terdiagnosa Penyakit
Akibat Kerja, meliputi preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
KONSENSUS TENTANG
PENYAKIT AKIBAT KERJA
(1) PENAPISAN

• Setiap dokter yang memberikan pelayanan


kesehatan di FKTP dan FKRTL pada pasien
yang bekerja harus mempertimbangkan
adanya pengaruh pekerjaan dan lingkungan
kerja sebagai penyebab terjadinya penyakit.
(2) DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA DILAKUKAN
DENGAN PRINSIP 7 LANGKAH DIAGNOSIS

1. Penentuan diagnosis Klinis


• Langkah ini dilakukan oleh dokter dan/atau dokter spesialis
klinis terkait penyakitnya. Diagnosis klinis harus ditegakkan
terlebih dahulu dengan melakukan:
• a. anamnesa;
• b. pemeriksaan fisik;
• c. bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan
• pemeriksaan khusus.
• Setelah diagnosis klinis tegak kemudian dilakukan langkah
selanjutnya.
2. Penentuan Pajanan yang dialami Pekerja di Tempat Kerja
• Penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja dilakukan
dengan anamnesa yang lengkap mengenai pekerjaan pasien,
mencakup:
a. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang
dialami (pekerjaan terdahulu sampai saat ini).
b. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
c. Produk yang dihasilkan.
d. Bahan yang digunakan.
e. Cara bekerja.
f. Proses kerja.
g. Riwayat kecelakaan kerja.
h. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan atau upaya
perlindungan lain yang telah dilakukan.
• Anamnesa tersebut dapat ditunjang dengan data yang objektif,
seperti informasi bahan dan alat yang digunakan saat bekerja,
catatan perusahaan mengenai informasi pajanan atau kunjungan
ke tempat kerja
3. Penentuan hubungan antara pajanan dengan diagnosis
klinis
• ldentifikasi hubungan penyakit yang dialami (diagnosis
klinis) dengan pajanan yang ada didasarkan pada evidence
based, yang mana dapat mengacu pada List ILO
Occupational Dieases dan ICD Occupational Health (OH)
atau data evidence based lainnya.
• Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi
olehwaktu timbulnya gejala setelah terpajan oleh bahan
tertentu.
• Umumnya penyakit lebih sering timbul apabila berada di
tempat kerja dan berkurang saat libur atau cuti.
• Umumnya terdapat pekerja dengan pajanan yang sama
menderita penyakit yang serupa.
• Hasil pemeriksaan kesehatan pra-kerja, berkala dan purna
kerja dapat digunakan sebagai salah satu data untuk
menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya
4. Penentuan besarnya pajanan
• Penentuan besarnya pajanan dilakukan melalui anamnesis tentang
pekerjaan yang lengkap, mencakup:
• a. Jumlah jam terpajan per hari.
• b. Masa kerja.
• c. Pemakaian APD.
• d. Besarnya pajanan secara kualitatif dan/atau kuantitatif.
• e. Ada kecukupan besar pajanan yang menyebabkan adanya diagnosa
klinis (kecukupan dosis).
• Anamnesa tersebut dapat ditunjang dengan data yang objektif, seperti
catatan perusahaan mengenai informasi tersebut di atas dan hasil
biomonitoring.
• Penentuan besarnya pajanan juga dapat dilakukan dengan melihat
referensi karakteristik besar pajanan pada industri atau pekerjaan
tertentu, dosis minimal dan masa kerja minimal.
• lApabila penyakit yang dialami pekerja disebabkan oleh beberapa
pajanan sekaligus, maka besarnya pajanan tidak bisa dibandingkan
dengan Nilai Ambang Batas (NAB) saja, tetapi perlu juga melihat efek
saling menguatkan beberapa pajanan dalam menimbulkan penyakit.
5. Penentuan Faktor Individu yang Berperan
• Faktor individu yang berperan terhadap
timbulnya penyakit antara lain: jenis kelamin,
usia, kebiasaan, riwayat penyakit keluarga
(genetik), riwayat atopi, penyakit penyerta.
• Adanya faktor individu dapat menjadi
perancu diagnosis Penyakit Akibat Kerja,
namun belum tentu meniadakan adanya
Penyakit Akibat Kerja. Sehingga interpretasi
langkah ini harus dilakukan secara hati-hati
oleh dokter yang memiliki kompetensi dalam
diagnosis Penyakit Akibat Kerja
6. Penentuan Faktor Lain di Luar Tempat Kerja
• Faktor lain di luar tempat kerja yang dapat
menjadi perancu, diantaranya seperti hobi dan
kegiatan lain yang dilakukan di luar pekerjaan.
• Adanya faktor lain di luar tempat kerja dapat
menjadi perancu diagnosis Penyakit Akibat Kerja,
namun belum tentu meniadakan adanya
Penyakit Akibat Kerja. Sehingga interpretasi
langkah ini harus dilakukan secara hati-hati oleh
dokter yang memiliki kompetensi dalam
diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
7. Penentuan Diagnosis Okupasi
• Setelah melakukan analisis 6 langkah di atas,
maka dapat disimpulkan penyakit yang
diderita oleh pekerja adalah Penyakit Akibat
Kerja atau bukan Penyakit Akibat Kerja
(3) KATEGORI PENETAPAN DIAGNOSIS
PENYAKIT AKIBAT KERJA

• Berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat


kesulitan dalam mendiagnosis Penyakit Akibat
Kerja serta ketersediaan fasilitas dan sumber
daya di layanan kesehatan, maka proses
diagnosis Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi
3 (tiga) kategori :
A. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan
Tertentu
1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu
yang dapat ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
• Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
• Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
• Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit
yang jelas.
• Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
• Pengaruh faktor individu dan faktor lain di luar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
• Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada
Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkandi FKTP (A1)
dilakukan oleh dokter yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit
Akibat Kerja di FKTP.
A. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan
Tertentu
1. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu
yang dapat ditegakkan di FKTP (A1).
Kriteria :
• Diagnosis klinis dapat ditegakkan di FKTP.
• Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
• Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit
yang jelas.
• Besar pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
• Pengaruh faktor individu dan faktor lain di luar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
• Untuk penentuan diagnosa Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada
Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkandi FKTP (A1)
dilakukan oleh dokter yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit
Akibat Kerja di FKTP.
Kriteria : (lanjutan)
• Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu
yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, tercantum
dalam lampiran.
• Penyakit Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran
• Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu
yang dapat ditegakkan di FKTP (A1) dan kriterianya, masuk dalam
kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja (B).
• Dalam hal dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis
Penyakit Akibat Kerja atas dasar pertimbangan medis yang kuat
berdasarkan pendekatan 7 (tujuh) langkah diagnosa dan disertai
data dukung yang lengkap seperti hasil pemeriksaan kesehatan pra
kerja, data lingkungan kerja, data riwayat penyakit dan lain-lain,
maka dokter tersebut dapat menetapkan Penyakit Akibat Kerja yang
Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di
FKTP.
• Termasuk dalam kelompok Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada
Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKTP adalah
gangguan atau penyakit yang disebabkan langsung oleh kecelakaan
kerja
2. Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2)
Kriteria :
• Diagnosis klinis membutuhkan fasilitas pemeriksaan penunjang atau dokter
spesialis terkait di FKRTL.
• Penyakit yang memiliki penyebab yang jelas dan spesifik.
• Memiliki hubungan waktu antara pajanan dan timbulnya penyakit yang jelas.
• Besaran pajanan dapat diakui/diterima secara umum.
• Pengaruh faktor individu dan faktor lain di luar tempat kerja dapat
disingkirkan dengan sederhana.
• Untuk penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis
Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL (A2) dilakukan oleh dokter
spesialis yang memiliki kompetensi diagnosis Penyakit Akibat Kerja di FKRTL.
• Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat
ditegakkan di FKRTL (A2) dan kriterianya, tercantum dalam lampiran. Penyakit
l Akibat Kerja di luar yang tercantum dalam lampiran Penyakit Akibat Kerja
yang Spesifik pada Jenis Pekerjaan Tertentu yang dapat ditegakkan di FKRTL
(A2) dan kriterianya, masuk dalam kategori Dugaan Penyakit Akibat Kerja (B).
B. Dugaan Penyakit Akibat Kerja (B)
Semua penyakit di luar kriteria A1 dan A2, masuk dalam Dugaan
Penyakit Akibat Kerja, dimana memiliki kriteria sebagai berikut :
• Diagnosis klinis membutuhkan pemeriksaan spesialistik di FKRTL
atau bekerjasama antar dokter spesialis.
• Penyakit memiliki satu atau lebih agen penyebab
• Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan
• hubungan waktu dan besarnya pajanan yang dapat menimbulkan
Penyakit Akibat Kerja.
• Membutuhkan keahlian khusus untuk menginterpretasikan
pengaruh faktor individu dan faktor lain di luar tempat kerja yang
dapat menjadi perancu.
• Penentuan diagnosis Penyakit Akibat Kerja dilakukan oleh Dokter
Spesialis Kedokteran Okupasi, dan dapat oleh Dokter Spesialis
Kedokteran Kelautan, Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan
sesuai dengan kompetensi masing-masing
C. Penyakit Akibat Kerja yang Kompleks (C)
Kriteria:
• Memiliki beberapa kemungkinan pajanan yang
kompleks sebagai penyebab penyakit.
• Penyakit baru yang diduga Penyakit Akibat Kerja
(penyakit baru dan/atau disebabkan pajanan baru).
• Membutuhkan peran lintas profesi dalam menegakkan
diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
• Adanya keraguan dan atau ketidakpuasan pihak
tertentu tentang diagnosis Penyakit Akibat Kerja.
• Penentuan akhir diagnosa Penyakit Akibat Kerja
ditetapkan oleh Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi,
dan dapat oleh Dokter Spesialis Kedokteran Kelautan,
Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan sesuai
dengan kompetensi masing-masing
(4) DAFTAR PENYAKIT AKIBAT KERJA BERDASARKAN
KATEGORI PENETAPAN
(5) TATALAKSANA PENYAKIT AKIBAT KERJA

a. Tata Laksana Medis


• Tata laksana medis dilakukan sesuai diagnosis
klinik.
• Tata laksana medis berupa rawat jalan dan/atau
rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter
sesuai dengan kompetensinya.
• Terapi yang diberikan berupa medikamentosa
dan/atau non medikamentosa seperti edukasi,
latihan fisik, fisioterapi, konseling, psikoterapi dan
nutrisi.
b. Tata Laksana Okupasi
• Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis Penyakit Akibat
Kerja ditegakkan.
• Tata laksana okupasi dilakukan oleh dokter sesuai kompetensi
dan kewenangannya. Sasaran tata laksana okupasi adalah
individu pekerja dan komunitas pekerja yang sama.
• Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari
penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan
penentuan kecacatan.
• Tata laksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari
pelayanan pencegahan Penyakit Akibat Kerja dan penemuan
dini Penyakit Akibat Kerja.
• Apabila Penyakit Akibat Kerja yang telah ditatalaksana secara
tuntas masih terdapat sequele berupa gangguan fungsi
permanen (kecacatan), maka dokter dapat melakukan
perhitungan prosentase kecacatan atas permintaan pasien atau
pemberi kerja sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya
(8) PREVENTIF PENYAKIT AKIBAT KERJA
• Pada umumnya Penyakit Akibat Kerja bersifat irreversible
sehingga tindakan pencegahan sangat diperlukan
• Upaya pencegahan Penyakit Akibat Kerja antara lain:
a. Melakukan promosi kesehatan untuk upaya pencegahan
pada pekerja lainnya, seperti penggunaan Alat Pelindung
Diri, melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja.
b. Pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk deteksi dini.
c. Mendorong pasien dan pemberi kerja untuk menjadi agen
perubahan untuk pencegahan penyakit pada pekerja
lainnya

Anda mungkin juga menyukai