Anda di halaman 1dari 5

 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

 Tinjauan Yuridis Terhadap Pengaturan Memorandum of Understanding dalam Kitab Undang-


Undang Hukum PerdataIstilah memorandum of understanding berasal dari kata
memorandum dan understanding. Secara gramatika memorandum of understanding
diartikan sebagai nota kesepahaman.5 Munir Fuady mengartikan memorandum of
understanding sebagai perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan
dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengatur secara detail, karena itu memorandum of
understanding berisikan hal-hal pokok saja. Adapun menurutnya mengenai lain-lain aspek
dari memorandum of understandingrelatif sama dengan perjanjian-perjanjian lainnya.6
Erman Rajagukguk mengartikan memorandum of understanding sebagai dokumen yang
memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari
memorandum of understanding harus dimasukan kedalam kontrak, sehingga ia mempunyai
kekuatan mengikat.7 Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian tersebut, adalah:
Memorandum of understanding sebagai perjanjian pendahuluan; Isi memorandum of
understanding adalah mengenai hal hal yang pokok; Isi memorandum of understanding
dimaksukan ke dalam kontrak.Diberbagai peratuaran perundang-undangan tidak ditemukan
ketentuan yang khusus mengenai memorandum of understanding, namun setelah dikaji
berdasarkan pengertian dan substansi dari memorandum of understanding tersebut maka
memorandum of understanding dapat dipersamakan dengan kontrak begitu pula
pengaturan memorandum ofunderstanding tersebut dapat dipersamakan dengan kontak.
Dikaji berdasarkan pengertiannya yang menyerupai kontrak, maka Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata juga merupakan dasar pengaturan memorandum of understanding.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: ‘perjanjianadalah suatu
perbuatan dngan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih’.Dikaji berdasarkan substansinya, di dalam memorandum of understanding terdapat
kesepakatan. Ketentuan yang mengatur tentang kesepakatan dituangkan dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang syarat sahnya perjanjian.8 Adapun syarat
sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain:
(1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk mebuat suatu
perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu dan; (4) suatu sebab yang tidak
terlarang.Disamping itu yang menjadi dasar hukum pembuatan memorandum of
understanding adalah Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan:
‘Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya’. Pasal ini merupakan asas dalam hukum kontrak yaitu asas kebebasan
berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya dan menentukan
bentuk perjanjian baik tertulis maupun lisan. Asas kebebasan berkontak merupakan asas
yang penting dalam pembuatan memorandum of understanding karena asas ini
memperkenankan para pihak, apakah itu badan hukum ataupun individu untuk melakukan
atau membuat memorandum of understanding sesuai dengan keinginan para pihak
tersebut.
 AKIBAT HUKUM PEMBERIAN WARISAN SAAT PEWARIS MASIH HIDUP BERDASARKAN
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

 AKIBAT HUKUM PEMBERIAN WARISAN SAAT PEWARIS MASIH HIDUP BERDASARKAN


KITABUNDANG-UNDANG HUKUM PERDATADidalam proses pewarisan berhubungan erat
dengan hukum waris. Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnyaseseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.Adapun tiga kunci yang menjadi unsur-unsur
pewarisan, yaitu; pewaris, harta warisan, dan ahli waris.Peninggal warisan atau disingkat
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda kepada orang
lain. Ahli waris ialah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap
warisan, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian tertentu. Harta warisan atau
disingkat warisan ialah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi
dengan semua utangnya.Dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Hal ini berarti bahwa kematian seseorang
(pewaris) merupakan syarat utama untuk dapat dilakukannya proses pewarisan. Sehingga
berdasarkan Pasal 830 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, pewarisan tanpa adanya
kematian dari pewaris, maka pemberian warisan kepada ahli waris saat pewaris masih hidup
tidak dapat dilakukan. Untuk memperoleh warisan, mestilah dipenuhi dua syarat:1. Mesti
ada orang yang meninggal dunia, dan2. Untuk memperolehnya mestilah orang yang masih
hidup pada saat pewaris meninggal dunia.Hukum waris memberikan peraturan tentang apa
yang akan diperbuat dengan kekayaan seseorang bilamana ia meninggal dunia.Pada
dasarnya harta warisan mulai terbuka dan dapat dilakukan pembagian warisan oleh masing-
masing ahli waris adalah padasaat pewaris meninggal dunia.7 Namun dalam praktiknya,
proses pewarisan dilakukan saat si pewaris masih hidup. Proses penerusan harta warisan
sudah dimulai ketika pewaris masih hidup terutama terhadap harta warisan yang dapat
dibagi-bagi secara individual (system kewarisan individual).Apabila ditinjau dari hukum
nasional, pemberian harta warisan saat pewaris masih hidup bertentangan dengan hukum
nasional yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 830,dimana pemberian warisan
dilakukan saat pewaris telah meninggal dunia. Tetapi apabila ditinjau dari hukum adat yang
berlaku, pembagian warisan itu dapat dilakukan mengingat penduduk Indonesia yang
berpegang teguh pada hukum adat. Akibat dari pemberian warisan pada saat pewaris masih
hidup adalah batal demi hukum. Batal demi hukum terdapat dalam Pasal 1335 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan
suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Makna dari kata
tidak mempunyai kekuatan disebut juga batal demi hukum. Sehingga proses pemberian
warisan saat pewaris masih hidup dianggap tidak pernah ada karena dilakukan berdasarkan
sebab yang terlarang yang melanggar atau bertentangan dengan Pasal 830 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Maka dari itu pemberian warisan saat pewaris masih hidup dapat
ditarik kembali apabila merugikan salah satu ahli waris yang lain.
 PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

 PENGATURAN PENOLAKAN WARIS BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM


PERDATATidak semua orang merasa senang dengan status ahli waris yang ia dapatkan, hal
itu tidak terlepas dari keengganan untuk mengurus harta peninggalan maupun
pertimbangan terhadap harta peninggalan yang menunjukan saldo negatif. Penolakan
warisan sendiri dihitung dan berlaku surut sejak saat meninggalnya pewaris. Dalam Pasal
1062 KUH Perdata menegaskan bahwa wewenang ahli waris untuk dapat menolak warisan
tidak dapat hilang karena lewatnya waktu. Hal ini berarti kapan saja setelah warisan terbuka,
ahli waris dapat menyatakan penolakannya. Namun demikian, pihak-pihak tertentu yang
berkepentingan terhadap harta warisan tersebut sewaktu-waktu berhak untuk mengajukan
gugatan terhadap ahli waris untuk menyatakan sikapnya. Dalam hal ini ahli waris yang
bersangkutan diberikan jangka waktu untuk mengajukan hak memikir, yang dimana ahli
waris dapat melakukan inventarisir maupun pertimbangan-pertimbangan terhadap harta
warisan tersebut selama empat bulan terhitung semenjak pernyataan hak memikir itu
diajukan, jangka waktu tersebut masih dapat diperpanjang oleh hakim dikarenakan hal-hal
yang mendesak (Pasal 1024 KUH PerdataSikap menolak waris ini secara jelas diatur dalam
Pasal 1057 KUH Perdata yang mana menyatakan bahwa “menolak suatu warisan harus
terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di
kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”.
kepentingan kreditor dari sang ahli waris, yang mana tercantum dalam Pasal 1061 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa:Semua pemegang piutang terhadap seorang yang menolak
suatu warisan untuk kerugian mereka, dapat meminta dikuasakan oleh Hakim untuk atas
nama si yang berutang itu, sebagai pengganti dari dan untuk orang itu, menerima
warisannya. Dalam hal yang demikian maka penolakan warisan tidak dibatalkan lebih lanjut
selainnya untuk keuntungan para berpiutang dan untuk sejumlah piutang-piutang mereka,
penolakan itu tidak sekali-kali batal untuk keuntungan si ahli waris yang menolak warisan itu.
AKIBAT HUKUM DARI PENOLAKAN WARIS pihak yang menolak warisan dianggap tidak
pernah menjadi ahli waris.6 Hal tersebut juga diatur secara jelas dalam Pasal 1058 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa “Ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris”.Bagian warisan dari orang yang menolak warisan jatuh ke tangan orang
yang sedianya berhak atas bagian itu, andaikata orang yang menolak itu tidak ada pada
waktu Keturunan dari ahli waris yang menolak warisan tidak bisa mewaris karenapergantian
tempat sesuai dengan Pasal 1060 KUH Perdata yang menyatakan “orang yang telah menolak
warisan sekali-kali tidak dapat diwakili dengan penggantian ahli waris bila ia itu satu-satunya
ahli waris dalam derajatnya, atau bila semua ahli waris menolak warisannya, maka anak-
anak mereka menjadi ahli waris karena diri mereka sendiri dan mewarisi bagian yang sama”.
 HAK MEWARIS ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA ORANG TUA ANGKAT MENURUT
HUKUM PERDATA

 Prosedur Adopsi (Pengangkatan Anak) Prosedur pengangkatan anak di Indonesia diatur


dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti dalam penjelasan berikut: a)
Staatsblad 1917 Nomor 129 (Stb. 1917 No. 129) mengatur bahwa adopsi terhadap anak
perempuan dan adopsi dengan cara lain selain daripada Akta Notaris adalah batal demi
hukum. Berdasarkan yurisprudensi tertanggal 29 Mei 1963 No. 907/1963P atau Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Tahun 1963, yang memungkinkan adanya pengangkatan
anak perempuan. b) Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983 yang mengatur
tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di
tempat anak yang akan diangkat itu berada. c) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama
dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya yang
diatur dalampasal 39, 40 dan pasal 41. d) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa Tata cara pengangkatan anak antar
Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak apabila telah mengasuh
calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan dan
memperoleh izin Menteri dan atau kepala instansi sosial yang diatur dalam pasal 12 dan
13.Hak Mewaris Anak Angkat Atas Harta Kekayaan Orangtua Angkat Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tidak mengatur mengenai pengangkatan anak, maka mengenai
pengangkatan anak menurut Hukum Perdata adalah mengacu kepada ketentuan Stb. 1917
No. 129. Dalam ketentuan Pasal 12 Stb. 1917 No. 129, dengan pengangkatan anak maka
selanjutnya anak angkat atau adopsi menggunakan nama keluarga orangtua angkatnya dan
mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orangtua angkatnya
dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orangtua
angkatnya. Dengan pengangkatan demikian, maka si anak angkat mempunyai kedudukan
sama dengan ahli waris ab intestato. Sehingga seharusnya seorang anak angkat mempunyai
hak mewaris dari orangtua angkatnya seperti halnya seorang anak kandung yang dilahirkan
dalam perkawinan yang sah. Pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu
perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam
hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam
pasal 11,12,13 dan 14 dari Stb. 1917 No. 129. Cara memperoleh warisan menurut hukum
Perdata ada dua macam, yaitu sebagai ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato
dan karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament). Dengan melihat ketentuan Stb. 1917
No. 129, maka si anak angkat mempunyai kedudukan yang sama dengan ahli waris ab
intestato untuk memperoleh warisan menurut hukum perdata. Menurut Stb. 1917 No. 129,
 TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PERSEKUTUAN PERDATA TERHADAP PEMBUATAN
AKTA

 Tanggungjawab masing-masing notaris yang tergabung dalam persekutuan perdata


terhadap akta yang dibuat adalah, bahwa masing-masing notaris bertanggungjawab
sepenuhnya terhadap akta yang dibuat, tanggungjawab tersebut tidak dapat dialihkan,
diberikan atau digantikan kepada notaris lain yang tergabung dalam persekutuan perdata
notaris. Tanggung jawab tidak dapat dikenakan kepada persekutuan perdata notaris tetapi
dikenakan kepada si notaris yang tergabung dalam persekutuan perdata notaris.
Tanggungjawab tersebut antara lain: tanggungjawab berdasarkan UUJN, tanggungjawab
secara perdata, tanggungjawab secara pidana dan tanggungjawab berdasarkan kode etik
notaris. Akibat hukum bagi notaris dalam membuat akta yang tidak dapat menjalankan
tugasnya secara bertanggungjawab dalam bentuk persekutuan perdata adalah bahwa akta
yang dibuat oleh notaris harus memenuhi tiga aspek antara lain: aspek lahiriah, aspek formal
dan aspek materiil. Jika menyimpang dari aspek tersebut maka notaris dapat dikenakan
sanksi pidana, sanksi perdata dan sanksi administrasi. Sanksi perdata berupa mengganti
kerugian, sanksi pidana berupa penjara, sanksi adminsitrasi berupa teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian
dengan tidak hormat.

Anda mungkin juga menyukai