Anda di halaman 1dari 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Definisi, Sifat dan Mekanime Antibiotik
Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan dari mikroba seperti fungi
dan bakteri. Antibiotik memiliki sifat menghambat atau membunuh pertumbuhan
mikroba lain, sedangkan toksisitasnya pada manusia relatif kecil (Utami, 2012). Obat
yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus
memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut haruslah
bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak untuk hospes (Indijah dan
Fajri, 2016).
Sifat antibiotik dibagi menjadi dua, yaitu bersifat bakterisidal dan
bakteristatik. Antibiotik yang bersifat bakterisidal yaitu antibiotik yang bekerja dengan
cara membunuh bakteri, sedangkan bakteristatik bekerja dengan cara menghambat
pertumbuhan bakteri (Laurence et al., 2008).
Menurut Setiabudy, (2012) antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya
diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu :
a. Menghambat metabolism sel
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamide,
trimetroprin, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dimana antibiotik golongn ini
memiliki efek bakteriostatik dan bakterisidal dengan car membuat bakteri tidak dapat
mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para
amino benzoat), dan glutamat.
b. Menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik yang bekerja menghambat sintesis dinding sel bakteri berikatan
dengan komponen kimia bakteri sehingga mengganggu proses pembentukan dinding
sel bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan penghambat sintesis dinding sel adalah
golongan penisilin, sefalosporin, dan vankomisin.
c. Menghambat fungsi membran sel
Sitoplasma pada semua sel hidup diselubungi oleh membran sitoplasma yang
berperan sebagai selektif permeabilitas, berfungsi didalam transportasi aktif dan
mengatur komposisi internal sel. Bila integritas fungsional membran sitoplasma
terganggu, maka makromolekul dan ion-ion akan keluar dari sel, dan kemudian terjadi
kerusakan atau kematian sel. Contoh antibiotik yang bekerja dengan menghambat
fungsi membran sel adalah amfoterisin B, kolistin, danimidazol serta triazol.
d. Menghambat sintesis protein
Mekanisme kerja antibiotik golongan ini belum diketahui secara jelas. Bakteri
memiliki ribosom 70S, sedangkan sel mamalia memiliki ribosom 80S. Subunit masing-
masing tipe ribosom, susunan kimia, dan spesifisitas fungsional mereka cukup berbeda
untuk menjelaskan mengapa obat antimikroba dapat menghambat sintesis protein pada
ribosom bakteri tanpa menyebabkan efek yang signifikan pada ribosom mamalia. Pada
sintesis protein mikroba yang normal, pesan mRNA dibaca secara simultan oleh
beberapa ribosom yang membentang di sepanjang untai mRNA Susunan ribosom
tersebut dinamakan polisom.
Contoh obat yang bekerja dengan menghambat sintesis protein adalah eritromisin,
linkomisin, tetrasiklin, glisilsiklin' aminoglikosida, dan kloramfenikol.
e. Menghambat sintesis asam nukleat.
Contoh obat-obatan yang bekerja dengan menghambat sintesis asam nukleat
adalah golongan kuinolon, pirimetamin, rifampin, sulfonamida, trimetoprim, dan
trimetreksat. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengikatan pada
DNA- dependent RNA polymerase. Rantai polipeptida dari enzim polimerase melekat
pada faktor yang menunjukkan spesifisitas di dalam pengenalan letak promoter dalam
proses transkripsi DNA. Rifampin berikatan secara nonkovalen dan kuat pada subunit
RNA polimerase dan mempengaruhi proses inisiasi secara spesifik sehingga
mengakibatkan hambatan pada sintesis RNA bakteri. Resistensi terhadap rifampin
terjadi karena perubahan pada RNA polimerase akibat mutasi kromosomal. Semua
kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesis sintesis DNA bakteri melalui
penghambatan DNA girase.
2.1.3 Antibiotik yang digunakan untuk Pengobatan E. coli
a. Ampisilin
Ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin yang mempunyai
spektrum kerja luas yang aktif pada bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Ampisilin diketahui dapat mengobati infeksi saluran napas, saluran cerna, saluran
kemih, kulit, gonore, dan infeksi pada bagian lunak seperti otot. Sifat farmakokinetik
ampisilin adalah diabsorbsi secara oral sebesar 30-40%, waktu paruh 1-2 jam, dan
ikatan protein plasma sebesar 20%. Dosis oral ampisilin 0,5-1g yang diberikan 4 kali
sehari (Indijah dan Fajri, 2016).

Gambar 1. Struktur Molekul Ampisilin

b. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spektrum kerja yang luas yang
menghambat sintesis protein sel mikroba. Tetrasiklin masuk ke dalam sel melalui
proses transpor aktif dependen-energi. Mikroba yang rentan menyimpan obat di dalam
selnya. Tetrasiklin yang berada di dalam sel berikatan secara reversible dengan subunit
30S ribosom bakteri sehingga menghambat pengikatan aminoasil-tRNA ke tempat
akseptor dikomplek mRNA-ribosom. Hal ini mencegah penambahan asam amino ke
peptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin aktif terhadap banyak bakteri Gram positif
dan Gram negatif, termasuk anaerob tertentu seperti Rickettsia, Chlamydia dan
Mycoplasma (Katzung et al., 2014).
Gambar 2. Struktur Molekul Tetrasiklin

c. Sufametoksazol-trimetoprin
Sufametoksazol-trimetoprin merupakan antibiotik golongan sulfonamid.
Mekanismenya kerjanya dengan cara memblokir dua langkah berturut-turut dalam
biosintesis asam nukleat dan protein penting bagi banyak bakteri. Trimetoprin
menghambat dihidrofolat reduktase, sehingga menghalangi produksi asam
tetrahidrofolat dari asam dihidrofolat. Sulfametoksazol menghambat sintesis bakteri
asam dihidrofolat bersaing dengan asam para-aminobenzoik (Guandalini, 2020).

Gambar 3. Struktur Molekul Sufametoxazol-trimetoprin


d. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang bersifat
bakteriostatik terhadap bakteri Gram positif aerob dan anaerob. Antibiotik ini aktif
terhadap Rickettsia tetapi tidak terhadap Chlamydia. Mekanisme kerja antibiotik ini
yaitu berikatan secara reversible dengan subunit 50S ribosom bakteri dan menghambat
pembentukan ikatan peptida. Dosis lazim kloramfenikol adalah 50-100mg/kg/hari.
(Katzung et al., 2014).

Gambar 4. Struktur Molekul Kloramfenikol

e. Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang efektif
untuk terapi bermacam-macam penyakit infeksi dan mempunyai efek samping yang
relatif sedikit. Mekanisme siprofloksasin adalah menghambat replikasi DNA dengan
menghambat topoisomerase DNA bakteri dan DNA-gyrase. Antibiotik ini mampu
melawan bakteri Gram negatif bentuk batang terutama, Enterobacteriaceae seperti
Escherichia coli, Salmonella spp., Shigella spp., dan Neisseria (Laurence et al., 2008).
Gambar 5. Struktur Molekul Siprofloksasin

f. Gentamisin
Gentamisin adalah antibiotik aminoglikosida yang digunakan dalam
pengobatan beberapa infeksi Gram negatif dan bersifat bakteriosidal. Gentamisin
melewati membran Gram negatif dalam transpor aktif yang bergantung pada oksigen.
Karena oksigen diperlukan, inilah mengapa aminoglikosida tidak efektif pada bakteri
anaerob. Gentamisin dan aminoglikosida lainnya bekerja dengan cara berikatan ke 16S
rRNA sehingga menyebabkan tidak berfungsinya protein yang terbentuk akibat
gangguan sintesis protein (Chaves & Tadi, 2021).

Gambar 6. Struktur Molekul Gentamisin

g. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga.
Mekanisme kerja antibiotik ini dengan cara mengikat protein pengikat penisilin dan
menghambat langkah transpeptidasi akhir dari sintesis peptidoglikan yang
mengakibatkan kematian dinding sel. Selain itu antibiotik tersebut juga resisten
degradasi oleh beta-laktamase. Dosis yang tepat dan rute pemberian yang tepat
ditentukan oleh kondisi pasien, tingkat keparahan infeksi, dan kerentanan mikroba
dengan dosisnya 1-2g setiap 6-12 jam (Guandalini, 2020).
Gambar 7. Struktur Molekul Sefotaksim

h. Sefiksim
Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga dengan
aktivitas luas melawan bakteri Gram negatif. Mekanisme kerja antibiotik ini dengan
mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin, antibiotik ini menghambat sintesis
dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang diberikan per
oral 200mg dua kali sehari atau 400mg sekali sehari (Guandalini, 2020).

Gambar 8. Struktur Molekul Sefiksim

i. Seftriakson
Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga.
Antibiotik ini aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk galur penghasil β-
laktamase. Mekanisme kerja antibiotik ini dengan cara menghambat sintesis dinding
sel bakteri, dimananya cara kerjanya sama seperti penisilin. Dosis yang diberikan 1-
2g setiap 24 jam (Laurence et al., 2008).
Gambar 9. Struktur Molekul Seftriakson

j. Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida. Mekanisme kerja
antibiotik ini dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri dan memblokir disosiasi
peptidil tRNA dari ribosom yang menyebabkan sintesis protein yang bergantung pada
RNA terhenti. Dosis eritromisin yang biasa digunakan adalah tablet 400mg
(Guandalini, 2020).

Gambar 10. Struktur Molekul Eritromisin

k. Metronidazol
Metronidazol adalah antibiotik dengan aktivitas yang sangat baik terhadap
bakteri anaerob dan protozoa. Aktivitas antibiotik ini sangat bermanfaat untuk sepsis
pada kasus bedah dan ginekologis terutama Bacteroides fragilis. Mekanisme kerjanya
yakni berinteraksi dengan DNA sehingga terjadi perubahan struktur helik DNA dan
putusnya rantai yang menyebabkan sintesis protein terhambat dan mengalami
kematian sel (Indijah dan Fajri, 2016).

Gambar 11. Struktur Molekul Metronidazol

2.1.4 Klasifikasi, Morfologi dan Patogenesis Escherichia coli


Berikut taksonomi bakteri E. coli menurut Intergrated Taxonomic Information
System (ITIS) tahun (1895) :
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Escherichia coli (E. coli) merupakan bakteri yang banyak ditemukan di dalam
usus besar manusia sebangai flora normal. Namun, beberapa E. coli bersifat patogen
yang dapat menyebabkan penyakit seperti diare dan penyakit saluran usus lainnya. E.
coli termasuk ke dalam golongan bakteri Gram negatif yang berbentuk seperti batang
pendek (kokobasil) dengan ukuran ukuran 0,4-0,7µm x 1,4µm, sebagian besar bersifat
motil dan beberapa strain mempunyai kapsul (Syahruracman et al., 2018).
Menurut Brooks et al., (2013) E. coli dibedakan menjadi 5 kelompok
berdasarkan sifat virulensinya antara lain yaitu :
a. Enteropatogenik E. coli (EPEC)
Merupakan strain E. coli yang menyebabkan diare pada bayi, khususnya di
Negara berkembang. EPEC melekat ke sel mukosa usus halus dan menyebabkan
gangguan pada mikrovili. Gejala EPEC berupa diare cair, yang biasanya sembuh
spontan (self-limited), tetapi dapat pula menjadi kronis. Durasi diare EPEC dapat
dipersingkat dan diare kronis dapat dsembuhkan dengan terapi antibiotik.
b. Enterotoksigenik E. coli (ETEC)
Merupakan strain penyebab utama diare pada turis atau wisatawan di Negara
berkembang. Bakteri ini menghasilkan faktor invasif dan enterotoksin yaitu LT Toxin
(Thermolabile) dan ST Toxin (Thermostabile). Toksin LT merupakan protein antigenik
mirip dengan toksin kolera yang dapat menginduksi pengeluaran cairan dari sel epitel
usus halus. Toksin ST merupakan protein tahan panas yang memiliki berat molekul
lebih rendah dibandingkan toksin LT serta bukan merupakan antigen. Gejala penyakit
akibat ETEC adalah gastroenteritis seperti kolera.
c. Enteroinvasif E. coli (EIEC)
Merupakan strain yang dikenal sebagai penyebab diare shigelosis. Penyakit ini
umumnya sering terjadi pada anak-anak di Negara berkembang dan pada turis yang
berpergian ke daerah tersebut. Galur EIEC bersifat nonmotil dan tidak
memfermentasikan atau lambat memfermenrtasikan laktosa. EIEC menyebabkan
penyakit dengan cara menginvasi sel epitel mukosa usus.
d. Enterohemorrhagic E. coli EHEC
EHEC menghasilkan satu dari dua eksotoksin (shiga-like toxins 1 atau 2),
sehingga mengebabkan diare berdarah yang parah (kolitis hemoragik). Serotipe O157:
H7 adalah stran E. coli yang paling sering menghasilkan shiga-like toxins. Strain ini
juga dapat menyebabkan wabah gagal ginjal akut yang berpotensi mengancam jiwa
(sindrom hemolitik uremik, atau SHU) yang ditandai dengan demam, gagal gintal akut,
anemia hemolitik mikroangiopati dan trombositopenia pada anak-anak usia 5 samai 10
tahun
e. Enteroadherent E.coli (EAEC)
Merupakan strain E. coli yang menyebabkan diare akut dan kronik ( durasi >
14 hari) pada masyarakat di negara berkembang. Mikroba ini juga merupakan
penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan di Negara maju. Galur E. coli ini
ditandai dengan pola perlekatannya yang khas pada sel manusia. EAEC menghasilkan
toksin mirip dengan enterotoksin ST toxin.

2.1.5 Diare
2.1.5.1 Definisi Diare
Merupakan penyakit infeksi pada saluran cerna (usus) yang ditandai dengan
feses yang berbentuk cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari atau lebih
sering daripada normal. Diare dinyatakan akut apabila berlangsung kurang dari 14 hari,
dinyatakan parsisten apabila terjadi antara 14-28 hari dan kronik apabila lebih dari 4
minggu (Setiati et al., 2014).

2.1.5.2 Etiologi
Tabel 2. Patogen Penyebab Diare
Bakteri E. coli, Vibrio cholera, Aeromonas, Bacteroides fragilis,
Salmonella, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile,
Clostridium perfringens, Shigella.
Virus Rotavirus, Adenovirus, Norovirus, Astrovirus, Calicivirus.
Parasit Giardia sp, Cryptosporidium sp, Entamoeba sp.

2.1.5.3 Patogenesis
Diare dapat terjadi karena adanya infeksi yang melibatkan dua faktor yaitu
faktor penyebab infeksi (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor agen adalah
kemampuan bakteri untuk menempel di mukosa saluran cerna, kemampuan bakteri
berkompetisi dengan flora normal saluran cerna dan kemampuan untuk memproduksi
toksin seperti enterotoksin, sitotoksin dan neurotoksin paling banyak dijumpai pada
kolera, dimana toksin yang dihasilkan akan berikatan dengan reseptor dipermukaan
enterosit yang akan meningkatkan siklik AMP (Adenosin Monofosfat) di mukosa
saluran cerna dan akhirnya terjadi peningkatan pelepasan Cl- dan menurunkan absorpsi
Na+, sehigga menyebabkan diare. Sedangkan E. coli memproduksi LT atau ST yang
dapat menyebabkan diare dengan mekanisme yang hampir sama namun melalui
aktivasi siklik GMP (Guanisine Monofosfat). Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh
untuk mempertahankan diri terhadap mikroba yang dapat menimbulkan diare seperti
sistem imun atau lingkungan internal saluran cerna antara lain keasaman lambung,
motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus (Setiati et al., 2014).

2.1.5.4 Gambaran Klinis


Gambaran klinis diare dapat berupa konsistensi feses menjadi lebih cair,
frekuensi buang air besar menjadi lebih sering yaitu tiga kali sehari atau bahkan lebih,
adanya gejala-gejala mual atau muntah, demam, serta nyeri perut atau kram. Adanya
tanda-tanda dehidrasi yang berupa lesu, kesadaran menurun, fontanel anterior cekung,
selaput lendir kering, mata cekung, produksi air mata berkurang, turgor kulit buruk,
pengisian kapiler terlambat. Selain itu adanya tanda-tanda malnutrisi seperti
berkurangnya massa otot atau lemak serta edem perifer (Guandalini, 2020).

2.1.5.5 Tatalaksana
Tatalaksana awal diare yaitu dengan rehidrasi cairan. Rehidrasi harus
dilakukan dengan secepat mungkin yaitu dalam waktu 2 jam pertama. Setelah itu
pemberian cairan dapat disesuaikan dengan perhitungan cairan yang hilang pada saat
2 jam pertama tersebut. Rehidrasi cairan dengan diberikan sediaan cairan atau bubuk
hidrasi secara oral. Komposisi pada larutan peroral berupa 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat, 1,5g KCl, dan 20g glukosa per liter air. Pemberian hidrasi melalui cairan
infus dapat mengunakan Ringer Laktat ataupun NaCl isotonis (Setiati et al., 2014).
Tatalaksana berikutnya adalah mengatur asupan makan yaitu dengan
pemberian makanan sebaiknya dalam porsi yang kecil akan tetapi diberikan dengan
frekuensi yang lebih sering. Berikan makanan yang mengandung mikronutrien dan
energi untuk pasien dan hindari pasien dari makanan atau minuman yang mengandung
susu agar tidak terjadinya intoleransi laktosa, serta makanan-makanan yang pedas dan
mengandung lemak tinggi. Selanjutnya adalah untuk terapi definitif pada diare yang
disebabkan bakteri E. coli dapat diberikan antibiotik berupa kotrimoksazol 2x960mg
selama 3 hari atau siprofloksasin 2x500mg selama 3 hari (Setiati et al., 2014).

2.1.6 Metode Uji Sensitivitas


Penentuan kerentanan suatu patogen bakteri terhadap suatu sampel antibiotik
dapat dilakukan dengan salah satu diantara dua metode utama yaitu metode difusi atau
metode dilusi. Metode-metode tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan potensi
antibiotik dalam sampel atau kerentanan bakteri (Scharfstein dan Gaurf, 2013).
Metode difusi digunakan untuk menentukan sensitivitas mikroba uji terhadap agen
antibiotik. Metode difusi menggunakan cakram dilakukan dengan menggunakan kertas
cakram sebagai medium untuk menyerap bahan antibiotik. Cakram yang berisi agen
antibiotik diletakkan pada medium agar yang telah diinokulasikan bakteri tertentu,
kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam dengan suhu 37oC. Terbentuknya area
jernih pada permukaan medium agar mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroba oleh agen antibiotik. Keuntungan metode difusi ini adalah mudah dilakukan
karena tidak memiliki alat khusus dan lebih fleksibilitas (Fitriana et al., 2020). Akan
tetapi, metode kertas cakram ini dipengaruhi oleh banyak fator yaitu berupa sifat
medium dan difusibilitas, ukuran molekular, dan kestabilan obat (Scharfstein dan
Gaurf, 2013).
Selain dengan menggunakan kertas cakram terdapat cara lain yaitu dengan
metode sumuran. Medium agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri uji dibuat
lubang tegak lurus, kemudian lubang diisi dengan sampel yang akan diuji. Setelah
waktu inkubasi, diamati pertumbuhan bakteri untuk melihat ada tidaknya daerah
hambatan di sekitar sumuran. Kelebihan metode ini yaitu lebih mudah mengukur luas
zona hambat yang terbentuk karena bakteri beraktivitas tidak hanya di permukaan atas
nutrien agar tetapi juga sampai ke bawah (Nurhayati et al., 2020). Respon hambatan
bakteri terhadap agen antibiotik dapat dikategorikan menurut Davis dan Stout (1971)
sebagai berikut: 5mm (lemah), 5-10mm (sedang), 10-20mm (kuat), dan 20mm atau
lebih (sangat kuat).
Metode dilusi dibagi dua, yaitu dilusi cair dan padat. Metode dilusi cair
digunakan untuk mengukur KHM (Kadar Hambat Minimum). Pada metode uji ini
dilakukan dengan menumbuhkan bakteri murni pada medium cair yang mengandung
pengenceran agen antibiotik. Nilai KHM ditentukan dengan mengamati kekeruhan dan
kejernihan dari masing-masing medium uji yang telah diinkubasi dan dibandingkan
dengan larutan kontrol medium. Amati konsentrasi paling rendah yang menunjukkan
penghambatan pertumbuhan bakteri ditandai dengan jernihnya medium uji (Sariadji et
al., 2019).
Sementara, metode dilusi padat digunakan untuk menentukan KBM (Kadar
Bakterisidal Minimum). Pada metode uji ini dilakukan dengan menginokulasi mikroba
uji pada medium agar yang mengandung agen antibiotik. Nilai KBM ditentukan
dengan pengamatan ada tidaknya pertumbuhan bakteri dalam medium agar setelah
diinkubasi. Konsentrasi terendah yang memperlihatkan kematian bakteri (tidak ada
pertumbuhan) merupakan nilai KBM. Keuntungan metode dilusi ini adalah satu
konsentrasi agen antibiotik yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa
mikroba uji (Fitriana et al., 2020).
2.2 Kerangka teori

Infeksi Escherichia coli

Sifat dan mekanisme antibiotik :

Diare 1) Sifat
- Bakterisidal
- Bakteriostatik
2) Mekanisme kerja
Antibiotik
- Menghambat metabolisme sel
- Menghambat sintesa dinding sel
- Menghambat fungsi membran sel
Antibiotik yang diuji :
- Menghambat sintesa protein
- Ampisilin
v - Menghambat sintesa asam nukleat
- Tetrasiklin
- Sufametoksasol-
trimetoprin
- Kloramfenikol
- Siprofloksasin
- Gentamisin
- Sefotaksim
- Sefiksim
- Seftriakson
- Eritromisin
- Metronidazol

Aktivitas antibiotik

Gambar 9. Kerangka Teori

sefriakson
2.3 Kerangka konsep

Isolat bakteri E.coli Aktivitas bakteri

Gambar 10. Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis pada penelitian ini adalah: terdapat ada atau tidaknya resistensi
antibiotik terhadap bakteri Escherichia coli.

Anda mungkin juga menyukai