TINJAUAN PUSTAKA
b. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik dengan spektrum kerja yang luas yang
menghambat sintesis protein sel mikroba. Tetrasiklin masuk ke dalam sel melalui
proses transpor aktif dependen-energi. Mikroba yang rentan menyimpan obat di dalam
selnya. Tetrasiklin yang berada di dalam sel berikatan secara reversible dengan subunit
30S ribosom bakteri sehingga menghambat pengikatan aminoasil-tRNA ke tempat
akseptor dikomplek mRNA-ribosom. Hal ini mencegah penambahan asam amino ke
peptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin aktif terhadap banyak bakteri Gram positif
dan Gram negatif, termasuk anaerob tertentu seperti Rickettsia, Chlamydia dan
Mycoplasma (Katzung et al., 2014).
Gambar 2. Struktur Molekul Tetrasiklin
c. Sufametoksazol-trimetoprin
Sufametoksazol-trimetoprin merupakan antibiotik golongan sulfonamid.
Mekanismenya kerjanya dengan cara memblokir dua langkah berturut-turut dalam
biosintesis asam nukleat dan protein penting bagi banyak bakteri. Trimetoprin
menghambat dihidrofolat reduktase, sehingga menghalangi produksi asam
tetrahidrofolat dari asam dihidrofolat. Sulfametoksazol menghambat sintesis bakteri
asam dihidrofolat bersaing dengan asam para-aminobenzoik (Guandalini, 2020).
e. Siprofloksasin
Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluorokuinolon yang efektif
untuk terapi bermacam-macam penyakit infeksi dan mempunyai efek samping yang
relatif sedikit. Mekanisme siprofloksasin adalah menghambat replikasi DNA dengan
menghambat topoisomerase DNA bakteri dan DNA-gyrase. Antibiotik ini mampu
melawan bakteri Gram negatif bentuk batang terutama, Enterobacteriaceae seperti
Escherichia coli, Salmonella spp., Shigella spp., dan Neisseria (Laurence et al., 2008).
Gambar 5. Struktur Molekul Siprofloksasin
f. Gentamisin
Gentamisin adalah antibiotik aminoglikosida yang digunakan dalam
pengobatan beberapa infeksi Gram negatif dan bersifat bakteriosidal. Gentamisin
melewati membran Gram negatif dalam transpor aktif yang bergantung pada oksigen.
Karena oksigen diperlukan, inilah mengapa aminoglikosida tidak efektif pada bakteri
anaerob. Gentamisin dan aminoglikosida lainnya bekerja dengan cara berikatan ke 16S
rRNA sehingga menyebabkan tidak berfungsinya protein yang terbentuk akibat
gangguan sintesis protein (Chaves & Tadi, 2021).
g. Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga.
Mekanisme kerja antibiotik ini dengan cara mengikat protein pengikat penisilin dan
menghambat langkah transpeptidasi akhir dari sintesis peptidoglikan yang
mengakibatkan kematian dinding sel. Selain itu antibiotik tersebut juga resisten
degradasi oleh beta-laktamase. Dosis yang tepat dan rute pemberian yang tepat
ditentukan oleh kondisi pasien, tingkat keparahan infeksi, dan kerentanan mikroba
dengan dosisnya 1-2g setiap 6-12 jam (Guandalini, 2020).
Gambar 7. Struktur Molekul Sefotaksim
h. Sefiksim
Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga dengan
aktivitas luas melawan bakteri Gram negatif. Mekanisme kerja antibiotik ini dengan
mengikat satu atau lebih protein pengikat penisilin, antibiotik ini menghambat sintesis
dinding sel bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri. Dosis yang diberikan per
oral 200mg dua kali sehari atau 400mg sekali sehari (Guandalini, 2020).
i. Seftriakson
Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga.
Antibiotik ini aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk galur penghasil β-
laktamase. Mekanisme kerja antibiotik ini dengan cara menghambat sintesis dinding
sel bakteri, dimananya cara kerjanya sama seperti penisilin. Dosis yang diberikan 1-
2g setiap 24 jam (Laurence et al., 2008).
Gambar 9. Struktur Molekul Seftriakson
j. Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida. Mekanisme kerja
antibiotik ini dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri dan memblokir disosiasi
peptidil tRNA dari ribosom yang menyebabkan sintesis protein yang bergantung pada
RNA terhenti. Dosis eritromisin yang biasa digunakan adalah tablet 400mg
(Guandalini, 2020).
k. Metronidazol
Metronidazol adalah antibiotik dengan aktivitas yang sangat baik terhadap
bakteri anaerob dan protozoa. Aktivitas antibiotik ini sangat bermanfaat untuk sepsis
pada kasus bedah dan ginekologis terutama Bacteroides fragilis. Mekanisme kerjanya
yakni berinteraksi dengan DNA sehingga terjadi perubahan struktur helik DNA dan
putusnya rantai yang menyebabkan sintesis protein terhambat dan mengalami
kematian sel (Indijah dan Fajri, 2016).
2.1.5 Diare
2.1.5.1 Definisi Diare
Merupakan penyakit infeksi pada saluran cerna (usus) yang ditandai dengan
feses yang berbentuk cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari atau lebih
sering daripada normal. Diare dinyatakan akut apabila berlangsung kurang dari 14 hari,
dinyatakan parsisten apabila terjadi antara 14-28 hari dan kronik apabila lebih dari 4
minggu (Setiati et al., 2014).
2.1.5.2 Etiologi
Tabel 2. Patogen Penyebab Diare
Bakteri E. coli, Vibrio cholera, Aeromonas, Bacteroides fragilis,
Salmonella, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile,
Clostridium perfringens, Shigella.
Virus Rotavirus, Adenovirus, Norovirus, Astrovirus, Calicivirus.
Parasit Giardia sp, Cryptosporidium sp, Entamoeba sp.
2.1.5.3 Patogenesis
Diare dapat terjadi karena adanya infeksi yang melibatkan dua faktor yaitu
faktor penyebab infeksi (agent) dan faktor pejamu (host). Faktor agen adalah
kemampuan bakteri untuk menempel di mukosa saluran cerna, kemampuan bakteri
berkompetisi dengan flora normal saluran cerna dan kemampuan untuk memproduksi
toksin seperti enterotoksin, sitotoksin dan neurotoksin paling banyak dijumpai pada
kolera, dimana toksin yang dihasilkan akan berikatan dengan reseptor dipermukaan
enterosit yang akan meningkatkan siklik AMP (Adenosin Monofosfat) di mukosa
saluran cerna dan akhirnya terjadi peningkatan pelepasan Cl- dan menurunkan absorpsi
Na+, sehigga menyebabkan diare. Sedangkan E. coli memproduksi LT atau ST yang
dapat menyebabkan diare dengan mekanisme yang hampir sama namun melalui
aktivasi siklik GMP (Guanisine Monofosfat). Faktor pejamu adalah kemampuan tubuh
untuk mempertahankan diri terhadap mikroba yang dapat menimbulkan diare seperti
sistem imun atau lingkungan internal saluran cerna antara lain keasaman lambung,
motilitas usus, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus (Setiati et al., 2014).
2.1.5.5 Tatalaksana
Tatalaksana awal diare yaitu dengan rehidrasi cairan. Rehidrasi harus
dilakukan dengan secepat mungkin yaitu dalam waktu 2 jam pertama. Setelah itu
pemberian cairan dapat disesuaikan dengan perhitungan cairan yang hilang pada saat
2 jam pertama tersebut. Rehidrasi cairan dengan diberikan sediaan cairan atau bubuk
hidrasi secara oral. Komposisi pada larutan peroral berupa 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat, 1,5g KCl, dan 20g glukosa per liter air. Pemberian hidrasi melalui cairan
infus dapat mengunakan Ringer Laktat ataupun NaCl isotonis (Setiati et al., 2014).
Tatalaksana berikutnya adalah mengatur asupan makan yaitu dengan
pemberian makanan sebaiknya dalam porsi yang kecil akan tetapi diberikan dengan
frekuensi yang lebih sering. Berikan makanan yang mengandung mikronutrien dan
energi untuk pasien dan hindari pasien dari makanan atau minuman yang mengandung
susu agar tidak terjadinya intoleransi laktosa, serta makanan-makanan yang pedas dan
mengandung lemak tinggi. Selanjutnya adalah untuk terapi definitif pada diare yang
disebabkan bakteri E. coli dapat diberikan antibiotik berupa kotrimoksazol 2x960mg
selama 3 hari atau siprofloksasin 2x500mg selama 3 hari (Setiati et al., 2014).
Diare 1) Sifat
- Bakterisidal
- Bakteriostatik
2) Mekanisme kerja
Antibiotik
- Menghambat metabolisme sel
- Menghambat sintesa dinding sel
- Menghambat fungsi membran sel
Antibiotik yang diuji :
- Menghambat sintesa protein
- Ampisilin
v - Menghambat sintesa asam nukleat
- Tetrasiklin
- Sufametoksasol-
trimetoprin
- Kloramfenikol
- Siprofloksasin
- Gentamisin
- Sefotaksim
- Sefiksim
- Seftriakson
- Eritromisin
- Metronidazol
Aktivitas antibiotik
sefriakson
2.3 Kerangka konsep