Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

CARDIAC ARREST

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Praktek GADAR

Dosen Pengampu :

Sri Mulyati Rahayu, S.Kep., Ners., M.Kep

Oleh:

Suci Ratna Anjani

(4180180097)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG

2021
A. Definisi
Henti jantung adalah terhentinya aktivitas mekanik yang ditentukan oleh tidak adanya
respon dari perabaan pada denyut nadi sentral dan henti nafas.
Henti jantung (Cardiac Arrest) adalah penghentian tiba-tiba fungsi pemompa jantung
dan hilangnya tekanan darah arteri. Saat terjadinya serangan jantung, penghantaran
oksigen dan pengeluaran karbon dioksida terhenti, metabolisme sel jaringan menjadi
anaerobic, sehingga asidosis metabolic dan respiratoric terjadi. Pada keadaan tersebut,
inisiasi langsung dari resusitasi jantung paru diperlukan untuk mencegah terjadinya
kerusakan jantung, paru-paru, ginjal, kerusakan otak dan kematian.
Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses
kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93
persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya
gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Jantung tiba-tiba
mati (juga disebut Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat
hilangnya fungsi hati (perhentian jantung). Korban mungkin atau tidak ada diagnosis
penyakit jantung. Waktu dan cara kematian yang tidak terduga. Itu terjadi beberapa menit
setelah gejala muncul. Yang paling umum yang alasan pasien mati mendadak dari
perhentian jantung adalah penyakit jantung koroner (fatty buildups dalam arteries bahwa
pasokan darah ke otot jantung).
Mati jantung mendadak harus didefinisikan dengan hati-hati. Dalam konteks waktu,
kata “mendadak” batasan dahulu adalah kematian dalam waktu 24 jam setelah timbulnya
kejadian klinis yang menyebabkan henti jantung (cardiac arrest) yang fatal; batas waktu
ini untuk kepentingan klinis dan epidemiologic dipersingkat menjadi 1 jam atau kurang
yang terdapat di antara saat timbulnya keadaansakit terminal dan kematian.
 
B. Etiologi
1. Faktor-faktor Risiko
a. Usia
 Insiden CD meningkat dengan bertambahnya usia bahkan pada pasien yang bebas
dari CAD simtomatik.
b. Jenis kelamin
Tampak bahwa pria mempunyai insiden SCD yang lebih tinggi dibandingkan
wanita yang bebas dari CAD yang mendasari.
c. Merokok
Merokok telah dilibatkan sebagai suatu factor yang meningkatkan insiden SCD
(ada efek aritmogenik langsung dari merokok sigaret atas miokardium ventrikel).
Tetapi menurut pengertian Framingham, peningkatan resiko akibat merokok hanya
terlihat pada pria. Yang menarik, peningkatan resiko ini menurun pada pasien yang
berhenti merokok. Merokok juga meningkatkan insiden CAD yang tampil pada
kebanyakan pasien yang menderita henti jantung.
d. Penyakit jantung yang mendasari
1) Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
Pasien ini mempunyai pengurangan resiko SCD, bila dibandingkan dengan
pasien CAD atau pasien dengan pengurangan fungsi ventrikel kiri.
2) Penyakit arteri koronaria (CAD)
Data dari penelutian Framingham telah memperlihatkan pasien CAD
mempunyai frekuensi SCD Sembilan kali pasien dengan usia yang sama tanpa
CAD yang jelas. The Multicenter Post Infarction Research Group
mengevaluasi beberapa variable pada pasien yang menderita MI. Kelompok ini
berkesimpulan bahwa pasien pasca MI dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
kurang dari 40%, 10 atau lebih kontraksi premature ventrikel (VPC) per jam,
sebelum MI dan ronki dalam masa periinfark mempunyai peningkatan
mortalitas (1-2 tahun) dibandingkan dengan pasien tanpa masalah ini. Jelas
pasien CAD (terutama yang menderita MI) dengan resiko SCD yang lebih
besar.
3) Sindrom prolaps katup mitral (MVPS)
Tes elektrofisiologi (EP) pada pasien MVPS telah memperlihatkan tingginya
insiden aritmia ventrikel yang dapat di induksi, terutama pada pasien dengan
riwayat sinkop atau prasinkop. Terapi anti aritmia pada pasien ini biasanya
akan mengembalikan gejalanya.
4) Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang
bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi
aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan
meningkatkan risiko SCD.
5) Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Perkembangan flutter atrium dengan hantaran AV 1:1 melalui suatu jalur
tambahan atau AF dengan respon ventrikel sangat cepat (juga karena hantaran
jalur tambahan antegrad) menimbulkan frekuensi ventrikel yang cepat, yang
dapat menyebabkan VF dan bahkan kematian mendadak.

6) Sindrom Q-T yang memanjang


Pasien dengan pemanjangan Q-T yang kongenital atau idiopatik mempunyai
peningktan resiko SCD. Kematian sering timbul selama masa kanak-kanak.
Mekanisme ini bisa berhubungan dengan kelainan dalam pernafasan simpatis
jantung yang memprodisposisi ke VF.
e. Lain-lainnya
1) Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolic merupakan
predisposisi SCD
2) Hiperkolesteremia: tidak ada hubungan jelas antara kadar kolesterol serum dan
SCD yang telah ditemukan
3) Diabetes mellitus: dalam penelitian Framingham hanya pada wanita
ditemukan peningkatan insiden SCD yang menyertai intoleransi glukosa.
4) Ketidakaktifan fisik: gerak badan mempunyai manfaat tidak jelas dalam
mengurangi insiden SCD.
5) Obesitas: menurut data Framingham, obesitas meninggkatkan resiko SCD
pada pria, bukan wanita.
f. Riwayat aritmia
1) Aritmia supraventrikel
Pada pasien sindrom WPW dan ASH, perkembangan aritmia supraventrikel
disertai dengan peningkatan insiden SCD. Pasien CAD yang kritis juga
beresiko, jika aritmia supraventrikel menimbulkan iskemia miokardium.
Tampak bahwa iskemia dapat menyebabkan tidak stabilnya listrik, yang
mengubah sifat elektrofisiologi jantung yang menyebabkan VT terus-menerus
atau VF. Tetapi sering episode iskemik ini asimtomatik.
2) Aritmia ventrikel
Pasien dengan penyakit jantung yang mendasari dan VT tidak terus-menerus
menpunyai peningkatan insiden SCD dibandingkan pasien dengan VPC
tersendiri. Kombinasi VT yang tidak terus-menerus dan disfungsi ventrikel kiri
disertai tingginya resiko SCD. Pasien CAD dan VT spontan mempunyai
ambang VT yang lebih rendah dibandingkan pasien CAD dan tanpa riwayat
VT. Sehingga pasien CAD dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan
VF atau VT terus-menerus yang spontan mempunyai insiden SCD tertinggi.

3) Faktor pencetus
a) Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59
pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari
kejadian ini timbul selama atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa
gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan
selama tidur SCD jarang terjadi.
b) Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh
(iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden
aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia
yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan
tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai
kemungkinan lebih banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa
iskemia pada suatu jarak.
c) Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat
menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua
aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat
peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih
besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria
berhubungn dengan derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD
multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih
mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase arteri
koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.
C.  Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Cardiac Arrest :
1. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak.
2.  Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran (collapse).
3. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4. Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5. Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat
terasa pada arteri.
6. Tidak ada denyut jantung.
D. Patofisiologi
                Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun,
umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen
untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak
adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak
mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari
terjadinya cardiac arrest.
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal
sebagai serangan jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac
arrest. Infark miokard terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-
otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah materia(plak) yang
terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin buruk
sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai
oksigen yang mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark.
Ketika terjadi infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut.
Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari jantung,
meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi,
diantaranya:
a) perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
b) sengatan listrik
c) kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan
asma yang berat
d) Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
e) Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki
gangguan jantung.
f) Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga.
Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini
mungkin memiliki peningkatan resiko terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir
dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu bentuk(struktur) jantung dan
dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.
4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat
menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat
mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan ini meliputi pembesaran jantung
akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga
dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain,
digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya
materi yang ditemukan pada pasien, riwayat medis pasien yang diperoleh dari
keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk memastikan tidak
adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium
toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak
mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan
kematian.
7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan
terus masuk akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal
ini akan menyebabkan pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung
akan terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior) tertekan,
sehingga membatasi aliran balik ke jantung. 

E. Pathway

Jantung

Nafas dangkal Hypoxia cerebral


Suplay oksigen berhenti

hipotensi Jalan nafas tidak efektif Kerusakan otak dalam

Penurunan curah jantung

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrokardiogram
Biasanya tes yang diberikan ialah dengan elektrokardiogram (EKG). Ketika dipasang
EKG, sensor dipasang pada dada atau kadang-kadang di bagian tubuh lainnya missal
tangan dan kaki. EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan
dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak
melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung
telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2. Tes darah
a) Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena
serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest.
Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah
benar-benar terjadi serangan jantung.

b) Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada
jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam
darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak
seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac
arrest.
1) Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi
aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-
obatan terlarang.
2) Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai
pemicu cardiac arrest.
3. Imaging tes
a) Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal
ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b) Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah
aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium
disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan
radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c) Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung.
Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung  telah
rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas
puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4. Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
Tes ini, jika diperlukan, biasanya dilakukan nanti, setelah seseorang sudah
sembuh dan jika penjelasan yang mendasari serangan jantung Anda belum ditemukan.
Dengan jenis tes ini, dokter mungkin mencoba untuk menyebabkan aritmia, sementara
dokter memonitor jantung Anda. Tes ini dapat membantu menemukan tempat aritmia
dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur
melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat,
elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain
itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien
untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia.
Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5. Ejection fraction testing
Salah satu prediksi yang paling penting dari risiko sudden cardiac arrest
adalah seberapa baik jantung Anda mampu memompa darah. Dokter dapat
menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi
ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel 
setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi
ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda
dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari
jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6. Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan
atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang
tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur,
pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis
(kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung.
Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video,
menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter
mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan
stent untuk menahan arteri terbuka.
G. Penatalaksanaan
       Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1. Respons awal
2. Penanganan untuk dukungan kehidupan dasar (basic life support)
3. Penanganan dukungan kehidupan lanjutan (advanced life support)
4. Asuhan pasca resusitasi
5. Penatalaksanaan jangka panjang
Respons awal dan dukungan kehidupan dasar dapat diberikan oleh dokter, perawat,
personil paramedic, dan orang yang terlatih. Terdapat keperluan untuk meningkatkan
keterampilan saat pasien berlanjut melalui tingkat dukungan kehidupan lanjut, asuhan
pascaresusitasi, dan penatalaksanaan jangka panjang.
1. Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar
disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada
tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat
menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat
membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang
singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor
yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang
dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian
sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan
takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat
mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah
dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang
dimonitor; rekomendasi ini masih controversial. Tindakan ke tiga selama respons
inisial adalah membersihkan saluran nafas. Gigi palsu atau benda asing yang di
dalam mulut dikeluarkan, dan maneuver Heimlich dilakukan jika terdapat indikasi
mencurigakan adanya benda asing yang terjepit di daerah orofaring. Jika terdapat
kecurigaan akan adanya henti respirasi (respiratory arrest) yang mendahului
serangan henti jantung, pukulan prekordial kedua dapat dilakukan setelah saluran
napas dibersihkan.
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Dasar (Basic Life Support)
Tindakan ini yang lebih popular dengan istilah resusitasi kardiopulmoner
(RKP;CPR;Cardiopulmonary Resuscitation) merupakan dukungan kehidupan
dasar yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ sampai tindakan
intervensi yang definitive dapat dilaksanakan. Unsur-unsur dalam tindakan RKP
terdiri atas tindakan untuk menghasilkan serta mempertahankan fungsi ventilasi
paru dan tindakan kompresi dada. Respirasi mulut ke mulut dapat dilakukan bila
tidak tersedia perlengkapan penyelamat yang khusus misalnya pipa napas
orofaring yang terbuat dari plastic, obturator esophagus, ambu bag dengan
masker. Teknik ventilasi konvensional selama RKP memerlukan pengembangan
paru yang dilakukan dengan menghembuskan udara pernapasan sekali setiap 5
detik, kalau terdapat dua orang yang melakukan resusitasi dan dua kali secara
berturut, setiap 15 detik kalau yang mengerjakan ventilasi maupun kompresi
dinding dada hanya satu orang.
Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung
memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan
pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-
katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak
yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang
lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum
kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan
lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit.
Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi
sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik
RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang
didasarkan pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis
yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental
dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja
pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus,
seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas
apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah
peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi
serebral.   
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmoner. A. Pastikan bahwa
saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka. B. Mulailah resusitasi
respirasi dengan segera. C. Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang
jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid. D. Jika denyut nadi tidak teraba, mulai
lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu
kali penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali
penekanan dada. (Isselbacher: 228)
3. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat,
mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan
darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang
dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a) Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b) Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c) Pemasangan lini infuse.
Ventilasi dengan O2 atau udara ruangan bila O2 tidak tersedia dengan segera, dapat
memulihkan keadaan hipoksemia dan asidosis dengan segera. Kecepatan
melakukan defibrilasi atau kardioversi merupakan elemen penting untuk resusitasi
yang berhasil. Kalau mungkin, tindakan defibrilasi harus segera dilakukan
sebelum intubasi dan pemasangna selang infuse. Resusitasi kardiopulmoner harus
dikerjakan sementara alat defibrillator diisi muatan arusnya. Segera setelah
diagnosis takikardia atau fibrilasi ventrikel ditentukan, kejutan listrik sebesar 200-
J harus diberikan. Kejutan tambahan dengan kekuatan yang lebih tinggi hingga
maksimal 360-J, dapat dicoba bila kejutan pertama tidak berhasil menghilangkan
takikardia atau fibrilasi ventrikel. Jika pasien masih belum sadar sepenuhnya
setelah dilakukan reversi, atau bila 2 atau 3 kali percobaan tidak membawa hasil,
maka tindakan intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah arterial harus
segera dilakukan. Pemberian larutan NaHCO3 intravena yang sebelumnya
diberikan dalam jumlah besar kini tidak dianggap lagi sebagai keharusan yang
rutin dan bisa berbahaya bila diberikan dalam jumlah yang lebih besar. Namun,
pasien yang tetap mengalami asidosis setalah defibrilasi dan intubasi yang berhasil
harus diberikan 1 mmol/kg NaHCO3 pada awalnya dan tambahan 50% dosis
diulangi setiap 10-15 menit.
Setelah upaya defibrilasi pendahuluan tanpa mempedulikan apakah upaya ini
berhasil atau tidak, preparat bolus 1mg/kg lidokain diberikan intravena dan
pemberian ini diulang dalam waktu 2 menit pada pasien-pasien yang
memperlihatkan aritmia ventrikel yang persisten atau tetap menunjukkan fibrilasi
ventrikel. Penyuntikan lidokain ini diikuti oleh infuse lidokain dengan takaran 1-4
mg/menit. Jika lidokain tidak berhasil mengendalikan keadaan tersebut,
pemberian intravena prokainamid (dosis awal 100mg/5 menit hingga tercapai
dosis total 500-800mg, diikuti dengan pemberian lewat infuse yang kontinyu
dengan dosis 2-5mg/menit). Atau bretilium tosilat (dosis awal 5-10mg/kg dalam
waktu 5 menit; dosis pemeliharaan (maintanance) 0,5-2 mg/menit), dapat dicoba.
Untuk mengatasi fibrilasi ventrikel yang per sisten, preparat epinefrin (0,5-1,0 mg)
dapat diberikan intravena setiap 5 menit sekali selama resusitasi dengan upaya
defibrilasi pada saat-saat diantara setiap pemberian preparat tersebut. Obat
tersebut dapat diberikan secara intrakardial jika cara pemberian intravena tidak
dapat dilakukan. Pemberian kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman
atau perlu untuk pemakaian yang rutin. Obat ini yang hanya digunakan pada
pasien dengan hiperkalemia akut dianggap sebagai pencetus VF resisten, pada
keadaan adanya hipokalsemia yang diketahui, atau pada pasien yang menerima
dosis toksik antagonis hemat kalsium.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani
dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar
tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner
diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta
asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan
intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk
mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada
bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti
jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas.
Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan
benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
4. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah
dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain
dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan.
Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau
diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang
terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel
sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi
predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya
resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka
rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan
hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan
untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan
elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan
peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil
dan kurang responsive terhadap intervensi.
Hasil akhir (outcome) setelah serangan henti jantung di rumah sakit yang
menyertai penyakit nonkardiak adalah buruk, dan pada beberapa pasien yang
berhasil diresusitasi, perjalanan pasca resusitasi didominasi oleh sifat penyakit
yang mendasari serangan henti jantung tersebut.  Pasien dengan kanker, gagal
ginjal, penyakit system saraf pusat akut dan infeksi terkontrol, sebagai suatu
kelompok, mempunyai angka kelangsungan hidup kurang dari 10 persen setelah
henti jantung di rumah sakit. Beberapa pengecualian utama terhadap hasil akhir
henti jantung yang buruk akibat penyebab bukan jantung adalah pasien dengan
obstruksi jalan nafas transien, gangguan elektrolit, efek proaritmia obat-obatan
dan gangguan metabolic yang berat, kebanyakan mereka yang mempunyai
harapan hidup baik jika mereka mendapat resusitasi dengan cepat dan
dipertahankan sementara gangguan transien dikoreksi.
5. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi
klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas.
Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan
yang mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan
terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang.
Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari
tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar
rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45
persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun.
Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki
dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui
karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
Diantara pasien ini dengan penyebab henti jantung di luar rumah sakit adalah MI
akut dan transmural, penatalaksanaan sama dengan semua pasien lain yang
menderita henti jantung selama fase akut MI yang nyata. Untuk hampir semua
kategori pasien, bagaimanapun, uji diagnostic ekstensif dilakukan menentukan
etiologi, gangguan fungsional dan ketidakstabilan elektrofisiologik sebagai
penuntun penatalaksanaan selanjutnya. Secara umum, pasien yang mempunyai
henti jantung di luar rumah sakit akibat penyakit jantung iskemik kronik, tanpa MI
akut, dievaluasi untuk menetukan apakah iskemia transien atau ketidakstabilan
elektrofisologik merupakan penyebab yang lebih mungkin dari peristiwa ini. Jika
terdapat alas an untuk mencurigai suatu mekanisme iskemik, pembedahan anti-
iskemik atau Intervensi medis (seperti angiografi, obat) digunakan untuk
mengurangi beban iskemik. Ketidakstabilan elektrofisiologik paling baik
diidentifikasi dengan menggunakan stimulasi elektris terprogram untuk
menentukan apakah VT atau VF tertahan dapat diinduksi pada pasien. Jika ya,
informasi ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi efektifitas
obat untuk pencegahan kekambuhan. Informasi ini juga dapat digunakan untuk
menentukan kecocokan untuk pembedahan antiaritmik dengan tuntunan peta.
Menggunakan teknik ini untuk menegakkan terapi obat pada pasien dengan fraksi
ejeksi 30 persen atau lebih, angka henti jantung rekuren adalah kurang dari 10
persen selama tahun pertama tindak lanjut. Hasil akhir tidak sebaik untuk pasien
fraksi dengan fraksi ejeksi dibawah 30 persen, tetapi tetap lebih baik dibandingkan
riwayat alami yang tampak dari kelangsungan hidup setelah henti jantung. Untuk
pasien yang keberhasilan dengan terapi obat tidak dapat diidentifikasi dengan
teknik ini, pengobatan empirik dengan amiodaron, penanaman
defibrillator/kardioverter (ICD, implantable cardioverter/defibrillator) dalam
tubuh, atau pembedahan antiaritmia (seperti bedah pintas koroner,
aneurismektomi, kriobliasi), dapat dianggap sebagai pilihan. Sukses pembedahan
primer, diartikan sebagai mempertahankan hidup prosedur dan kembali pada
keadaan yang tak dapat diinduksi tanpa terapi obat, adalah lebih baik dari 90
persen bila pasien dipilih untuk kemampuan dipetakan dalam ruang operasi.
Terapi ICD juga dikembangkan menjadi sistem yang lebih menarik, termasuk
kemampuan untuk memacu lebih baik dibandingkan mengejutkan (shock out)
beberapa aritmia pada pasien terpilih. Susunan Intervensi tersedia untuk pasien
ini, digunakan dengan pantas, menunjukkan perbaikan perbaikan yang berlanjut
pada hasil akhir jangka panjang.

H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu :
1. Menyebabkan kematian
2. Gagal nafas
3. Henti nafas

I. Anamnesa
A. Identitas

a. Identitas Klien : Nama, Umur/ttl, Jenis


kelamin, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Status Pernikahan, Suku/Bangsa,
Tanggal Masuk RS, Tanggal Pengkajian, No. Medrec, Diagnosa Medis, Alamat.
b. Identitas Penanggung Jawab : Nama, Umur, Jenis Kelamin,
Pendidikan, Pekerjaan, Agama, Hubungan dengan klien, Alamat.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Keluhan Utama Saat Masuk Rumah Sakit
Menguraikan saat keluhan pertama kali dirasakan , tindakan
dilakukan sampai klien datang ke RS , tindakan yang sudah dilakukan
di rumah sakit sampai klien menjalani perawatan.
b) Keluhan Utama Saat Di kaji
Keluhan yang paling dirasakan oleh klien saat dikaji, diuraikan dalam

konsep PQRST

a. Provokatif/paliatif : apa penyebabnya apa yang memperberat dan

apa yang mengurangi

b. Quality/kuantitas : dirasakan sepertia apa , tampilanya , suaranya,

berapa banyak

c. Region/radiasi : lokasinya dimana , penyebarannya

d. Saverity / scale : intensitasnya(skala) pengaruh terhadap aktifitas

e. Timing : kapan muncul keluhan, berapa lama, bersipat ( tiba- tiba,

sering, bertahap)

2) Riwayat Kesehatan Dahulu


Mengidentifikasi riwayat kesehatan yang memiliki hubungan dengan klien
dengan atau memperberat keadaan peyakit yang sedang diderita saat ini.
Termasuk faktor predisposisi penyakit.

3) Riwayat Kesehatan Keluarga


Mengidenftifikasi apakan di keluarga ada riwayat penyakit menular atau
turunan atau keduanya
a. Bila ditemukan riw. Penyakit menular di buat struktur keluarga,
dimana di identifikasi individu – individu yang tinggal serumah
bukan genogram
b. Bila ditemukan riw. Penyakit keturunan dibuat genogram minimal
3 generasi
d. Pola aktivitas sehari-hari
Aktivitas sehari-hari Sebelum masuk rumah Di rumah sakit
sakit
A. Makan dan Pola makan 3 kali/hari, Pola makan 3 kali/hari, namun
minum tetapi tidak ada napsu tidak ada napsu makan, nyeri
1. Nutrisi makan, tidak menghabiskan saat menelan, makan hanya 2
porsi yang disiapkan. sendok.
Minum air putih dengan Minum air putih 2-3 gelas.
2. Minu jumlah tidak tentu.
m
B. Eliminasi Mencret 5 X/hari,, seperti Mencret dengan frekuensi 5-7
busa, tidak bercampur darah X/hari, encer atau tidak ada isi
dan berbau. BAK 2 X/hari dan BAK 2 X/hari serta tidak
dan tidak ada kelainan. ada kelainan. Keringat dingin
pada malam hari
C. Istirahat dan tidur Pasien bisa istirahat dan Pasien istirahat di tempat tidur
tidur di rumah saja. Tidur kalau merasa
mengantuk. Kesulitan tidur
karena nyeri, keringat dingin.
D. Aktivitas Pasien tidak melakukan apa- Pasien mengatakan tidak bisa
apa karena tinggal di rumah melakukan aktivitasnya karena
dan keadaan yang lemah. lemah, merasa tidak berdaya
dan cepat lelah.
E. Kebersihan diri Jarang dilakukan. Mandi dan gosok gigi
dilakukan di tempat tidur.
Hambatan dalam melakukan
kebersihan diri adalah lemah
dan nyeri.
F. Rekreasi Tidak ada. Hanya bercerita dengan isteri
B. Pengkajian
1. Primary survey
1. Circulation
1. Denyut nadi : 15 kali/menit, tidak teratur dan lemah
2. Tkanan darah: 70/40 mmHg
3. Warna kulit : pucat
2. Airway
1. Terdapat suara snoring
2. Tidak terdapat suara wheezing dan crowing
3. Breathing
1. Frekuensi pernafasan tidak teratur
4. Disability
1. GCS:
Mata: skor 2
Verbal: skor 2
Motorik: skor 1
5. Exposure
1. Tidak ada tanda tanda teroma/oedem
2. Secondary survey
a. Kesadaran : tidak sadar
b. Kepala: trauma kepala ringan
c. GCS: tidak normal
d. Dada : - jantung: henti jantung
2. Paru : pengembangan tidak maksimal

C. Diagnose Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload, afterload dan
kontrakilitas.
2. Intolerasi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen.
D. Intervensi
Dx : Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload, afterload dan
kontrakilitas.
Intervensi Rasional
1. Lakukan pijat jantung - Untuk mengaktifkan kerja pompa
2. Berikan oksigen tambahan jantung
dengan kanula nasal atau - Meningkatkan sediaan oksigen
masker dan obat sesuai untuk kebutuhan miokard untuk
indikasi (kolaborasi). meningkatkan untuk melawan efek
3. Palpasi nadi perifer hipoksia atau iskemia.
4. Pantau tekanan darah - Penurunan curah jantung dapat
5. Kaji kulit terhadap pucat dan menunjukkan menurunnya nadi
sianosis. radial, dorsalis pedis dan postibial.
Nadi mungkin hilang atau tidak
teratur untuk dipalpasi.
- Pucat menunjukkan menrunnya
perfusi sekunder terhadap tidak
adekuatnya curah jantung.

Dx : Intolerasi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidakseimbangan


suplai dan kebutuhan oksigen.
Intervensi Rasional
- Evaluasi respon terhadap aktivitas. - Menetapkan kemampuan atau
- Berikan lingkungan tenang dan kebutuhan pasien.
batasi pengunjung selama fase akut. - Menurunkan stress dan rangsangan
- Jelaskan pentingnya istirahat dan berlebihan.
perlunya keseimbangan aktivitas - Tirah baring diperlukan selama fase
dan istirahat. akut untuk menurunkan kebutuhan
- Bantu pasien beraktivitas. metabolic.
- Bantu pasien memilih posisi - Meminimalkan kelelahan dan
nyaman untuk istirahat tidur. membantu keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen.
- Agar pasien nyaman dengan kepala
tinggi, tidur dikursi atau menunduk
ke depan meja atau bantal.

Daftar Pustaka
https://studylibid.com/doc/990878/cardiac-arrest. (Senin, 8 Maret 2021, pukul 09:26)
https://www.scribd.com/document_downloads/direct/109697134?
extension=docx&ft=1615166021&lt=1615169631&user_id=506784709&uahk=DfLeYRXP
D34B-Y5YyfDvZX0Mhu0. (Senin, 8 Maret 2021, pukul 09:32)

Anda mungkin juga menyukai