A. Latar Belakang
kritis, seperti pasien dengan kegagalan fungsi pada satu atau lebih sistem
2014).
penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara yang sedang
berkembang. Secara global, pada saat tertentu sekitar 80 juta orang menderita
akibat stroke (Sikawin et al., 2013). Menurut World Health Organisation atau
WHO (2015), setiap tahun diperkirakan 15 juta orang tersebar di seluruh dunia
menderita stroke, dimana kurang lebih 5 juta orang meninggal dan 5 juta orang
Menurut WHO (2015) definisi stroke adalah suatu kondisi penyakit yang
disebabkan oleh terhentinya aliran darah yang mensuplai otak secara tiba-tiba,
baik karena adanya sumbatan maupun rupturnya pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan jaringan otak yang tidak terkena aliran darah kekurangan oksigen
dan nutrisi sehingga sel otak mengalami kerusakan (Wijaya & Putri, 2013)
(kekuatan yang menekan permukaan tubuh) yang terjadi secara terus menerus
Dekubitus menjadi salah satu masalah kesehatan utama di dunia (Bereded et al.,
2018). Dekubitus merupakan masalah yang sangat serius terutama bagi pasien
yang harus dirawat lama di ruang ICU dengan keterbatasan aktivitas. Saat ini
(Inan & Öztunç, 2012), prevalensi lebih tinggi dari 47,6% di Thailand (Suttipong
& Sindhu, 2012) dan 16% di Ethiopia (Gedamu et al., 2014). Hasil penelitian
Belanda (27,2%) dan terendah dilaporkan dari Finlandia (4,6%) (Moore et al.,
adalah 43,3% pasien memiliki risiko sangat tinggi mengalami luka akibat
tekanan. Dari hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa 100% pasien tidak
mendapatkan kasur khusus, pijat, krim pelembab dan minyak (Riandini et al.,
bahwa risiko dekubitus masih berisiko terjadi di hampir seluruh rumah sakit
adalah imobilisasi, gaya gesek, kelembaban kulit (Kozier et al., 2010). Beberapa
antara lain memberikan kasur anti dekubitus, bantal kecil sebagai penyangga, dan
manajemen alih baring. Alih baring yang dilakukan oleh perawat dengan rentang
pasien yang mengalami tirah baring total untuk mencegah kejadian luka tekan
pada kulit pasien. Tujuan alih baring adalah untuk mendistribusikan tekanan baik
dalam posisi duduk atau berbaring serta memberikan kenyamanan pada pasien.
Pada dasarnya alih baring dilakukan sebagai bagian dari prosedur baku dalam
imobilisasi (Potter & Perry, 2010). Alih baring memiliki manfaat mengganti titik
tumpu berat badan yang tertekan pada area tubuh yang lain, mempertahankan
sirkulasi darah pada daerah yang tertekan, dan dapat menurunkan tekanan pada
Alih baring dapat mencegah dekubitus pada daerah tulang yang menonjol.
Hal ini dikarenakan alih baring mengurangi penekanan akibat tertahannya pasien
pada satu posisi yang diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek kulit.
Menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan
menurunkan peluang terjadinya dekubitus akibat gaya gesek (Potter & Perry,
2010). Posisi tubuh alih baring 2 jam yang tepat akan menentukan keberhasilan
intervensi keperawatan terhadap pasien, menurut Perry & Potter (2010) posisi
tinggi.
punggung. Masase adalah suatu pemijatan atau ditepuk tepuk pada bagian tubuh
jaringan. Masase memiliki banyak manfaat bagi semua sistem organ tubuh,
oleh Setyawati (2012) dengan judul pengaruh mobilisasi dan penggunaan VCO
(Virgin Coconut Oil) terhadap ulkus dekubitus pada gangguan motorik pasca
mobilisasi 2-3 jam sekali dengan memberikan VCO sedangkan kelompok kontrol
dilakukan mobilisasi lebih dari 2-3 jam sekali dan tidak diberikan VCO. Hasil
kelompok intervensi dan kontrol yang dilakukan mobilisasi dan diberikan VCO
tulis ilmiah yang berjudul pengaruh alih baring dan back massage terhadap resiko
kejadian dekubitus pada pasien dengan stroke di Ruang HCU RSUD Mangusada.
Pengaruh Terapi Meniup Baling-Baling Terhadap Saturasi Oksigen dan
A. Latar Belakang
jaringan interstisial di alveolus yang disebabkan oleh bakteri, dengan tanda dan
gejalanya seperti demam tinggi, batuk berdahak, frekuensi napas cepat > 50
x/menit, sesak napas, sakit kepala, gelisah, nafsu makan berkurang (Ihsaniah,
2019). Insiden pneumonia pada anak kurang dari lima tahun di Negara
berkembang lebih tinggi bila dibandingkan dengan Negara maju, yaitu sebesar
10-20 kasus/100 anak dalam setahun sehingga menyebabkan lebih dari 5 juta
prevalensi pneumonia dari 1,6% pada tahun 2013 menjadi 2% pada tahun 2018
dari populasi balita yang ada diIndonesia pada tahun 2018. Selama beberapa
Capaian pada tahun 2015 hanya sebesar 14,64 % dari yang ditargetkan sebesar
20 % pada seluruh kabupaten dan kota yang ada (Apriliza & Zulaikha, 2018).
Pneumonia ditandai dengan distress pernapasan. Distress pernapasan
nafas cepat. Bila upaya ini tidak terkompensasi, berdampak pada status gangguan
oksigenasi dari ringan hingga berat serta menimbulkan kegawatan (Muliasari &
Indrawati, 2018).
yaitu : Penemuan kasus pneumonia dilakukan secara aktif dan pasif, peningkatan
peran serta masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia balita dan
pernafasan pada anak dengan pneumonia adalah dengan cara farmakologi dan
2019).