Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Santrock (2012), masa dewasa madya adalah masa yang dimulai

ketika seorang memasuki usia 40-45 tahun hingga 60-65 tahun. Menurut seorang ahli

life span, Gilbert Brim (1992) dalam Santrock (2012) menyatakan bahwa middle

adulthood atau dewasa madya adalah masa yang penuh perubahan dan konflik. Masa

dewasa madya disebutkan sebagai sebuah masa yang unik karena terjadinya loss and

gain balance pada masa tersebut. Losses and gains terjadi seimbang baik pada aspek

biologis maupun sosiokultural, seperti pendidikan, karier, dan relationship (Willis &

Schaie, 2005 dalam Santrock, 2012).

Memasuki usia dewasa madya, ada banyak perubahan yang dialami oleh

seseorang. Menurut Santrock (2012), pada usia dewasa madya, seseorang akan

mengalami perubahan fisik dan perubahan kognitif. Perubahan fisik yang kentara

misalnya kulit yang tidak lagi sekencang dulu dan rambut yang mulai memutih.

Beberapa di antaranya mengalami gangguan penglihatan jarak dekat dan mulai

kesulitan mendengar suara yang low pitched. Jumlah kematian pada dewasa madya

meningkat karena penyakit kronis mulai bermunculan, seperti kanker atau serangan

jantung. Untuk seksualitas, wanita mulai mengalami menopause dan perubahan

hormonal pada pria bisa mengarah pada erectile dysfunction. Sementara itu,

1 Universitas Kristen Maranatha


2

perubahan kognitif pada dewasa madya mencakup adanya penurunan pada memori

dan intelektual.

Perubahan pada aspek sosial juga muncul pada seseorang ketika memasuki

masa dewasa madya. Misalnya saja, perhatian dewasa madya mulai terbagi dua, yaitu

kepada anaknya yang semakin besar dan kepada orang tuanya yang semakin tua. Usia

dewasa madya biasanya sudah mulai menyesuaikan diri dengan melepas anaknya

yang berkuliah atau yang sudah menikah dan mulai membagi waktu untuk mengurus

orangtua yang sakit. Dalam pekerjaan, dewasa madya sudah berada dalam posisi

puncak dan mendapatkan karier yang memuaskan. Mereka juga dihadapkan pada

situasi-situasi seperti memersiapkan keadaan finansial untuk biaya kuliah anak, atau

bersiap memasuki masa pensiun.

Dewasa madya juga mulai dihadapkan pada pencarian makna hidup atau

meaning in life. Viktor Frankl (1984) dalam bukunya Man’s Search of Meaning

mengatakan bahwa dengan menyadari keterbatasan eksistensi seseorang sebagai

manusia dan kesadaran akan adanya kematian memberikan suatu makna bagi hidup.

Frankl (1984) juga menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga most distinct qualities

yaitu spirituality, freedom, dan responsibility. Melalui spiritualitas, seseorang dapat

memertanyakan mengapa ia ada di dunia ini, apa yang diinginkan, dan apa makna

hidupnya. Memasuki usia dewasa madya, banyak individu yang mulai mengevaluasi

apa yang dipertanyakan Frankl dalam bukunya tersebut (Cohen, 2009 dalam

Santrock, 2012).

Koenig (2002) mengatakan bahwa seiring dengan semakin menuanya usia,

akan sangat mungkin bagi seseorang untuk kehilangan tujuan dan identitasnya,

padahal dewasa madya juga sedang dihadapkan pada proses pencarian meaning in life

atau makna hidup. Itu sebabnya, dewasa madya mulai mengembangkan kehidupan

Universitas Kristen Maranatha


3

spiritualitas. Jung (1964 dalam Wink & Dillon, 2002) mengatakan bahwa memasuki

usia midlife, individu cenderung mulai mengeksplorasi aspek spiritual dari dalam diri

mereka. Sebelumnya, individu lebih sibuk mengurus hal lain seperti mengembangkan

karier atau mengurus keluarga. Spiritualitas sendiri adalah produk dari maturational

process yang muncul dalam adult life (Alexander et al. 1990; Sinnott, 1994).

Spiritualitas akan muncul dan dikembangkan oleh seseorang untuk menciptakan

spiritual well-being.

Spiritual well-being menurut Canda (1988 dalam Velasco-Gonzalez & Rioux,

2013) adalah pencarian seseorang terhadap makna personal dan hubungan yang saling

melengkapi dengan orang lain, lingkungan non-human, dan Tuhan. Spiritual well-

being merujuk pada suatu keadaan dan perasaan yang positif, terhadap perilaku dan

kognisi, terhadap hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, dan terhadap dimensi

transenden. Keberadaan spiritual well-being melahirkan sense of identity pada diri

seseorang, integritas, kepuasan, keindahan, cinta, rasa hormat, sikap positif, inner

peace dan harmoni, serta target dan tujuan dalam hidup.

Menurut Gomez dan Fisher (2003), spiritual well-being memiliki empat

domain. Pertama, domain personal, menjelaskan tentang hubungan seseorang dengan

dirinya sendiri terkait tujuan dan nilai hidup. Kedua, domain communal, yaitu kualitas

dan kedalaman hubungan seseorang dengan orang lain terkait moral, kultur, dan

agama. Ketiga, domain environmental, yaitu kepedulian dan kepekaan terhadap

lingkungan. Terakhir, domain transcendental, yaitu hubungan diri dengan sesuatu

yang bersifat lebih tinggi, transenden, atau Tuhan.

Mengingat bahwa dewasa madya mengalami perubahan-perubahan besar

dalam hidup seperti pensiun, the empty nest, perkembangan atau penurunan dalam

karier, dan masalah kesehatan yang mulai muncul, maka spiritual well-being menjadi

Universitas Kristen Maranatha


4

penting bagi dewasa madya. Spiritual well-being bisa menjadi penopang seseorang

dalam menghadapi traumatic stress akibat traumatic stressor (Lee & Waters, 2003,

dalam Bonet 2009). Oleh karena itu, adanya spiritual well-being pada dewasa madya

berguna untuk menghadapi perubahan-perubahan besar dalam hidup yang mulai

dialami. Dengan spiritual well-being, seseorang menyadari bahwa meskipun mereka

memiliki masalah, stressors, dan tantangan, mereka tetap tidak akan terpengaruh oleh

situasi.

Individu yang memiliki spiritual well-being tidak akan bingung mengenai

tujuan hidupnya, sehingga kehidupan kesehariannya pun akan lebih tertata dan

memiliki maksud yang jelas. Individu akan memperhatikan kesehatan tubuhnya

karena menyadari bahwa kesehatan merupakan sebuah karunia yang harus dijaga.

Spiritual well-being membuat seseorang berusaha membina hubungan yang baik

dengan keluarga, tetangga, bahkan masyarakat luas, misalnya saja, seseorang tidak

akan ragu untuk menolong tetangganya jika terjadi sesuatu. Spiritual well-being yang

dimiliki seseorang mendorongnya untuk menjaga lingkungan sekitar, contohnya

seperti menjaga kebersihan di lingkungan rumah atau membiasakan diri tidak

membuang sampah sembarangan karena menyadari bahwa dampaknya akan buruk

bagi lingkungan. Kemudian, seseorang yang memiliki spiritual well-being akan

merasa kecil dalam artian ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar darinya

dalam kehidupan ini. Hal tersebut akan tercermin dengan menunjukkan ketaatan

beribadah jika seseorang itu memeluk suatu agama tertentu. Spiritual well-being

membantu seseorang untuk menumbuhkan rasa syukur, rasa cinta, memaafkan, dan

menghilangkan rasa takut akan kematian.

Sebelumnya, S melakukan wawancara dengan lima orang dewasa madya. 60%

di antaranya adalah perempuan, sementara 40% laki-laki. Sebanyak 80% menyatakan

Universitas Kristen Maranatha


5

bahwa memasuki usia dewasa madya, mereka memiliki lebih banyak waktu luang

bagi diri sendiri, karena anak-anak sudah besar dan sudah sibuk dengan urusan

masing-masing. Satu orang dewasa madya perempuan (20%) memiliki anak yang

sudah menikah, sementara 40% lainnya memiliki anak yang masih berkuliah. Dengan

kebebasan waktu yang dimiliki, individu dewasa madya bisa melakukan kegiatan lain

yang sebelumnya jarang dilakukan. Misalnya, bisa menjalankan hobi membaca buku

atau bersepeda, juga lebih bebas untuk melakukan pertemuan dengan teman-teman

lama guna melakukan kegiatan bersama, dapat kembali aktif untuk reuni sebagai

kegiatan yang berguna terutama untuk menjalankan silaturahmi dan memeroleh

informasi tentang keadaan teman-teman lainnya, misalnya sakit dan membutuhkan

biaya yang banyak untuk berobat. Biasanya jika ada teman yang kesusahan, akan

berinisiatif mengumpulkan uang untuk membantu. Selain itu, kegiatan yang tidak

kalah intensnya yang dilakukan adalah beribadah dan belajar lebih banyak tentang

agama, sebagai bekal dalam menjalani hidup yang sudah tidak muda lagi.

Sebelumnya, dewasa madya ini mengakui lebih fokus kepada urusan rumah tangga,

pekerjaan, dan anak-anak.

Berbeda dari yang lainnya, satu orang dewasa madya perempuan (20%) masih

memiliki anak usia SD dan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Dinyatakan

bahwa kehidupan sehari-harinya masih berfokus pada anak karena anaknya masih

kecil dan masih perlu pengawasan. Waktu untuk diri sendiri memang ada, namun

tidak banyak. Waktu yang sedikit itu dimanfaatkan untuk bertemu dengan teman-

teman, selebihnya anak menunggu di rumah, meskipun terkadang merasa tidak tenang

karena tidak biasa. Menurutnya, cukup sulit mencari waktu untuk memelajari tentang

agama dan mengurus hal lain selain urusan rumah tangga dan anak, sementara teman-

Universitas Kristen Maranatha


6

teman seusianya sudah banyak yang mulai mendalami agama, misalnya dengan cara

mendengarkan kajian di tempat ibadah.

Pola perkembangan spiritualitas itu bervariasi berdasarkan gender dan cohort

(Wink & Dillon, 2002). Perempuan akan concern pada isu spiritualitas lebih cepat

dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan akan lebih fokus pada relationships,

feelings, dan memahami orang lain, sementara itu laki-laki akan lebih fokus pada

objektivitas moral dan memisahkan perasaan personal mereka dalam berbagai macam

situasi (Rich, 2012). Pada awalnya, Kellums (1995, dalam Hammermeister et. al.,

2001) melakukan penelitian tentang perbedaan spiritual well-being pada mahasiswa

laki-laki dan perempuan dan mendapatkan hasil bahwa efek gender sangat kecil.

Namun, Hammermeister et al. (2001) melakukan penelitian lebih lanjut mengenai

perbedaan spiritual well-being pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dari

penelitian tersebut didapatkan bahwa spiritual well-being pada perempuan lebih

tinggi daripada pada laki-laki pada rata-rata usia 23 bagi mahasiswa laki-laki dan 22

bagi perempuan. Kedua penelitian di atas menggunakan Spiritual Well-Being Scale

yang disusun oleh Ellison (1991). Hasil dari penelitian Hammermeister et. al. (2001)

sejalan dengan isu religiusitas dimana kecenderungan religiusitas yang lebih tinggi

terdapat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Koenig et. al., 1988 dalam

Hammermeister et. al., 2001). Penemuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa

mahasiswa dengan gender laki-laki harus lebih memperhatikan kembali spiritual well-

being-nya, karena spiritual well-being memiliki hubungan langsung dengan kesehatan

dan bagaimana seseorang coping dari berbagai macam stressor yang muncul dalam

kehidupan sehari-hari. Meningkatkan spiritual well-being dapat dilakukan dengan

bantuan ahli melalui intervensi.

Universitas Kristen Maranatha


7

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa dilakukan penelitian yang

membedakan spiritual well-being pada laki-laki dan perempuan. Pertama adalah

karena spiritual well-being adalah area yang jarang disentuh, berbeda dengan

religiusitas yang sudah diteliti berkali-kali dan umumnya memiliki hasil yang sama,

yaitu religiusitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Partisipasi

perempuan dalam kegiatan keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki

menjadi batu loncatan bagi perempuan untuk menumbuhkan spiritualitas (Burke,

1999 dalam Bryant, 2007). Kedua adalah perkembangan laki-laki dan perempuan

pada dasarnya berbeda, ditinjau dari moral reasoning, cara-cara dalam mengetahui

sesuatu, gaya attachment, emosi, dan pembentukan identitas (Bryant, 2007). Ketiga

adalah adanya pola perkembangan spiritual yang berbeda antara laki-laki dan

perempuan. Ochs (1983, dalam Bryant, 2007) mengatakan bahwa spiritualitas pada

laki-laki dianggap sebagai sebuah proses pendewasaan yang berupa individuation,

sementara spiritualitas pada perempuan berupa nurturing in a relationship. Randour

(1987 dalam Bryant, 2007) kemudian menyatakan bahwa bukan berarti laki-laki tidak

memiliki fokus terhadap relationship, hanya saja bentuknya berbeda dari perempuan.

Laki-laki berhubungan dengan lingkungan sosialnya dengan menggunakan moral,

sementara perempuan lebih pada sensitivitas, kepedulian, dan rasa tanggung jawab.

Hal tersebut membuat spiritualitas antara laki-laki dan perempuan memiliki

keunikannya masing-masing.

Melihat keadaannya di Indonesia, khususnya di kota Bandung, memasuki usia

dewasa madya perempuan memang terlihat lebih aktif dibandingkan laki-laki dalam

hal agama dan Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari perempuan yang lebih aktif

mengikuti kajian keagamaan di tempat ibadah untuk membenahi diri agar bisa

menjadi individu yang lebih baik lagi dibandingkan sebelumnya. Misalnya, jumlah

Universitas Kristen Maranatha


8

jemaat yang menghadiri pengajian di Mesjid selalu lebih banyak perempuan

dibandingkan laki-laki, padahal dalam agama Islam yang menjadi agama mayoritas di

Indonesia, laki-laki dipandang sebagai imam sehingga selain bertanggung jawab

dalam hal nafkah juga bertanggung jawab untuk mengajak keluarganya untuk

beribadah. Bukan berarti dewasa madya laki-laki tidak memiliki concern dengan

kehidupan keagamaan mereka, namun pada prakteknya di dalam kehidupan sehari-

hari, perbedaannya jelas terlihat antara dewasa madya laki-laki dan perempuan,

dimana perempuan lebih konkrit dalam pengekspresian spiritualnya. Peneliti

berasumsi bahwa fenomena ini bisa mengarah pada lebih rendahnya spiritual well-

being dewasa madya laki-laki dibandingkan dengan spiritual well-being pada dewasa

madya perempuan.

Melalui paparan di atas dapat dilihat bahwa spiritual well-being adalah

komponen penting bagi dewasa madya dalam menjalani kehidupan dan menghadapi

permasalahan yang muncul. Dengan mengetahui perbedaan spiritual well-being pada

dewasa madya laki-laki dan perempuan maka akan menjadi informasi bagi dewasa

madya dan dapat dijadikan bahan evaluasi diri dalam upaya meningkatkan spiritual

well-being masing-masing.

Dengan ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai

perbedaan derajat spiritual well-being antara dewasa madya laki-laki dan perempuan

di kota Bandung.

Universitas Kristen Maranatha


9

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui apakah terdapat perbedaan spiritual well-

being antara dewasa madya laki-laki dan dewasa madya perempuan di Bandung.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui spiritual well-being pada

dewasa madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan spiritual well-

being antara dewasa madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung serta empat

domain spiritual well-being yaitu personal, communal, environmental, dan

transcendental

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

 Memberikan informasi bagi ilmu psikologi yaitu ranah psikologi klinis

psikologi perkembangan, dan psikologi positif, khususnya perbedaan

Universitas Kristen Maranatha


10

spiritual well-being pada dewasa madya laki-laki dan perempuan,

termasuk perbedaan yang ditinjau dari empat domain spiritual well-

being.

 Memerkaya penelitian spiritual well-being yang masih terbatas pada

beberapa sampel, terutama di Indonesia.

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan mengenai spiritual well-being.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada dewasa madya mengenai spiritual well-

being dan manfaatnya dalam keseharian, serta perbedaannya pada

dewasa madya laki-laki dan perempuan. Diharapkan mereka dapat

menggunakan informasi ini untuk meningkatkan atau mempertahankan

kualitas pada domain-domain spiritual well-being berdasarkan evaluasi

diri masing-masing dengan tujuan meningkatkan spiritual well-being.

1.5. Kerangka Pikir

Masa dewasa madya adalah masa yang dimulai ketika seorang memasuki usia 40-45

tahun hingga 60-65 tahun. Memasuki masa dewasa madya, seseorang akan mengalami

midlife crisis. Brim (1976 dalam Santrock, 2012) mengkarakterisasikan midlife crisis sebagai

suatu “dislokasi” atau perubahan pada kepribadian dasar, perilaku yang termanifestasi dan

sense of identity. Midlife crisis dapat muncul dari berbagai perubahan yang dialami ketika

Universitas Kristen Maranatha


11

seseorang memasuki masa dewasa madya. Perubahan-perubahan tersebut seperti perubahan

dalam karier, persiapan pensiun, memasuki masa pensiun, atau yang terkait dengan keluarga

seperti the empty nest, yaitu ketika suami dan istri kembali tinggal berdua karena anak-anak

sudah menikah atau pergi meninggalkan rumah, misalnya untuk kuliah. Perubahan fisik dan

masalah kesehatan yang mulai muncul adalah seperti ulit mulai keriput, rambut mulai

memutih, dan tubuh pun tidak lagi sebugar dulu, gangguan penglihatan jarak dekat dapat

muncul dan mulai kesulitan mendengar suara yang low pitched. Selain itu, mortality rates

yang meningkat, terutama di kalangan rekan-rekan sebaya, membuat dewasa madya

menyadari bahwa mereka mulai tua dan sebentar lagi akan meninggal.

Kesadaran terhadap keterbatasan atas eksistensi seseorang sebagai manusia akan

mendorong seseorang untuk mencari meaning in life atau makna hidup (Frankl, 1984 dalam

Santrock, 2012). Dewasa madya mulai mengevaluasi apa makna hidupnya. Ketika

dihadapkan dengan midlife crisis yang berasal dari berbagai macam aspek kehidupan,

menjadi mungkin bagi dewasa madya untuk kehilangan atau kebingungan terhadap tujuan

dan makna hidupnya. Untuk mengatasinya, dewasa madya mulai mengalihkan diri pada

spiritualitas. Jung (1964 dalam Wink & Dillon, 2012) mengatakan bahwa memasuki usia

midlife, individu cenderung mulai mengeksplorasi aspek spiritual dari dalam diri mereka.

Spiritualitas membantu seseorang untuk menemukan makna hidupnya, mengetahui tujuan-

tujuannya dalam hidup, sekaligus juga menjadi sebuah coping dari berbagai macam krisis

yang dialami dalam keseharian.

Spiritualitas adalah aspek yang memberi kekuatan dan juga memberikan pengaruh

pada individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas adalah hakikat mengenai siapa dan

bagaimana manusia hidup di dunia dan amat penting bagi manusia dan mencakup aspek non

fisik dari keberadaan manusia (Young and Koopsen, 2005). Spiritualitas bisa diekspresikan

dengan melakukan yoga sebagai meditasi, atau pergi ke alam terbuka untuk mendapatkan

Universitas Kristen Maranatha


12

ketenangan dan melakukan introspeksi. Selain itu, ekspresi energi spiritual seseorang

terhadap orang lain ditunjukkan dengan mencintai hubungan dengan orang lain, melayani

orang lain, kegembiraan, tertawa, keterlibatan dalam pelayanan keagamaan, menjalani

persahabatan dan aktivitas bersama dengan orang lain, menumbuhkan rasa haru, empati,

forgiveness, dan hope (Kozier et al, 2004 dalam Young & Koopsen, 2005). Hal tersebut

dilakukan oleh seseorang untuk menciptakan spiritual well-being.

Spiritual well-being, menurut Canda (1988 dalam Velasco-Gonzalez & Rioux, 2013)

adalah pencarian seseorang terhadap makna personal dan hubungan yang saling melengkapi

dengan orang lain, lingkungan non-human, dan untuk Tuhan. Menurut Gomez dan Fisher

(2003), spiritual well-being memiliki empat domain. Pertama, domain personal, menjelaskan

tentang hubungan seseorang dengan dirinya sendiri terkait tujuan dan nilai hidup. Pada

domain ini, seseorang akan berusaha mengetahui siapa dirinya, memiliki kesadaran terhadap

keadaan diri dan memelihara dirinya sendiri. Seseorang akan mulai olahraga atau melakukan

diet agar menjaga penampilan tubuhnya, terutama pada perempuan. Pada laki-laki,

pengekspresian domain ini misalnya mencoba mengeksplorasi kemampuan diri di dalam

suatu bidang. Munculnya berbagai macam penyakit memasuki usia dewasa madya juga

mendorong seseorang untuk lebih memperhatikan kesehatannya karena muncul kesadaran

bahwa kesehatan itu aspek penting dalam kehidupan. Selain itu, seseorang akan berusaha

untuk menemukan tujuan dan makna hidupnya, mendapatkan kesenangan dalam hidup dan

memiliki ketenangan jiwa, meskipun hidupnya tidak terlepas dari permasalahan.

Kedua, domain communal, yaitu kualitas dan kedalaman hubungan seseorang dengan

orang lain terkait moral, kultur, dan agama. Domain ini merujuk pada kualitas hubungan

interpersonal seseorang, seperti friendship, cinta, dan faith in humanity. Melalui domain ini,

seseorang akan menumbuhkan altruism dan forgiveness terhadap sesama, membina hubungan

baik dengan orang lain, atau melakukan reuni agar hubungan tetap terjaga. Pada perempuan,

Universitas Kristen Maranatha


13

domain communal dapat dengan jelas terlihat dari perilaku menyayangi orang lain, karena

perempuan pada dasarnya lebih emosional daripada laki-laki. Laki-laki menunjukkan aspek

ini dengan melakukan kegiatan yang bersifat membantu kepada sesama. Hal ini juga berlaku

pada hubungan di dalam keluarga. Seorang suami akan menumbuhkan rasa cinta terhadap

istrinya dan mengekspresikannya agar terjadi keharmonisan rumah tangga. Sebuah keluarga

berusaha berkomunikasi dengan baik satu sama lain agar terjadi rasa saling mengerti antar

anggota keluarga sekaligus juga menghindari kesalahpahaman yang akan memicu

pertengkaran.

Ketiga, domain environmental, yaitu kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan.

Seseorang akan menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungannya. Ia juga akan memiliki

koneksi dengan alam, merasa kagum dengan pemandangan alam yang indah, memiliki rasa

bahwa ia juga merupakan bagian dari alam, merasakan adanya harmoni dengan lingkungan

sekitar dan merasa bahwa lingkungan alam merupakan sesuatu yang “magis”. Ada kesadaran

bahwa lingkungan adalah sesuatu yang harus dijaga, sama halnya seperti menjaga diri sendiri.

Dalam perilaku, seseorang akan mematikan lampu yang tidak dibutuhkan untuk menghemat

energi. Dalam bentuk lain, seseorang mungkin akan turut serta dalam sebuah gerakan atau

lembaga untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Misalnya mengikuti organisasi

WWF yang aktif melindungi hewan-hewan yang terancam punah atau aktif dalam gerakan

pencegahan global warming. Untuk aspek ini, tindakan yang lebih aktif seperti melakukan

kegiatan langsung mungkin akan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki dibandingkan oleh

perempuan.

Terakhir, domain transcendental, yaitu hubungan diri dengan sesuatu yang bersifat

lebih tinggi, transenden, atau Tuhan. Aspek ini adalah aspek yang religius dari spiritual well-

being. Bisa ditunjukkan oleh seseorang dengan mendekatkan diri pada Tuhan, mempelajari

agama, dan menjalankan praktek agama yang diwajibkan seperti misalnya solat lima waktu

Universitas Kristen Maranatha


14

untuk agama Islam atau mengikuti Ibadah Minggu untuk agama Kristen. Terlepas dari

agama, seseorang juga akan merasa bahwa dirinya kecil, sehingga tidak pantas untuk

menyombongkan diri di dunia karena menyadari bahwa terdapat suatu zat yang lebih tinggi

yang mengatur kehidupan di dunia. Seseorang juga akan membaca buku terkait agama,

spiritual, atau melakukan sharing dengan teman-teman terkait dengan spiritual experience

yang pernah dialami. Dilihat dari perbedaan gender, perempuan akan lebih fokus pada

keterikatan emosional terhadap Tuhan, sementara laki-laki akan fokus terhadap judgment,

terutama ketika aspek ini berkaitan dengan agama atau Tuhan.

Hammermeister et al. (2001) melakukan penelitian mengenai perbedaan spiritual

well-being pada laki-laki dan perempuan. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa spiritual

well-being pada perempuan lebih tinggi daripada pada laki-laki. Sementara itu, penelitian

terhadap spiritual well-being sendiri masih sedikit terkait dengan perbedaan pada gender,

terutama di Indonesia.

Berdasarkan paparan diatas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan

antara spiritual well-being pada dewasa madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

Universitas Kristen Maranatha


15

Guna memperjelas uraian diatas, kerangka pemikiran dalam penelitian ini

digambarkan sebagai berikut :

Perempuan Dewasa
Madya di kota Terdapat
Bandung perbedaan

Spiritual Well-Being

Tidak
Laki-laki Dewasa terdapat
Madya di kota perbedaan
Bandung Domain-domain spiritual
well-being:

- Personal
- Communal
- Environmental
- Transcedental

1.1.Bagan Kerangka Pikir

Universitas Kristen Maranatha


16

1.6. Asumsi

1. Spiritual well-being akan muncul dan berkembang pada masa dewasa madya.

2. Terdapat perbedaan spiritual well-being pada dewasa madya laki-laki dan

perempuan

3. Adanya perbedaan spiritual well-being dari dewasa madya laki-laki dan

perempuan mengasumsikan bahwa ada pengaruh gender pada spiritual well-being

4. Dilihat dari penelitian sebelumnya, spiritual well-being diasumsikan akan lebih

tinggi pada dewasa madya perempuan dibandingkan pada dewasa madya laki-laki.

1.7. Hipotesis

 Terdapat perbedaan spiritual well-being pada dewasa madya laki-laki dan

perempuan di kota Bandung.

- Terdapat perbedaan spiritual well-being domain personal pada dewasa madya

laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

- Terdapat perbedaan spiritual well-being domain communal pada dewasa

madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

- Terdapat perbedaan spiritual well-being domain environmental pada dewasa

madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

- Terdapat perbedaan spiritual well-being domain transcendental pada dewasa

madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.

Universitas Kristen Maranatha

Anda mungkin juga menyukai