Anda di halaman 1dari 8

Nama : Israwati Isini

Jurusan : Perbankan Syari’ah (A)

NIM : 204022031

Tugas : Resume Mata Kuliah Islam Dan Budaya Lokal

BAB 1

ISLAM: AGAMA DAN BUDAYA

A. Budaya dan Agama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata budaya diartikan dengan akal budi, hasil,
adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), dan sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Berbudaya berarti mempunyai pikiran, dan akal
yang sudah maju.

Dilihat dari asal katanya, term budaya berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang
berarti budi atau akal. Term buddhayah memiliki dua makna. Pertama, plural yang berarti banyak
budaya. Kedua, majemuk, yaitu terdiri atas dua kata, budi dan daya.

Menurut Zakiah Daradjat (w. 2013 M), agama adalah yang dirasakan dengan hati, pikiran dan
dilaksanakan dengan tindakan serta membentuk dalam sikap dan cara menghadapi hidup pada
umumnya. Sedangkan menurut Sosiolog Emile Durkheim (w. 2017 M) agama adalah suatu kesatuan
sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap suatu yang sakral, yaitu yang lain daripada yang lain.

Harun Nasution (w. 1998 M) telah mengumpilkan delapan macam definisi agama yaitu:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi;
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada di luar diri manusia dan yang memengaruhi perbuatan-perbuatan manusia;
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib;
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu
kekuatan gaib;
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat alam dalam sekitar manusia;
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
B. Islam Sebagai Agama dan Budaya

Islam didefinisikan sebagai agama yang ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat
manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai Rasul. Ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar
dan non dasar. Ajaran dasar adalah ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an dan as-sunnah
mutawatir yang diyakini datang dari Allah dan Rasul-Nya. Sedanngkan ajaran non dasar ialah
ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi, atau pemikiran ulama yang
menjelaskan tentang ajaran dasar selalu bersifat absolut, abdi dan tidak berubah.

Dalam terminologi Syafiq Hasyim (lahir 1971 M), ajaran dasar tersebut adalah agama, sedangkan
ajaran non dasar adalah pemikiran agama dan atau pemikiran keagamaan.

C. Islam Normatif dan Islam Historis


1. Islam Normatif

Terminologi Islam normatif merupakan kategori pametaan atas ajaran Islam. Islam
normatif merujuk kepada ajaran Islam yang diwahyukan Allah Swt. Kepada umat manusia
melalui Nabi Muhammad Saw. Sebagai Rasul sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an dan as-
sunnah. Ajaran Islam normatif tersebut adalah ajaran dasar yang terdiri atas tiga aspek yaitu
tauhid, ibadah dan akhlak.Tauhid artinya mengesakan Allah.

2. Islam Historis

Islam historis artinya Islam yang menyejarah. Historry sendiri memounyai pengertian
sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi, yang terikat oleh ruang dan waktu. Itu berarti,
Islam historis adalah Islam yang benar-benar terjadi, benar-benar diamalkan oleh manusia atau
masyarakat, terikat dengan konteks ruang dan waktu, kapan dan dimana Islam diamalkan oleh
manusia atau masyarakat tersebut.

Di Gorontalo sendiri umumnya dilakukan dalam dua bentuk yang diistilahkan dengan
“nasional”. Yang dimaksud nasional adalah perayaan atau peringatan maulid Nabi Saw. Yang
pelaksanaannya diisi dengan ceramah agama tentang kelahiran Nabi Saw., perjuangan beliau
dalam menegakkan Islam, dan pengungkapan akhlak beliau yang mulia sebagai teladan
(uswah) bagi umat Islam.
BAB 2
RELASI AGAMA DAN BUDAYA

A. Relasi Agama dan Budaya

Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Agama adalah wahyu Tuhan yang
berisi petunjuk hidup (dunia) dan kehidupan (akhirat) kepada manusia terkait dengan
teologi, akhlak dan ibadah. Sedangkan budaya adalah kreasi manusia secara intelektual
terkait dengan kehidupan sosial, ekonomi, politik ilmu pengetahuan dan seni.

B. Perbedaan dan Karakteristik Agama dan Budaya

Agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda. Membedakan keduanya penting
agar kita tidak menjadikan budaya sebagai agama atau sama kedudukannya dengan agama.
Tidak juga menjadikan agama sebagai budaya, karena agama bukaan ciptaan manusia
melainkan wahyu Tuhan. Yang tak kalah penting adalah agar kita tidak menghakimi
kreasi budaya dan inovasi kultural sebagai penyimpangan agama.

C. Landasan Teologis dan Normatif


1. Landasan Teologis

Relasi agama dan budaya, secara teologis dapat ditemukn dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Sedangkan secara normatif, terdapat sejumlah norma dan kaidah yang dirujuk ulama
dalam melihat budaya.

2. Landasan Normatif

Secara normatif, terdapat norma dan kaidah yang menjadi pedoman ulama dalam
mengapresiasi budaya. Norma dan kaidah yang dimaksud adalah al-‘urf dan al-‘adatu al-
muhakkamah. Secara etimologis, ‘urf berarti sesuatu yang dikrtahui. Kata ‘urf sinonim
dengan kata ‘adah (adat), yang berarti kebiasaan atau praktik.

Ibnu ‘Abidin (w. 1252 H) juga menjelaskan tiga kriteria ‘urf yang dapat
dipertimbangkan sebagai dalilsyari’i:

1. ‘Urf tersebut merupakan ‘urf yang bersifat umum (‘urf’am), dan bukan ‘urf
khusus (‘urf khash) yang hanya berlaku didaerah tertentu saja.
2. ‘Urf tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang lain. Apabila ‘urf bertentangan
apalagi menyalahi dalil syara’ dan menyalahinya dari segala segi, maka ‘urf
tersebut harus ditolak dan tidak dijadikan sebagai dalil tasyri’ dalam pembentukan
dan penetapan hukum.
3. ‘Urf itu masih berlaku di masyarakat ketika diberlakukan hukum atas kasus atau
persoalan yang ada. Itu berarti, keberadaan ‘urf itu telah ada dan merupakan
kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan masih terus berlaku ketika terjadi
pembentukan dan penetapan hukun atas suatu kasus.
Kaidah al-‘adatu al-muhakkamah menunjukkan bahwa adat atau kebiasan dapat dijadikan
patokan hukum selama memenuhi syarat. Rachmat Syafe’i menyebut enam syarat, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan syariat.


b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan.
c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
d. Tidak berlaku pada ibadah mahdhah (ritual murni).
e. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
f. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.

Sementara ‘Abdul Karim Zaydan menyebutkan empat syarat, yaitu:

a. Tidak bertentangan dengan salah satu nash syariat. Itu berarti adat yang dijadikan patokan
hukum adalah adat yang tidak bertentangan dengan teks syariat.
b. Berlaku dan atau diberlakukan secara umum dan konstan. Yang dimaksud dengan umum
adalah adat tersebut dilakukan oleh kalangan mayoritas. Sedangkan yang dimaksud dengan
konstan (iththirad) adalah adat tersebut bersifat umum dan tidak beruabah-rubah dari waktu ke
waktu.
c. Sudah terbentuk bersamaan dengan saat pelaksanaannya.
d. Tidak terdapat ucapan atau perbuatan yang berlawanan dengan nilai substansial yang
dikandung oleh adat. Jika menurut adat pelemparan alat tukar (tsaman) dalam transaksi
dipandang sebagai tanda bukti pembayaran tanda bukti pembayaran tanpa melalui media
ucapan adalah bentuk persetujuan transaksi, maka bentuk transaksi demikian adalah
dipandang sah.
BAB 3
INTERAKSI ISLAM DENGAN BUDAYA ARAB PRA ISLAM

A. Ritus-Ritus Peribadatan

Islam yang dibawa dan didakwahkan Nabi Saw. Bukan dalam ruang yang hampa budaya.
Telah hidup dan berkembang sejumlah tradisi bangsa Arab Pra-Islam baik terkait dengan sistem
kepercayaan, ritual-sistem peribadatan, interaksi sosial, ekonomi dan bahkan tatanan politik.

B. Sistem Perkawinan
1. Bentuk Perkawinan

Sebelum Islam datang, bangsa Arab Pra Islam telah melakukan perkawinan. Perkawinan
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Ada yang menikah dengan maksud memperoleh
keturunan. Wanita dilamar melalui walinya dan dibayarkan maharnya.

2. Relasi Suami-Istri

Bentuk-bentuk perkawinan pra Islam diatas sebetulnya merupakan bentuk implementatif dari
konsep kepemilikan (tamalluk) dalam perkawinan. Posisi perempuan dalam tradisi perkawinan bangsa
Arab sebelum Islam sangat tidak adil, subordinatif dan zalim.

3. Poligami

Tradisi poligami bangsa Arab pra Islam adalah menikahi lebih dari suatu wanita secara
sewenang-wenang dan tanpa batas. Yang membatasinya hanya pertimbangan ekonomi saja. Islam
datang tidak menghapus poligami, melainkan membatasinya tidak lebih dari empat istri, dengan syarat
brlaku adil.

4. Perceraian

Menurut Hammudah ‘Abd. Al-‘Ati (w. 1976 M) bangsa Arab pra Islam tidak mengenal
perceraian. Menurut Haifa A. Jawad, perceraian tetap ada, hanya saja sepenuhnya tergantung pada
kemampuan suami yang telah membeli istrinya.

5. Mahar

Kelima bentuk perkawinan bangsa Arab pra Islam di atas ada maharnya, kecuali perkawinan al-
syighar. Karena konsep perkawinan adalah kepemilikkan (tamalluk), maka mahar dimaknai sebagai
media untuk membeli wanita.

6. Hak Perwalian

Pada zaman jahiliah atau pra Islam, hak perwalian ada pada ayah. Jika ayah sudah meninggal
dunia, maka perwalian beralih kepada saudara laki-laki. Dengan demikian, yang berhak menikahkan
anak perempuannya adalah ayah atau saudara laki-laki.
C. Sistem Ekonomi dan Hukum
1. Sistem Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat Arab pra Islam adalah perdagangan dan pertanian. Masyarakat
yang tinggal di pedalaman menjalani kehidupan ekonominya melalui sektor pertanian dan peternakan.
Sedangkan kehidupan ekonomi masyarakat kota bertumpuk pada perdagangan.

2. Sistem Hukum

Dalam bidang hukum terutama hal pelanggaran hukum pidana, seperti sanksi atas pelaku
pembunuhan, masyarakat Arab pra Islam menerapkan hukum qishash dan diyat. Secara bahasa kata
qishash berarti mengikuti jejak. Menurut Wahbah al-Zulhaili (w. 2015 M), kata qishash digunakan
untuk menunjukkan arti hukuman, karena orang yang menuntut qishash mengikuti jejak kejahatan
pelaku kejahatan, lalu membalasnya dengan melukainya misalnya.
BAB 4

KONSEP-KONSEP INKLUSIF TERHADAP BUDAYA

A. Syar’u Man Qablana

Secara bahasa syar’u man qablana berarti syariat orang-orang sebelum kita. Dalam perspektif
Ushul Fiqih, syar’u man qablana dimaknai sebagai syariat-syariat yang diturunkan oleh Allah kepada
para Nabi dan Rasul sebelum datang syariat Muhammad atau syariat Islam.

B. Sunnah Taqririyah

Sunnah taqririyah dimaknai sebagai setiap ketetapan Rasulullah terhadap segala sesuatu yang
dilakukan oleh sebagian sahabat baik berupa perkataan atau perbuatan.

C. ‘Amal Ahlil Madinah

‘Amal ahlil Madinah artinya praktik masyarakat Madinah. Imam Malik (w. 179 H) menjadikan
praktik penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum dalam ijtihad.

D. Qawl Qadim dan Qawl Jadid

Qawl qadim artinya pendapat versi lama. Kebalikannya, qawl jadid yang berarti pendapat versi
baru. Pendapat siapa dan pendapat di bidang apa. Kedua pendapat tersebut (qadim dan jadid/ versi
lama dan versi baru) dinisbatkan kepada Imam al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri mazhab al-syafi’i.
BAB 5

AKOMODASI ISLAM TERHADAP BUDAYA LOKAL DI INDONESIA

A. Islam Nusantara: Islam Akomodatif Budaya Lokal

Islam Nusantara dimaknai sebagai proses penghayatan dan pengalaman lokalitas umat yang
tinggal di Nusantara. Penambahan kata “Nusantara” bukan sekedar penrgasan nama tempat atau
nomina, melainkan lebih penting, penjelasan adjektiva atau kualitas Islam “di sini” yang berbeda
dengan Islam “di sana”.

B. Akomodatif Hukum Islam atas Budaya Lokal di Indonesia


1. HartaBersama

Salah satu tradisi dan budaya lokal yang diadopsi menjadi hukum Islam di Indonesia adalah
harta bersama. Harta bersama adalah harta suami istri yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan,
baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu
terdaftar.

2. Wasiat Wajibah

Selain harta bersama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengadopsi hukum adat melalui
institusi wasiat wajibah. Praktik adopsi dalam hukum adat meniscayakan anak angkat untuk menerima
suatu bagian dari harta warisan dari orang tua melalui hadiah (hibah) yang dapat memberikan jaminan
dalam kehidupan.

C. Pola Akomodatif Islam atas Budaya Lokal

Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa Islam agama yang ramah terhadap budaya. Secara
historis-sosiologis, kehadiran Islam awal tidak langsung menolak dan mengharamkan seluruh adat,
tradisi dan kebudayaan bangsa Arab.

Anda mungkin juga menyukai