Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian ibu di Indonesia menurut departemen kesehatan tahun
2002 adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini masih jauh
dibanding dengan sasaran Indonesia sehat 2010 dimana sasaran angka
kematian ibu sebesar 150 per 100.000 (Prawirohardjo S, 2002)
Tiga Penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan, hipertensi dalam
kehamilan dan infeksi. Perdarahan menyebabkan 25% kematian ibu di dunia
berkembang dan yang paling banyak adalah perdarahan pasca salin.
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya
paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal.
Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah
melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan
disebabkan oleh perdarahan pasca salin ( Carroli G dkk, 2008)
Penanganan perdarahan pasca salin membutuhkan keahlian tersendiri dan
memerlukan kerjasama multi displin. Kegagalan untuk menilai gambaran
klinis, perkiraan kehilangan darah yang tidak adekuat, pengobatan yang
tertunda , kurangnya kerja tim multidisiplin dan kegagalan untuk mencari
bantuan adalah beberapa masalah yang penting untuk diperhatikan. Dokter
harus menyadari tindakan bedah dan waktu intervensi yang tepat serta tim
yang efektif bekerja dapat memperbaiki hasil akhir (Mukherjee S,
Arulkumaran S, 2009 )
Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit,
sehingga sering pasien yang bersalin di luar kemudian terjadi perdarahan
pasca salin terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan
umum/hemodinamiknya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi
(Winkjosastro H dkk ,2002)

1
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu
maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau
jika komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya
sarana dan perawatan sarana yang memungkinkan,penggunaan darah dengan
segera merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak.
Setiap wanita hamil, dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera
dirawat dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi
pertolongan dengan tepat. Mengingat komplikasi yang sangat fatal dapat
terjadi akibat keterlambatan penanganan perdarahan pasca salin, pengenalan
dini dan penanganan segera dan tepat terhadap adanya tanda-tanda perdarahan
pasca salin akibat atonia uteri akan menyelamatkan penderita dari kematian.
Tindakan pertama berupa perbaikan kontraksi uterus harus segera
dilakukan secara simultan dengan usaha pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya syok akibat perdarahan tersebut, dalam hal ini penting dilakukan
suatu pengawasan yang ketat terhadap tanda-tanda vital penderita dan
keseimbangan cairannya (Prawirohardjo S,2002)

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana definisi perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana etiologi perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana patofisiologi perdarahan para ibu postpartum?
Bagaimana faktor risiko perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana gejala perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana komplikasi perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana klasifikasi perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana penatalaksanaan perdarahan pada ibu postpartum?
Bagaimana pathway dari perdarahan pada ibu postpartum?

2
1.3 Tujuan
Untuk memenuhi tugas matakuliah Keperawatan Maternitas.
Untuk mengetahui jawaban dan penjelasan dari rumusan masalah.
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada persalinan patologis
dengan perdarahan melalui pendekatan pola pikir manajemen asuhan
keperawatan secara komprehensif dan mendokumentasikannya dalam
bentuk soap.

1.4 Manfaat
Untuk menambah pengetahuan dalam bidang Keperawatan Maternitas
terutama mengenai perdarahan pada ibu postpartum dan dapat
mengaplikasikan ilmu dalam penerapan manajemen asuhan kebidanan
dengan pendokumentasian soap untuk asuhan persalinan dengan
perdarahan.
Untuk bahan masukan bagi institusi, khususnya di STIKes Wijaya
Husada dalam meningkatkan wawasan mahasiswa mengenai asuhan
keperawatan pada ibu bersalin dengan plasenta previa.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perdarahan Postpartum


Perdarahan postpartum adalah kondisi dimana ibu bersalin kehilangan
darah 500cc dalam persalinan pervaginam atau 1000cc dalam persalinan
perabdominal (Ramanathan G, Arulkumaran S ,2006)
Menurut waktu terjadinya dibagi menjadi dua:
1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau
Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan masa nifas (perdarahan pasca salin kasep atau Perdarahan
Persalinan Sekunder atauperdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan
pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan
pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan
rahim yang tidak baik (subinvolusio uteri), atau sisa plasenta yang
tertinggal.

2.2 Etiologi Perdarahan pada Ibu Postpartum


Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan pasca
salin, faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan pasca salin adalah antonia
uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan,
pembekuan darah. Secara garis besar dapat disimpulkan penyebab perdarahan
post partum adalah 4 T (Mukherjee S, Arulkumaran S, 2009)
1. Tone Dimished : Atonia uteri
Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk
berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan
postpartum secara fisiologis di kontrol oleh kontraksi serat-serat

4
miometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi
ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena
atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi. Atonia uteri juga
dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat
uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta,
sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan
penyebab utama perdarahan pasca salin.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pasca salin
memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita
berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma
Sheehan “ sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga
terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan
anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan
fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan
ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan
kehilangan fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya
atonia meliputi :
Manipulasi uterus yang berlebihan
General anestesi (pada persalinan dengan operasi)
Uterus yang teregang berlebihan
Kehamilan kembar
Fetal macrosomia (berat janin antara 4500 – 5000 gram)
Polyhydramnion
Kehamilan lewat waktu
Partus lama
Grande multipara (fibrosis otot-otot uterus)
Anestesi yang dalam
Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia )
Plasenta previa
Solutio plasenta

5
2. Tissue
a. Retensio plasenta
Retensio Plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam
waktu 1 jam setelah bayi lahir. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelepasan plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;
kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang
tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari
uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik
yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan
menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang
melemahkan kontraksi uterus.

Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:


a. Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat
lebih dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas
sama sekali dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat
perlekatannya dibagi menjadi:
a. Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai
membran basal.
b. Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi
belum menembus serosa.

6
d. Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum
dinding rahim.
b. Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena
salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada
bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta
inkarserata). Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah fundus naik
dimana pada perabaan uterus terasa bulat dan keras, bagian tali pusat
yang berada di luar lebih panjang dan terjadi perdarahan sekonyong-
konyong. Cara memastikan lepasnya plasenta:
1. Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri menekan di
atas simfisis. Bila tali pusat tak tertarik masuk lagi berarti tali
pusat telah lepas.
2. Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri mengetuk-
ngetuk fundus. Jika terasa getaran pada tali pusat, berarti tali
pusat belum lepas.
3. Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta telah lepas, tali pusat yang
berada diluar bertambah panjang dan tidak masuk lagi ketika ibu
berhenti mengejan.Apabila plasenta belum lahir ½ jam-1 jam
setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya.
Tindakan yang dapat dikerjakan adalah secara langsung dengan
perasat Crede dan Brant Andrew dan secara langsung adalah
dengan manual plasenta.
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta) merupakan
penyebab umum terjadinya pendarahan lanjut dalam masa nifas
(pendarahan pasca persalinan sekunder). Pendarahan pasca salin
yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-
potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah

7
persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian
plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan
plasenta dikeluarkan. (Winkjosastro H dkk ,2002)
Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus)
tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan
keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja
pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta.
(Winkjosastro H dkk ,2002)

3. Trauma
Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan
lahir yaitu ruptur uterus, robekan jalan lahir, inversio uterus.
a. Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa
menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat
operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin.
Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea
sebelumnya.Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering
dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan
dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang
berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau
vagina. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva
dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga
perlu dilakukan setelah persalinan.
c. Robekan vulva sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang
primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang
biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan
banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.
d. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala

8
janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
dari sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal. Tingkatan robekan pada perineum:
a. Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek
b. Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang
menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah
terluka.
c. Tingkat 3: robekan total. Spintcher ani externus dan kadang-kadang
dinding depan rektum.

Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan


peregangan. puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis
tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan
predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.

4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah


Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati dapat menjadi penyebab
dan akibat perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya bervariasi mulai
dari perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis, sampai
keadaan klinis yang stabil yang hanya terdeteksi oleh tes laboratorium.
Setiap kelainan pembekuan, baik yang idiopatis maupun yang diperoleh,
dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagi kehamilan dan persalinan,
seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik A
(carrier), trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia
dan purpura trombositopenia. Dari semua itu yang terpenting dalam bidang
obstetri dan ginekologi ialah purpura trombositopenik dan
hipofibrinogenemia.
a. Purpura trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat idiopatis dan sekunder. Yang terakhir
disebabkan oleh keracunan obat-obat atau racun lainnya dan dapat
pula menyertai anemia aplastik, anemia hemolitik yang diperoleh,

9
eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio plasenta, infeksi, alergi
dan radiasi.
b. Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen dalam darah sampai melampaui
batas tertentu, yakni 100 mg%, yang lazim disebut ambang bahaya
(critical level). Dalam kehamilan kadar berbagai faktor pembekuan
meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar fibribogen normal pada
pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%), dan pada
wanita hamil menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).

2.3 Patofisiologi Perdarahan pada Ibu Postpartum


Patofisiologi dari perdarahan postpartum disebabkan oleh beberapa faktor,
namun sebelum membahas mengenai patofisiologi, perlu diketahui bahwa
selama masa kehamilan volume darah ibu meningkat hingga 50% atau setara
dengan 4-6 liter. Volume plasma mengalami peningkatan hingga melebihi
kadar total sel darah merah (red blood cell / RBC), sehingga menimbulkan
kesan penurunan konsentrasi hemoglobin dan penurunan jumlah hematokrit.
Peningkatan volume darah ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perfusi
uteroplasenta serta agar dapat menggantikan volume perdarahan yang akan
terjadi pada saat proses persalinan.
a. Fisiologi Penghentian Perdarahan pada Persalinan
Pada saat persalinan terjadi, plasenta akan terpisah secara spontan dari
tempat implantasinya beberapa menit setelah bayi lahir. Dibalik tempat
melekatnya plasenta terdapat pembuluh-pembuluh darah uterus yang
melintas di antara serat-serat otot miometrium. Selama proses melahirkan,
otot-otot ini akan mengalami kontraksi dan retraksi. Proses kontraksi dan
retraksi akan mengkompresi pembuluh-pembuluh darah tersebut sehingga
perdarahan dapat berhenti. Hal ini ini sering kali disebut sebagai “jahitan
fisiologis” atau mekanisme pertahanan tubuh pada wanita hamil tanpa
penyulit ataupun komplikasi.

10
b. Kegagalan Mekanisme Fisiologi
Pada keadaan-keadaan tertentu, mekanisme “jahitan fisiologis” bisa saja
tidak terjadi, hal ini dikarenakan terdapat gangguan pada tonus uteri atau
disebut atonia uteri, dimana proses kontraksi dan retraksi tidak berjalan
dengan baik dan maksimal. Sehingga pembuluh-pembuluh darah pada
uterus tidak terkompresi dan perdarahan tidak dapat dihentikan. Atonia
uteri merupakan penyebab tersering perdarahan postpartum.
Selain itu, proses kontraksi dan retraksi yang tidak berjalan dengan baik
juga dapat mengganggu proses pelepasan plasenta secara utuh sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan keadaan yang kita kenal sebagai
retensio plasenta. Pada kasus trauma jalan lahir, jumlah pembuluh darah di
jalan lahir meningkat selama kehamilan, sehingga adanya trauma akan
menimbulkan perdarahan yang lebih signifikan dibandingkan pada wanita
tidak hamil.
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi pada kasus dimana implantasi
plasenta tidak normal, misalnya pada plasenta akreta atau plasenta previa.
Pada plasenta previa, letak plasenta yang rendah akan menyebabkan
gangguan kontraksi uterus. Pada plasenta akreta, implantasi plasenta
terlalu dalam hingga ke miometrium, sehingga pada saat plasenta lepas,
perlukaan akan mencapai miometrium dan menyebabkan perdarahan yang
lebih banyak.

2.4 Faktor Risiko Perdarahan pada Ibu Postpartum


a. Grande multipara
Uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak
efisien dalam semua kala persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum. Hal ini disebabkan pada
ibu dengan paritas tinggi yang mengalami persalinan cenderung terjadi
atonia uteri. Atonia uteri pada ibu dengan paritas tinggi terjadi karena

11
kondisi miometrium dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi sehingga
menimbulkan kegagalan kompresi pembuluh darah pada tempat implantasi
plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum. (Oktinikilah, 2009)
b. Perpanjangan persalinan
Bukan hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah
melahirkan tetapi juga ibu yang kelelahan kurang mampu bertahan
terhadap kehilangan darah (Oktinikilah, 2009)

c. Chorioamnionitis
Chorioamnionitis merupakan infeksi selaput ketuban yang juga akan
merusak selaput amnion sehingga bisa pula pecah. Penyebabnya adalah
peningkatan tekana intracterine seperti pada kehamilan kembar dan
polihidromion,trauma pada amniosintesis, hipermotilitas uterus dimana
kontraksi otot uterus rahim menjadi meningkat, menekan selaput amnion.
Semua hal tersebut dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Pada ibu
dengan ketuban pecah dini tetapi his ( ) sehingga pembukaan akan
terganggu dan terhambat sementara janin mudah kekeringan karena
pecahnya selaput amnion tersebut, maka Janin harus segera untuk
dilahirkan atau pengakhiran kehamilan harus segera dilakukan.
Ketuban yang telah pecah dapat menyebabkan persalinan menjadi
terganggu karena tidak ada untuk pelicin Jalan lahir. Sehingga persalinan
menjadi kering . Akibatnya terjadi persalinan yang lama. (Iche Baretz,
2012)

d. Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi ketika darah yang
dipompakan oleh jantung mengalami peningkatan tekanan, hingga hal ini
dapat membuat adanya tekanan dan merusak dinding arteri di pembuluh
darah. Seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan darahnya di
atas 140/90 mmHG (berarti 140 mmHg tekanan sistolik dan 90 mmHg
tekanan diastolik). Hipertensi pada kehamilan banyak terjadi pada usia ibu

12
hamil di bawah 20 tahun atau di atas 40, kehamilan dengan bayi kembar,
atau terjadi pada ibu hamil dengan kehamilan pertama.

e. Kehamilan multiple
Uterus yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-
keadaan seperti bayi besar, kehamilan kembar dan polihidramnion
cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek (Oktinikilah, 2009)

f. Injeksi Magnesium sulfat dan Perpanjangan Pemberian Oxytocin


Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi
serta retraksi, atonia uteri dan perdarahan post partum. Stimulasi dengan
oksitoksin atau protaklandin dapat menyebabkan terjadinya inersia
sekunder karena kelelahan pada otot-otot uterus( (Oktinikilah, 2009)

2.5 Gejala Klinis Perdarahan pada Ibu Postpartum


Gejala dari perdarahan postpartum kadang tidak selalu terlihat dengan
mudah. Beberapa ibu mungkin bisa dengan mudah didiagnosis memiliki
kondisi ini. Sementara itu, beberapa ibu lainnya mungkin memerlukan
pemeriksaan tambahan untuk memastikan perdarahan postpartum. Berikut
gejala yang menandakan adanya perdarahan postpartum atau perdarahan berat
setelah melahirkan:
Perdarahan tidak berkurang atau berhenti dari hari ke hari.
Tekanan darah menurun.
Jumlah sel darah merah menurun.
Detak jantung meningkat.
Pembengkakan pada beberapa bagian tubuh.
Rasa sakit di perut setelah melahirkan tidak kunjung membaik.
Segera konsultasikan ke dokter jika mengalami satu atau beberapa gejala
di atas maupun ketika Anda mengalami gejala yang dirasa tidak normal.

13
Dokter dapat menentukan penyebab dan pengobatan yang tepat sesuai
denagan kondisi Anda.

2.6 Komplikasi dari Plasenta Previa


Perdarahan postpartum atau perdarahan setelah melahirkan berisiko
membuat Anda mengalami komplikasi seperti:
Anemia
Pusing saat sedang berdiri
Kelelahan

Bahkan bukan hanya itu. Perdarahan postpartum dalam kondisi yang parah
bisa menyebabkan komplikasi serius berupa iskemia miokardium, hingga
berakibat fatal.

2.7 Klasifikasi Perdarahan pada Ibu Postpartum


a. Perdarahan Postpartum akibat Atonia Uteri
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian
plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan
lahir atau karena atonia uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting
perdarahan postpartum. Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan
yang lama; pembesaran rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti
pada hamil kembar atau janin besar; persalinan yang sering (multiparitas)
atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga dapat terjadi bila ada usaha
mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah
sementara plasenta belum lepas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui.
Tapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita
telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya.
Pada perdarahan karena atonia uteri, rahim membesar dan lembek.

14
Terapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus
diobati karena perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang
ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah sakit. Pada
persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah. Rahim
jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding
rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya
penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat
perdarahan. Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan
massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila
tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan
kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero
vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam rahim sampai rongga
rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinann
dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau
pengangkatan rahim.
Adapun Faktor predisposisi terjadinya atonia uteri : Umur, Paritas,
Partus lama dan partus terlantar, Obstetri operatif dan narkosa, Uterus
terlalu regang dan besar misalnya pada gemelli, hidramnion atau janin
besar, Kelainan pada uterus seperti mioma uterii, uterus couvelair pada
solusio plasenta, Faktor sosio ekonomi yaitu malnutrisi. (Abdul Bari, dkk,
2008)
b. Perdarahan Pospartum akibat Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama
satu jam setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh
lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya:
Plasenta adhesive : plasenta yang melekat pada desidua
endometrium lebih dalam.

15
Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus
desidua endometrium sampai ke myometrium
Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium
sampai ke serosa.
Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau
peritoneum dinding rahim.
2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena
atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim
(akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta
keluar (plasenta inkarserata). Bila plasenta belum lepas sama sekali
tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas
maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung
kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya harus
dikosongkan. (Abdul Bari, dkk, 2008)
3. Perdarahan Postpartum akibat Subinvolusi. Subinvolusi adalah
kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi, dan keadaan ini
merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pascapartum.
Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4
hingga 6 minggu pascapartum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di
dalam abdomen/ pelvis dari yang diperkirakan. Keluaran lokia
seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu ke
bentuk lokia alba. Lokia bisa tetap dalam bentuk rubra, atau kembali ke
bentuk rubra dalam beberapa hari pacapartum. Lokia yang tetap
bertahan dalam bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu pascapatum
sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus subinvolusi. Jumlah lokia bisa
lebih banyak dari pada yang diperkirakan. Leukore, sakit punggung,
dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi. Ibu bisa juga
memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau perdarahan yang
berlebihan setelah kelahiran. (Abdul Bari, dkk, 2008)

16
4. Perdarahan Postpartum akibat Inversio Uteri adalah keadaan dimana
fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam kavum
uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika bagian dalam menjadi di
luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan
dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang
terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
5. Perdarahan Postpartum Akibat Hematoma. Hematoma terjadi karena
kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia, dan tampak sebagai
warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik.
Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic dan pemantauan
yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali
secara alami. (Dian Husada, 2011)
6. Perdarahan Postpartum akibat Laserasi /Robekan Jalan Lahir. Robekan
jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan
postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robelan servik atau vagina.

2.8 Penatalaksanaan Perdarahan pada Ibu Postpartum


1. Atonia uteri
a. Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
b. Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika,
lakukan pengurutan uterus
c. Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
d. Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan (1) Kompresi bimanual
eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus.
Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata
rujukan. (2) Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara
telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina

17
untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium. (3) Kompresi
aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan
kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian
tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan,
hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan
menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis. ( Widfa Satriani,
2013)
2. Retensio plasenta dengan separasi parsial
a. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil.
b. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi
tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
c. Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan
40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
d. Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta
secara hati-hati dan halus.
e. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
f. Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
g. Berikan antibivotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1
g supp/oral ). ( Widfa Satriani, 2013)
3. Plasenta inkaserata
a. Tentukan diagnosis kerja
b. Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang
kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan
kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500
NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang
mungkin timbul.
c. Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk
melahirkan plasenta.
d. Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak
jelas.

18
e. Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan
speculum
f. Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
g. Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi
berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk
memegang klem tersebut.
h. Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
i. Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam
tarik plasenta keluar perlahan-lahan. ( Widfa Satriani, 2013)

4. Ruptur uteri
a. Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan
siapkan laparatomi
b. Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas
pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
c. Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan operasi uterus
d. Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkwatirkan lakukan histerektomi
e. Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
f. Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi. ( Widfa
Satriani, 2013)
7. Sisa plasenta
a. Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah
dilahirkan
b. Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
c. Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
d. Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama
10 hari. ( Widfa Satriani, 2013)

19
8. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
a. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber
perdarahan
b. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptic
c. Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
d. Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
e. Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi
lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut (1) Setelah
prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan.
(2) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub
mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge )
hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit
dengan benang no 2/0. (3) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum
dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara
jelujur. (4) Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa
dan sub kutikuler (5) Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor
berikan antibiotika untuk terapi. ( Widfa Satriani, 2013)

9. Robekan serviks
a. Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala
bayi.
b. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan
kanan porsio
c. Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan
tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan
dapat dijahit

20
d. Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan paska tindakan
e. Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda
infeksi
f. Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8
gr% berikan transfusi darah( Widfa Satriani, 2013)

2.9 Pathway Perdarahan pada Ibu Postpartum

21
BAB III
ASKEP TEORI
3.1 Pengkajian
Pemeriksaan Fisik
 Umum
Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan pada ibu hamil :
1. Rambut dan kulit
Terjadi peningkatan pigmentasi pada areola, putting susu dan
linea nigra. Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah
abdomen dan paha. Laju pertumbuhan rambut berkurang.
2. Wajah
Mata : pucat, anemis, Hidung, Gigi dan mulut.
3. Leher
4. Buah dada / payudara
a. Peningkatan pigmentasi areola putting susu
b. Bertambahnya ukuran dan noduler
5. Jantung dan paru

22
Volume darah meningkat, peningkatan frekuensi nadi,
penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembuluh
darah pulmonal, terjadi hiperventilasi selama kehamilan,
peningkatan volume tidal, penurunan resistensi jalan nafas,
diafragma meningkat, perubahan pernapasan abdomen menjadi
pernapasan dada.
6. Abdomen
Menentukan letak janin, Menentukan tinggi fundus uteri
7. Vagina
Peningkatan vaskularisasi yang menimbulkan warna kebiruan
(tanda Chandwick), Hipertropi epithelium

8. Sistem musculoskeletal
Persendian tulang pinggul yang mengendur, Gaya berjalan
yang canggung, Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis
dinamakan dengan diastasis rectal
 Khusus
1. Tinggi fundus uteri
2. Posisi dan persentasi janin
3. Panggul dan janin lahir
4. Denyut jantung janin

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
 Pemeriksaan USG, Hb, dan Hematokrit
Dengan USG dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi
plasenta terhadap ostium. Bila jarak tepi kurang dari 5 cm disebut
plasenta letak rendah. Bila tidak dijumpai plasenta previa, dilakukan

23
pemeriksaan inspekulo untuk melihat sumber perdarahan lain
(Oyelese, 2006).
 Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan
berasal dari ostium uetri eksternum atau dari kelainan serviks dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum,
adanya plasenta previa harus dicurigai (Johnson, 2003).
 Transvaginal sonography (TVS)
TVS digunakan untuk menyelidiki lokasi plasenta kapan saja saat
hamil dan saat lokasi plasenta berada dianggap rendah. Sonographers
didorong untuk melaporkan jarak sebenarnya dari tepi plasenta ke os
serviks internal di TVS.

1.2 Diagnosa Keperawatan


Penurunan cardiac output berhubungan dengan perdarahan dalam jumlah
yang besar.
Ansietas yang berhubungan dengan perdarahan kurangnya pengetahuan
mengenai efek perdarahan dan menejemennya.
Resiko tinggi cedera (janin) b/d Hipoksia jaringan / organ, profil darah
abnormal, kerusakan system imun

1.3 Intervensi
Beritahu ibu hasil pemeriksaan
Dasarnya : Agar ibu tau dengan kondisinya dan tau apa yang akan ia
lakukan selanjutnya.
Beri dukungan psikologis pada ibu
Dasarnya : Agar ibu tidak drop dan menjadi stress dengan kondisinya
dan tidak berpengaruh kepada janinnya.
Anjurkan ibu istirahat bedrest (tirah baring)

24
Dasarnya : Untuk memperbaiki keadaan ibu agar perdarahanpun tidak
bertambah banyak.
Penuhi kebutuhan hidrasi dan nutrisi ibu
Dasarnya : Agar cairan ibu terpenuhi dan untuk memperbaiki kondisi
ibu.
Penuhi kebutuhan personal hygien ibu
Atur cairan infus dan drip adona 1ampul
Lakukan observasi TTV, perdarahan dan DJJ
Dasarnya : Untuk memantau keadaan umum ibu, apakah perdarahan
yang terjadi bertambah banyak atau tidak, dan untuk memantau keadaan
janin ibu.
Berikan terapi sesuai anjuran dokter spesialis obgyn

Anjurkan keluarga untuk menyiapkan donor darah


Dasarnya : Karena mengalami perdarahan yang banyak maka ibu
dengan plasenta previa membutuhkan pendonor darah untuk mengganti
darah yang telah banyak dikeluarkan.

1.4 Evaluasi
Evaluasi adalah hal terakhir yang dilakukan dari proses asuhan kebidanan
dengan plasenta previa. Kemungkinan hasil evaluasi yang ditemukan :
Ibu telah diberitahu mengenai hasil pemeriksaan.
Ibu mulai menerima keadaannya dan mulai termotivasi setelah diberikan
dukungan psikologis.
Ibu mau dianjurkan untuk beristirahat bedrest.
Cairan dan nutrisi ibu terpenuhi dengan memberikan ibu minum dan
makan.
Cairan infus telah terpasang pada ibu untuk memenuhi cairan tubuh ibu.

25
Keluarga telah menyiapkan donor darah apabila ibu terjadi hal yang
membutuhkan donor darah segera.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perdarahan postpartum adalah kondisi dimana ibu bersalin kehilangan
darah 500cc dalam persalinan pervaginam atau 1000cc dalam persalinan
perabdominal (Ramanathan G, Arulkumaran S ,2006)
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan pasca salin,
faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan pasca salin adalah antonia uteri,
perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan, pembekuan
darah. Secara garis besar dapat disimpulkan penyebab perdarahan post
partum adalah 4 T (Mukherjee S, Arulkumaran S, 2009)
Gejala dari perdarahan postpartum kadang tidak selalu terlihat dengan
mudah. Beberapa ibu mungkin bisa dengan mudah didiagnosis memiliki

26
kondisi ini. Sementara itu, beberapa ibu lainnya mungkin memerlukan
pemeriksaan tambahan untuk memastikan perdarahan postpartum.

27

Anda mungkin juga menyukai