Anda di halaman 1dari 11

INTEGRASI ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

Devi Anggrayni1, Hoiriyah2, Nur Fitri Zahro3, Siti Natasya4


1
Universitas Ahmad Dahlan, 1800010085
2
Universitas Ahmad Dahlan, 1800010072
3
Universitas Ahmad Dahlan, 1800010106
4
Universitas Ahmad Dahlan, 1800010090

Hakikat Ayat-ayat Allah

Al-Qur’an tiada keraguan didalamnya adalah petunjuk bagi manusia khususnya mereka yang
beriman dan bertakwa kepada Allah. Dan Al-Qur’an sebuah kitab suci agama Islam sebagai sumber
pokok ajaran agama. Dengan demikian Al- Qur’an sebagai kitab petunjuk (guide book) bagi setiap
insan untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup dunia dan akhirat. Namun demikian
dalam Al-Qur’an terdapat pentunjuk bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan dan Al-
Qur’an dari mana sumber ilmu pengetahuan. Didalamnya ditemukan banyak ayat yang memberi
isyarat kebenaran ilmu pengetahuan dan hakekat imu pengetahuan. Menurutnya ilmu pengetahuan
itu ada dua sumber yaitu pertama ayat al matluwah (yang dapat dibaca) yakni Al-Qur’an dan kedua
ayat al-Majluwah (yang dapat dilihat) yakni alam semesta keduanya bersumber dari Allah ayat al-
matluwah adalah firmannya dan ayat al-Majluwah adalah ciptaannya. Ini menunjukkan hakekat
ilmu pegetahuan yang tak terbatas.

Al-Qur’an memberikan informasi kepada kita bahwa Allah telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada manusia secara langsung, sebagaimana diberikan kepada para nabi dan rasul
dan orang-orang soleh dengan melalui wahyu dan ilham. Dan juga Allah memberikan ilmu
pengetahuan kepada mereka yang bukan para nabi, rasul dan orang soleh melalui proses
pembelajaran dan aktualisasi potensi akal dan qolbu serta indra yang telah Allah anugrah kepada
manusia sejak lahir. Maka ilmu pengetahuan hendaknya di abdikan untuk Allah dan seorang
berilmu semakin bertambah ilmunya semakin bertambah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah
bukan sebaliknya.

Allah SWT menuangkan sebagian kecil dari ilmu-Nya kepada umat manusia dengan dua jalan.
Pertama, dengan ath thoriqoh ar rosmiyah (jalan resmi) yaitu dengan jalur wahyu melalui
perantaraan malaikat Jibril kepada Rasul-Nya, yang disebut juga dengan ayat-ayat qauliyah. Kedua,
dengan ath thoriqoh ghoiru rosmiyah (jalan tidak resmi) yaitu melalui ilham kepada makhluk-Nya
di alam semesta ini (baik makhluk hidup maupun yang mati), tanpa melalui perantaraan malaikat
Jibril.

Secara harfiah Al-Qur’an berarti "bacaan sempurna", yaitu nama yang dipilih oleh Allah, yang
sangat tepat, karena sejak manusia mengenal tulisan dan bacaan lima ribu tahun yang lalu, tidak ada
bacaan yang sebanding dengan Al-Qur’an, bacaan sempurna yang mulia. Seperti kitab suci lainnya,
Al-Qur’an Al-Karim juga memiliki berbagai mukjizat (I'jāz). Di antara mukjizat ini, "Al-Qur’an"
berisi banyak ayat ilmiah (sains) mulai dari 750 hingga 1000 ayat. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, keakuratannya dapat dibuktikan dari waktu ke waktu.

Allah menggunakan dua sandi besar dalam menunjukan kekuasaan-Nya. Kedua sandi tersebut
adalah sandi kauliyah dan sandi kauniyah. Sandi kauliyah dapat dilihat dengan mempelajari Al-
Qur’an, sedangkan sandi kauniyah dipelajari dengan mencermati setiap fenomena yang ada di
sekitar kita, baik peristiwa alam maupun kejadian sosial. Secara garis besar, Allah SWT
menciptakan ayat dalam dua jalan, keduanya saling menegaskan dan saling terkait satu sama
lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan manusia untuk memaham keduanya adalah
keniscayaan. Allah tidak hanya memberikan perintah untuk sekedar memahami ayat-ayat Allah
berupa kauliyah, tetapi uga untuk melihat fenomena alam ini. Alam adalah ayat Allah SWT yang
tidak tertuang dalam bentuk perkataan Allah untuk dibaca dan dihafal. Tetapi alam adalah ayat
Allah yang semestinya dieksplor dan digali sedalam-dalamnya untuk semakin manusia
mendekatkan diri pada kemahakuasaan Allah SWT.

Allah telah menurunkan dan menciptakan tanda kemahatahuan dan kemahakuasaannya ke


dunia ini dengan dua buah ayat, yaitu ayat Al-Matluwah (yang dibaca) yakni Al-Qur’an dengan
mengkaji dan menghayati ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat tentang alam semesta bagaimana alam,
manusia, dan phenomena di alam jagat raya ini. Lalu, ayat Al-Majluwah (yang tampak) yakni alam
semesta ini keduanya sebagai obyek atau bahan pemikiran manusia dengan mengamati, segala yang
ada di alam ini dimana manusia hidup dan segala phenomenanya. Keduanya akan bertemu pada
satu kesatuan, ayat al-matluwah sebagai kunci pengetahuan tentang alam semesta dan ayat al-
Majluwah sebagai bukti nyata tentang kebenaran ayat-ayat di Al-Matluwah keduanya adalah kalam
Allah dan ayat-ayat kemahaan kehendak dan kekuasaa-Nya.

Keduanya merupakan sumber dan asal usul atau hakekat ilmu pengtahuan karena ilmu berasal
dari sifat kalam Allah dan perbuatan Allah ciptaan alam semesta ini. Oleh karena itu dalam Al-
Qur’an di isyaratkan dalam firman Allah sebagai berikut:

“Katakanlah, sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)". (QS.Al-Kahfi: 109).

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS.Lukman: 27 )

Yang dimaksud dengan kalimat-kalimat Allah dalam ayat tersebut adalah ilmu Allah dan
hikmah-Nya. Dengan demikian ilmu yang tiada batas yang diilustrasikan seandainya pohon-pohon
di dunia ini dijadikan sebagai pena dan air lautan dijadikan tinta sehingga ditambahkan kepadanya
tujuh laut lagi setelah habis untuk ilmu dan hikmah Allah niscaya pohon dan air lautan akan habis
sementara ilmu Allah tidak akan habis, maka segala macam ilmu pengetahuan di dunia ini
hakekatnya berasal dari Allah sebagai cahaya-Nya. Hakikat ilmu dalam prespektif Al-Qur’an adalah
segala pengetahuan manusia tentang alam fisik maupun metafisik baik yang diperoleh melalui
pengalaman empiris, melalui hasil pemikiran rasional, melalui penghayatan hati, maupun melalui
wahyu, ilham baik yang langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian hakekat ilmu menurut
Al- Qur’an sangat luas dan tidak terhingga bahkan lebih luas dari pada cakrawala pemikiran
manusia dan alam semesta.

Pandangan seperti ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah dikemukakan oleh Imam Al-
Gozali dalam Ihya Ulumuddin, mengatakan bahwa “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan
masa lampau,masa kini dan masa yang akan dating, selayaknya ia merenungkan Al-Qur’an.” (Al-
Gozali: vol.5 hal. 1) selanjutnya ia mengatakan, ringkasnya seluruh pengetahuan tercakup dalam
ciptaan-ciptaan dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur’an adalah menjelaskan hakikat sifat-sifat dan
ciptaannya (Ibid). Tidak batasan terhadap ilmu ini dan didalamnya terdapat indikasi pertemuan
antara keduanya (Al-Qur’an dan ilmu-ilmu alam).

Hakikat ilmu pengetahuan bersumber dari sifat dan ciptaan Allah yang maha luas tak terbatas
“infinite”. Sementara manusia serba terbatas kemampuan intelektual danemosional dan terbatas
ruang dan waktu. Namun Allah yang maha Pemurah dan Penyayang melahirkan manusia di dunia
ini dibekali dengan organ yang memungkinkan memperoleh ilmu pengetahuan. Sebagaimana dalam
Al- Qur’an diinformasikan sebagai berikut:

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.An.Nahl: 78).

Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dalam menempuh kehidupan di dunia agar
memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan kelak akhirat, secara eksplisit didalamnya terdapat
petunjuk bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan, bagaimana menggunakan dan apakah
tujuan dari pada ilmu pengetahuan itu.

Al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan memiliki banyak ayat yang berkaitan
dengan ilmu sains dan teknologi. Sebagaimana tercermin dalam ayat berikut ini:

“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Q.S Al-Baqarah: 269)

Al-Qur’an memberikan apresiasi kepada mereka yang diberi ilmu pengetahuan atau
memperoleh ilmu pengetahuan dengan sebutan ‫( العلم اوتىا‬yang memiliki ilmu pengetahuan)
sebagaimana firman Allah :

“Sebenarnya, Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-
Ankabut: 49).

Dengan maksud ayat-ayat Al-Qur’an itu terpelihara dalam dada dengan dihapal oleh banyak
kaum muslimin turun temurun dan dipahami oleh mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang
dapat mengubahnya.

Dan orang-orang berpengetahuan disebut ‫( العلماء‬orang-orang berilmu) seperti ayat berikut ini:

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatangbinatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya), sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (Q.S Fathir: 28)

Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran
dan kekuasaan Allah dengan dilandasi ilmu pengetahuan. Namun, betapapun banyak ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang berilmu, dipandang sangat sedikit dibanding ilmu
Allah yang tidak batas. Dengan demikian semakin banyak memperoleh ilmu pengetahun semakin
merasa sedikit pengetahuan dan semakin takut dan takwa kepada Allah yang tercermin dalam
prilaku kehidupan dan akhlaqnya.

Ayat-ayat sains di dalam Al-Qur’an mencakup ayat-ayat kealaman (kauniyyah), yang


membicarakan berbagai fenomena yang ada di alam semesta, di antaranya tentang pembentukan
alam semesta atau pembentukan jagad raya, matahari yang bersinar dan bulan yang bercahaya,
gunung-gunung bergerak tidak diam, hingga proses reproduksi manusia.

Penciptaan Alam Semesta

Salah satu ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang penciptaan alam semesta yaitu Q.S. As-
Sajdah ayat 4, yang berbunyi:

Artinya:

“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Bagimu tidak ada seorang pun penolong maupun pemberi
syafaat selain Dia. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” Q.S. As-Sajdah [32]: 4

M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dua hari
untuk penciptaan langit, dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk penciptaan sarana
makhluk. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ilmuan Mesir (Zaghlul an- Najjar) tentang konsep
penciptaan alam semesta, bahwa proses penciptaan alam raya yang melalui enam periode itu adalah
sebagai berikut:

• Periode pertama adalah periode ar-Ratq, yakni gumpalan yang menyatu. ini merupakan asal
kejadian langit dan bumi.
• Periode kedua adalah al-Fatq, yakni, masa terjadinya dentuman dahsyat Big Bang yang
mengakibatkan terjadinya awan/kabut asap.
• Periode ketiga adalah terciptanya unsur-unsur pembentukan langit yang terjadi melalui gas
hidrogen dan helium.
• Periode keempat terciptanya bumi dan benda-benda angkasa dengan berpisahnya awan
berasap itu serta memadatnya akibat daya tarik.
• Periode kelima adalah masa penghamparan bumi serta pembentukan kulit bumi lalu
pemecahannya, pergerakan oasis24 dan pembentukan benua- benua dan gunung-gunung
serta sungai-sungai dan lain-lain.
• Periode keenam adalah pembentukan kehidupan dalam bentuknya yang paling sederhana,
hingga penciptaan manusia.

Matahari Bersinar dan Bulan Bercahaya

Salah satu ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang penciptaan kedua benda langit ini adalah
surat Yunus ayat 5 yang berbunyi:
Artinya:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan
tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” Q.S. Yunus [10]: 5

Ayat di atas memiliki penjelasan bahwa Allah menciptakan matahari yang bersinar dan bulan
yang bercahaya berdasarkan pada tujuan bahwasanya hal itu merupakan tanda kebesaran Allah dan
agar umat manusia bersaksi bahwasanya Allah itu benar-benar kuasa atas segala hal yang ada di
alam ini. Allah menciptakan matahari dan bulan sekaligus dengan hanya Allah dan cuma Allah
yang mampu untuk menetapkan tempat orbit dari kedua benda langit tersebut, dengan tujuan agar
umat manusia perhitungan hari, bulan bahkan tahun. Pada hakikatnya segala ciptaan Allah pasti
memiliki manfaat yang sangat besar untuk kehidupan manusia.

Dalam Q.S. Yunus ayat 5 Allah SWT memberikan informasi bahwa matahari itu bersinar
sedangkan bulan bercahaya. Ash-Sha’rawi menulis bahwa ayat ini menamai sinar matahari (d̗iyā’)
karena cahaya menghasilkan panas atau kehangatan, sedang kata nūr memberi cahaya yang tidak
terlalu besar dan juga tidak menghasilkan kehangatan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa
sinar matahari bersumber dari dirinya sendiri sedangkan cahaya bulan adalah pantulan. Penafsiran
di atas sangat serasi dengan penemuan dalam dunia astronomi, di mana matahari merupakan suatu
benda langit yang digolongkan ke dalam jenis bintang. Dalam jagat raya ini terdapat milyaran
bahkan triliunan jenis bintang, dan matahari adalah salah satunya.

Kata d̗iyā’ digunakan untuk matahari dan nūr untuk bulan dalam ayat 5 surah Yunus di atas
sangatlah akurat dengan penemuan dunia astronomi modern. Sehingga, sebelum astronomi modern
mencapai penemuannya di abad ke-17 M, maka pada abad ke-7 M Allah SWT telah memberikan
informasi kepada nabi Muhammad SAW tentang hakikat matahari yang merupakan sumber sinar,
bersinar dan menyinari, sementara bulan adalah bercahaya.

Gunung Bergerak (Berjalan)

Fenomena alam lain yang disampaikan Al-Qur’an adalah terkait karakteristik gunung. Gunung
yang biasa dilihat oleh mata manusia berdiri kokoh di atas bumi tak bergerak, oleh Al-Qur’an
disampaikan bahwa gunung-gunung tersebut sebenarnya tidak tetap berada di tempatnya, akan
tetapi ia bergerak, berpindah dari tempatnya, seakan-akan berjalan. Hal ini disebutkan dalam Surat
An-Naml (27) ayat 88:

Artinya:
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan
sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu,
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa gunung-gunung yang biasa di lihat oleh manusia maka akan
terlihat diam dan tidak bergerak, tapi sesungguhnya gunung-gunung tersebut bergerak dan
berpindah dari tempatnya ke tempat yang lain. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Allah menciptakan
segala sesuatu dengan sempurna sebab Allah adalah maha kuasa atas segala hal dan maha teliti
untuk segala ciptaannya. Maha besar Allah tuhan semesta Alam.

Tentang gunung-gunung yang bergerak didukung oleh fakta ilmiah, data dari global positioning
system (GPS) merekam gerakan dari gunung-gunung tersebut dalam ukuran milimeter. Dan hal
tersebut menjadi bukti bahwa kemukjizatan Al-Qur'an itu memang benar adanya dan benar-benar
fakta yang sesungguhnya, karna semua yang Allah ciptakan baik dibumi dan di langit bertasbih
kepada Allah SWT. Al-Qur’an kembali manampakkan i’jaz ilmi (kemukjizatan ilmiah) nya melalui
ayat kegunungan sejak 14 abad yang lalu dan Al-Qur’an telah mengatakan bahwa gunung itu
bergerak dan bergeser dari tempatnya seakan ia berjalan. Sementara kemampuan manusia yang
didukung dengan kemajuan teknologi baru dapat mengungkap rahasia pergerakan dan pergeseran
gunung setelah sekian abad Al-Qur’an mengatakannya.

Reproduksi Manusia

Para Ulama' menyatakan bahwa di dalam Al-Qur'an banyak terdapat ayat-ayat tentang
reproduksi manusia atau asal muasal manusia. Dalam surat Nuh (71) pada ayat 14 menyebutkan
serta menegaskan bahwa reproduksi manusia melewati beberapa tahapan dan proses, hal ini
didukung oleh firman Allah SWT:

ً ‫َوقَد َخلَقَ ُكم اَط َو‬


‫ارا‬

Artinya: "Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian)" (Q.S
Nuh 71:14)

Selain di surat Nuh, Al-Qur'an juga menjelaskan tahapan atau proses reproduksi manusia di
dalam surah Al-Hajj dan surat Al-Mukminun.

• Q.S Al-Hajj ayat 5

Artinya:

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah)
Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang
tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai
bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan……”
• Q.S Al-Mukminun ayat 12-14

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”

Dengan mencermati ayat-ayat di atas dapat dilihat bahwa al-Quran menyebutkan tahapan-
tahapan reproduksi manusia yang dimulai dari saripati tanah, kemudian menjadi nut̗ fah, dari nut̗ fah
menjadi 'alaqah (segumpal darah yang menggantung), dari 'alaqah menjadi mud̗ghah, dari mud̗ghah
melangkah kepada pembentukan tulang, kemudian pembungkusan tulang oleh daging, dan
kemudian menjadi bayi dalam kandungan yang merupakan tahapan akhir. Adapun mud̗ghah, kata
mud̗ghah sebagaimana disebutkan dalam kamus ash-Shahha, adalah suatu daging yang dikunyah
dalam mulut. Mud̗ghah juga berarti segumpal daging, makna ini dipahami dari hadist Rasulullah
SAW:

Artinya:

“Ketahuilah bahwa tubuh manusia memiliki segumpal daging (mudhghah). Apabila ia benar maka
seluruh tubuhnya akan benar, dan apabila rusak maka seluruh tubuhnya akan rusak pula.
Ketahuilah ia adalah qalb.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Dari pemaknaan di atas dapat dipahami bahwa mud̗ghah merupakan suatu tahapan reproduksi
manusia setelah tahapan 'alaqah, dimana pada tahapan tersebut janin berupa bentuk mirip segumpal
daging yang dikunyah. Dalam ilmu embriologi, secara umum, mud{ghah diterjemahkan sebagai
“segumpal daging”. Mud̗ghah merupakan tingkatan embrionik yang berbentuk seperti kunyahan
permen karet yang menunjukkan permukaan yang tidak teratur.

Adapun skema terbentuknya manusia (reproduksi manusia) menurut surah Al-Hajj yaitu:

‫ساللة‬ (Sulālah)

‫ثم‬
‫نطفة‬ )Nut̗ fah)

‫ثم‬

‫علقة‬ )‘alaqah)

‫ف‬

‫مضغة‬ )mud̗ghah)

Dapat kita cermati dari skema di atas perubahan antara satu tahapan ke tahapan berikutnya Al-
Qur’an menggunakan kata thumma dan fa. Dalam kajian balaghah, kata thumma dan kata fa
termasuk dalam kata sambung (al-‘athf), yang kedua kata ini mengandung makna yang berbeda.
Ulama’ balaghah mengatakan bahwa kata fa mengisyaratkan keteriringan atau tertib tanpa jeda
waktu, yang dalam kaidah disebut dengan yuf𝑖̅du at-tart𝑖̅b duna at-tarākhi. Sementara kata thumma
mengisyaratkan keteriringan atau tertib dengan jeda waktu, yang dalam kaidah disebut dengan
yuf𝑖̅du at-tart𝑖̅b ma’a at-tarākhi.

Demikian Al-Qur’an menghimpun ayat-ayat sains yang terbukti keakuratannya oleh


perkembangan teknologi manusia dari masa ke masa. Jauh sebelum manusia mengungkap i’jāz ilmi
ini, Al-Qur’an sudah menyatakan dirinya sebagai kitab suci yang tidak ada keraguan di dalamnya,
sebagai petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Sungguh luar biasa ciptaan Allah
SWT, semestinya umat manusia senantiasa bersyukur dan mengagungkan nikmat yang Allah
berikan, karna tiada tuhan selain Allah SWT yang patuh di sembah dan di agungkan.

Interkoneksi Sains dengan Agama


Integrasi sains dengan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Islam
sebagaimana terjadi pada masa-masa ilmuwan Islam hidup di masa lampau. Integrasi sains dengan
Islam juga merupakan manifestasi penghilangan dikotomi antara agama dengan sains.
Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu
yang saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lain. Agama merupakan sumber ilmu
pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk mengaplikasikan segala sesuatu yang
tertuang dalam ajaran agama. Agama dan ilmu pengetahuan akan saling menguatkan dan bersinergi
sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang taat dalam beragama dan terdepan dalam ilmu
pengetahuan. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Fathir ayat 28:

Artinya:
“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Armahedi Mahzar, dalam makalahnya yang berjudul "Menuju Sains Islami Masa Depan",
menjelaskan, “Dalam peradaban Islam, ilmu-ilmu kealaman tidak dipisahkan dengan ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu-ilmu keagamaan. Dalam terminologi modern, ketiga jenis ilmu itu disebut
sains, filsafat, dan teologi. Paradigma holistik mengintegrasikan sains yang rasional empiris dan
filsafat yang logis intuitif dalam suatu kesatuan ilmu yang empiris, rasional, dan intuitif."
Dalam kesimpulan makalah tersebut Armahedi mengatakan, "Di bidang sains dan teknologi,
ternyata ketiga komponen Islam dalam bentuk keilmuannya yang tradisional dapat dijadikan
sebagai landasan ontologis, aksiologis, dan epistemologis sebagai alternatif paradigma integral
islami terhadap alternatif paradigma holistik barat pasca modern. Dengan demikian sesuatu yang
disebut sebagai ulumuddin dapat di integrasikan kembali dengan ulumuddunya kontemporer berupa
ilmu-ilmu kealaman, kemasyarakatan, dan kemanusiaan barat modern. Sebab, sains barat modern
pada mulanya bersumber dari ilmu-ilmu hikmah tradisional Islam yang mengalami sekularisasi,
menyusul renaissance Eropa pada pertengahan abad yang lalu. Dampak dari reintegrasi itu akan
mempunyai konsekuensi logis praktis pada kedua bentuk ilmu tersebut.”.
• Interkoneksi Sains dan Agama berdasarkan pemikiran Agus Purwanto
Pemikiran sains Agus Purwanto dituangkan dalam buku-bukunya yang berjudul Ayat-
Ayat Semesta dan Nalar Ayat-Ayat Semesta. Kedua buku karangannya berisi tema-tema
yang memuat 800 ayat Al-Quran yang mengandung makna tentang alam semesta, seperti
air, awan, besi, bintang, cahaya, darah, emas atau fenomena alam lainnya. Pemikiran Agus
Purwanto mengenai interkoneksi sains dengan agama terdiri dari fenomena alam semesta
yang ada dalam Al-Quran, Bahasa arab, kitab tafsir dan penelitian ilmiah.
1. Fenomena alam semesta : dijelaskan melalui proses dimulainya suatu ketiadaan
kemudian tercipta dan pada akhirnya akan hancur.
2. Al-Quran : menjadi pondasi pokok dari interkoneksi sains dengan agama. Di dalam
Al-Quran terdapat banyak ayat yang berhubungan dengan fenomena alam semesta.
Dari ayat-ayat di dalam Al-Quran, semuanya berbanding lurus dengan kaidah alam
semesta.
3. Kitab tafsir : untuk memahami Al-Quran, diperlukan berbagai sudut pandang dari
para ulama ahli tafsir.
4. Bahasa arab : karena Al-Quran diturunkan dengan Bahasa Arab, setiap ilmuan
muslim harus mengerti, memahami dan mendalami Bahasa Arab. Sehingga, Agus
Purwanto menegaskan bahwa belajar dan memahami Bahasa Arab itu penting.
5. Penelitian ilmiah : gagasan Agus Purwanto terhadap sains dan agama ditekankan
pada semangat untuk mengeksplorasi fenomena alam semesta yang berdasar pada
Al-Quran, terutama pada ayat-ayat kauniyah yang berjumlah 800 tersebut.
• Integrative-Interdependetif : hubungan ilmu dan agama secara ontologis, yaitu keberadaan
ilmu dengan agama memiliki hubungan yang saling bergantung satu sama lain.
• Integrative-Komplementer : hubungan ilmu dan agama secara epistemologis, yaitu segala
metode yang ditetapkan/digunakan dalam ilmu maupun agama bersifat saling melengkapi
satu sama lain.
• Integrative-Kualifikatif : hubungan ilmu dan agama secara aksiologis, yaitu segala nilai dari
ilmu dan agama saling mengkualifikasikan satu sama lain.

Kuntowijoyo mengatakan bahwa al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang


sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma
al-Qur’an, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang
berdasarkan pada paradigma al-Qur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa
premis-premis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional.
Struktur transendental al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan
menjadi paradigma teoritis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan
empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia
sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teoriteori ilmu pengetahuan Islam
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.

Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan
dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum. Pertama: Restorasionis, yang
menyatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktik agama (ibadah).
Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w.1398 M) dari Andalusia, dan
Ibnu Taymiah yang mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari Nabi saja.
Begitu juga Abu Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan menyatakan, bahwa ilmu-
ilmu dari Barat seperti; geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah
sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. Kedua,
Rekonstruksionis, yaitu interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern
dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat
revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) menyatakan, bahwa firman
Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani menyatakan bahwa
Islam memiliki semangat ilmiah. Ketiga, Reintegrasi, yang merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang
berasal dari al-ayah al-Qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kauniyah.

Sementara Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi ilmu adalah upaya menyatukan
(bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu rasional),
tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).
Model integrasi ini adalah menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan.
Sehingga ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dapat dipakai. Terdapat kritikan yang menarik berkaitan
dengan integrasi antara ilmu agama dengan sains, yaitu:

1. Integrasi yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an secara dangkal


dengan temuan-temuan ilmiah. Di sinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana integrasi
yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu tersebut terpisah.
Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak negatif yang mungkin muncul
jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada kelemahan dari integrasi, di mana adanya
penaklukan, seperti teologi ditaklukkan oleh antropologi.
2. Berkaitan dengan pembagian keilmuan, yaitu kauniyah (alam) dan qauliyah (firman).
mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya kauniyah dan qauliyah tetapi jugaada ilmu
nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu qauliyah berkenaan
dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai dan kesadaran insani. Ilmu
nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan, hermeneutikal)
(Kuntowijoyo, 2005: 51)

Integrasi-interkoneksitas antara ilmu dan agama ada tiga ranah, yaitu:

a. Integratif-Interdependentif, yaitu hubungan ilmu dan agama secara ontologis, di mana


keberadaan ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Agama tanpa ilmu tak
akan dapat dipahami, dan ilmu tanpa agama tak akan mencapai kebenaran hakiki, karena
keduanya secara primordial berasal dari satu sumber ilmu, yaitu Tuhan. Al-‘Alim adalah
salah satu nama dan sifat Tuhan, sehingga eksistensi ilmu dan agama identik dan
menyatu dalam Wujud Mutlaq Tuhan.
b. Integratif-Komplementer, yaitu hubungan ilmu dan agama secara epistemologis, di mana
seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu maupun agama saling melengkapi satu sama
lain. Metode ilmu pengetahuan tidak hanya menerima kebenaran ilmu secara empiris
dan rasional, tapi juga menerima kebenaran ilmu secara intuitif atau kasyfi. Kebenaran
ilmu tidak hanya yang bersifat korespodensi dan representasi, melainkan juga mengakui
kebenaran langsung dari Tuhan yang bersifat huduri.

Integratif-Kualifikatif, yaitu hubungan ilmu dan agama secara aksiologis, di mana seluruh nilai
ilmu dan agama saling mengkualifikasikan satu sama lain. Artinya, nilai kebenaran ilmu
pengetahuan dijustifikasi oleh agama, sehingga ilmu tidak bebas nilai, melainkan harus disinari
nilainilai keilahian (agama). Implikasinya pengembangan ilmu pengetahuan selalu konsisten dengan
nilai-nilain moral agama. Sebaliknya, kebenaran nila-nilai moral agama di justifikasi oleh bukti-
bukti ilmiah baik secara empiris-rasional, logis maupun intuitif-mistis.

Eko Budi Minarno (2017) mengemukakan bahwa integrasi sains dengan Islam dalam
pembelajaran ilmu sains dapat dilakukan dengan dua macam model yaitu: (1) Model Integrasi Al-
Qur’an sebagai sumber inspirasi, yaitu meletakkan Al-Qur’an pada awal pembelajaran sebagai
payung pengetahuan atau sumber inspirasi ilmu pengetahuan atau sumber rujukan utama yang
selanjutnya dijelaskan oleh berbagai fenomena dalam sains. (2) Model Integrasi Al-Qur’an sebagai
sumber konfirmasi, yaitu dengan melakukan analisis kritis atau pembahasan fenomena dalam sains,
yang kemudian dikonfirmasikan dengan Al-Qur’an, dalam arti temuan dalam sains adalah
memperjelas apa yang telah dikermukakan oleh Al-Qur’an. (3) Kedua model dapat digunakan
secara simultan dan bersinergi dalam pembelajaran ilmu sains.

Anda mungkin juga menyukai