dihasilakn oleh Negara tersebut dalam suatu periode tertentu, untuk mengukur
Indikator makro yang ada salah satunya adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB).
waktu tertentu dan juga dapat menggambarkan struktur ekonominya serta dapat
PDRB yang diperoleh dalam jangka panjang dan berbagai sektor produktif yang
dimilikinya.
PDRB yang semakin tinggi bukan berarti serta merta daerah tersebut telah
peningkatan, jumlah penduduk pun akan terus bertambah seiring jangka waktu
81
82
ekonomi akan sama atau semakin menurun jika pertambahan PDRB sama atau
peningkatan PDRB dari tahun ke tahun, berikut adalah laju pertumbuhan ekonomi
Propinsi Jawa Barat dari tahun 1989 sampai 2007 dapat dilihat pada tabel 4.1 :
Tabel 4.1
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%.) di Provinsi Jawa Barat
Tahun LPE
1988 5.5
1989 5.45
1990 6.88
1991 6.89
1992 7.01
1993 6.89
1994 7.04
1995 7.9
1996 9.21
1997 4.87
1998 -19.02
1999 -7.79
2000 4.15
2001 3.89
2002 3.94
2003 4.67
2004 4.77
2005 5.6
2006* 6.02
2007* 6.41
Sumber : BPS , data diolah *)angka sementara
83
kenaikanya rendah. Sebaliknya pada tahun 1998 terjadi penurunan yang sangat
drastis yakni -19.02, keadaan ini disebabkan oleh krisis moneter yang diikuti oleh
krisis ekonomi mulai terjadi pada pertenghan tahun. Penurunan ini pun terjadi di
industri, hal ini berpengaruh karena daerah pertanian sudah sedikit dan daerah
Jawa Barat tidak memiliki sumber daya alam yang memadai untuk di jadikan
berjalan lambat, namun masih terlihat adanya indikasi perbaikan kondisi ekonomi
daerah yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang telah mencapai 6,41 dan
setidaknya dapat mendekati keadaan sebelum krisis terjadi, walaupun belum dapat
Gambar 4.1
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1989-2007)
Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah
Jika kita lihat grafik diatas pada tahun 2000 sudah mulai ada perbaikan
kondisi pertumbuhan ekonomi menjadi 4.15, kemudian pada tahun 2001 turun
kembali menjadi 3.89. Dan pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi mencapai
3.94 naik 0.05% dari tahun sebelumnya. Jika kita lihat ada tambahan kenaikan
yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2003 pertumbuhan
ekonomi bergerak di 4.67, maka besarnya kenaikan yaitu 0.7%. pada tahun 2004
0.85% kenaikan pada tahun ini adalah yang tertinggi di antara periode setelah
terjadi krisis.
baik dari sisi global maupun domestik. Dari sisi global atau sisi eksternal, dampak
sehingga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan deficit fiskal tetap terjaga.
pertumbuhan ekonomi.
daerah, dirasakan perlu untuk melihat rincian laju pertumbuhan ekonomi di daerah
Jawa Barat menurut kabupaten dan kota untuk periode 1989-2007. Hal ini perlu
dilakukan untuk dapat melihat struktur pertumbuhan ekonomi daerah Jawa Barat
dalam kaitannya dengan kabupaten dan kota. berikut adalah laju pertumbuhan
ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat dari tahun 1989 sampai 2007
Tabel 4.2
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa
Barat Periode (1988-2000)
No. Kabupaten/Kota 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
1 Kab. Bogor 10.62 2.33 8.56 9.08 7.97 6.5 9.93 8.63 11.7 4.77 -18 1.6 1,59
2 Kab. Sukabumi 15.9 -3.89 3.56 4.51 7.22 7.82 7.15 7.21 8.67 3.2 -10.8 1.65 12.49
3 Kab. Cianjur 6.03 1.7 4.75 6.74 6.16 7.87 5.53 6.8 6.99 3.67 -6.55 2.14 3.23
4 Kab. Bandung 5.34 6.47 8.36 4.53 5.42 9.41 8.83 9.28 10.53 4.93 -19.6 2.99 5.23
5 Kab. Garut 8.22 10.82 6.52 4.53 8.22 7.25 7.26 7.51 6.82 3.03 -11.6 2.52 3.89
6 Kab. Tasikmalaya 3.62 8.74 3.24 5.67 6.9 5.74 6.06 7.31 7.64 3.62 -13.1 9.35 3.47
7 Kab. Ciamis 6.16 0.12 6.33 3.12 5.02 6.99 5.43 7.71 6.79 3.69 -9.45 2.39 3.32
8 Kab. Kuningan 2.37 5.25 -0.7 5.63 5.88 5.55 5.89 6.49 7.01 3.46 -5.66 -23.5 36.02
9 Kab. Cirebon 1.4 4.68 4.72 6.93 8.63 7.09 7.24 8.05 7.4 3.37 -20.8 3.81 4.38
10 Kab. Majalengka 5.15 4.51 4.7 10.31 6.92 8.21 12.9 7.76 11.29 5.11 -9.16 3.54 4.08
11 Kab. Sumedang 8.64 7.1 4.13 4.87 5.24 5.47 6.33 6.95 7.52 2.88 -11.8 2.22 0.4
12 Kab. Indramayu -2.42 2.75 8.08 2.88 4.46 0.65 -3.79 -0.25 31.35 -6.65 -5.39 -10.7 0.4
13 Kab. Subang 5.99 11.24 0.45 4.09 3.03 4.03 5.46 6.84 7.39 3.28 0.18 0.29 3.71
14 Kab. Purwakarta 5.74 4.6 3.07 9.27 5.89 7.93 12.6 7.53 7.7 2.09 -11.7 115 2.59
15 Kab. Karawang 4.15 3.44 2.23 6.67 6.68 9.51 9.21 8.06 9.11 4.52 -19.8 7.78 10.51
16 Kab. Bekasi 8.33 5.65 9.53 7.17 15.6 16.05 15.5 14.4 5.07 6.93 -21.4 2.34 5.58
17 Kota Bogor 6.22 6.55 3.07 8.29 7.1 7.2 6.86 10.06 11.2 5.09 -16.7 19.6 4.6
18 Kota Sukabumi 15.9 -3.89 3.56 5.2 6.65 6.71 7.64 7.8 7.27 3.86 -17.2 3.2 4.28
19 Kota Bandung 7.24 10.52 9.05 10.77 11.18 12.52 10.1 12.32 9.31 4.47 -19.7 2.8 5.14
20 Kota Cirebon 7.67 8.53 3.26 6.44 6.8 8.02 7.34 8.32 51.92 6.64 -5.28 2.29 3.56
Sumber : BPS {data diolah}
Tabel 4.3
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) kabupaten dan kota di Provinsi Jawa
Barat Periode (2001-2007)
No. Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1 Kab. Bogor 3.94 4.42 4.84 5.58 5.85 5.95 6.04
2 Kab. Sukabumi 10.22 7.97 3.74 3.96 4.35 3.92 4.19
3 Kab. Cianjur 3.69 3.74 3.68 3.97 3.82 3.34 4.22
4 Kab. Bandung 4.78 4.78 4.99 5.61 5.55 5.62 5.92
5 Kab. Garut 3.62 3.96 2.7 4.01 4.16 4.11 4.76
6 Kab. Tasikmalaya 3.14 3.53 3.44 3.52 3.83 4.01 4.33
7 Kab. Ciamis 2.93 4.18 4.08 4.36 4.58 3.84 5.01
8 Kab. Kuningan 4.3 3.58 3.54 4.04 4.08 4.13 4.22
9 Kab. Cirebon 4.88 4.12 4.04 4.67 5.06 5.14 5.37
10 Kab. Majalengka 4.89 3.31 3.24 4.08 4.46 4.18 4.87
11 Kab. Sumedang 3.44 3.98 3.86 4.31 4.52 4.17 4.64
12 Kab. Indramayu -9 0.54 31.35 4.65 -7.82 2.42 2.62
13 Kab. Subang 1.67 12.79 7 7.17 6.97 3.75 5.09
14 Kab. Purwakarta 3.5 4 3.01 3.72 3.51 3.87 3.9
15 Kab. Karawang 15.48 2.46 4.58 10.78 7.87 7.52 7.11
16 Kab. Bekasi 4.75 5.22 4.75 6.11 6.01 5.99 6.14
17 Kota Bogor 5.68 5.79 6.07 6.1 6.12 6.03 6.09
18 Kota Sukabumi 5.08 5.34 5.39 5.77 5.95 6.23 6.51
19 Kota Bandung 7.54 7.13 7.34 7.49 7.53 7.83 8.24
20 Kota Cirebon 3.57 4.17 4.29 4.66 4.89 5.54 6.17
Sumber : BPS {data diolah}
87
Gambar 4.2
Laju Pertumbuhan Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat periode
1989-2007.
Sumber: Biro Pusat Statistik, data diolah
Seluruh Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya
berbeda dengan Kabupaten dan Kota di lainnya . Sumber daya alam yang tinggi
ekonomi.
setelah tahun 2002, meskipun tidak terlalu signifikan pada sebelum krisis, namun
di alami seperti pada tahun 1998 yang mencapai PDRB setiap tahunnya tidak
peningkatn tren pada tahun 1999 yakni laju pertumbuhannya sebesar -7.79 persen,
sebelumnya.
daerah kedepan, dengan memperhatikan modal dasar yang dimiliki Provinsi Jawa
Barat.
terakhir sebesar 6.93 per tahun mengalami peningkatan sebesar 26.84 persen dari
tahun 1996 hal itu dikarenakan kabupaten bekasi memiliki potensi unggulan yang
89
Indramayu, Karawang,Bekasi dan Kota Cirebon yang memiliki sumber daya yang
baik, namun juga dicapai oleh hampir semua kabupaten dan kota, seperti Kota
Bandung tahun 2002 mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi yakni sebesar
7.13, tahun 2003 mencapai tren 7.34, tahun 2004 mencapai tren 7.49 dan tahun
pertumbuhan relative cepat adalah Kota Bandung dimana pada periode setelah
tahun 1999 yaitu 2.8 % mengalami pergerakan yang tinggi sampai pada tahun
urusan strategis bagi daerah. Hal ini berbeda keadaannya jika dibandingkan pada
sentralistik oleh pemerintah pusat. Keadaaan ini memang tidak terlepas dari UU
No. 5 Tahun 1974 yang berlaku saat itu, di mana pemerintah pusat menguasai dan
penerimaan Negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam (SDA),
90
proporsional, sehingga hasil yang diterima daerah lebih rendah darii ekonominya.
Kekayaan sumber daya alam Jawa Barat yang cukup melimpah merupakan
lahan sawah ber-irigasi teknis seluas 380.996 ha, sementara sawah ber irigasi
setengah teknis 116,443 ha, dan sawah ber irigasi non teknis seluas 428.461 ha.
Total saluran irigasi di Jawa Barat sepanjang 9.488.623 km, Sawah-sawah inilah
yang pada 2006 menghasilkan 9.418.882 ton padi, terdiri atas 9,103.800 ton padi
kuintal per ha, Kendati demikian, luas tanam terluas adalah untuk komoditas
jagung yang mencapai 148.505 ha, Jawa Barat juga menghasilkan hortikultura
terdiri dari 2.938.624 ton sayur mayur, 3.193.744 ton buah buahan, dan 159.871
Pertanian di Provinsi Jawa Barat secara umum sudah ada dan tumbuh di
masyarakat, memiliki potensi yang besar dan variatif, dan didukung oleh kondisi
luas (tanaman, ternak, ikan, dan hutan). Kondisi tersebut mendukung Jawa Barat
91
penyerapan tenaga kerja yang tinggi yaitu sebesar 29.65 persen dari jumlah
menunjukkan keharmonisan baik pada skala lokal, regional, dan nasional. Cara
pandang sektoral yang belum terintegrasi pada sistem pertanian serta ketidaksiapan
sektor pertanian
Selain itu, di Jawa Barat juga terdapat potensi hutan alam dan hutan
tanaman yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, meskipun potensi itu tidak sebesar
daerah Sumatra dan Kalimantan. Hutan di Jawa Barat juga luas, mencapai
764.387,59 ha atau 20,62% dari total luas provinsi, terdiri dari hutan produksi
serius pada hutan mangrove yang mencapai 40.129,89 ha, tersebar di 10 kabupaten
yang mempunyai pantai. Selain itu semua, ada lagi satu hutan lindung seluas
32.313,59 ha yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III jawa Barat dan Banten.
Dari hutan produksi yang dimilikinya, pada 2006 Jawa Barat memetik hasil
200.675 m³ kayu, meskipun kebutuhan kayu di provinsi ini setiap tahun sekitar 4
juta m³. Sampai 2006, luas hutan rakyat 214.892 ha dengan produksi kayu sekitar
893.851,75 m³. Jawa Barat juga menghasilkan hasil hutan non kayu cukup
92
potensial dikembangkan sebagai aneka usaha kehutanan, antara lain sutera alat
jamur, pinus, gerah damar, kayu putih, rotan, bambu, dan sarang burung walet.
lele, udang windu, kerang hijau, gurame, patin, rumput laut dan udang vaname. Di
tahun 2006, provinsi ini memanen 560,000 ton ikan hasil budidaya perikanan dan
payau, atau 63,63% dari total produksi perikanan Jawa Barat. Budidaya perikanan
di Jawa Barat berupa perikanan laut dan darat yang didukung oleh perikanan air
tawar di waduk Saguling, Jatiluhur, Cirata, dan sungai-sungai serta budi daya
mana hampir setiap Kota memiliki sektor unggulan yang lebih banyak
dibandingkan Kabupatennya.
Di bidang peternakan, sapi perah, domba, ayam buras, dan itik adalah
komoditas unggulan di Jawa Barat. Data 2006 menyebutkan kini tersedia 96.796
sapi perah (25% populasi nasional), 4.249.670 domba, 28.652.493 ayam buras
5.596.882 itik (16% populasi nasional). Kini hanya tersedia 245.994 sapi potong di
jawa Barat (3% populasi nasional), Jawa Barat membagi kawasan pengembangan
2. Jawa Barat Bagian Tengah Untuk Sapi Perah, Ayam Ras, Dan Domba; Serta
perkebunan, antara lain teh, cengkeh, kelapa, karet, kakao, tembakau, kopi, tebu,
dan akar wangi. Dari semua jenis komoditas itu, cengkeh, kelapa, karet, kakao,
tembakau, dan kopi merupakan komoditas unggulan nasional asal Jawa Barat. Dari
sisi lahan, produktivitas terbaiknya, yakni luas areal tanam sama dengan Iuas
tanaman yang menghasilkan, adalah komoditas tembakau dan tebu. Dari sisi
produksi, produktivitas terbanyak adalah kelapa sawit (6,5 ton per ha)dan tebu (5,5
ton per).
Dalam Indonesia Tanah Airku tahun 2007 mengungkapkan Jawa Barat juga
menghasilkan produksi tambang unggulan. Pada 2006, berhasil dieksplorasi 5.284 ton
zeolit, 47.978 ton bentonit, serta pasir besi, semen pozolan, felspar dan barn
Barat terdapat 3 Daerah Jawa Barat mempunyai berbagai potensi bahan tambang dan
galian, seperti minyak dan gas bumi di daerah Cirebon dan Indramayu, tambang emas di
Gunung Pongkor, Gunung Limbung, dan Purwakarta. Kontribusi industri cukup menonjol
Berikut adalah kondisi provinsi Jawa Barat dalam bentuk gambar yang berupa peta :
Gambar 4.3
Sumber : BAPPENAS
94
alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat
diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan
Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta
Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan
dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan
dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat
Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera
Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat
Sunda); luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara
tengah.
luas wilayah Jawa Barat saat ini menjadi 35.746,26 Km2. Ciri utama daratan Jawa
Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang
membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi.
ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang
landai di tengah ketinggian 100 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara
ketinggian 0 . 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai. Iklim di Jawa Barat adalah
Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah
kelautan. Sayangnya, kondisi dan potensi sumber daya perikanan dan lautan yang
besar ini tidak diikuti dengan perkembangan bisnis dan usaha perikanan dan
kelautan yang baik. Terbukti dengan masih rendahnya tingkat investasi dan
produksi sumber daya perikanan dan kelautan yang masih jauh dari potensi yang
ada serta lemahnya kondisi pembudidaya dan nelayan sebagai produsen. Iklim
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran penting dalam
belum dioptimalkan hingga saat ini. Fenomena yang terjadi justru menunjukkan
bahwa kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup Jawa Barat berada pada
munculnya konflik sosial antara pencemar dan yang tercemar, serta konflik
pemanfaat sumber daya alam dan lingkungan di hulu dan hilir. Faktor-faktor
96
waktu sepuluh tahun ini antara lain, masih tingginya tingkat alih fungsi lahan
yang merusak lingkungan, dan pengambilan sumber daya air yang kurang
tersebut diperparah dengan perilaku dan budaya yang belum ramah lingkungan,
Upaya pengelolaan lingkungan saat ini masih belum mampu menahan laju
galian, seperti minyak dan gas bumi di daerah Cirebon dan Indramayu, tambang
emas di Gunung Pongkor, Gunung Limbung, dan Purwakarta. Selain itu, Jawa
Barat juga memiliki bahan galian marmer di daerah Tasikmalaya, Bandung, dan
Cirebon, fosfat banyak terdapat di daerah Ciamis dan Sukabumi, serta bentonit,
Jawa Barat tahun 1997 adalah sebagai berikut: batu kapur 12.650.408 ton, pasir
1.487.630 ton, pasir kuarsa 144.710 ton, sirtu 2.158.126 ton, tanah liat 2.074.489
ton, dan tanah urug 1.623.186 ton; andesit 4.620.641 ton; bentonit 41.591 ton;
fosfat 9.454 ton; kaolin 2.623 ton; trass 768.280 ton; dan zeolit 2.553 ton.Hasil
produksi bahan galian tahun 1998 menunjukkan data berikut: andesit 1.342.321
97
ton; batu kapur 3.481.841 ton; bentonit 43.576 ton; diatom 19.361 ton; feldspar
5.457 ton; gipsum 1.648 ton; marmer 103 ton; sirtu 274.474 ton; pasir 48.626 ton;
pasir kuarsa 126.286 ton; tanah liat 85.182 ton; trass 42.936 ton; zeolit 1.452 ton;
sedangkan Kota Bandung unggul di 7 (tujuh) sektor ekonomi. Baik di era sebelum
pengolahan; Kota Bekasi di era sebelum otonomi unggul pada 4 (empat) sektor
dan 6 (enam) sektor di era selama otonomi daerah. Kabupaten Bogor, memiliki 3
(tiga) sektor unggulan di era sebelum dan selama otonomi daerah; Kota Bogor
pada era selama otonomi daerah unggul di 6 (enam) sektor. Berbeda dengan yang
unggulan dan 6 (enam) sektor di era selama otonomi daerah; sedangkan Kota
Cirebon unggul hanya di 3 (tiga) sektor ekonomi pada era sebelum otonomi dan 5
(lima) sektor di era pelaksanaan otonomi daerah. Baik pada era sebelum maupun
sedangkan Kota Sukabumi memiliki 5 (lima sektor unggulan baik di era sebelum
Tasikmalaya, namun pada era selama otonomi daerah terdapat 5 (lima) sektor
bagi hasil, pola bagi hasil masih dilakukan basis per basis pajak dan belum
mencakup setiap sumber pendapatan pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih
besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA), dinilai lebih menguntungkan
daerah yang kaya SDA dan tidak menguntungkan daerah yang bukan penghasil
Data di atas menunjukkan bahwa kapasitas fiskal Jawa Barat masih belum
optimal. Dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah masih belum optimal karena sejumlah kendala, antara lain belum terdatanya
semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan
perimbangan, permasalahan yang dihadapi antara lain masih belum akuratnya data
obyek dan subyek PBB, BPHTB, dan PPh Perseorangan. Dalam kaitannya dengan
dan lifting migas. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum
masyarakat yang terbilang masih terbatas. Akibatnya, potensi alam dan sumber
daya manusia tidak tereksplorasi dengan efektif. Dengan demikian, kawasan Jabar
persoalan kelebihan tenaga kerja. Hal ini dapat di atasi dengan optimalisasi
penerimaan bagi hasil migas dan pertambangan umum, peningkatan dana alokasi
umum melalui penyampaian aspirasi dau kepada DPR RI dan DPD asal pemilihan
sekurangnya untuk kurun waktu dekat. Peran bagi hasil terutama bagi hasil
sumber daya alam yang akan di bagi-hasilkan adalah penerimaan Negara bukan
3.2% dari Net Operating Income [NOI] untuk minyak bumi dan 3.22% dari NOI
untuk gas alam. Yang perlu di perhatikan pada dua operasi penambangan yang
100
tentu menghasilkan NOI yang lebih besar, arena tergantung dari besarnya biaya
untuk satu tahun. Hal ini dapat terjadi pada operasi penambangan yang relative
Berbeda dengan migas, penerimaan Negara bukan pajak yang akan dibagi-
hasilkan dengan pemerintah daerah dari sektor pertambangan umum terdiri dari
royalty dan iuran tetap sewa tanah [land rent] . adapun besarnya tariff royalty
berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian antara 2-7%
[BAPPENAS].
akan diterima kabupaten/kota penghasil adalah sekitar 0.64 sampai 2.24% dari
Tabel 4.4
Sumber Daya Alam di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Sumber Daya Alam
Kabupaten
No 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Dan kota
1 Kab. Bogor 319,354.67 314,219.48 340,063.42 314,553.30 282,74.39 307,414.98 312,423.76
2 Kab. Sukabumi 445,188.09 469,879.35 372,655.96 342,624.79 362,693.75 365,039.13 378,452.02
3 Kab. Cianjur 6,893.90 7,197.20 7,525.05 7,879.30 8,262.63 8,678.05 9,129.16
4 Kab. Bandung 195,647.68 217,115.22 234,475.15 216,746.78 224,656.93 234,570.64 245,205.26
5 Kab. Garut 10,510.53 10,557.19 10,606.52 10,665.92 10,842,97 11,479.99 12,644.15
6 Kab. Tasikmalaya 6,307.79 6,332.12 7,002.64 10,725.52 10,788.56 11,253.29 11,826.03
7 Kab. Ciamis 18,732.54 19,348.84 20,186.64 20,911.35 21,815.20 22,699.03 23,434.81
8 Kab. Kuningan 24,688.78 25,003.99 25,034.77 25,112.47 25,137.58 25,579.80 26,032.73
9 Kab. Cirebon 21,551.08 22,510.10 23,766.02 24,921.98 26,236.75 27,882.58 30,157.80
10 Kab. Majalengka 115,462.92 129,961.37 142,839.35 141,788.32 146,408.36 150,590.75 159,586.22
11 Kab. Sumedang 3,594.14 3,882.16 4,272.92 4,632.79 5,059.51 5,572.44 5,925.79
12 Kab. Indramayu 13,499,397.37 13,188,253.18 8,163,923.32 5,177,20.11 4,207,725.19 4,182,823.23 4,251,005.51
13 Kab. Subang 893,822.23 1,353,571.88 488,513.42 623,780.35 754,057.21 714,489.38 749,955.13
14 Kab. Purwakarta 8,765.40 9,091.40 8,903.96 9,202.51 9,603.73 10,034.68 10,067.79
15 Kab. Karawang 1,086,075.10 880,312.06 613,876.00 656,627.65 765,288.00 818,156.00 780,931.53
16 Kab. Bekasi 300,607.33 497,863.01 502,348.78 482,680.71 574,372.90 596,695.49 580,274.39
17 Kota Bogor 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
18 Kota Sukabumi 132.47 120.53 120.63 122.83 125.49 122.31 114.36
19 Kota Bandung 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
20 Kota Cirebon 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gambar 4.4
Sumber Daya Alam Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa Barat
periode 2001-2007.
Sumber : BPS [data diolah]
Perkembangan sumber daya alam yang ada di kabupaten dan kota pada
berfluktuasi, malah mengalami hal yang sebaliknya yaitu hanya bertahan pada
posisi stabil dari tahun ke tahunya dalam periode 2001 sampai 2007.
Jika kita lihat pada gambar diatas kondisi berbeda terjadi pada tahun
sumber daya alam yang ter tinggi diantara kabupaten dan kota lainnya di Jawa
103
Barat.
Stagnasi sumber daya alam rata-rata terjadi di kabupaten dan kota pada
Provinsi Jawa Barat, hal ini dapat terjadi karena sumber daya alam berupa hasil
pertambangan yang ada semakin lama akan semakin berkurang dalam hal
sedangkangkan wilayah kota hasil yang ada sebesar nol karena sesungguhnya
wilayah kota tidak memiliki sumber daya alam yang berupa hasil pertambangan.
Jika kita lihat pada gambar, telah tercermin bahwa terdapat tiga lavel
kemampuan suatu kabupaten dan kota di Jawa Barat yaitu level yang pertama
adalah kabupaten yang memiliki banyak hasil sumber daya alam, diantara
kabupaten yng ada pada level ini diantaranya adalah Kabupaten Indramayu, pada
adalah baupaten dan kota yang ter sisa, dan yang terrendah adalah wilayah kota
pada tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 4,182,823.23 dibandingkan dengan periode
wilayah yang paling tinngi hasil sumber daya yang ada di bandingkan dengan
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat. Secara umum pada periode tahun
mengalami penurunan, tetapi pada dua tahun terakhir ada kenaikan, walaupun
104
sangat sedikit yaitu sebesar 0.068% dari Rp. 4,182,823.23 menjadi Rp.
4,251,005.51.
(penerimaan dn pengeluaran) dari level pemerintah yang lebih tinggi kepada level
tahun 1999, pada bulan Januari tahun 2001 Indonesia telah melakukan trasformasi
undang yang lebih dikenal sebagai undang-undang Otonomi Daerah ini menjadi
tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II,
personil, dan asset dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten,
dan kota. Hal ini bermakna bahwa tambahan kekuasaan dan tanggungjawab
lebih luas dan bertanggung jawab. Pada masa lalu, tata pemerintahan di Indonesia
mengubah persepsi, cara pandang, dan pola pikir pemerintah pusat dan
pemerintah saja, kemudian menjadi milik dan kewajiban bersama pemerintah dan
keamanan, politik luar negeri, yustisi, moneter, dan fiscal nasional serta
1. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun kabupeten dan kota
2. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten dan kota
Indonesia sejak tahun 1974 dengan menerapkan UU No.5 tahun 1974 tentang
atau dari suatu pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah
keinginan masyarakat agar kehidupannya lebih baik terutama didukung oleh fakta
di masa lalu, banyak praktek kekuasaan yang tidak adil dilakukan oleh pemerintah
pusat, yaitu dalam pembagian kekayaan yang diperoleh pemerintah pusat dari
daerah. Oleh karena itu, pada tahun 1999 lahirlah undang-undang yang
undang-undang otonomi daerah yang baru adalah kebutuhan dana yang cukup
besar. Untuk itu, perlu diatur hubungan keuagan antara puat dan daerah yang
keuangan antara pusat dan daerah. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah
adalah pendapatan asli daerah (PAD), pinjaman daerah, serta Dana perimbangan
yang diantaranya meliputi dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus
(DAK).
fiskal dapat menimbulkan efek positif terhadap efisiensi ekonomi sektor public,
tersebut dapat dibuktikan di Jawa Barat. Hal ini menunjukan bahwa efek
Namun dari sisi penerimaan, daerah kabupaten dan kaota di Jawa Barat dalam
sangat rendah, walaupun peranan dana perimbangan yang berasal dari pusat
sangat besar.
sumber daya akan memperoleh pembagian yang adil dari pendapatan yang
dihasilkan.
ketimpangan dan ketidakadilan dalam alokasi keuangan baru untuk daerah yang
dinamakan dengan dana perimbangan yang terdiri dari tiga bagian untuk daerah
dari hasil pemasukan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), Dana Alokasi
biberlakukan dahulu dihapuskan dan diganti dengan DAU, hal ini bertujuan untuk
imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam
negeri dan akan dibagikan kepada seluruh provinsi dan kabupaten dan kota
menurut suatu rumusan. Dalam undang-undang No. Tahun 2004 secara eksplisit
disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni
110
Kebutuhan DAU suatu daerah dapat di tentukan atas konsep fiskal gap, yaitu
selisih antara kapasitas dan kebutuhan daerah dengan kata lain DAU digunakan
untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari
kemampuan fiskal relative besar. Sebaliknya, perolehan DAU yang lebih besar
Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber
berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada
Barat setiap Kabupaten dan Kota , dapat dilihat pada gambar 4.5 dibawah ini:
111
Tabel 4.5
Dana Alokasi Umum di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Dana Alokasi Umum
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
kab. Bogor 479,574,013 521,753,720 511,453,507.40 591,852,182.00 627,953,000.00 806,990,000.00 962196000.00
kab. Sukabumi 302,054,930 328,030,000 0 418,183,000.00 446,400.00 684,475,000.00 759683000.00
kab. Cianjur 296,188,193 335,620,000 389,850,000.00 411,220,000.00 443,536,200.00 675,881,000.00 757052000.00
kab. Bandung 734,074,827 659,036,306 726,240,000.00 757,285,000.00 802,830,000.00 1,168,636,000.00 1351912000.00
kab. Garut 370,108,072 401,240,000 468,170,000.00 490,611,000.00 520,630,992.00 830,714,900.00 911801000.00
kab. Tasikmalaya 382,120,225 338,880,000 375,630,000.00 387,801,000.00 411,220,000.00 648,149,000.00 718561000.00
kab. Ciamis 307,370,712 316,760 438,200,000.00 409,150,000.00 432,351,996.00 708,553,000.00 775730000.00
kab. Kuningan 184,986,767 241,430,000 282,600,000.00 293,534,000.00 308,582,000.00 485,246,000.00 550002396.00
kab. Cirebon 296,182,030 324,510,000 384,660,000.00 407,416,000.00 455,088,000.00 653,606,000.00 730885992.00
kab. Majalengka 233,941,752 228,748,729 295,270,000.00 308,162,000.00 328,468,000.00 508,346,000.00 555540000.00
Gambar 4.5
Dana Alokasi Umum Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa
Barat periode 2001-2007.
Pergerakan Dana alokasi umum Provinsi Jawa Barat yang terdapat pada
gambar di atas mencerminkan kenaikan yang cukup tinggi pada periode 2001-
2007 di setiap kabupaten dan kota. Khususnya loncatan yang tinggi sebesar
artinya terjadi kenaikan 45.2% pada 2007. Dapat di ambil contoh pada Kabupaten
Bandung tahun 2005 dana alokasi umumnya sebesar Rp.802,830,000.00 dan pada
pemberian dana alokasi umum di bandingkan dengan kabupaten dan kota lain di
Jawa Barat. Dapat terlihat pada setiap tahunnya menempati posisi tertinggi dalam
yang pernah di terima oleh kabupaten bandung adalah pada tahun 2002 sebesar
Rp. 659,036,306.00, jika dibandingkan dengan kabupaten dan kota liannya pada
tahun yang sama maka terlihat bahwa anggka penerimaan dana alokasi umum
Kabupaten Bandung masih tergolong tinggi. Dan dana alokasi umu tertinggi yang
umum di Jawa Barat. Tetapi penerimaan terendah di Jawa Barat dari pemerintah
pusat adalah Kota Cirebon, hal ini di indikasikan dengan keadaan tahun 2003
yang tidak sepeserpun dana alokasi umum mengalir ke pemerintah Kota Cirebon.
Dengan demikian Kota Cirebon dapat di artikan pada tahun tersebut telah lakukan
operasional pemerintahan dengan sumber daya lokal yang ada, dan tidak
pemerintahaannya.
Bandung sangat jauh ketimpangannya, hal ini terlihat pada tahun 2007 Kota
10,47,442,000.00.
114
di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi priorotas
nasional yang urusannya berada di daerah. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh
peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat
dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadan sarana fisik penunjang.
Tabel 4.6
Dana Alokasi Khusus di Jawa Barat periode 2001-2007
[dalam juta rupiah]
Gambar 4.6
Dana Alokasi Khusus Kabupaten dan Kota dalam Propinsi Jawa
Barat periode 2001-2007.
Sumber : BPS [data diolah]
Pada tahun 2001 hanya beberapa kabupaten dan kota di provinsi jawabarat
Rp.1,398,000.00. Kondisi ini hampir sama dengan tahun 2002 bahkan Kabupaten
Garut dan Kabupaten Bekasi tidak menerima dana alokasi khusus, oleh karena itu
pada tahun 2002 yang menerima dana alokasi khusus adalah Kabupaten
Purwakarta saja.
yang fluktuatif cenderung meningkat. DAK terbesar diterima oleh Kota Bandung,
Rp.13,490,000.00. Pada tahun 2005 sebesar Rp. 16,990,000.00. Pada tahun 2006.
Sampai dengan 2005, proporsi alokasi DAK tidak seluruh kabupaten dan
kota di Jawa Barat memperoleh dana alokasi khusus, paling tidak ada wilayah
Sedangkan pada tahun 2006 mengalami kemajuan yaitu seluruh kabupaten dan
kota di Jawa Barat menerima dana alokasi khusus dan jumlahnya berfariasi
pemerinttah pusat. Dalam tahun 2006 dan tahun 2007 Kabupaten Bogor memiliki
dana alokasi khusus sebesar Rp. 7,620,000.00 dan Rp. 7,587,700.00. sedangkan
pada tahun 2006 wilayah yang terbanyak dana alokasi khususnya adalah Kota
bervariasi sebagian kabupaten dan kota naik dan sebagian lagi turun. Yang
Yang beda sendiri yaitu Kota Bandung yang pada tahun 2006 kenaikannya
pada tahun setelahnya yaitu tahun 2007 ke posisi Rp. 12491398.16, dapat
2007”, menggunakan EViews (Econometric Views) 5.1, data yang diperoleh dari
a) Uji Hausman
Uji hausman merupakan cara Untuk mengetahui teknik estimasi yang tepat
dalam penelitian ini, antara model Fixed Effect dan Random Effect yang akan
dilakukan. Adapun kriterianya, jika nilai statistik Hausman > Nilai Chi-Square
maka model yang tepat adalah model Fixed Effect sedangkan sebaliknya jika nilai
statistik Hausman < Nilai Chi-Square maka model yang tepat adalah model
berikut:
119
Tabel 4.7
Matriks Uji Hausman
Chi Squares (5%)
Statistik Hausman Kriteria Keputusan
dan (1%)
7, 81473 dan
17.502867 > Fixed Effect
11,3449
Hausman lebih kecil dari nilai statistic chi-squares maka model yang tepat untuk
Effect menggunakan EViews (Econometric Views) 5.1, data yang diperoleh dari
3,262102 DUMMY
digunakan untuk melihat kualitas model, selain itu dapat digunakan untuk melihat
tidak terkena multikolinearitas karena nilai R2-nya tidak terlalu tinggi, karena
menyatakan bahwa model regresi yang dihasilkan adalah baik, salah satunya
tersebut) dapat terlihat model regresi yang dihasilkan memenuhi persyaratan Best
variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi variabel independen, nilai
121
penelitian semakin baik. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai Koefisien
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu dengan pengujian satu sisi
(one side) atau satu ujung (one tail), hal ini dilakukan karena pengaruh variabel
sebelah kanan dengan kriteria t hitung > t tabel H0 ditolak dan H1 diterima
sebagai berikut:
122
Menolak
SDA 6,727038 > 2,015 Signifikan
H0
Menolak
DAU 15,02438 > 2,015 Signifikan
H0
Menolak
DAK 5,059632 > 2,015 Signifikan
H0
Menolak
DUMMY 3,015213 > 2,015 Signifikan
H0
dan nilai t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan
Untuk thitung Dana Alokasi Umum ( DAU ) sebesar 15,02438 dan ttabel = 2,015,
maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 yang berarti Dana
dengan nilai probabilitasnya sebesar 0,0285 atau tingkat ketidak yakinan sebesar
2%. Untuk nilai thitung Dana Alokasi Khusus ( DAK ) sebesar 5,059632 dan nilai
t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis ini menerima H0 dan menolak H1 ,
ekonomi, hal ini terbukti dengan tingkat probabilitasnya sebesar 0,0473 atau
tingkat ketidak yakinan sebesar 4%. Untuk nilai thitung Dummy Waktu (DUMMY)
sebesar dan nilai 3,015213 dan nilai t tabel = 2,015, maka thitung > ttabel. Hipotesis
123
ini menerima H0 dan menolak H1, berarti Dana Alokasi Khusus berpengaruh
berpengaruh terhadap variabel bebas. Kriteria pengujian uji F adalah jika nilai
Fhitung > Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 ditolak dan H1 diterima yang
berarti ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-sama dari keseluruhan
sebaliknya jika Fhitung < Ftabel dengan taraf keyakinan 95%, maka H0 diterima dan
H1 ditolak yang berarti tidak ada pengaruh secara serempak atau secara bersama-
dependen.
Berpengaruh secara
18,06828 > 5,19 Menolak H0
simultan
Fhitung sebesar 18,06828 dan untuk nilai Ftabel = 5,19 dari df pembilang 4, penyebut
5, dengan tingkat signifikan α = 5%. Dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel
berarti H0 ditolak dan H1 diterima, yang menunjukan bahwa variabel bebas secara
diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi
nilai F hitung dengan nilai F kritis. Jika nilai hitung F lebih besar dari nilai kritis
hitung lebih kecil dari nilai F kritis maka dapat dipastikan model tidak
Keterangan:
dengan df 4,9=6,00, untuk regresi SDA dengan DAU, DAK, dan Dummy adalah
sebesar 2,347547 < 6,00 maka pada regresi SDA dengan DAU, DAK, dan
maka pada regresi DAU dengan SDA, DAK, dan DUMMY tidak terdapat
multikolinearitas. Untuk DAK dengan SDA, DAU, dan DUMMY adalah sebesar
126
0,894257 < 6,00 maka pada regresi DAK dengan SDA, DAU, dan DUMMY
Untuk DUMMY dengan SDA, DAU, DAK sebesar 5,810428 < 6,00
maka pada regresi DUMMY dengan SDA, DAU, DAK tidak terdapat
Asumsi penting lain dari model linier Klasik adalah bahwa gangguan
dengan nilai X, dimulai dari nilai yang paling kecil hingga yang paling besar, serta
Dengan ketentuan apabila Fhitung lebih besar dari Ftabel maka hasil regresi
pertama yakni sebesar: RSS= 5,64 X 108 dan RSS (Sum Squared Residual) dari
observasi kedua sebesar: RSS2= 1,57X 1010 sehingga dapat diketahui nilai statistic
1.57 X1010 / 6
φ= = 0.283394
5.64 X 10 8 / 6
Tidak mengandung
0,283394 < 4,95
heteroskedastisitas
dan 5 untuk denumerator pada α = 5% adalah 4,95. maka menerima Hipotesis nol
karena nilai Fhitung ( φ ) lebih kecil dari nilai kritis Fstatistic. Maka dapat disimpulkan
diketahui hasil estimasi, angka durbin Watson dalam penelitian ini sebesar 1.248
dengan k= 4 dan n=18 dari tabel statistik Durbin Watson pada tingkat penting
Tolak H0 Tolak H0
berarti ada berarti ada
autokorelasi idak dapat Tidak menolak H0 Tidak dapat autokorelasi
diputuskan berarti tidak ada diputuskan
positif negatif
0 dL du autokorelas
2 i 4-du 4-dL
Berdasarkan uji estimasi angka Durbin Watson sebesar 1.248 berarti nilai
Durbin Watson pada model tersebut terletak di darah keragu-raguan atau tidak
dapat dipastikan ada auotokorelasi positif atau negatif. Karena kriterianya yaitu
dan autokorelasi. Melalui kriteria ekonomi (uji asumsi klasik tersebut) dapat
4.3 Pembahasan
data panel dengan teknik estimasi Fixed Effect diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4.14
Pengujian Model Penelitian dengan Fixed Effect
Dependent Variable: LPE?
Method: Pooled Least Squares
3,262102 DUMMY
Tabel 4.15
Besarnya Intersep pada 26 Propinsi
PROVINSI INTERSEP
_KBBGR--C 0,059071
_KBSKBM--C 1,213757
_KBCNJR--C -0,029789
_KBBNDNG--C 0,622246
_KBGRT--C -0,207255
_KBTSK--C 0,012853
_KBCMS--C 0,545884
_KBKNNGN--C 0,502737
_KBCRBN--C -0,125958
_KBMJLNGK--C -0,249348
_KBSMDNG--C -0,216579
_KBINDRMY--C 0,208059
_KBSBNG--C -0,304395
_KBPRWKRT--C -0,791884
_KBKRWNG--C 0,861925
_KBBKS--C -0,280840
_KTBGR--C 0,463986
_KTSKBM--C -1,036103
_KTBNDNG--C 0,092247
_KTCRBN--C 0,040170
_KBBGR--C 0,059071
_KBSKBM--C 1,213757
_KBCNJR--C -0,029789
_KBBNDNG--C 0,622246
_KBGRT--C -0,207255
Sumber: Pengujian model EViews
Daya Alam (SDA) sebesar 3,013037; hal ini menunjukan bahwa jika Sumber
Daya Alam meningkat 1%, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar
3,013037%. untuk koefisien regresi variabel Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar
5,136782; hal ini menunjukan bahwa jika Dana Alokasi Umum naik Rp. 1 juta,
Alokasi Khusus sebesar (DAK ) sebesar 4,097236; hal ini menunjukan bahwa
131
Dana Alokasi Khusus meningkat RP. 1 juta , maka pertumbuhan ekonomi akan
koefisien
β 0 (konstanta) menunjukan jika Pertumbuhan ekonomi tidak
dipengaruhi oleh sumber daya alam, dana alokasi umum dan serta dana alokasi
Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai Koefisien determinasi (R2) sebesar
Unbiased Estimator). Maka dapat diindikasikan bahwa model regresi yang dibuat
tidak ada pengaruh dari Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
dianggap nol, maka Pertumbuhan PDRB setiap Kabupaten dan Kota adalah
senilai masing-masing intersep daerah tersebut. Apabila dilihat dari dari intersep
masing-masing Propinsi yang memiliki nilai berbeda, dapat kita simpulkan bahwa
setiap propinsi yang dilakukan penelitian memiliki karakteristik yang berbeda satu
sama lain.
bahwa sumber daya alam memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Besarnya nilai koefisien sumber daya alam (SDA) sebesar 3,01337, hal
ini menunjukkan bahwa sumber daya alam meningkat Rp. 1 juta, maka
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Adam Smith yang menyatakan bahwa
pertumbuhan output total dipengaruhi oleh tuga aspek yang salah satunya adalah
sumber-sumber daya alam yang tersedia seperti faktor produksi tanah dan lain-
lain. Dari perkembangannya sumber daya alam yang dimiliki oleh Kabupaten dan
Kota di Provinsi Jawa Barat mengindikasikan dengan seluruh sumber daya yang
Sumber daya alam memiliki peranan yang sangat penting menurut Lewis,
karena tersebarnya sumber daya alam yang melimpah di suatu daerah merupakan
suatu daerah yang kekurangan sumber daya alam tidak akan membangun dengan
cepat. Dengan sumber daya alam dapat dipergunakan baik untuk pembangunan
133
dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam.
Keunggulan adanya sumber daya alam yang ada di Jawa Barat dapat
menguntungkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi karena modal yang ada dalam
suatu daerah, maka pemerintah akan mengoptimalkan sumber daya alam yang
yang ada. Semakin banyak atau besar keunggulan sumber daya alamnya maka
semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi di daerah tersebut.
ekonomi masih sangat besar, baik sesaat setelah penerapan desentralisasi fiskal,
menunjukan nilai yang sangat besar yaitu sebesar 5,137. Jika DAU mengalami
kenaiksn sebesar Rp. 1 Juta, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar
5,137 %.
besarnya kekuatan tentaranya atau kemajuan industri suatu negara, tetapi lebih
pada berapa banyak barang yang dapat diakses dan dikonsumsi oleh masyarakat.
134
ekonomi maka untuk memenuhi konsumsi tersebut atau fiskal gap tersebut DAU
di besarkan dan diberikan oleh karena itu semakin besar DAU semakin besar pula
pertumbuhan ekonomi.
Begitu pula di dukung dari penelitian yang di lakukan oleh Abdullah dan
Halim dalam penelitiaanya yang berjudul pengaruh DAU dan PAD terhadap
belanja pemerintah daerah. Studi kasus di Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali,
menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari penerimaan
daerah yang didapat. Ketika dana alokasi umum diberikan lebih kecil kepada
Alokasi Umun yang lebih besar. Contohnya seperti kabupaten bandung dan kota
bandung pada tahun terakhir laju pertumbuhan ekonominya berada di atas rata-
rata kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat, yaitu sebesar 5,92 dan 8,24,
sedangkan dana alokasi umum yang di peroleh pada tahun terakhir masing-masing
pusat, maka ketika semakin besar DAK maka semakin besar pula pertumbuhan
ekonomi yang akan terjadi pada daerah yang mendapatkan kucuran dana alokasi
khusus ini.
Dana Alokasi Khusus sebesar (DAK ) sebesar 4,097236 hal ini menunjukan
bahwa Dana Alokasi Khusus meningkat RP. 1 juta , maka pertumbuhan ekonomi
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang berasal dari APBN dan
nasional.(Ahmad.E.Yustika:2007)
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Di
samping itu tujuan pemberian DAK adalah untuk mengurangi permasalahan yang
meningkatkan penyediaan barang publik di daerah (Mahi, 2002 (c) dalam Joko
DAK sangat penting untuk mempercepat konvergensi antar daerah, karena dana
diberikan sesuai dengan prioritas nasional, misalnya DAK untuk bantuan keluarga
136
miskin. Dalam jangka panjang dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
undangan menjadi urusan daerah akan dialihkan menjadi DAK (Pasal 107 UU No.
33 tahun 2000).
pertumbuhan ekonomi, hal itu menunjukkan jika Pendapatan Daerah dalam hal ini
grants) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan kewajiban daerah penerima
Wibowo, 2002)
terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat, hal ini dapat dilihat dari hasil
pengujian dengan model fixed effect yaitu setiap kenaikan desentralisasi fiskal
terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nobui Akai dan Masayo Sakata (2002) yang melakukan penelitian
dan Zhou (1998). Menurut Davoodi dan Zou, pertumbuhan ekonomi meningkat
karena dua alasan, yaitu: (1) Menstimulasi pertumbuhan ekonomi adalah sasaran
dari desentralisasi fiskal. (2) Hal yang penting bagi pemerintah adalah
pendapatan perkapita. Pada konteks ini adalah hal yang penting bagi pemerintah
lebih efektif jika ditangani oleh pemerintah daerah karena lebih menghayati
alam dan energy, dan tingkat kegiatan ekonomi di daerah tersebut sebelum
semakin besar, namun jika tidak dikelola dengan baik justru akan menciptakan
ketidak efisienan dan pemborosan terhadap dana publik tersebut. Walaupun dalam
Nampaknya masih diperlukan kerja keras dan komitmen semua pihak dalam
Secara teoritis ada salah satu pendekatan yang menerangkan hubungan antara
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yaitu teori modal manusia. Teori modal
139
manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan
lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik
semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih
tinggi.
Menurut Romer (1991) dalam Tobing (2010), modal manusia merujuk pada
pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Hal ini
ekonomi.
kabupaten / kota yang diberikan dalam era desentralisasi fiskal ini, seharusnya
dengan dana yang telah ada dikelola dengan cara yang benar dan profesional tentu
Di era desentralisasi fiskal ini oleh karena itu pemerintah harus bekerja keras
kesehatan yang murah, mudah terjangkau dan merata. indikator keberhasilan lain
banyak dan tinggi pendidikan masyarakat , sehingga stok modal manusia semakin
ekonom.
dalam mengalokasikan sumber daya yang ada. Peningkatan efisiensi ini bisa
ada.
141
sektor pendidikan. tetapi angka na peningkatan ini secara absolut relatif sangat
kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat
pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan masih kecil jika dilihat dari
pemerintah.
kecenderungan yang semakin besar dari waktu-kewaktu. Artinya, dari sisi fiskal
baik. Data yang ada menunjukan bahwa rata-rata alokasi anggaran daerah
terhadap sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 43,489 trilyun (12 %) dari total
APBD di kabupaten dan Kota di Jawa Barat. Keadaan ini sangat memprihatinkan,
No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang secara
anggaran pendidikan tersebut tidak termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan.
Hal ini tentu sangat bertolak belaksng dengan fakta yang ada. Pemerintah
tahun 2009. Namun demikian, komitmen tersebut rasanya sulit terealisasi . pada
142
Jika kita lihat di Amerika Serikat, sekolah dasar dan sekolah menengah
Pengeluaran untuk pendidikan dasar dan menengah mencapai 40% dari total
anggarn pemerintah daerah dan negara bagian. Hal ini merupakan pengeluaran
negara bagian, tanggung jawab utama terhadap pembiayaan sekolan dasar dan
menengah terletak pada pemerintah daerah yang ditujukan umtuk pendidikan bagi
dampak yang cukup besar terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan dapat