Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI DASAR

PERCOBAAN III

DAUR KARBON

NAMA : RIVALDI PRATAMA

NIM : H041201034

HARI/TANGGAL : SABTU/01 MEI 2021

KELAS : BIOLOGI A

LABORATORIUM EKOLOGI DASAR


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I

PENGANTAR

I.1 LATAR BELAKANG

Konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer cenderung meningkat

dari tahun ke tahun. Pada tahun 1800 konsentrasi karbondioksida di

atmosfer telah mendekati angka 280 ppm, yang pada awalnya terjadi

peningkatan secara perlahan dan kemudian menjadi lebih cepat yakni

mencapai nilai 367 ppm pada tahun 1999. Nilai ini terus meningkat sejalan

dengan meningkatnya budidaya pertanian dan industri global (IPCC, 2001).

Manusia telah meningkatkan jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer dengan

melakukan pembakaran bahan bakar fosil, limbah padat dan kayu untuk

menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan

listrik. Pada saat yang sama, jumlah vegetasi yang mampu menyerap

karbondioksida semakin berkurang, akibat perambahan hutan untuk

diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian. Walaupun

lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di

atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh

lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Menurut JANZEN

(2004) bahwa karbon dapat diambil dan dikembalikan ke atmosfer melalui

beberapa cara.
1.2 TUJUAN PRAKTIKUM

1. Untuk mengetahui pengaruh CO2 terhadap Ph di suatu perairan

2. Untuk mengetahui sumber-sumber karbon dioksida yang terlarut dalam

air.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan

karbondioksida dalam perairan.

4. Untuk mengetahui reaksi fotosintesis dan respirasi serta apa peranan

kedua proses tersebut dalam ekosistem

5. Untuk mengetahui cara menghitung kepadatan atau kerapatan jenis,

dominasi, indeks nilai penting, dan kelimpahan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Siklus Karbon Global

Konsentrasi dari bahan bakar fosil CO2 yang di serap oleh samudera

dan yang diambil oleh daratan dapat dihitung dari perubahan pada

konsentrasi CO2 dan O2 di atmosfer. Budget karbon global berdasarkan

pada pengukuran CO2 dan O2 untuk 1980 dan 1990 ditunjukkan pada

Tabel 1. Manusia mempengaruhi fluks karbon di antara ke-tiga "reservoir"

(atmosfer, samudera, dan biosfer terestrial) dengan memberikan gangguan

yang kecil tapi berpengaruh besar terhadap siklus global (Gambar 1).

Panah yang tebal menunjukkan fluks yang paling utama dari titik

keseimbangan CO2 di atmosfer yaitu produksi primer kotor dan respirasi

oleh biosfer daratan, dan pertukaran fisik antara atmosfer dan laut.

Perubahan yang terus menerus ini kira-kira seimbang setiap tahun, tetapi

ketidakseimbangannya dapat mempengaruhi konsentrasi CO2 atmosfer


secara signifikan dari tahun ke tahun. Panah yang tipis menandakan fluks

alami tambahan (bentuk yang terlarut untuk fluks karbon sebagai CaCO 3)

yang cukup penting pada skala waktu yang lebih panjang. Fluks 0,4 PgC/th

dari CO2 atmosfer melalui tumbuh-tumbuhan ke karbon tanah kira-kira

seimbang pada skala waktu beberapa millenium oleh ekspor organik karbon

terlarut (DOC) di sungai (SCHLESINGER, 1990). Lebih lanjut fluks 0,4

PgC/th dari anorganik karbon terlarut (DIC) diperoleh dari kerusakan karena

hujan CaCO3, yang mana penyerapan CO2 dari atmosfer dalam

perbandingan 1:1. Fluks dari DOC dan DIC secara bersamaan di bawa oleh

aliran sungai sebanyak 0,8 PgC/th. Di samudera, DOC dari sungai

berespirasi dan dilepaskan kembali ke atmosfer, sedangkanproduksi

CaCO3 oleh organisme laut mengakibatkan separuh DIC dari sungai

kembali ke atmosfer dan setengahnya lagi mengendap dalam sedimen

dasar laut yang merupakan awal pembentukan batu karang karbonat

(SCHLESINGER, 1990). Gambar 1 juga menunjukkan proses dengan skala

waktu yang lebih panjang yaitu penguburan material organik sebagai fosil

karbon organik (termasuk bahan bakar fosil), dan luaran gas CO2 sampai

pada proses tektonis (vulcanism). Emisi dalam kaitannya dengan

vulkanisme diperkirakan 0,02 sampai 0,05 PgC/th (BICKLE, 1994).

Pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan

menjadi proses antropogenik utama yang melepaskan CO2 ke atmosfer.

Hanya sebagian dari CO2 ini yang tinggal di atmosfer, sisanya diserap oleh

daratan (tanah dan tumbuh-tumbuhan) atau oleh samudera. Penyerapan

komponen ini menyebabkan ketidak-seimbangan fluks dalam dua jalur


alami yang besar yaitu antara samudera dan atmosfer dan antara atmosfer

dan daratan (IPCC, 2001).

2.2 Siklus Karbon Samudera

Samudera mempunyai peranan yang sangat penting dalam

mengurangi pemanasan global atau peningkatan konsentrasi CO-2 di

atmosfer. Total jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar

dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfer, dan pertukaran karbon

laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun. Disolusi

air laut memberikan kesempatan yang besar untuk menenggelamkan CO2

antropogenik, hal ini di sebabkan karena CO2 mempunyai daya larut yang

tinggi, disamping itu CO2 juga memisahkan diri ke dalam ion-ion dan

berinteraksi dengan unsur pokok air laut (IPCC, 2001).


Proses timbal balik antara fotosintesis dan respirasi seluler

bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama karbon. Naik

turunnya konsentrasi CO2 dan O2 atmosfer secara musiman disebabkan

oleh penurunan aktivitas fotosintesis. Dalam skala global kembalinya CO2

ke atmosfer melalui respirasi dapat diseimbangkan dengan pelepasan O2

melalui fotosintesis. Akan tetapi, pembakaran kayu dan dan bahan bakar

fosil menambahkan lebih banyak lagi CO2 ke atmosfer, sebagai akibatnya

jumlah CO2 di atmosfer meningkat. CO2 dan O2 atmosfer juga berpindah

masuk ke dalam dan keluar sistem akuatik dimana CO2 dan O2 terlibat

dalam suatu keseimbangan dinamis dengan bentuk bahan anorganik

lainnya (IPCC, 2001).


Karbon dioksida yang terlarut di dalam air laut ditemukan dalam tiga

bentuk utama, yaitu CO2 terlarut (non ionik, ±1% dari jumlah total), ion

karbonat (CO32, ± 8%) dan bikarbonat (HCO3, ± 91%), penjumlahan dari

ketiganya disebut sebagai dissolved inorganic carbon/DIC (karbon

anorganik terlarut) (IPCC, 2001). DIC di dalam samudera diangkut oleh

proses fisik dan biologi. Produksi primer kotor (Gross Primary Productivity

= GPP) adalah jumlah total karbon organik yang dihasilkan oleh fotosintesis

(BENDER et al., 1994); produksi primer bersih (Nett Primary Productivity =

NPP) adalah sisa setelah respirasi autotropik yaitu respirasi yang dilakukan

oleh organisme fotosintesis (FALKOWSKI et. al., 1998).

Tenggelamnya DOC dan partikel organik karbon (POC) dari proses

biologi mengakibatkan aliran karbon mengarah ke bawah yang dikenal

sebagai produksi ekspor (SCHLITZER, 2000). Material organik ini

ditranspor dan direspirasi oleh organisme nonfotosintesis (respirasi

heterotropik) dan pada akhirnya terangkat dan kembali ke atmosfer. Hanya

sebagian kecil yang mengendap pada sedimen laut dalam. Ekspor CaCO3

ke laut dalam lebih kecil dibanding total produksi ekspor (0,4 PgC/th), tapi

sekitar separuh dari karbon ini mengendap sebagai CaCO3 di dalam

sedimen; separuh yang lain terlarut dalam air laut, dan bergabung dengan

DIC (MILLIMAN, 1993). Gambar 3 juga menunjukkan perkiraan fluks karbon

organik dan CaCO3 yang mengendap ke dalam sedimen pantai dalam

jangka waktu yang singkat, dan pelarutan kembali dari sebagian CaCO3

yang mengendap pada sedimen.


2.4 Pengaruh Tingkat Kelarutan Karbondioksida (CO2) Terhadap

Perubahan pH Air Dalam Suatu Perairan

Faktor lingkungan merupakan faktor yang saling berkaitan satu

sama lain, misalnya CO2 dan pH. Pantjara dan Sahid (2008)

berpendapat bahwa pH air akan meningkat jika CO2 dalam air

berkurang dan pH akan menurun seiring bertambahnya kandungan

CO2.

2.5 Sumber-Sumber Karbondioksida (CO2) Yang Terlarut Dalam Air

a. Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk

menngubah karbon dioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan

oksigen ke perairan.

b. Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan

CO2 akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut

akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di

permukaan yang lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut (lihat

bagian solubility pump).

c. Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas

yang tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung

karbon, beberapa organisme juga membentuk cangkang karbonat dan

bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini akan

menyebabkan aliran karbon ke bawah (lihat bagian biological pump).

d. Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya,

proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap


untuk kembali ke perairan .Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki

efek netto terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang

terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat

karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction).

e. Karbon dapat kembali ke perairan dengan berbagai cara pula, yaitu:

f. Melalui pernafasan (respirasi) oleh tumbuhan dan binatang dalam

perairan. Hal ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga di

dalamnya penguraian glukosa (atau molekul organik lainnya) menjadi

karbon dioksida dan air.

g. Melalui pembusukan binatang dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan

bakteri mengurai senyawa karbon pada binatang dan tumbuhan yang

mati di perairan dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika

tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen.

2.6 Faktor–Faktor Lingkungan Apakah Yang Memepengaruhi

Kelarutan Karbondioksida Di Dalam Perairan

1. Temperatur dan tekanan Kelarutan CO2 dalam air laut sangat

tergantung pada temperatur air laut. Kenaikan temperatur akan

menyebabkan gas CO2 keluar dari air, sehingga kenaikan temperatur

air akan menyebabkan kadar CO2 semakin rendah.

2. Kandungan garam dalam air laut Dalam air laut, CO2 yang terlarut

akan bereaksi dengan kalsium membentuk CaCO3. Garam karbonat

yang terbentuk ini merupakan komponen penyangga yang penting

untuk mencegah perubahan pH air laut di samping berfungsi sebagai


faktor pengontrol pengendapan dan kelarutan kalsium (poli, meta)

fosfat. Tinggi rendahnya kadar CO2 bebas akan mempengaruhi

kandungan Ca, dan seterusnya akan mempengaruhi kadar orto-fosfat

dalam suatu perairan.

3. Derajat keasaman (pH) Menurut HARVEY (1974) apabila CO2

dikeluarkan dari air laut, misalnya dalam proses fotosintesis tanaman

atau dengan memasukkan udara bebas kedalamnya maka derajat

keasaman (pH) akan bertambah, tekanan partial berkurang dan ion

bikarbonat akan berubah menjadi ion karbonat.

4. Lapisan minyak Karbon dioksida yang terdapat dalam air laut

umumnya berasal dari udara melalui proses difusi, dan dari proses

respirasi makro-organisme serta dari hasil penguraian zat-zat organik

oleh mikro-organisme. Proses difusi tersebut akan terganggu apabila

terdapat sejumlah lapisan minyak yang menutupi permukaan air laut,

akibatnya kadar CO2 dalam air laut akan berkurang.

5. Gelombang/turbulensi Karbon dioksida yang berasal dari atmosfir

dapat larut dalam air laut sebagai hasil interaksi terhadap permukaan

air laut. Proses pelarutan CO2 dalam air laut ini semakin mudah

dengan adanya gelombang atau turbulensi.

6. Kandungan fitoplankton Pengaruh fitoflankton terhadap kadar CO2

dalam air laut adalah adanya proses respirasi dan fotosintesis. Pada

saat siang hari (ada sinar matahari), seluruh fitoplankton akan

melakukan proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis ini CO2

akan diserap oleh fitoplankton, sehingga proses ini akan menurunkan


kadar CO2 dalam air laut. Sedangkan pada saat malam hari (tidak

ada sinar matahari), terjadi proses respirasi yaitu fitoplankton akan

mengeluarkan CO2 dan memasukkannya ke dalam air laut.

2.7 Reaksi Fotosintesis Dan Respirasi Serta Apa Peranan Kedua

Proses Tersebut Dalam Ekosistem

1) Reaksi kimia dalam proses fotosintesis dapat kita tuliskan sebagai

berikut:

CO2 + H2O +E C6H12O2 + O2

Karbondioksida + Air + Energi Glukosa + Oksigen

2) Reaksi kimia yang terjadi dalam proses respirasi adalah sebagai berikut:

C6H12O2 + O2 CO2 + H2O + E

Glukosa + Oksigen Karbondioksida + Air + Energi

Peranan kedua proses reaksi fotosintesis dan respirasi yang terjadi

di dalam ekosistem. Fotosintesis dan respirasi adalah dua reaksi yang

saling melengkapi, yang berarti, hasil proses satu akan menyediakan

sumber energi untuk proses lainnya, dan menjamin cadangan ATP konstan,

sehingga penyediaan sumber energi tetap terjadi untuk proses hidup seperti

pemeliharaan sel, pertumbuhan, dan perkembangan. Kegiatan respirasi

tumbuhan berlangsung sepanjang hari yang dinyatakan dengan volume

oksigen (diambil) atau volume CO2 (dibebaskan) selama 24 jam per gram

berat kering tumbuhan.

Tumbuhan melakukan fotosintesis dan respirasi pada siang hari.

Proses fotosintesis memerlukan CO2 dan membebaskan O2, sebaliknya,


proses respirasi memerlukan O2 dan membebaskan CO2. Jumlah zat yang

diambil atau dilepas tergantung pada aktivitasnya. Volume CO2 yang

dilepas oleh proses respirasi sama dengan volume CO2 yang diperlukan

oleh proses fotosintesis, atau sebaliknya, volume O 2 yang dilepas oleh

proses fotosintesis sama dengan volume O2 yang diperlukan oleh proses

respirasi. Fenomena tersebut akan terjadi apabila tumbuhan dalam

keadaan statis, dan juga dapat terjadi pada saat intensitas cahaya tertentu,

yang berbeda-beda untuk berbagai jenis tumbuhan. Intensitas cahaya pada

saat terjadi aktivitas fotosintesis sama dengan aktivitas respirasi disebut titik

kompensasi.

Kestatisan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang

stabil. Pencemaran air dan udara sangat mempengaruhi kestabilan faktor

lingkungan, seperti gas rumah kaca dapat menyebabkan pemanasan global

yang meningkatkan suhu, kabut asap mengurangi intensitas cahaya

matahari masuk ke bumi yang mengganggu proses fotosintesis dan

respirasi secara bersamaan, dan seterusnya.

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia,

disadari atau tidak, menyebabkan gangguan proses respirasi bagi manusia

itu sendiri dan mengancam kehidupan manusia (bahan makanan) karena

proses fotosintesis tumbuhan terganggu (terhambat). Pencemaran yang

terus menerus terjadi tanpa dilakukan usaha pemulihan akan dapat

mengganggu proses kehidupan vital makhluk hidup termasuk manusia

yaitu fotosintesis dan respirasi yang bekerja saling melengkapi.


2.8 Mekanisme Hubungan Antara Produsen Dan Konsumen Dalam

Siklus Karbon Di Alam Melalui Mekanisme Jarring-Jaring Makanan

Siklus karbon merupakan siklus biogeokimia yang sangat penting

karena menyangkut kehidupan berbagai spesies di dunia. Karbon ini

peranannya sangat vital dalam menjaga suhu bumi, selain itu menjadi unsur

yang sangat penting dalam kebutuhan energi makhluk hidup.

Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur

dalam ekosistem. Dimulai dari karbon yang ada di atmosfer berpindah

melalui tumbuhan hijau (produsen), konsumen, dan organisme pengurai,

kemudian kembali ke atmosfer. Di atmosfer karbon terikat dalam bentuk

senyawa karbon dioksida (CO2), komponen dan proses yang berhubungan

dengan siklus karbon dapat dilihat pada gambar di bawah.

CO 2 dalam
samudra dan
ekosistem CO 2 di
air lainnya atmosfir Fotosintesis

Respirasi

Tumbuhan
hijau
Pembakaran
Batu Hewan
kapur
Respirasi
Mati

Gunung api
Batu bara ,
Bahan
miyak tanah ,
organik
gas

Bakteri dan
cendawan
pembusuk
Produsen merupakan organisme yang dapat membentuk bahan

organik dari CO2 dan air dengan bantuan energi matahari dalam proses

fotosintesis. Termasuk produsen adalah tumbuhan yang berklorofil

(berhijau daun). Konsumen merupakan organisme yang menggunakan

bahan organik yang telah dibentuk oleh produsen untuk makanannya.

Termasuk konsumen adalah organisme yang tidak bisa membuat

makanannya sendiri, dan bukan tumbuhan (hewan, manusia,

mikroorganisme). Hubugan antara produsen dan konsumen dalam siklus

karbon saling ketergantungan karena dalam siklus karbon,

atom karbon terus mengalir dari produsen ke konsumen dalam bentuk

molekul CO2 dan karbohidrat, sedangkan energi foton matahari digunakan

sebagai pemasok energi yang utama. Produsen memerlukan CO2 yang

dihasilkan konsumen untuk melakukan fotosintesis.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS VEGETASI

Kerjakanlah Soal dibawah ini :

Suatu analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan ukuran

sampling bentuk segi empat persegi dengan ukuran 50 x 50 m (2500 meter),

yang diletakkan secara tersebar sebanyak 8, pada suatu areal hutan luas

areal 50 hektar, dengan data hasil sampling sebagai berikut : Hitunglah

parameter kuantitatif dari setiap soal sebagai berikut : Kepadatan (KM, KR),

Frekuensi (FM, FR), Dominasi (DM, DR), INP, SDR dan Kelimpahnnya ?

Jumlah Individu Jml


No Nama Ilmiah total
I II III IV V VI VII VIII

1 Tamarindus indica L. 5 2 6 2 2 2 0 5 24

2 Dracontomelo rhao Merr. 1 0 1 1 0 1 2 0 6

3 Bambussa sp 19 27 0 1 4 0 10 5 66

4 Syzygium cumini (L.) 0 5 15 0 4 5 2 3 34

Skeels

5 Syzygium aquea Alst. 0 7 0 0 1 0 0 1 9

6 Psidium guajava L. 9 19 2 3 5 1 3 2 44

7 Cytrus maxima (Burm.) 0 6 1 0 3 1 0 2 13

Merr.
8 Cocos nucifera Linn. 43 40 23 10 10 2 22 12 162

9 Moringa oleifera Lamk. 1 3 4 0 1 0 9 15 33

10 Mangifera indica L. 15 17 32 10 14 10 4 3 105

Jumlah total individu 93 126 84 27 44 22 52 47 496

Untuk menunjang pemahaman terhadap vegetasi sangat diperlukan

ditunjang oleh variabel-variabel terukur yang diperlukan pemahaman sbb :

a. Kepadatan atau Kerapatan Jenis (Density)

Kerapatan/kepadatan merupakan nilai yang menggambarkan

jumlah indi-vidu yang menjadi anggota populasi persatuan luas tertentu

dalam suatu komunitas (kerapatan mutlak). Kerapatan relatif

menunjukkan persentase jumlah individu populasi dalam komunitas.

Kepadatan juga memberikan informasi mengenai derajat persaingan.

b. Frekuensi

Merupakan nilai yang menggambarkan besaran derajat

penyebaran dari individu populasi di dalam komunitas pada suatu areal/

kawasan. Frekuensi ditentukan berdasarkan atas kekerapan dari individu

populasi di jumpai dalam sejumlah area plot/cuplikan. Perhitungan

frekuensi suatu vegetasi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan

rumus sebagai berikut :


c. Dominasi (Kerimbunan /Cover dan Luas Basal Area /

DBH)

Kerimbuhan / kanopi adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi

oleh proyeksi tajuk tumbuhan. Oleh karena itu, kerimbunan selalu

dinyatakan dalam satuan persen.

Basal area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah

yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan

mengukur diameter batang pada ketinggian batang 1,30 m dari

permukaan tanah (diameter setinggi data atau diameter at breast height,

DBH).

Luas bidang dasar pohon dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Luas basal area suatu jenis = jumlah luas bidang dasar suatu jenis

keseluruhan yang ada

dalam contoh atau

Karena data diatas tidak memiliki data luas kerimbunan / canopy dan

Luas basal area maka untuk menghitung indek dominasi digunakan

rumus sbb
d. Indeks Nilai Penting atau Dominansi

Nilai dominansi ini di sebut juga sebagai indeks nilai penting (INP).

Indeks nilai penting suatu spesies didalam komunitas di nyatakan dalam

nilai relatif. Indeks nilai penting, merupakan nilai hasil penjumlahan dari

Kepadatan relatif + Dominasi relatif + Frekuensi relatif. Nilai (tertinggi) ini

merupakan nilai yang dapat dijadikan indikator dan melihat peranan dari

suatu jenis tumbuhan dan menentukan jenis atau nama dari suatu

vegetasi ataupun komunitas.

𝑰𝒏𝒅𝒆𝒌𝒔 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒕𝒊𝒏𝒈 (𝑰𝑵𝑷) % = 𝑲𝑹% + 𝑭𝑹% + 𝑫𝑹%

e. Kelimpahan (Abundance)

Kelimpahan merupakan jumlah dari individu suatu jenis persatuan

contoh yang terukur.

Jawablah pertanyaan sbb :

- Spesies manakah yang memiliki kepadatan tertinggi dan yang terendah ?

- Spesies manakah yang memiliki frekuensi tertinggi dan yang terendah ?

- Spesies manakah yang memiliki dominansi tertinggi dan yang terendah ?


- Spesies manakah yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dan

yang terendah ?

- Spesies manakah yang memiliki kelimpahan tertinggi dan yang terendah ?

Penjelasan:

1. Kepadatan tertinggi dan terendah

 Tamarindus indica L

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

24
= 2500

= 0,0096

 Dracontomelo rhao Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

6
= 2500

= 0,0024

 Cocos nucifera Linn

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

162
=
2500

= 0,0648

 Bambussa sp.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡
66
= 2500

= 0,0264

 Syzygium cumini (L.) Skeels

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

34
= 2500

= 0,0136

 Syzygium aquea Alst.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

9
= 2500

= 0,0036

 Psidium guajava L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

44
= 2500

= 0,0176

 Cytrus maxima (Burm.) Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

10
= 2500

= 0,004
 Moringa oleifera Lamk.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

29
= 2500

= 0,0116

 Mangifera indica L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Kepadatan=
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

105
= 2500

= 0,042

Berdasarkan hasil di atas, maka kerapatan tertinggi adalah Cocos

nucifera Linn. dengan nilai kerapatan 0,0648, sedangkan kerapatan

terendah adalah Dracontomelo rhao Merr. dengan nilai kerapatan 0,0024.

2. Frekuensi tertinggi dan terendah

 Tamarindus indica L

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

7
=8

= 0,875

 Dracontomelo rhao Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
5
=8

= 0,625

 Cocos nucifera Linn

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

8
=8

=1

 Bambussa sp.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

6
=8

= 0,75

 Syzygium cumini (L.) Skeels

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

6
=
8

= 0,75

 Syzygium aquea Alst.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
3
=8

= 0,375

 Psidium guajava L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

8
=8

=1

 Cytrus maxima (Burm.) Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

5
=8

= 0,625

 Moringa oleifera Lamk.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔

6
=8

= 0,75

 Mangifera indica L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑑𝑖𝑗𝑢𝑚𝑝𝑎𝑖


Rumus Frekuensi = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
8
=8

=1

Berdasarkan hasil di atas, maka frekuensi tertinggi adalah Cocos

nucifera Linn., Psidium guajava L., dan Mangifera indica L. dengan nilai

frekuensi 1, sedangkan frekuensi terendah adalah Syzygium aquea Alst.

dengan nilai frekuensi 0,375.

3. Dominansi tertinggi dan terendah

Data diatas tidak memiliki data luas kerimbunan / canopy dan Luas basal

area maka untuk menghitung indek dominasi digunakan rumus sebagai

berikut:

 Tamarindus indica L

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

24
= x 100%
2500

= 0,96%

 Dracontomelo rhao Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi = x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

6
= 2500 x 100%

= 0,24%

 Cocos nucifera Linn


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

162
= 2500 x 100%

= 6,48%

 Bambussa sp.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

66
= x 100%
2500

= 2,64%

 Syzygium cumini (L.) Skeels

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

34
= 2500 x 100%

= 1,36%

 Syzygium aquea Alst.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡
x 100%

9
= 2500 x 100%

= 0,36%

 Psidium guajava L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

44
= 2500 x 100%
= 1,76%

 Cytrus maxima (Burm.) Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

10
= 2500 x 100%

= 0,4

 Moringa oleifera Lamk.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

29
= 2500 x 100%

= 1,16%

 Mangifera indica L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢
Rumus Dominansi= x 100%
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡

105
= 2500 x 100%

= 4,2%

Berdasarkan hasil di atas, maka Dominansi tertinggi adalah Cocos

nucifera Linn. dengan nilai kerapatan 0,0648, sedangkan kerapatan

terendah adalah Dracontomelo rhao Merr. dengan nilai Dominansi 0,0024.

4. Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi dan yang terendah

 Tamarindus indica L
INP% = Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 0,96% + 87,5% + 0,96%

= 89,42%

 Dracontomelo rhao Merr.

INP%= Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 0,24%+ 62,5% + 0,24%

= 62,98%

 Cocos nucifera Linn

INP%= Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 6,48% + 100% + 6,48%

= 112,96%

 Bambussa sp.

INP% = Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 2,64% + 75% + 2,64%

= 80,28%

 Syzygium cumini (L.) Skeels

INP% = Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 1,36% + 87,5% + 1,36%


= 90,22%

 Syzygium aquea Alst.

INP% = Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 0,36% + 37,5 %+ 0,36%

= 38,22%

 Psidium guajava L.

INP%= Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 1,76% + 100% + 1,76%

= 103,52%

 Cytrus maxima (Burm.) Merr.

INP%= Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 0,4% + 62,5% + 0,4%

= 62,9%

 Moringa oleifera Lamk.

INP%= Kepadatan %+ Frekuensi% + Dominansi%

= 1,16% + 75% + 1,16%

= 77,32

 Mangifera indica L.
INP%= Kepadatan% + Frekuensi% + Dominansi%

= 4,2% + 100% + 4,2%

= 184%

Berdasarkan hasil di atas, maka INP tertinggi adalah Mangifera

indica L. dengan nilai INP 1,84, sedangkan INP terendah adalah pada

Syzygium aquea Alst. dengan nilai INP 0,3822.

5. Kelimpahan tertinggi dan terendah

 Tamarindus indica L

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

24
= 8

=3

 Dracontomelo rhao Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

6
=8

= 0,75

 Cocos nucifera Linn

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

162
= 8

= 20,25

 Bambussa sp.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖
66
= 8

= 8,25

 Syzygium cumini (L.) Skeels

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

34
= 8

= 4,25

 Syzygium aquea Alst.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

9
=
8

= 1,8

 Psidium guajava L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

44
= 8

= 5,5

 Cytrus maxima (Burm.) Merr.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

10
= 8

= 1,25

 Moringa oleifera Lamk.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

29
= 8
= 3,625

 Mangifera indica L.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘


Rumus Kelimpahan= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

105
= 8

= 13,125

Berdasarkan hasil di atas, maka kelimpahan tertinggi adalah Cocos

nucifera Linn. dengan nilai kelimpahan 20,25, sedangkan kelimpahan

terendah adalah Dracontomelo rhao Merr. dengan nilai kelimpahan 0,75.


DAFTAR PUSTAKA

ARCHER, D.E; H. KHESHGI and E. MAIER- REIMER1997. Multiple


timescales for neutralization of fossil fuel CO2 Geophysical
Research Letters, 24, 405- 408.
BATJES, N.H. 1996. Total carbon and nitrogen in the soils of the world.
European Journal of Soil Science 47: 151-163.
BATTLE, M.; M. BENDER; P.P. TANS; J.W.C. WHITE; J.T. ELLIS; T.
CONWAY and R.J. FRANCEY 2000. Global carbon sinks and their
variability, inferred from atmospheric 02 and dl3C. Science, 287:
2467-2470.
BENDER, M.; T SOWERS and L. LABETHIE 1994. The Dole effect and its
variations during the last 130,000 years as measured in the
VOSTOK ice core. Global Biogeochemical Cycles, 8:363-376.
BERNER, R.A. 1997. The rise of plants and their effect on weathering and
atmospheric CO2. Science, 276: 544-546.
ICKLE, M.J. 1994. The role of metamorphic decarbonation reactions in
returning strontium to the silicate sediment mass. Nature, 367: 699-
704.
BOYD, P.W.; A. WATSON; C.S. LAW; E. ABRAHAM; T. TRULL; R.
MURDOCH; D.C.E. BARKER; A.R. BOWIE; K. BUESSELER; H.
CHANG; M. CHARETTE; P. CROOT; K. DOWNING; R. FREW; M.
GALL; M. HADFIELD; J. HALL; M. HARVEY; G. JAMESON; J. LA
ROCHE; M. LIDDICOAT; R. LING; M. MALDONADO; R.M.
MCKAY; S. NODDER; S. PICKMERE; R. PRIDMORE; S.
RINTOUL; K. SAFI; P. SUTTON; R. STRZEPEK; K.
TANNEBERGER; S. TURNER; A. WAITE and J. ZELDIS 2000. A
mesoscale phytoplankton bloom in the polar Southern Ocean
stimulated by iron fertilization. Nature, 407:695-702.
COALE, K.H.; K.S. JOHNSON; S.E. FITZWATER; R.M. GORDON; S.
TANNER; F.P. CHAVEZ; L. FERIOLI; C. SAKAMOTO; P.
ROGERS; F. MILLERO; P. STEINBERG; P. NIGHTINGALE; D.
COOPER; W.P. COCHLAN; M.R. LANDRY; J. CONSTANTINOU;
G. ROLLWAGEN; A. TRASVINA and R. KUDELA 1996. A massive
phytoplankton bloom induced by an ecosystem-scale iron
fertilization experiment in the equatorial Pacific Ocean. Nature, 383:
495-501.
FALKOWSKI, P.G. 1994. The role of phytoplankton photosynthesis in global
biogeochemical cycles. Photosynthesis Research, 39: 235-258.
FALKOWSKI, P.G.; R.T. BARBER and V. SMETACEK 1998.
Biogeochemical controls and feedbacks on ocean primary
production. Science, 281:200-206.
FEELY, R.A.; R. WANNINKHOF; T. TAKAHASHI and P. TANS 1999b.
Influence of El Nino on the equatorial Pacific contribution to
atmospheric CO2 accumulation. Nature, 398: 597-601.
FRANKIGNOULLE; M., G. ABRIL; A. BORGES; I. BOURGE; C. CANON;
B. DELILLE; E. LIBERT and J.-M. THEATE 1998. Carbon dioxide
emission from European estuaries. Science, 282: 434-436.
GATTUSO, J.P.; M. FRANKIGNOULLE and R. WOLLAST 1998. Carbon
and carbonate metabolism in coastal aquatic ecosystems. Annual
Review of Ecology andSystematics, 29:405-434.
INDERMUHLE, A.; T.F. STOCKER; F. JOSS; H. FISCHER; H.J. SMITH; M.
WAHLEN; B. DECK; D. MASTROIANNI; J. TSCHUMI; T.
BLUNIER; R. MEYER and B. STAUFFER 1999. Holocene carbon-
cycle dynamics based on CO2 trapped in ice at Taylor Dome,
Antarctica. Nature, 398: 121-126.
IPCC 2001. The carbon cycle and atmospheric carbon dioxida. The
Scientific Basis. In Climate change 2001: 185-237.
JANZEN, H. H. 2004. Carbon cycling in earth systems. A soil science
perspective. In Agriculture, ecosystems and environment, 104: 399-
417.
KEELING, CD. and T.P. WHORF 2000: Atmospheric CO2 records from
sites in the SIO air sampling network. In: Trends: A compendium of
data on global change. Carbon Dioxide Information Analysis
Center, Oak Ridge National Laboratory, Oak Ridge, Tenn., USA.
LAWS, E.A.; P.G. FALKOWSKI; W.O. SMITH JR.; H. DUCKLOW and J.J.
MCCARTHY 2000. Temperature effects on export production in the
open ocean. Global Biogeochemical Cycles, 14(4): 1231-1246.
MARLAND, G.; T.A. BODEN and R.J. ANDRES 2000. Global, regional, and
national CO2 emissions. In: Trends: A compendium of data on
global change. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak
Ridge National Laboratory, U. S. Department of Energy, Oak Ridge,
Tenn., USA.
MELILLO, J.M. and J.R. GOSZ 1983. Interactions of biogeochemical cycles
in forest ecosystems. In: The major biogeochemical cycles and their
interactions BOLIN, B. and R.B. COOK (eds.). John Wiley and
Sons, New York: 177-222.
MEYBECK, M. 1993. Riverine transport of atmospheric carbon - sources,
global typology and budget. Water, Air and Soil Pollution, 70: 443-
463
MILLIMAN, J.D. 1993. Production and accumulation of calcium-carbonate
in the ocean - budget of a nonsteady state. Global Biogeochemical
Cycles, 7:927-957.

Anda mungkin juga menyukai