Anda di halaman 1dari 26

FILSAFAT KETUHANAN

STFK LEDALERO

1. Informasi

Dosen: Felix Baghi, SVD


Email: feliksbaghi@gmail.com
Tlpn.: +6282235291499
Wa. : +639278329634
Jam konsultasi: disesuaikan
Kredit kuliah: 3 unit

2. Pengantar

Subjek yang dibicarakan dalam kursus ini adalah Filsafat Ketuhanan dengan pendekatan
filosofis. Pendekatan ini bertolak dari metode analisa-logika-linguistik, metode hermeneutika
dan fenomenologi-eksistensial. Namun semua metode ini diharapkan membantu dan
menghantar kita untuk mendalami persoalan teologis, yaitu persoalan tentang makna dan
alasan-alasan yang mendasar mengapa kita orang-orang kristiani mempunyai nama dari yang
kudus (le nome divin), yaitu Tuhan - nama yang selalu dihubungkan dengan substansi iman
dan kepercayaan kita.

Sebagaimana setiap teori atau pandangan filsafat lahir dari persoalan tertentu, demikian juga
dengan persoalan filsafat tentang ketuhanan. Persoalan ini lahir dari sekian banyak
pertanyaan seperti: apa kekhasan filsafat untuk menjelaskan dan memahami persoalan
teologis tentang Tuhan, yaitu persoalan yang berkenaan dengan revelasi ilahi? Kompetesi
mana yang membenarkan posisi filsafat ketika ia harus berbicara tentang makna dan
pendasaran iman serta argumentasi teologis tentang Tuhan? Bagaimana filsafat membantu
untuk merefigurasi Tuhan dalam terang hermeneutika dan fenomenologi? Khusus tentang
persoalan ini, kita akan dihantar ke pertanyaan mendasar yabg lebih juah, misalnya apa yang
kita percaya ketika kita percaya Tuhan? Apakah Tuhan yang kita percaya adalah sungguh-
sungguh Tuhan? Semua pertanyaan ini tidak hanya direfleksikan dari perspektif teologi,
tetapi juga dari perspektif filsafat. Semuanya membutuhkan penjelasan filosofis dan
argunmentasi yang baik demi kematangan iman dan tanggungjawab kita dalam kehidupan ini.

Namun, sebagai umat kristiani, kita telah menerima apa yang Tuhan wahyukan, namun kita
perlu menyadari bahwa sebagai manusia dengan segala keterbatasan kita, kita sering tidak
sanggup memahami dan bahkan menerima revelasi Allah dalam pengertiannya yang
sempurna. Kita hanya dapat menerima dan mengerti revelasi ilahi itu melalui kemampuan
manusiawi kita, misalnya lewat bahasa manusia yang terbatas, lewat struktur tindakan
manusia yang sederhana, lewat cara berpikir dan ungkapan perasaan yang personal dan
lewat simbol-simbol yang kita ciptakan. Untuk sampai kepada pengertian yang benar
tentang siapa itu Tuhan, kita membutuhkan interpretasi (hermeneutika), terbuka pada warisan
historis (Kitab Suci, tradisi iman), belajar dari pengalaman hidup yang nyata (fenomenologi
eksistensialisme).

Sejak awal, kita perlu meletakan dasar yang baik untuk filsafat ketuhanan, dan dasar itu
dilihat dari objek material filsfaat ketuhanan seperti semua realitas hidup dan semua
kemungkinan yang ada, yang dapat dikatakan sebagai ens qua ens - ada sebagai ada. Kita

1
terbuka terhadap keberadaan yang disebut realitas hidup, yaitu yang aktual; dan juga
keberadaan sebagai kemungkinan yang akan terjadi, yang akan datang, yang masih harus
diperhitungkan. Keberadaan yang aktual dilihat dalam terang cara hidup nyata yang kita
jalani sebagai orang berimana. Sedangkan keberadaan sebagai kemungkinan dihadapi sebagai
sikap waspada atau berjaga-jaga dengan segala hal yang akan datang. Kedua sikap ini, perlu
kita belajar seperti sikap lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana dalam Injil. Yang bodoh
menjalani hidupnya tanpa perspektif dan prospektif. Sedangkan yang bijaksana melihat
keduanya, perspektif dan prospketif sebagai kekuatan cara berpikir dan argumentasi yang
baik. Hal ini menjadi dasar rasionalitas iman dengan logika berpikir dan argumentasi yang
dibangun dari perspektif sehingga kita menyebutnya logika iman atau argumentasi iman.

Dalam sejarah, banyak pemikir adalah filsuf dan sekaligus teolog. Mereka merefleksikan
teman-tema besar dalam filsafat dan teologi bertolak dari cara berpikir dan cara beriman yang
baik. Nama-nama seperti Aristoteles, Plato, Santo Agustinus, Santo Tomas Aquinas, Santo
Anselmus, Kant, Hegel, Heidegger, Buber, Ricoeur, Levinas, Rosenzweig, Jean Luc Marion,
John D Caputo, hampir membuat kita bingung untuk melihat mereka entah sebagai a
believing thinker atau sebagai a thinking believer. 1 Dari mereka kita belajar bahwa beriman
dan berpikir adalah dua hal penting untuk menjalani hidup dengan baik. Beriman tanpa
berpikir adalah hampa, berpikir tanpa beriman belum sempurna. Kita harus membangun cara
berpikir dan berpercaya (thinking and believing) agar hidup yang kita jalani memiliki dasar
yang baik dan lebih bertanggungjawab. Kita dipanggil bukan hanya untuk menjadi orang
yang tahu berpikir tetapi juga tahu beriman. Katakanlah semacam a person of learning and of
faith.2

Namun, yang menjadi fokus perhatian kita adalah 1) diskursus iman kristiani tentang Tuhan,
yang secara komunal (Tuhan kolektif) dari waktu ke waktu telah menjadi bagian esensial dari
refleksi pemikiran filosofis dari Aristoteles, St. Anselmus, St. Agustinus, St. Tomas Aquinas
dll. dan 2) kita perlu menekankan hal ini, bahwa diskursus iman kristiani tentang Tuhan
tidak boleh bebas dari revelasi ilahi, dan lebih khusus ketika kita berbicara tentang inkarnasi,
keselamatan, kebebasan Tuhan, adanya dan kodrat Tuhan. Cara di mana filsafat dan teologi
menghadapi isu-isu penting dalam kehidupan beriman, khususnya dalam persoalan tentang
Tuhan, harus lebih terbuka. Keduanya saling mengandaikan, apalagi ketika menghadapi
persoalan-persoalan yang paling fundamental (the ultimates questions), persoalan-persoalan
yang paling dalam (the deepest questions) atau persoalan-persoalan yang paling terakhir
dalam kehidupan ini. The ultimate meaning of our life.3

Oleh karena itu, institusi ini membuka ruang besar di mana filsafat dan teologi bekerjasama
untuk merefleksikan kekayaan dimensi iman dalam kehidupan manusia meskipun keduanya
berbeda secara esensial. Diharapkan kita yang belajar pada institusi ini secara meyakinkan
bertumbuh baik dalam cara berpikir, cara hidup (filsafat praktis) maupun dalam cara beriman
(iman praktis). Dengan belajar filsafat dan teologi, atau dengan berfilsafat dan berteologi, kita
harus bertumbuh menjadi pemikir yang memiliki iman (a believing thinker) atau menjadi
orang beriman yang tahu berpikir dengan baik (a thinking believer).4 Kita harus bertumbuh
menjadi pribadi yang terus belajar dan terus beriman. A person of learning and of faith.

1
John d Caputo, Philosophy and Theology, Nashville: Abingdon Press, 2006, 6
2
Ibid.
3
Ibid. 4
4
Ibid. 6
2
Sebagian besar dari kita datang dari komunitas-komunitas beriman. Semua komunitas
beriman bertumbuh dalam kekayaan spiritualitas yang berbeda-beda. Komunitas itu berasal
dari masyarakat dengan tradisi kerohaniannya sendiri. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah apakah komunitas-komunitas itu sungguh menjadi komunitas religius dengan basis
refleksi yang baik? Mungkin terlalu ideal kalau kita berambisi untuk menjadikan komunitas
kita sebagai komunitas religious philosophers atau komunitas philosophical theologians.
Yang kita harapkan adalah kita harus hidup dalam komunitas dengan tradisi berpikir dan
berteologi yang baik, yaitu kita mau menjaga tradisi kekayaan intelektual kristiani. 5 Suatu
tradisi iman yang direfleksikan dengan baik, tradisi itu harus bersumber pada kebenaran
iman (revelasi), pada akal budi (ratio), dan juga harus sesuai dengan pengalaman hidup
(praksis).

3. Iman, Akal Budi dan Pengalaman Hidup

Dalam tantum ergo, lagu penyembahan sakramen mahakudus yang selalu dinyanyikan orang
katholik pada saat adoratio sacramentum, ada bagian yang sangat menarik perhatian kita.
Ditulis praeste fides suplementum, sensuum defectui, atau ‘iman yang menolong budi, indra
tak mencukupi.’ Ada kebenaran iman yang tak dapat disangkal. Ada juga kekuatan akal budi
dan realitas hidup yang menjadi dasar pengalaman kita.

I
IMAN

III II
PENGALAMAN AKAL BUDI

Kita belajar filsafat ketuhanan dalam terang kebenaran iman, dengan kekuatan refleksi yang
baik dari akal budi/rasio dan keduanya, kebenaran iman dan akal budi, rasio itu harus menjadi
dasar untuk memahami pengalaman hidup yang konkret. Karena itu sebagai orang kristen,
kita mengakui kebenaran ini: iman harus menolong budi, indra tak mencukupi.

Apa arti pernyataan ini? Kita tidak mengharapkan jarak antara akal budi, rasio dan iman, atau
antara filsafat dan teologi, apalagi jarak itu menimbulkan semacam pemisahan tajam antara
5
Tentu di sini kita menekankan tradisi kekayaan intelektual kristiani sebagai prasyarat untuk
memperlihatkan identitas kita sebagai orang Kristen yang hidup di tengah tradisi kekayaan intelektual
islami atau tradisi kekayaan intelektual Hindu dan Budha.
3
dunia kehidupan filosofis dari orang-orang yang rasional dan dunia kehidupan teologis dari
orang-orang beriman. Meminjam D Caputo, a philosophical life of reason and a theological
life of faith.6 Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, santu Paulus memberi peringatan,
“sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang
sempurna tiba, maka yang tidak sempurna akan lenyap. Ketika aku kanak-kanak, aku berkata
seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-
kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar,
tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.”7 Siapa yang
mempunyai otoritas untuk melihat diri secara sempurna dan sanggup mengklaim sumber
kebenaran sendiri? Filsuf? Teolog?

Sokrates, seorang kudus secular, berjalan keliling Atena, menelusuri jalanan di tengah kota,
melemparkan sejumlah pertanyaan kepada setiap kaum muda yang ia jumpahi. Tujuannya
adalah menemukan pengertian yang benar tentang kebajikan hidup. Namun dalam proses itu
Sokrates mengenal banyak orang yang menganggap dirinya tahu segala, kemudian pada
akhirnya sadar diri bahwa mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa. Akhirnya dia dituduh
merusakkan kaum muda karena telah mengganggu mereka dengan pelbagai pertanyaan yang
merusakkan tradisi kepercayaan mereka. Dia dihukum mati dengan cara dipaksakan minum
racun. Kita tahu bahwa kasus Sokrates, kemudian diulang dalam Gelileo yang menantang
teologi kristiani yang berasal dari suatu otoritas semu yang mengklaim diri sebagai sumber
kebenaran abadi.

Dalam filsafat ketuhanan, kita tidak bermaksud mengembangkan suatu pandangan filosofis
yang didasarkan pada argumen-argumen murni, semacam pure reason, atau pada bukti-bukti
formal yang tidak membawa kita kepada jawaban yang memadai mengingat esensi filsafat
pada rasa ingin tahu, yang terus bertanya dan bertanya terus. Ini mempertegas makna filsafat
sebagai unanswerable questions, persoalan-persoalan yang belum selesai. Kita juga tidak
bermaksud meladeni keinginan teologi dengan sistim berpikir dogmatis yang cenderung tidak
toleran terhadap setiap pertanyaan kritis, dan hanya untuk membenarkan posisi teologi
sebagai un questionable answers, jawaban-jawaban dogmatis dan imun terhadap pertanyaan
kritis.

Kembali ke Sokrates, baik cara berpikir maupun cara kita beriman, keduanya harus diuji agar
kita menjalani hidup ini dengan baik. Hidup yang tidak diuji bukanlah hidup yang
sesungguhnya. Unexamined life is not worth living. Karena itu, iman dan refleksi teologis kita
harus diuji. Ujian itu harus membawa kita ke suatu kedalaman akan pengalaman eksistensial.
Ujian itu harus terjadi dalam mata rantai yang tak terputuskan antara refleksi dan pencarian
hidup yang berasal dari pengakuan diri yang rendah hati akan segala keterbatasannya.
Bukankah kebijaksanaan hidup Sokrates lahir dari kesadarannya akan ketidaktahuan dan
keterbatasan diri?

Berabad-abad setelah Sokrates, Søren Kierkegaard merindukan suatu cara hidup seperti
Sokrates dan ia ingin menjadi sebagai a christian Socrates. Ia mencari makna hidup sebagai
seorang Kristiani sejati melalui jalan kebajikan Sokrates, yaitu tidak mau begitu saja pasrah
pada warisan tradisi iman kristiani yang hampa refleksi. Tradisi iman yang kita terima dan
kita hidupi sekarang harus didasari oleh kekuatan refleksi dan berpikir yang baik.

6
Ibid.6
7
I Kor. 13:9-12
4
Kalau Sokrates mencari kabajikan hidup dengan cara menjalani hidup secara bijaksana, maka
Kierkegaard mencari kebajikan kristiani dengan cara menghidupi kebijaksanaan ilahi yang
bersumber pada Yesus Kristus.

Di sini kita merefleksikan iman kita dalam terang situasi yang sedang berkembang dewasa
ini. Situasi dunia sedang menantang kita untuk menjawabinya dengan tepat. Karena itu, kita
sebagai gereja dipanggil untuk menyesuaikan diri dengan konteks dunia. Iman kita harus
tanggap zaman dan harus menyesuaikan diri dengan arus deras perubahan kebudayaan
manusia.

Di antara sekian banyak perubahan, hal yang paling menantang adalah kebenaran. Seringkali
ada kesalahan dan kekeliruan intelek atau akal budi manusia untuk sampai pada objektivitas
dan universalitas kebenaran. Manusia tampak kehilangan dasar dan ketiadaan orientasi
dalam hidupnya. Selain itu, kekuatan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi sering
mengguncangkan bangunan iman kita dalam gereja.

Sejak diterbitkan ensiklik Fides ét Ratio, Paus Yohanes Paulus II kembali menekankan
pentingnya filsafat sebagai dasar untuk mencari kebenaran. Filsafat harus membawa kita
untuk merefleksikan persoalan tentang makna hidup dan bagaimana menemukan jawaban
yang tepat atas persoalan hidup. Kita menyadari bahwa setiap persoalan hidup lahir dari suatu
kekaguman atas pengalaman manusia dalam perjuampaanya dengan sesama yang lain,
dengan alam dunia, dengan penderitaan dan pengalaman tragis di muka bumi.

Panggilan utama dari filsafat dalam terang sejarah peradaban manusia telah memperlihatkan
betapa dalam dan kaya kekuatan refleksi untuk menemukan kebenaran. Filsafat modern telah
mengagungkan kebebasan manusia, yaitu kebebasan yang selalu menjadi takaran bagi semua
aktivitas manusia. Modernitas menaruh percaya pada akal budi dan melihat akal budi sebagai
dasar kekuatan. Rasio bisa berdiri di atas kaki sendiri. Ia bisa berpikir dan menemukan apa
saja. Sapere aude menjadi motor penggerak.

Namun kekuatan modernitas tidak menjawabi persoalan hidup manusia yang sangat
kompleks. Oleh karena itu filsafat terus ditantang untuk menemukan kebenaran dengan basis
kebijaksanaan yang bercirikan metafisik. Kebijaksanaan dalam terang filsafat harus dilihat
sebagai prinsip dasar dan fundamental dari realitas. Prinsip ini membawa kita kepada
kepenuhan makna kehidupan.

Decree on Reform of Ecclesiastical Studies of Philosophy berkata “Wisdom considers first


and fundamental principles of reality, and seeks the ultimate and fullest meaning of life.”
Selanjutnya dekrit itu berkata “the sapiential characteristic of philosophy implies its
genuinely metaphysical range, capable, that is, of transcending empirical data in order to
attain something absolute, ultimate and foundational in its search for truth. … In fact,
metaphysics, first philosophy, deals with being and its attributes, and, in this way, raises itself
up to the knowledge of spiritual realities, seeking the First Causes of all.” Dan hal ini hanya
bisa dimengerti dalam konteks aktualitas metafisika. Kita butuh mengartikulasikan refleksi
metafisis secara baik agar kita tetap memiliki dasar yang terdalam dan mengerti semuanya
dari dasar yang terdalam itu.

4. Aktualitas Metafisika

5
Untuk mencari sebab pertama dan mengertinya dengan baik, kita dibantu lewat metafisika,
dan tanpa ragu-ragu, di sini kita kembali ke metafisika Aristoteles. Dalam buku ke 12, 6, dia
berbicara tentang substansi. “There are three kinds of substance - one that is sensible (of
which one subdivision is eternal and another is perishable,) … and another that is
immovable.8 Aristoteles menyebutnya substansi abadi yang tidak dapat digerakkan - an
eternal unmovable substance. Secara esensial, substansi ini adalah sebab dari segala gerak.
Sebab efisien dari gerakan abadi. Gerakan itu, seperti yang terjadi di langit, di angkasa dan
seperti yang kita ketahui.

Bagaimana kita mengerti tentang gerak abadi seperti ini? Aristoteles berbicara tentang
kinêtikon kai poiêtikon - suatu prinsip gerak dan prinsip itu efisien di dalam dirinya. “There is
something which is capable of moving things or acting on them.” (1071 b 12) Kalau prinsip
itu tidak beraksi, maka tidak akan terjadi gerak pada segala apapun. Selain itu, kalau prinsip
itu beraksi, maka aksinya tidak cukup dimengerti jika substansinya bersifat potensial belaka.
Karena itu tidak akan ada yang disebut ‘gerakan abadi’ (eternal movement), sebab yang
bersifat potensial mungkin tidak ada. Aristoteles berkata “there must be, then, be such a
principle, whose very substance is actuality. Further, then, these substances must be without
matter; for they must be eternal, at least if anything else is eternal. Therefore, they must be
actuality.” (1071 b 20-22)

Aristoteles berbicara tentang sebab efisien yang berbeda dengan segala sebab efisien yang
lain. Ia menggarisbawahi suatu prinsip yang memiliki kekuatan, kapasitas untuk bergerak
dan beraksi dari dalam dirinya, dan ia juga menggerakkan yang lain. Boleh jadi, Aristoteles
sedang berbicara tentang substansi abadi dan substansi itu adalah sumber gerak yang
menggerakkan yang lain.

Substansi itu, dalam terang pandangan Plato dilihat sebagai prinsip suatu idea, dan prinsip itu
hanya satu, prinsip yang dari dirinya menyebabkan dan menjadi sumber gerak (dunamenê
arhê metaballein). Dia memiliki kapasitas untuk bergerak, dan kapasitas itu efisien. Ia aktual
di dalam dirinya.

Dalam konteks yang sama, Plato berbicara tentang suatu prinsip yang berbeda dengan idea,
dan prinsip itu mirip dengan substansi immobil karena ia memiliki kapasitas gerak di dalam
dirinya namun tidak digerakkan oleh yang lain. Plato menyebutnya jiwa abadi. Jiwa itu
menggerakkan dirinya (autokinêton). Seperti semua unsur kehidupan yang lain, demikian di
jagat raya ada jiwa abadi. Menurut Plato, ada sesuatu yang hidup dan bergerak, yang berasal
dari jiwanya. Itu adalah jiwa dunia yang menggerakkan segala sesuatu dalam bentuk
melingkar (circle) karena ia adalah sumber utama di dalamnya.

Namun Aristoteles melihat lebih jauh. Sumber gerak dari segala sesuatu adalah substansi
yang sempurna dan aktual. Ia aktual karena ia tidak dapat direduksi kepada yang potensial
dengan cara apapun. Ia adalah actus purus. Dalam bab ke 7 dari buku ke 12 itu, gerak yang
tidak digerakkan disebut sebab final. Ia bergerak dari dirinya sendiri, ia juga menggerakkan
jagat raya, segala yang lain, Ia adalah intermediasi (meson), antara yang bergerak dan yang
digerakkan. Aristoteles berkata “there is a mover which moves without being moved, being
eternal, substance, and actuality.” Aristoteles menambahkan,

The object of desire and the object of thought move in this way; they move without
being moved. The primary object of desire and of thought are the same. For the
8
Motore Immobile.
6
apparent good is the object of appetite, and the real good is the primary object of
wish. But desire is consequent on opinion rather than opinion on desire; for thinking
is the starting point.” (1072 a 26-27)

Ia bergerak karena memang itu adalah kesukaannya (to orekton-desirable), dan hal ini adalah
dapat dipahami, inteligible (to noêton): bergerak tanpa digerakkan. Jadi jelas bahwa referensi
pembicaraan Aristoteles tentang cara bergerak yang memang adalah esensinya, kemauannya
dan dapat dimengerti; tentu hal ini adalah objek kerinduan (to orekton) dari gerak yang tak
digerakkan. Objek kerinduan ini, menurut Aristoteles (De Anima III 10, 433 b 16)
seharusnya suatu kebaikan yang dapat diwujudkan melalui suatu tindakan/aksi (agathon
prakton). Aristoteles tampaknya melihat bahwa yang paling pertama, yaitu yang diinginkan
(desirable) dan yang paling utama, yaitu yang dapat dimengerti (inteligible), keduanya
koinsiden.

Di dalam diri manusia, manusia selalu merindukan yang baik. Ia menghendaki yang baik itu
diwujudkan, dialami seara nyata karena ia adalah objek kehendak. Objek kehendak, sebelum
dikenal dan dinyatakan menarik bagi kehendak, ia, pada level yang lebih tinggai, merupakan
objek intelek. Karena itu, yang paling pertama, yaitu yang diinginkan manusia (desirable)
koinsiden, sepadan dengan yang paling pertama, yang dipikirkannya (inteligible). Aristoteles
yakin bahwa intelek digerakkan oleh yang inteligible, karena yang inteligible itu
menggerakkan diri sendiri (kath’hautên).9 Aristoteles tampak mengarahkan kita ke dua seri
tentang yang inteligible itu; yaitu yang inteligible bagi manusia dan yang inteligible di dalam
dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, sebenarnya ada hal yang jelas bagi akal budi
manusia, dan ada juga hal lebih yang jelas bagi dirinya, yaitu yang melampaui akal budi
manusia. Ia bahkan menggerakkan akal budi manusia itu. Aristeles berkata “for that for the
sake of which is both that for which and that towards which, and of these the one is
unmovable and the other is not. Thus, it produces motion by being loved, and it moves the
other moving things.”10 Akal budi manusia digerakkan oleh suatu akal budi yang lebih tinggi
darinya; dan akal budi itu inteligible per se (kath’hautên). Karena itu ada seri akal budi yang
dimengerti oleh manusia yaitu akal budi manusia yang jelas bagi manusia, dan akal budi yang
jelas bagi dirinya sendiri.11 Distinksi ini memperjelas konsep Aristoteles tentang substansi
primer sebagai unmoved mover.

Aristoteles menarik kesimpulan bahwa ‘yang menghendaki dirinya sendiri’ (di h’hauto)
dalam suatu seri yang di dalamnya ada yang intelegible per se, dan yang paling pertama dari
seri ini, yaitu substansi yang paling sederhana dan aktual, ia akan selalu (aei), yaitu di dalam
dua seri itu, dan di dalamnya, yang lebih baik (ariston) atau sesuatu yang analog dengan itu
(ê analogon).12 Tentu, di sini, Aristoteles berbicara tentang penggerak yang takdigerakkan,
substansi primer, actus purus, yang paling pertama dari semua yang dapat dipahami, dan
juga yang paling pertama dari semua yang dikehendaki, yaitu kebaikan tertinggi (ariston). Ia
adalah sasaran yang paling utama dan tertinggi dari semua yang dikehendaki. Objek utama
dari semua objek yang dirindukan dan inteligible per se adalah kebaikan tertinggi. Objek ini

9
“and thought is moved by the object, and one side of the list of opposites is in itself the object of
thought.” 1072 a 30-31.
10
1072 b 2-4.
11
“a me sembra più verosimile che Aristotele, avendo menzionato ciò che è intelligibile per l’uomo,
alluda a due seri di intelligibile, l’una intelligibile per l’uomo e l’’tra intelligibile per sé.” (Enrico
Berti, “la causalitá del motore Immobile secondo Aristotele.”
12
1072 a 34-b1) “But the good, also, and that which is in itself desirable are on this same side of the
list; and the first in any class is always best, or analogous to the best”.
7
tidak setara dengan semua objek kesukaan indrawi kita. Ia adalah prinsip utama, sebab utama
yang kita kenal sebagai tujuan akhir dan sebab utama dari segala yang ada. Jadi kebaikan
tertinggi dan penggerak yang tak digerakkan (unmoved mover) adalah yang paling utama dari
semua yang dikehendaki (sasaran kehendak) dan yang paling tinggi dari semua yang dikenal
(sasaran intelek). Hal ini, tentu pertama-tama jelas bagi dirinya sendiri, bukan bagi kita
manusia.

Plato berbicara tentang kebaikan tertinggi dalam terang idea tentang kebaikan atau ide
tentang yang satu, yaitu idea kebaikan sebagai yang transenden, yang terpisah dari apapun.
Namun menurut Aristoteles, kebaikan tertinggi sebagai yang ideal tidak terpisah dari
kebaikan manusia sebagai kebaikan yang dapat dipraktekkan (prakton), yaitu yang dapat
direalisasi dalam tindakan (praxis), seperti misalnya hidup sehat. Dalam pandangannya
tentang etika, Aristoteles kemudian melihat hal ini dalam hubungan dengan kebahagiaan
sebagai kebaikan tertinggi, sasaran setiap perbuatan manusia - berbuat baik (eupraxia) atau
hidup baik (eu zên), semacam ideal kehidupan teoretis dalam terang praksis kebijaksanaan
(sophia).

Gerak yang tidak digerakkan (unmoved mover) adalah kebaikan tertinggi, dan kebaikan itu
bukan karena dikehendaki manusia, tetapi karena itu adalah kehendaknya sendiri. Kehendak
itu adalah esensinya. Gerak itu bukan juga karena dapat dimengerti oleh manusia tetapi
karena di dalam dirinya, ia adalah inteligible. Secara singkat, ia, gerak yang takdigerakkan
itu, desiderable and inteligible in se and per se. Karena itu, yang paling pertama adalah
kebaikan tertinggi, kebaikan yang analog dengan dirinya sendiri (ariston aei ê analogon).
Karena itu, analogi kebaikan tertinggi di dalam dirinya sendiri (in se) dapat dimengerti
sebagai kebahagiaan.

Gerak yang tak digerakkan itu memiliki tujuan di dalam dirinya sendiri. Kalau mengamati
jagat raya, bintang-bintang angkasa bergerak, dan pergerakan mereka tampak merupakan
gerakan partisipatif (praxeôs) dan gerakan yang hidup. Nampaknya, gerakan yang lebih
sempurna (tôi men arista echonti) dari kebaikan (to eu) adalah gerakkan yang tidak
membutuhkan kekuatan lain (aneu praxeôs). Yang sudah sempurna, tidak membutuhkan
kekuatan lain untuk menyempurnakan dirinya. Ia sudah baik di dalam dirinya. Yang semakin
sempurna, ia membutuhkan sedikit kekuatan lain untuk lebih mendekati kesempurnaan itu.
Sedangkan yang masih jauh dari sempurna, ia harus membutuhkan banyak hal untuk lebih
mengarahkan diri dekat dengan kesempurnaan itu.

Yang sudah sempurna, ia tidak membutuhkan kekuatan lain untuk menyempurnakan dirinya.
Ia adalah kesempurnaan itu sendiri. Kesempurnaannya adalah tujuan di dalam dirinya sendiri
(esti gar auto to hou heneka). Tentu, ini adalah prinsip yang lebih lebih suci, luhur dan mulia
(principio piu divino - theiotatê archê) jika kita melihatnya dalam ukuran yang
sesungguhnya. Kalau kita menggunakan bahasa manusia, prinsip yang sempurna ini berada
pada tingkatan yang paling sempurna, tertinggi.

Setelah berbicara tentang gerak yang takdigerakkan, gerak yang memiliki tujuan di dalam
dirinya sendiri, dan kebaikan tertinggi, Aristoteles melihat hal itu sebagai hal yang sempurna
karena ia bergerak dari dalam dirinya dan untuk dirinya sebelum ia menggerakkan yang lain.
Gerakkan itu adalah kesukaannya. Ia bergerak karena hal itu adalah esensinya. Bergerak
karena kesukaannya (kinei de hôs erômenon) dan melaluinya yang lain digerakkan
(kinoumenôi). Bergerak karena kesukaannya berarti bergerak dari kemauannya. Ia tidak
membutuhkan gerakan lain di luar dirinya. Ia berada baik (sta bene – kalôs) dan ini adalah

8
prinsip dirinya (kai houtôs archê). Berada baik di dalam dirinya adalah kesukaannya (piacere
- hedonê). Ia sempurna di dalam dirinya. Segala yang lain (angkasa raya dan segala isinya)
bergantung padanya. Aktivitasnya sempurna. Tujuannya ada di dalam dirinya sendiri.

Dalam terang Etika Nikomakhea, Aristoteles melihat bahwa barangsiapa memiliki kerinduan
untuk berada pada level kesempurnaan, ia harus berada pada jalur aktivitas. Aktivitas itu
membawa dia pada kesempurnaan hidup dan hal itu harus menjadi kesukaannya.

One might think that all men desire pleasure because they all aim at life: life is an
activity, and each man is active about those things and with those faculties that he
loves most; e.g. the musician is active with his hearing in reference to tunes, the
student with his mind in reference to theoretical questions, and so on in each case;
now pleasure completes the activities, and therefore life, which they desire. It is with
good reason, then, that they aim at pleasure too, since for everyone it completes life,
which is desirable. But whether we choose life for the sake of pleasure or pleasure for
the sake life is a question we may dismiss for the present. For they seem to be bound
up together and not to admit of separation, since without activity pleasure doesn’t
arise, and every activity is completed pleasure.13

Kesukaan menuju kesempurnaan. Ada keinginan untuk menjadi sempurna dan keinginan itu
diwujudkan melalui aktivitas. Kepuasannya terjadi jika aktivitas itu membawa dia pada
kesempurnaan. Itu adalah sukacita. Penggerak yang tak digerakkan itu menggerakkan dirinya
sendiri. Itu adalah aktivitasnya. Ia menggerakkan diri dalam kesempurnaanya. Itu adalah
kesukaannya. Ia menyukai dirinya dalam aktivitasnya. Aktivitasnya adalah kesukaannya.
Aktivitas itu adalah kekasihnya. Ia adalah kekasih bagi dirinya sendiri dan juga bagi segala
yang lain yang digerakkannya. Dante berkata “adalah kasih yang menggerakkan matahari dan
segala bintang yang lain.”

Sebagai konsekuensi, suatu aktivitas di dalam diri penggerak yang tak digerakkan, dan
aktivitas itu dilihat sebagai kesukaannya, Aristoteles berbicara tentang aktivitas pikiran.
Aktivitas adalah hal yang terbaik dalam pikiran. Pikiran bergerak. Ia memiliki di dalam
dirinya kekuatan bergerak. Hal yang terbaik yang ada di dalam pikiran adalah mengetahui.
Pikiran mengetahui dan aktivitas mengetahui di dalam pikiran adalah esensinya. Esensinya
adalah kesukaannya. Bagi Aristoteles, gerak yang tak digerakkan, di dalam dirinya sendiri
adalah ‘pikiran yang mengetahui’ karena ia inteligible in se. Aristoteles berkata:

On such a principle, then, depend the heavens and the world of nature. And its life is
such as the best which we enjoy, and enjoy for but a short time. For it is ever in this
state … since its actuality is also pleasure. And thought in itself deals with that which
is best in itself and that which is thought in the fullest sense with that which is best in
the fullest sense. And thought thinks itself because it shares the nature of the object of
thought; for it becomes an object of thought in coming into contact with and thinking
its objects, so that thought and object of thought are the same. For that which is
capable of receiving the object of thought, i.e. the substance, is thought. And it is
active when it possesses this object. Therefore, the latter rather than the former is
divine element which thought seems to contain, and the act of contemplation is what
is most pleasant and best. If, then, God is always in that good state in which we
sometimes are, this compels our wonder; and if in a better this compels it yet more.
And God is in a better state. And life also belongs to God; for the actuality if thought
13
Nichomachean Ethics X 4, 1175 a 10-21
9
is life, and God is that actuality; and God’s essential actuality is life most good and
eternal. We say therefore that God is a living being, eternal, most good, so that life
and duration continuous and eternal belong to God; for this is God.14

Gerak yang tak digerakkan itu berpikir tentang dirinya sendiri. Ia mencintai dirinya. Ia adalah
pikiran yang memiliki pengetahuan dan kasih yang mempunyai kehendak di dalam dirinya.
Aristoteles berbicara tentang ton theon. Bagi orang Yunani ini adalah nama yang
dihubungkan dengan kehidupan yang kekal dan yang paling sempurna. Nama ini seharusnya
bereferensi pada Tuhan. Kita melihat Aristoteles menyamakan “penggerak yang pertama
dengan Allah dan mendefinisikan inti, essensinya sebagai pikiran dari pikiran, pikiran yang
dengan sepenuhnya, secara sempurna memikirkan dirinya sendiri, mengenal dirinya sendiri
dengan sempurna. Hubungan antara barang yang bergerak dan penggerak yang pertama adalah
seperti yang mencintai dan dicintai. Jadi penggerak yang pertama itu dipandang di sini terutama
sebagai causa finalis dan kurang sebagai causa efficiens. dari Aristoteles, kita mengenal
theologia dalam arti ilmu yang paling dasariah, ilmu atau filsafat yang pertama, prima
Philosophia atau Metaphysica. Dengan demikian jelas bahwa untuk Aristoteles ajaran filosofis
tentang yang ilahi itu adalah serentak dasar dan puncak segala filsafat dan ilmu pengetahuan. 15

5. Masalah Ketuhanan

Masalah ketuhanan di sini harus dilihat murni dari konteks filosofis. Konteks ini menuntut
kita untuk membuat 1) refleksi tentang cara bagaimana kita memiliki keyakinan yang koderati
tentang adanya Tuhan. Keyakinan ini harus didasarkan pada kemampuan akal budi yang baik.
Kita tidak menerima begitu saja keyakinan kita tenang adanya dan koderat Tuhan tanpa suatu
pengertian yang benar-benar mendasar. Selain itu, kita menggunakan akal budi dengan maksud
untuk 2) mengembangkan secara ilmiah pengetahuan atau pengertian koderati tentang Tuhan
karena pengetahuan koderati kita tentang yang ilahi itu sangat terbatas dan kabur. Ini adalah
tugas Filsafat Ketuhanan.

Selain itu, kita harus menggunakan kapasitas intelek untuk 3) memahami lebih baik dan lebih
mendalam tentang wahyu Tuhan. Meskipun wahyu adalah suatu karunia, hadiah dari Tuhan,
sebagai orang beriman, kita harus menerimanya secara aktip dan sesuai dengan koderat kita.
Kita menerima karunia itu dengan hormat, minat dan perhatian yang penuh.

Barangsiapa yang menaruh hormat dan perhatian pada wahyu jika ia sungguh menggunakan
kapasitas akal budinya, dan melalui kapasitas itu diharapkan sanggup menyelami isi wahyu
sedalam mungkin. Ini adalah tugas bagi setiap kita yang memiliki iman. Kita harus percaya
(dengan keuatan akal budi yang baik) agar kita dapat melihat. Le croire pour le voir- percaya
agar dapat melihat,16 demikian kata jean-Luc Marion, atau fides quarens intellectum menurut
santo Anselmus.

Jadi, diskursrus filosofis tentang ketuhanan sangat berguna sebagai persiapan untuk mendalami
wahyu. Tidak ada teologi yang serius tanpa persiapan filosofis. Nemo theologus nisi
philosophus. Sebagai roang beriman katholik, semua bentuk kepercayaan kita harus diteriangi
oleh kekuatan intelek agar kita tidak jatuh ke dalam ilusi. Sebelum kita percaya bahwa Wahyu
itu benar sebagai karunia dari Tuhan, kita harus terlebih dahulu menerima dan memahaminya
14
1072 b 14-30
15
Josef Pianiezek, Filsafat Ketuhanan (ms) STFK Ledalero.
16
Jean-Luc Marion, believing in order to see. On the rationality of revelation and the irrationality of
some believers. New York: Fordham University Press, 2017.
10
secara rasional. Kita tidak mau menerima wahyu hanya secara pasif atau secara mekanis
belaka. Kita harus berusaha dengan kapasitas koderati kita untuk memahami isi wahyu,
menginterpretasi Kitab Suci dengan menggunakan kemampuan akal budi yang baik dan benar.

Dewasa ini kita mengamati fenomen bahwa banyak orang beriman mengalami kehilangan iman.
Mereka kehilangan iman bukan karena mereka sudah rasional. Bukan juga karena mereka
sungguh rasional atau sangat rasional. Boleh jadi mereka kehilangan iman karena mereka tidak
lagi memiliki kesanggupan akal budi rasional untuk mengerti dan untuk menjelaskan secara baik
seluruh pengalaman hidup mereka.

Kita harus mengakui bahwa akal budi tidak dapat menjelaskan segala sesuatu. Akal budi
bukanlah titik akhir untuk membenarkan apa saja. Kita harus menerima bahwa ada suatu ruang
yang tetap tinggal tak dapat terpahami dengan baik. Incomprehensible.17 Boleh hadi ruang itu
bersifat irasional, kalau kita tidak mau menyebutnya sebagai melampaui yang rasional. Akal
budi manusia harus berjuang untuk memahami dengan baik ihkwal kehidupannya dalam terang
iman jika akal budi itu mengalami kehilangan kapasitasnya untuk mengerti dirinya secara
rasional.

Kita sering tidak sanggup secara rasional mengerti segala hal dalam hidup ini. Boleh jadi ini
disebabkan karena kita kurang beriman. Kita terlalu cepat meninggalkan iman. Ya, kita
kehilangan kemampuan akal budi yang baik karena kita kurang atau tidak percaya. We lose
reason in losing faith.18 Dewasa ini kita berhadapan dengan persoalan besar dalam hidup.
Banyak orang mengabaikan iman. Mereka lebih suka tenggelam dalam praksis kehidupan yang
gemerlap. Rasionalitas manusia sedang meningkatkan kekuatannya melalui kepercayaan diri
yang semu. Illusional. Rasionalitas sedang menutup diri dan seluruh pengalamannya terhadap
ruang yang tak terbatas. Bahkan rasionalitas manusia sedang menghancurkan ruang yang tak
terbatas itu. Kita sedang berhadapan dengan kekuatan suatu dekstruksi yang besar.

Namun kita harus menyadari bahwa kekuatan destruksi itu sebenarnya menggambarkan
kelemahan dari kekuatan itu. Gianni Vattimo menyebutnya il pensiero debole - pikiran yang
lemah. Rasionalitas merayakan kelemahannya dengan cara melupakan kekuarangan-kekurangan
di dalam dirinya. Ini nampak jelas melalui segala bentuk ateisme, baik praktis maupun sistimatis
dan militan.

Secara praktis, dewasa ini banyak orang telah mengabaikan Tuhan dan agama. Mereka tidak
mau tahu dengan hal itu. Mereka tidak memikirkan dan menjalani hidupnya seperti tanpa Tuhan
dan tanpa terikat dengan agama. Tuhan tidak ada. Sikap ini sangat kuat dipengaruhi oleh gaya
hidup yang sekularistik. Orang hidup dalam konteks sosial yang sangat duniawi. Aktif dan
tenggelam dalam situasi dunia. Sibuk dari pagi, siang dan malam tanpa mengenal ketenangan
dan kedamaian batin. Mereka mencari segala hal yang mereka inginkan dan berusaha
mengumpulkan sebanyak mungkin. Seringkali kesibukan itu tidak membawa apa-apa selain
kejadian, situasi seperti penyakit, kecelakaan, kehilangan kekasih, kekayaan yang menjadi
peringatan. Orang diminta untuk mengambil jarak dan merenungkan arti, tujuan, dan nilai
hidupnya.

“Mungkin bahwa situasi yang luar biasa itu akan membuka mata orang itu dan dia cukup
berani dan tulus hati untuk mengakui kesalahannya, untuk mengakui kontingentianya
dan ketergantungannya dari Tuhan. Namun dapat terjadi bahwa orang tidak lagi mampu
17
Bdk. Ibid. xi.
18
Ibid.xii.
11
memikirkan soal arti, tujuan dan nilai hidup manusia dalam hubungannya dengan soal
Tuhan karena dia begitu lama melalaikan pokok itu sehingga sekarang tidak tahu
bagaimana mendekatinya. Akibatnya adalah keadaan putus asa. Bisa terjadi juga bahwa
dia tidak berani atau tidak rela menghadapi pokok itu karena dia melihat bahwa dengan
mengakui dan menerima adanya Tuhan sebagai sumber dan dasar dari mana segala
sesuatu bergantung dia akan kehilangan otonominya yang dia anggap absolut. Tapi
dalam hal itu dia hidup dalam ilusi, menipu diri.”19

Lebih jauh, secara sistimatis atau militan, ada sekelompok orang yang membangun suatu
pandangan untuk menjelaskan bahwa realitas hidup yang kita jalani tidak memerlukan suatu
prinsip transenden apapun. Segala sesuatu dapat dipahami dengan jelas. Intelligibilis.
Kelompok ini ingin berkata Tuhan memang tidak ada dan karena itu mereka mengkritik orang-
orang beragama yang telah jatuh ke dalam kesia-siaan. Orang-orang beragama menjalani hidup
dengan tanpa mengerti nilai-nilai dari kehidupan itu. Mereka menggantungkan seluruh nilai
kehidupan mereka pada yang transenden. Hal ini membuat kehidupan mereka, orang beragama
itu, menjadi tidak berarti. Menurut kelompok ini, orang beragama adalah “korban suatu ilusi.”
Karena itu tugas dari kaum ateis sistimatis dan militan adalah berjuang untuk membebaskan
orang beragama dari ilusi itu melalui ajaran dan pandangan mereka. Kita harus kembali hidup
sesuai realitas demi mencapai kepenuhan makna eksisitensi kita. Seorang ateis militan seperti
Sartre, Marx mengajarkan banyak pandangan untuk berusaha untuk membebaskan orang lain
dari ilusi dan alienasi. Mereka ajarkan cara hidup yang benar yaitu haru berjuang hidup sesuai
kenyataan demi kebahagiaan dan kesempurnaan di dunia ini.20

Ada kelemahan mendasar dari argumen ateisme praktis dan sistimatis. Mereka menutup diri
untuk mencari sebab terdalam, sumber dan alasan mendasar dari realitas ini. Tentu, sikap
seperti ini sangat sederhana dan tidak filosofis. Mereka mengagungkan segala unsur
metarialitas duniawi dan membaptisnya menjadi hal yang sakral, ilahi dan abadi. Mereka
melupakan aspek kontigensi materialitas duniawi. Selain itu, mereka tidak memiliki argumen
yang lebih positif untuk menolak eksistensi Tuhan.

Selain itu, kita juga sedang berhadapan dengan bahaya nihilisme. Di dalam nihilism, tidak ada
apapun yang berarti selain ketidakberartian itu. Rasio sendiri tidak sanggup menjustifikasi
dirinya. Kalau rasio membutuhkan justifikasi, maka rasio harus memiliki kerinduan untuk
justifikasi, dan itu berarti ia harus membutuhkan sesuatu di luar dari dirinya sendiri. Dalam
nihilisme rasio sekalipun tidak sanggup membernarkan dirinya sendiri. Tantangan paling besar
dalam nihilisme datang bukan dari kegagalan iman tetapi dari kegagalan rasionalitas itu sendiri.
Rasio kehilangan kepercayaan dirinya. Ada semacam kehampaan legitimasi diri di dalam
rasionalitas.

Kesadaran akan keterbatasan ini, membawa kita untuk kembali melihat dua kekutaan yang harus
saling bersanding satu dengan yang lain: Iman dan rasio. Ketersandingan keduanya lahir dari
keterbatasan manusia. Perlu ada sikap yang positip dan sikap itu harus lahir dari keterbukaan
dan kesadaran akan situasi dunia ini. Kita sedang mengalami bermacam-macam kekurangan
dan keterbatasan diri. Ada pergolakan eksistensial dan pelbagai kelemahan di dalam diri kita dan
di dalam masyarakat. Selain itu kita memiliki kerinduan untuk hidup bahagia, aman dan
tenteram. Sebagai orang beragama, hampir semua kita selalu percaya dan menaruh harapan pada
yang yang transenden, yang mengatasi dunia dan juga yang menjadi dasar kehidupan kita.

19
Josef Pianiezek, Filsafat Ketuhanan (ms) STFK Ledalero.
20
Bdk. Ibid.
12
Jadi, dari pengalaman yang paradoksal ini, kesadaran akan kontingensi kita di tengah dunia dan
kerinduan akan yang transenden, kita membangun refleksi filosofis. Refleksi yang bertolak dari
contingentia dan dari yang transenden. Ini adalah dasar bagi kita melihat hubungan iman dan
rasio. Kita tidak membangun suatu apologi untuk iman di sini. Tidak juga membelas rasionalitas
dalam arti yang murni rasional. Yang hendak kita lihat adalah usaha untuk mengerti segala
ekspresi iman kita dari segi rasionalitas dan memahami rasionalitas kita atas dasar iman yang
benar.

Dewasa ini, tantangan paling besar bagi iman bukanlah keraguan (dubbio), bukan juga
ketidakpercayaan (disbelief/unbelief) tetapi apa yang disebut mauvais foi, bad-faith. Tantangan
ini lahir dari suatu patologi yang pada mulanya secara filosofis bersifat rasional. Patologi ini
bukanlah hasil dari oposisi rasionalitas misalnya irasionalitas. Bukan juga dari iman yan gsering
perbenturkan dengan rasio. Tantangan ini bersumber pada suatu ideologi semu yang dibesarkan
oleh wounded-cogito. Ada semacam rasionalitas yang sakit karena luka-luka dirinya yang tidak
kunjung sembuh.

Oleh karena itu, sangat beralasan bahwa kita harus membangun diskursus filosofis tentang
ketuhanan dengan mengartikulasikan secara baik hubungan antara iman dan rasio atas dasar
rasionalitas iman yang baik dan fair. “It is necessary, then, to articulate the connection between
faith and reason rationally and with good faith.” 21 Kita membutuhkan artikulasi iman yang baru
di tengah tantangan zaman. Tantangan yang paling besar adalah berhadapan dengan kritik dan
reaksi terhadap iman dari para kritikus iman di era postmodern ini. Artikulasi iman menuntut
kita kaum beriman untuk membuat re-imajinasi yang baru tentang figur Tuhan yang
sesungguhnya, atau meminjam kata-kata Ricoeur, kita butuh refiguring God di tengah tantangan
postmodernisme yang semakin gencar menyerang iman.

6. Artikulasi Yang Baru

Refleksi filosofis tentang iman menuntut kita untuk kembali ke akar persoalan tentang iman itu.
Kembali ke akar persoalan berarti kembali ke sejarah tentang kritik para pemikir sekular dan
ateis terhadap tridisi iman. Kritik yang paling pedas adalah tentang Tuhan yang telah mati.
Kritik tidak selamanya bersifat negatif. Kritik bersifat positif karena kritik itu memberi kita
alternatif untuk merefleksikan secara baru tradisi iman kita yang pernah hidup. Kritik yang baik
dapat mendatangkan cahaya baru dalam refleksi. Cahaya itu dapat membuka ruang dan
membersihkan pengat iman dan kegelapan yang mungkin telah menguasai kita selama ini.

Kritik postmodernisme bahwa Tuhan telah mati boleh jadi bersifat positif karena kritik itu
menantang kaum beriman untuk menemukan artikulasi baru tentang yang sakral atau yang
kudus. Setelah Nietzsche mewartakan “Senjakala berhala dan Anti Kristus”22 yang
menggemparkan dunia, kita sebagai kaum beriman dituntut untuk membuat artikulasi yang baru
tentang iman kita. Artikulasi baru bertujuan untuk menemukan kembali inspirasi tentang apa
yang telah hilang dalam cara-cara kita beriman dan beragama selama ini. Kita ingin menemukan
kembali yang telah hilang dalam cara-cara kita beragama. Boleh jadi cara kita beragama yang
palsu telah membenarkan bahwa Tuhan telah mati di dalam agama kita. Ada hal-hal yang belum
jelas dalam cara kita mengungkapkan iman kita. Kita membutuhkan revisi iman yang baru dan
revisi itu bertujuan membawa kita ke depan, dan membuka harapan iman yang lebih segar.

Jean Luc Marion, Ibid. xii.


21

Nietzsche, Senjakala Berhala dan Antik-Krist, penerj. Hartono Hadikusumo, Jogyakarta: Bentang
22

Budaya, 2002.
13
Kita ingin kembali ke sumber yang asli, yaitu kembali kepada Tuhan yang benar setelah kita
hidup dengan tuhan-tuhan yang palsu selama ini. Kembali kepada Tuhan setelah tuhan yang
palsu dan untuk hal ini kita membutuhkan niat eskatologis yang baru. Niat ini bertujuan untuk
membuka kembali perspektif yang baru. Perspektif ini tidak saja lahir dari kelemahan atau dari
kekurangan-kekurangan di dalam agama, tetapi juga ia membawa kita kembali kepada awal
yang baru (new beginning), ke situasi di mana belum ada pemisahan antara teisme dan ateisme.
Awal yang baru adalah suatu disposisi asali dari suatu keterbukaan terhadap lyan, atau terhadap
apa yang Levinas namakan l’Autrui, ‘Yang Lain’ sebagai yang eksterior, yang tak berhingga
atau yang heteronom, yang datang sebagai pemberian, sebagai undangan atau sebagai
pengunjung.

Kritik terhadap kematian Tuhan atau terhadap kepalsuan agama dan iman sebagai candu
masyarakat yang dikumandangkan Marx, Nietzsche, dan Freud adalah kritik terhadap agama
sebagai ideologi yang secara kultural, sosial dan intelektual hidup di masa modern. Kritik ini
lahir bersamaan dengan pertumbuhan desakralisasi dunia, bersamaan dengan perkembangan
situasi dunia yang sedang sakit karena keterlupaan akan Tuhan atau karena kehilangan iman.

Dunia yang kehilangan Tuhan adalah dunia yang sedang sakit secara rohani. Dunia ini
mengalami degradasi. Ada degradasi situasi yang memberi kesan bahwa agama-agama telah
mencapai titik jenuh. Oleh karena itu kita membutuhkan artikulasi baru tentang iman yang
terbuka terhadap yang telah hilang atau yang telah diabaikan. Artikulasi ini tidak sekedar dibuat
pada level refleksi tetapi pada level seperti yang St. Agustinus namakan conversio, pembalikan
radikal setelah terjadi pembenahan diri secara moral dan secara spiritual. Malam gelap yang
terjadi di dalam jiwa manusia, atau radikalitas alienasi diri berubah menjadi penemuan diri yang
baru di dalam cahaya maha cahaya.

Artikulasi yang baru tentang iman dan juga tentang Tuhan harus terjadi di dalam ruang dan
waktu, di dalam topos dan kairos. Artikulasi itu membutuhkan kekayaan imaji dan kekuatan
kreativitas metafora tentang yang sakral. Kita perlu mengembangkan imajinasi baru di dalam
cara-cara kita beriman agar iman lebih bergairah. Imajinasi yang baru perlu lahir dari
kesanggupan untuk masuk di dalam banyak kemungkinan yang tidak pasti, ada kapasitas diri
yang terbuka terhadap misteri, keraguan dan bahkan keberanian memasuki ruang kosong
kehidupan yang sering menantang eksistensi kita dalam tragedi hidup.

Imajinasi dan iman, narasi, kebebasan dan empati, semuanya adalah bagian dari artikulasi baru
yang lahir dari ruang pengalaman sakramental; dan ruang itu membaur dalam suatu dunia teks
tentang epifani. Ruang pengalaman sakramental adalah ruang yang bergerak dari prefigurasi
pengalaman eksistensial menuju konfigurasi tekstual lalu memuncak kembali pada refigurasi
eksistensial. Ini adalah perjalanan artikulasi tentang iman yang baru dan perjalanan ini serentak
menjadi momen transformasi23 untuk membebaskan kita dari dogma yang kering atau dari
doktrin yang abstrak.

Artikulasi iman yang baru hanya mungkin lewat kreativitas reimajinasi tentang yang sakral.
Kreativitas bertujuan untuk menghidupkan kembali iman. To make it live again.

7. SIKAP KITA

Dewasa ini, khususnya dalam situasi postmodernisme, kita sebagai orang-orang beriman
sungguh ditantang dengan persoalan tentang Tuhan. Ada banyak sikap dan pandangan yang
23
Bdk. Richard Kearney, “God After God: An Anatheist Attempt to Reimagine God” p. 13.
14
mempersoalkan misalnya Apakah Tuhan ada? Selanjutnya kita percaya bahwa Tuhan ada,
bagaimanan kita membuktikannya? Kalau Tuhan tidak ada, bagaimana kita menjelaskannya?

Selain itu kita juga berhadapan dengan persoalan besar tentang ‘Tuhan telah mati.’ Juga kita
harus berhadapan dengan persoalan tentang sikap skeptis terhadap Tuhan. Pertama, persoalan
tentang adanya Tuhan bagi orang-orang yang percaya (believers) memiliki implikasi yang lebih
besar karena bagi orang beriman, membuktikan adanya Tuhan berarti membukti apakah figur
Tuhan yang mereka percaya adalah benar-benar Tuhan. Mereka harus berani memberikan alasan
(reason) bahwa Tuhan yang mereka percaya adalah benar-benar Tuhan. Perlu ada evidensi
tentang pembuktian adanya Tuhan. Evidensi itu harus lebih jauh membuat mereka mengerti
tentang figur Tuhan. Ricoeur misalnya berbicara figuring the sacred 24 dalam agama, narasi dan
imajinasi. Levinas berbicara tentang wajah sebagai enigma dari yang tak berhingga.

Kedua, persoalan tentang Tuhan yang tidak ada bagi orang-orang ateis (unbelievers) perlu diberi
pembuktian bahwa Tuhan benar-benar tidak ada bagi mereka. Misalnya yang berkata bahwa
‘Tuhan mati,’ ia harus memberi penjelasan bahwa benar-benar Tuhan mati agar tidak
menimbulkan kontradiksi dalam term. Jika benar Tuhan mati, maka yang mati itu bukan Tuhan
sesungguhnya melainkan hanya Tuhan dalam ilusi saja. Ini yang disebut negative-evidence
karena pernyataan bahwa ‘Tuhan mati’ sesungguhnya tidak mempunyai makna apa-apa. Ketiga,
kaum skeptis mengambil sikap di antara hitam dan putih, ya atau tidak. Mereka ragu-ragu
terhadap kepercayaan mereka dan juga tidak menentu dalam ketidakpercayaan mereka. Bahkan
ada yang ragu terhadap keraguan mereka - being doubtful about doubting, dan bahkan merasa
aman dengan sikap keraguan itu.

Dalam filsafat ketuhanan ini, kita membangun diskursus tentang Tuhan melalui pendasaran atas
iman kita. Pendasaran itu bertolak pengakuan dalam iman kita bahwa Tuhan memang ada
(credo). Ini adalah kepastian iman. Oleh karena itu, titik tolak kita sebagai orang beriman:
berfilsafat atas dasar iman. Thinking from faith. Faith as the basis of reason. Tugas kita adalah
memberikan pendasaran yang lebih meyakinkan tentang iman kita (reasonable faith). Ferdinand
Ulrich berkata, “It is precisely faith that first makes philosophizing (reason) radically
philosophical (reasonable) in the proper and ultimate sense of the term.” Kita berusaha
mengembangkan filsafat ketuhanan yang mengalir dari kekayaan iman, yaitu rahmat. Gratia
supponit naturam et perficit eam - rahmat memberi pendasaran bagi akal budi dan bahkan
menyempurnakannya. Kita tidak membangun suatu ide atau abstraksi tentang filsafat ketuhanan
yang murni bertolak dari rasionalitas murni.

Santu Anselmus berkata, fides quaerens intellectum - Iman mencari pemahaman. Faith seeking
understanding. Wittgenstein menegaskan kepercayaan sebagai dasar yang mutlak dalam
kehidupan ini. Dasar ini tidak menyakitkan apa-apa. Tidak ada kerugian bagi mereka yang
percaya bahwa Tuhan ada. Belief then! It doesn’t hurt. Dan St. Agustinus menegaskan ergo
noli quaerere intelligere ut credas, sed crede ut intelligas, quoniam ‘nisi credideritis, non
intelligetis, karena itu, berusahalah bukan untuk mengerti agar engkau percaya, tetapi percayalah
agar engkau boleh mengerti, karena ‘kalau engkau tidak percaya, engkau juga tidak akan
mengerti’.”

Jadi, yang penting di sini, bukanlah pengertian, pengetahuan yang bertolak dari evidensi rasional
sebagai dasar yang lebih baik dari iman. Sebaliknya, percaya agar dapat melihat (voir), dan

24
Paul Ricoeur, Figuring the Sacred, religion, narrative and imagination, Minneapolis: Fortress
Press, 1995.
15
dengan demikian, agar lebih meyakinkan (concevoir). Kepada Natanael, Filipus berkata, “mari
dan lihatlah!” Setelah melihat, Natanaelpun mengerti semuanya.

Iman kita memiliki rasionalitas tersendiri, dan rasionalitas itu adalah rasionalitas iman. Di sini,
kita menegaskan christian faith as rationality. Kita tidak boleh, bahkan tidak dapat beriman
tanpa rasionalitas. Percaya tanpa pengertian akan menjadi fatal dalam hidup. St Petrus berkata
“tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala
waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta
pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu.” (1 Petr. 3:15)

Percaya tanpa mengetahui bagaimana percaya dan apa yang dipercayai adalah kesia-siaan. Kita
harus memberi pertanggungan jawab, apodidonai logon (iman dan rasio) agar cara kita berima
memiliki dasar yang rasional. Dengan demikian kita mempunyai dasar yang benar untuk
percaya kepada Tuhan yang memiliki kekuasaan atas hidup dan mati. (1 Ptr. 4:5) Apodidonai
logon - giving an account - memberi pertanggungan jawab. Apa yang harus kita
pertanggungjawabkan iman? Tentu, kita mempertanggungjawabkan apa yang kita imani dan apa
yang kita ketahui.
Yang kita Imani adalah Yesus Kristus sebagai Logos, Sabda, dan karena itu, ia adalah Akal Budi
Ilahi. Akal budi Ilahi adalah kebijaksanaan ilahi yang harus dilihat sebagai dasar tuntunan bagi
kebijaksanaan dunia. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus Paulus bebicara tentang Hikmat
Allah dan hikmat dunia. Hikmat Allah adalah logos, wisdom of God. Sedangkan hikmat dunia,
Sophia, wisdom of the world (1 Kor.1: 18-25)

Baiklah kita perhatikan di sini, bahwa kita berbicara tentang Tuhan tidak dalam konteks teologi
dogmatis, teologi sistematis. Diskursus ini memiliki dasarnya pada apa yang di sebut theologia
naturalis, pendekatan filosofis tentang Tuhan atas dasar rasionalitas iman dan pengalaman
historis manusia.

8. Metode Analisa-Logika-Linguistik

Sejak awal kita harus menentukan sikap kita dalam usaha untuk membangun diskursus dalam
filsafat ketuahan ini. Sikap ini bertolah dari penegasan kita tentang Tuhan dalam diskursus ini.
Pertama, Tuhan menurut diskursus filosofis adalah Tuhan yang direfleksikan lewat bahasa
religiositas kristiani. Bahasa religiositas di sini harus dimengerti sebagai bahasa konkret dan
historis, yaitu bahasa yang lahir dari realitas kehidupan beriman. Misalnya bahasa iman kristiani,
bahasa iman Islam, bahasa iman Hindu atau Budha.

Dalam terang iman kristiani, bahasa religiositas kristiani adalah abstraksi dari realitas kehidupan
iman kristiani yang nyata dan historis. Sering juga dikatakan bahasa religiositas kristiani sebagai
meta-bahasa karena ia membahasakan realitas iman itu sendiri.25 Karena itu, dalam diskursus ini
kita berbicara tentang konsep Tuhan yang secara institusional dan nyata ada dalam agama
kristen.

Kita tidak bermaksud membuat suatu deduksi a-priori filosofis konsep tentang Tuhan, baik
secara filosofis maupun secara teologis. Kita juga tidak bermaksud mencari suatu pembatasan
atau definisi normatif tentang Tuhan. Kita hanya melihat realitas manusia yang sedang
merayakan hidup dan iman mereka. Perhatian kita adalah realitas praksis hidup beriman.

Bdk. Carlo Uber, E Questo Tutti Chiamano Dio, Analisa linguaggio Cristiano, Roma: Editrice
25

Pontificia Universita Gregoriana, 1993, 16.


16
Terminologi Tuhan dalam filsafat ketuhanan harus dipertimbangkan secara historis, yaitu
bagiamana terminologi itu lahir dari pengalaman iman umat. Ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan di sini ketika kita berbicara tentang Tuhan. Pertama, terminologi ‘Tuhan’ harus
dilihat sebagai warisan positif yang mendahului refleksi filosofis (datum). Kedua, terminologi
ini juga bertolak dari warisan historis. Ia lahir dari perkembangan sejarah umat manusia yang
beriman, dan bukan hasil dari konstruksi logika berpikir tertentu. Bukan hasil konstruksi akal
budi ilahi. Ketiga, terminologi Tuhan berasal dari warisan sosio-kultural. Ekspresi terminologi
tertentu lahir dari penggunaan terminologi itu di dalam bahasa, yaitu dalam ekspresi bahasa
yang disepakati dalam suatu kebudayaan. Misalnya, dewa zeta-nitu zale, lera wulan tana eka,
moringgae, dll. Keempat, terminologi Tuhan adalah warisan institusional. Gereja Katholik
menyebutnya Tuhan Allah, Allah Tritunggal, Tuhan Yesus, Islam: Allahu Akhbar dll. Kelima,
terminologi Tuhan adalah warisan supranatural. Tuhan sebagai causa prima. Wittgenstein
berkata “yang tidak dapat dikatakan, ditunjukkan.”

Namun kita harus menerima kenyataan akan keterbatasan kita bahwa akal budi manusia tidak
dapat mengatakan secara tuntas tentang ‘yang transenden.’ Oleh karena itu, kita seharusnya juga
mempertimbangkan sikap yang bijaksana. Whereof one cannot speak, thereof one must be
silent, demikian kata Wittgenstein. Di sini, silent berarti suatu sikap yang diambil untuk
menunjukkan makna tertentu. Makna itu bisa berkenaan dengan sesuatu yang mistik, dengan
suatu nilai etika, dan dengan subjek yang transcendental. Di sini, diskursus filosofis kita tentang
Tuhan berkenaan dengan ‘subjek transendental,’ dan subjek ini mengandaikan juga kemampuan
rasio murni untuk merefleksikannya. Dengan rasionalitas murni kita bermaksud sebagai
pendasaran abstraksi untuk yang menghantar kita ke ‘rasionalitas praktis,’ sebagai tuntunan
bagaimana manusia menjalani imannya.

Persoalan kita yang paling mendasar yaitu bagaimana mengembangkan analisa-logika-linguistik


tentang Tuhan agar kita mengerti dan memiliki keyakinan yang baik? Mari kita lihat analisa-
logika-bahasa dari perspektif Wittgenstein (1889-1951). Analisa ini bertolak dari ontologi
atomik dalam karya awal Tractatus-Logico Philosophicus. Kita tidak dapat mengerti filsafat
Wittgenstein yang terakhir, khususnya dalam Philosophical Investigations kalau kita tidak
memahami dengan baik Tractatus-Logico Philosophicus. Hal ini memiliki dampak yang besar
dalam perkembangan filsafat analitika khususnya dari kritik dan pendapat para filsuf filsafat
analitka seperti Bettrand Russerl, Karl Popper dll.

Secara garis besar, isi, struktur dan argumentasi Tractatus-Logico Philosophicus dapat
disimpulkan sebagai berikut :26

1. Dunia adalah keseluruhan fakta. Totalitas fakta.


2. Kenyataanya, keseluruhan fakta yang membentuk dunia ini, adalah fakta atomik.
2.1.Fakta atomik itu adalah objek-objek.
2.2. Dari objek-objke itu, kita membangun imajinasi.
2.3.Imajinasi itu membentuk logika berpikir.
3. Imajinasi logika berpikir dinamakan ‘pikiran.’
3.1.Dalam proposisi, pikiran diungkapkan melalui hal-hal yang dapat diindrawi.
3.2. Dalam proposisi, pikiran sebagai imajinasi tentang suatu realitas diungkapkan melalui
elemen-elemen proposisi, yang disebut nama-nama.
3.3.Hanya lewat proposisi kita temukan makna. Nama-nama memiliki arti hanya ketika
mereka berada di dalam suatu proposisi.
4. Semua proposisi secara bersama membentuk bahasa.
26
Wittgenstein, Tractatus-Logico Philosophicus, London: Routledge, 2000. Hal. 31-189
17
4.1.Proposisi adalah imaji atau gambaran realitas.
4.2. Proposisi merepresentasi eksistensi dan non eksistensi fakta-fakta. Ilmu pengetahuan
adalah keseluruhan proposisi yang benar. Relasi internal antara objek tidak dikatakan,
tetapai ditunjukkan.
4.3.Atas proposisi-proposisi yang mendasar.
4.3-4.5. fungsi kebenaran.
5. Elaborasi atas semuanya adalah bagian dari perluasan secara logis.
5.1.Keterbatasan bahasa: berada pada subjek dan keselurahan yang ditunjukkan dalam
subjek itu.
6. Nomor-nomor.
6.1.Logika adalah tautologi.
6.2.Matematika
6.3.Keniscayaan dan kausalitas.
6.4.Makna dunia dan etika
6.5.Enigma tentang yang tidak eksis
7. Tentang hal yang tidak dapat dibicarakan, sebaikanya mengambil sikap diam.

Kita perlu membaca Tractatus-Logico Philosophicus bertolak dari afirmasi Wittgenstein pada
awal karya itu: what can be said at all can be said clearly. 27 Dengan perkataan lain, karya ini
menegaskan suatu evidensi bahwa bahasa manusia itu memiliki makna di dalam dirinya. Tesis
dasarnya: “suatu proposisi bermakna hanya jika maknanya dapat dimengerti dengan jelas. Ia
memiliki kepastian di dalam dirinya.” Ini berarti kita harus membaca Tractatus-Logico
Philosophicus bertolak dari poin ke-3: “The logical picture of the facts is the thought.” 28 Semua
pernyataan yang mendahului atau yang mengikutinya adalah pendukung untuk menegaskan hal
ini. Karena itu kita perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini: Pertama, dasar utama suatu
bahasa adalah unsur-unsur proposisi. Masing-masing unsur independen. Mereka berkorelasi
secara eksternal lewat perluasan logika (extension logic). Kedua, berkenaan dengan interpretasi
realis dari suatu bahasa: Bahasa memiliki fungsi refiguratif dalam hubungan dengan realitas.
Proposisi harus menjadi suatu imajinasi suatu kenyataan. Ketiga, untuk menjamin proposisi
atomik, yaitu menjadi dasar makna suatu bahasa, fungsi refiguratif, realitas harus terdiri dari
fakta-fakta atomik yang semuanya terdiri dari relasi antara objek-objek sederhana. Dengan
perkataan lain, dibutuhkan pertimbangan ontologis atomik. Yang menarik bahwa Wittgenstein
tidak pernah memberi contoh konkret dari proposisi-propsisi atau fakta atomik. Semuanya
bukan data empiris tetapi suatu ‘kondisi transendental’ dari suatu kemungkinkan untuk membuat
proposisi yang bermakna. Semua ini adalah bagian dari apa yang disebut hal yang tidak dapat
dikatakan tetapi dapat ditunjukkan. Wittgenstein berkata “there is indeed the inexpressible.
This shows itself; it is the mystical.” 29

Pernyataan tentang ‘hal yang tidak dapat dibicarakan tetapi dapat ditunjukkan’ di sini harus
dilihat sebagai bagian penting, esensial dari Tractatus. Ini bukan saja sesuatu yang tidak
dijelaskan dengan sesungguhnya. Hal ini adalah sesuatu yang mistik, (6.522) berhubungan
dengan nilai dan etika (6.43), tentang subjek transenden (5.62-641), tetapi juga semua struktur
elemen realitas, struktur imajinasi dan proposisi, bentuk refigurasi, bentuk logika, dll.

Pembagian antara ‘hal yang dapat dibicarakan,’ yang dapat dikatakan, dan ‘hal yang tidak
dapat dibicarakan atau tidak dapat dikatakan tetapi dapat ditunjukkan, semuanya berhubungan
dengan tema utama filsafat transendental. Tema ini bisa membantu kita untuk
27
Ibid 27.
28
Ibid., 43.
29
Ibid., 187.
18
mengembangkan analisa logika linguistik namun dari perspektif teologi negatif: maksudnuya
makna khusus bahasa religius (keagamaan) “Yang tidak dapat dikatakan, tetapi ditunjukkan,”
berhubungan dengan yNG ‘mistik,’ yaitu Tuhan.

Perkembangan filsafat Wittgenstein harus dilihat lebih lanjut dalam hubungan dengan periode
ke-2, khusus lewat karya Philosophical Investigation.30 Karya ini tidak sistimatis. Anti
sistimatika. Banyak yang melihat bahwa pusat perhatian filsafat Wittgenstein periode kedua
adalah language game (Sprachpsiel), karena ini berhubungan dengan praktis penggunaan
bahasa untuk mengerti suatu makna.

Permainan Bahasa

Mari kita lihat lebih jauh soal makna. Makna ekspresi bahasa tidak terletak pada nama-nama
atau pada kenyataan atau realitas yang diwakili nama itu, bukan juga pada kesan-kesan
perasaan, atau imajinasi pikiran. Bukan juga pada ide atau isi pikiran. Bukan pada sesuatu hal.
Makna ekspresi bahasa terletak pada tindakan ‘to signify’.31 Tindakan ini ada hubugan dengan
‘memberi nama (naming).’ Memberi nama adalah suatu bentuk permainan bahasa yang khas
karena berhubungan dengan penggunaan kata-kata sesuai konteks tertentu.

Maksudnya konteks dalam penggunaan yang biasa, seperti ketika kita mengajarkan kata-kata
kepada anak-anak. Untuk mengajarkan bahasa kepada anak-anak, kita butuh kata-kata (words)
dan juga tindakan penjelasan atas kata-kata itu (acts). Proses penjelasannya sebagai berikut:
anak-anak memberi nama pada objek, yaitu mereka menyebut kata ketika guru menunjukkan
batu. Anak-anak mengulang kata-kata itu setelah guru menyebutnya. Guru mengajarkan anak-
anak untuk mengerti suatu objek atau mengingat sesuatu dengan memperagakan:
menghubungkan objek dengan kata-kata sebagai referensi objek itu. mengajarkan anak dengan
cara bermain, training (memperagakan). Wittgenstein menyebutnya Sprachspiel - permainan
bahasa. Permainan itu ada di dalam latihan-latilhan. “The teaching of language is not
explanation, but training.”32 Hal yang penting di sini adalah latihan bagaimana anak-anak
memiliki pengertian tentang suatu objek sesuai yang dengan namanya. Ini berhubungan dengan
ekspresi linguistik untuk membentuk suatu makna.

Ekspresi lingusitik memiliki makna atau bermakna dalam banyak cara yang berbeda. Ini
disebabkan karean ekspresi itu memiliki fungsi dan variasi. Perbedaan fungsi dan variasi ini
menunjukkan kenyataan bahwa kita memiliki bermacam-macam bentuk permainan bahasa
karena “naming a something is like attaching a label to a thing.”33

Penggunaan istilah ‘permainan bahasa’ adalah khas dalam filsfaat Wittgenstein yang kedua.
Namun penggunaan ini tidak berarti bahwa membangun teori permainan bahasa. Kita hanya
mengerti persoalan ini secara analogis antara ‘permainan’ dan ‘bahasa.’ Dengan analogi ini,
Wittgenstein memiliki beberapa maksud berikut ini: Pertama, berbicara, seperti bermain, adalah
suatu aktivitas. Berbicara adalah suatu aktivitas yang kompleks karena ia mempersatukan
beberapa unsur dasar yang berbeda baik unsur yang linguistik maupun yang non-inguistik.
Kedua, Berbicara, tindakan menggunakan bahasa, adalah suatu aktivitas berbentuk ganda
(multiforme) yang secara analogis diibaratkan dengan variasi dan kreativitas seperti dalam
‘bermain.’ Kita tidak dapat mereduksikan tindakan berbicara hanya ke dalam satu cara tertentu.
30
Wittgenstein, Philosophical Investigations, Massachusetts: Basic Blackwell,1997.
31
Ibid., 7e.
32
Ibid., 4e.
33
Ibid., 7e.
19
Ketiga, Berbicara karena itu, secara esensial adalah suatu aktivitas atau tindakan menurut aturan
publik yang bergantung pada bentuk dan model permainan bahasa tertentu. Karena itu,
mengikuti suatu aturan bermain adalah hal yang penting karena bersifat publik dan institusional.

Keempat, makna setiap ekspresi suatu bahasa terentu amat bergantung pada relasi ekpresi itu
dengan pelbagai elemen lain dari permainan bahasa yang sama, dan juga bergantung pada logika
dan gramatikanya yang khas. Kelima, Pelbagai bentuk permainan bahasa menggambarkan
suatu ‘cara hidup tertentu.’ “To imagine a language means to imagine a form of life…. The
speaking of language is part of an activity, or of a form of life.” 34 Berbicara, menggunakan
bahasa secara umum, karena itu adalah bagian kisah kodrati manusia. Bahasa adalah bagian
integral dari sikap manusia. Ia bersifat natural, dan realis. Oleh karena itu penggunaan istilah
‘permainan bahasa,’ memiliki referensi pada totalitas kehidupan manusia.

Kalau benar bahwa makna suatu kata bergantung pada penggunaan kata itu dalam bahasa,
maka kita dapat melihat beberapa hal berikut ini: Pertama, pernyataan ini bukan suatu definisi
atau pembatasan makna, tetapi suatu deskprisi yang bersifat fungsional dan analogis. Kedua,
penggunaan yang dimaksudkan Wittgenstein di sini adalah penggunaan institusional dari kata
yang dipakai dalam bahasa. Jadi bukan penggunaan pribadi tertentu. Makna kata dalam
penggunaanya tidak bersifat privata tetapi selalu merupakan suatu realitas publik, sosial dan
kultural. Ketiga, ada sesuatu yang khas dari Wittgenstein ketika term ‘makna’ yang memiliki
beberapa arti.

Dari metode analisa logika bahasa ini, kita melihat bahwa dalam periode kedua filsafatnya,
Wittgenstein lebih menekankan metode eksposisi dan deskpriptif. Bukan reduktif seperti dalam
periode pertama filsafatnya. Ia lebih menekankan fungsi ligika berpikir dan kekayaan
penggunaan gramatika dari pelbagai bentuk permainan bahasa. Ia lebih memperhatikan metode
analitika karena bergantung pada kekuatan refleksi atas pelbagai bentuk bahasa; dan kekuatan
ini dilihat sebagai dasar permainan bahasa.

8. Metode Reduksi Fenomenologi

Metode ini membawa kita ke dunia pemikiran Edmund Husserl 1859-1937). Dunia pemikiran
itu dimulai dengan ideaslime fenomenologis seperti yang digambarkan Husserl dalam kata
pengantar karya Ideen dan ditpergas dalam Meditasi Cartesian. Pertama, fenomenologi Husserl
bersifat ideal karena ia memulai dengan pendekatan ilmiah yang radikal melalui suatu
pendasaran yang absolut, yaitu suatu justifikasi tentang pengetahuan tanpa presuposisi.
Kedua, pendasaran ini adalah murni bagian dari intuisi. Ini ada hubungan dengan aktivitas
melihat secara langsung, vision - melihat secara otentik. Namun secara paradoksal,
fenomenologi tidak dapat bebas dari pengalaman. Melihat secara otentik, vision tidak pernah
terlepas dari pengalaman. Ketiga, melihat secara otentik hanya mungkin lewat imanensi
pengalaman kesadaran. Imanensi kesadaran ini, dalam pengertiannya yang sempurna hanya
dapat dipahami lewat refleksi sebagai dasar keniscayaan yang tak dapat disangkal.
Keempat, dari perspektif ini, subjektivitas sebagai akibat dari proses reduksi membentuk suatu
bidang pengalaman transendental, suatu bidang yang berbeda dari kesadaran empiris sebagai
pusat perhatian psikologi misalnya.

Mengingat keterbatasan waktu, kita tidak dapat berbicara secara menyeluruh perkembangan
pemikiran Husserl. Yang hendak kita perhatikan di sini adalah pandanganya tentang isi
34
Ibid., 8e, 11e.
20
kesadaran yang bersifat murni objektif (Die Sachen selbst). Isi kesadaran itu disebut esensi.
Husserl mencari pengertian esensi (Wesen) sebagai realitas murni dari fenomen seperti yang
hadir dalam kesadaran. Esensi adalah sesuatu yang khas. Ia adalah realitas logik yang
memiliki impikasi pada struktur relasional. Esensi juga adalah suatu fenomen karena ia
dapat dideskripsikan lewat kesadaran, lewat bentuk tertentu.

Dalam fenomenologi, Husserl memberi perhatian khusus pada kehadiran murni sesuatu pada
isi kesadaran. Kehadiran itu disebut fenomen. Fenomen adalah isi kesadaran, dan isi
kesadaran adalah fenomen itu sendiri. Di pihak lain, kesadaran itu bersifat intensional.
Sadar berarti sadar akan sesuatu. Pusat perhatian Husserl pada fenomenologi adalah isi
kesadaran sebagai sesuatu yang fundamental dan absolut. Terminologi yang dipakai untuk
melukiskan isi kesadaran adalah noema atau eidos yang dibedakan dari noesis atau kesadaran
itu sendiri. Sering juga noema disebut esensi (Wesen) yaitu struktur isi kesadaran yang
inteligibilis.

Metode fenomenologi Husserl perlu dipertimbangkan lebih jauh. Jika isi kesadaran secara
murni harus bersifat objektif, maka untuk sampai ke hal itu, ia harus melampaui
abstraksi dari yang indrawi dan hal-hal yang partikular. Oleh karena itu, kita harus
menempatkan di dalam kurung (…) segala sesuatu diketahui kesadaran baik hal-hal
yang bersifat psikis maupun yang realis. Mengingat keduanya bersifat kontingen. Dengan
menempatkan di dalam kurung, berarti kita menunda untuk mengafirmasi sesuatu
sambil membuka kemungkinan untuk hal-hal yang baru. Termonilogi epoche di sini harus
dimengerti bukan saja suatu actus subjek tetapi termasuk juga seluruh kondisi eksistensi
konkret. Epoche dalam fenomenologi Husserl adalah suatu cara bermetodologi untuk
mengenal esensi sesuatu, dan cara ini tentu tidak jauh berbeda dengan dubbium metodicum
Descartes.

Tujuan fenomenologi adalah deskripsi murni tentang esensi, yaitu kesatuan makna dalam
hubungan dengan pengalaman tertentu. Kesatuan makna ini bersifat murni, dan
pengalaman kita selalu bersifat intensional. “The fact that all consciousness is not only
consciousness but also consciousness of something, i.e., related to an object.” 35 Hubungan antara
aktivitas kesadaran (noesis) dan isi kesadaran (noema) adalah hubungan yang sangat penting.
Selain hubungan ini menjadi prinsip dasar metode noetik-noematik, ia juga menggambarkan
adequatio, persesuaian yang memiliki evidensi sebagai dasar suatu kebenaran. Ini adalah
makna sesungguhnya dari epoche. Hal yang penting dalam metode fenomenologi Husserl
adalah reduksi fenomenologi di mana sikap alamiah kita dibentuk melalui intensi
kesadaran untuk sampai pada eksistensi konkret realitas. Sikap ini memungkinkan kita
untuk memiliki semacam eidetic vision tentang dunia. Eidetic vision ini berhubungan dengan
persoalan yang khas untuk menjelaskan esensi pemberian dari suatu fenomen. Hal ini
menghantar kita pada persoalan tentang Tuhan. Bagaimana manusia mengerti dirinya lewat
setiap pencariannya tentang Tuhan?

Secara filosofis, ada distingsi antara pencarian, pencari dan apa yang dicari. Pencarian adalah
suatu proses. Sesuatu yang harus dihadapi, ditempuh dan bahkan dijalani. Pencarian adalah
tugas. Pencarian adalah iman yang selalu aktif melalui setiap proses yang hidup. Pencari adalah
subjek yang selalu berusaha untuk memahami pencariannya, memilih hasil pencariannya dan
selalu tetap setia dalam proses pencarian itu. Sedangkan apa yang dicari adalah ‘sesuatu yang
khusus dalam diri manusia.’ Bersama Jean Greisch kita sebut une souci particuliére du humain,
Emmanuel Levinas, The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology, Illinois: North western
35

University Press, 1998., 37.


21
yaitu sesuatu yang berkenaan dengan ‘kemungkinan untuk berada secara tertentu sebagai
manusia. Kemungkinan ini ada hubungan cara berada sebagai orang beriman.

Aplikasi pandangan Husserl tentang hubugnan noesis-noema, dan ide tentang intensi kesadaran
dapat ditemukan dalam beberapa pemikiran yang berkembang dari para murid Husserl seperti
Rudol Otto tentang ‘yang sacral,’ Merleau Ponty tentang ‘persepsi,’ Paul Ricoeur tentang
‘kehendak,’ Levinas tentang ‘ketakberhinggaan,’ dan Jean Luc Marion tentang fenomen
saturasi.

9. Persoalan Mendasar: Onto-teologi, Teologi Negatif, Onto-Eskatologi

Pada bagian awal kita sudah berusaha untuk mendalam aktualitas metafisika Aristoteles dalam
hubungan dengan persoalan tentang Tuhan. Namun aktualitas itu, secara filosofis tidak serta
merta meyakinkan kita Tuhan macam apakah yang dicari? Di manakah Tuhan? Dan siapakah
Tuhan sesungguhnya? Semua persoalan ini, bersama Jean Gresich disebut the epochal
meanings of the question of God36 sudah lama muncul dalam ranah diskursus filsafat ketuhanan
dari waktu ke waktu hingga era postmodernisme.

Onto-teo-logi

Persoalan tentang Tuhan macam apakah yang hendak dicari akan membawa kita ke cikal bakal
ide tentang pembuktian eksistensi Tuhan dalam onto-theo-logical metaphysics.37 Metafisika
yang dimaksudkan di sini bercirikan ontologis dan juga teologis. Keduanya saling
mengandaikan satu sama lain. Tentu hal yang dimaksudkan di sini adalah kesesuaian atribut-
atribut ilahi seperti ide tentang substansi pertama, ketakberhinggaan, kesempurnaan yang
absolut dengan ide tentang Tuhan sebagai the supreme being atau a divine being dalam teologi.
Metafisika abad pertengahan berbicara tentang Tuhan sebagai causa sui, ekspresi yang sering
dipakai oleh Heidegger untuk menjelaskan sebab yang dari dirinya adalah sempurna. Tentu,
Tuhan yang dimaksudkan di sini bukanlah Tuhan devosional dalam iman kekristenan. Kritik
Heidegger yaitu bahwa metafisika telah mengabaikan perbedaan ontologis dan dasarnya yang
terdalam.

Verba bahasa Yunani einai - berada, kalau dirunut secara biblis misalnya dalam kitab Kel.3;14
“Aku adalah Aku,” atau ego eimi ho on dalam bahasa Yunani, maka pengertian verbal ini perlu
dilihat sebagai ‘Akulah dia yang berada.’ Ekspresi ini hampir tidak ada perbedaan dengan teks
Latin ego sum qui sum di mana verba esse memiliki makna sebagai yang berada. Teologi abad
pertengahan menjelaskan hal ini sebagai ipsum esse, suatu keberadaan yang sempurna dan benar
di dalam diri-Nya. Suatu keberadaan yang melampui semua waktu dan sejarah. Ia tak
digerakkan. Incorporeal. Pengasal segala yang berada. Santu Agustinus berbicara tentang
misteri perona ilahi sebagai idipsum.

Mari kita mulai dari Kitab Suci. Firman Allah kepada Musa: “Aku adalah Aku.” … beginilah
kaukatakan kepada orang Israel itu: Akulah Aku telah mengutus Aku kepadamu.” (Kitab
Kel.3;14) dalam bahasa Ibrani, Aku adalah Aku dimengerti sebagai ehyeh ‘aser’ ehyeh.
Menurut St. Agustinus, penyataan verbal ‘berada’ dalam proposisi ‘Tuhan berada,’ harus dilihat
sebagai suatu formulasi yang substantif karena hal ini berkenaan dengan esensi-Nya yang berada
36
Jean Greisch, “Idipsum,” dalam Questioning God, john D. Caputo, Mark Dooley, Michael J.
Scanlon eds. Indianapolis: Indiana University Press, 2001., 242.
37
Christina M. Gschwandtner, Postmodern Apologetics? Arguments for God in Contemporary
Philosophy, New York: Fordham University Press, 2013.20.
22
sebagaimana adanya dalam arti yang paling sempurna dan hakiki. Dari hakikat-Nya, Tuhan
berada di dalam diri-Nya. Ipsum esse. “God is Being itself … in its most absolute and full
sense.”38 Agustinus membedakan dua cara berada dari Tuhan. Pertama, Tuhan berada dalam
hubungan dengan manusia. Ini lebih dimengerti sebagai cara-berada-Tuhan-bagi-manusia yaitu
yang berbelaskasih. Nomen misericordiae. Nama-Nya adalah yang berbelaskasih. Kedua, Tuhan
berada dalam di dalam diri-Nya sendiri. Ini adalah cara-berada-Tuhan-di-dalam-diri-Nya, sesuai
kodra-Nya. Nomen substantiae. Yang pertama lebih bersifat historis-antropomorfis karena ia
berhubungan dengan pribadi Tuhan sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub,
yaotu Allah nenek moyang bangsa pilihan Tuhan yang setia membimbing mereka sampai ke
tanah terjajni. Yang kedua lebih substantif karena berkenaan dengan hakikat Allah yang
dinyatakan sebagai ego sum qui sum-Aku adalah Aku.

Santu Agustinus dalam de Trinitate V, 2,3 mengindetifikasi Tuhan dalam Kel. 3 ;14 dengan
pandangan Plato tentang substansia (ousia), sebagai yang a-temporal, a-hostpris, esensi abadi
yang tidak dapat digerakkan. Tomas Aquinas kemudian mengembangkan pandangan Agustinus
ini sebagai kebenaran, yang abadi, tak dapat diubah, self-sufficient, dan sebagai sebab dan
prinsip segala ciptaan. Esse, cara berada Tuhan identik dengan esensi-Nya. Ia berada kekal,
tanpa yang mendahuluinya dan tanpa yang mengakhirinya. Tomas berkata Deus est actus purus
non habens aliquid de potentialitate. Cara berada yang paling sempurna adalah yang terbaik dan
hanya satu. Kalau Yahwe memperkenalkan diriNya sebagai Aku adalah Aku, hal ini harus
dilihat sebagai suatu pernyataan diri yang paling sempurna karena secara absolut Ia
mengidentifikasi diri-Nya, Ada-Nya dan esensi ilahi-Nya sebagai yang satu dan yang sama. Hal
inilah yang menjadi pendasaran bagi Aquinas untuk membuktikan eksistensi Tuhan melalui
analogi.

Tanpa perjumpaan antara metafisika Yunani dan pandangan biblis, para kita tidak akan sampai
pada idea yang sempurna bahwa ‘Ada’ (Being) adalah nama yang sesungguhnya dari Tuhan dan
nama ini menjelaskan esensi-Nya. Etienne Gilson berkata, “there is one God and this God is
Being, that is the corner-stone of all Christian philosophy.”39 Sejak abad pertengahan, konjungsi
Allah dan “Ada” telah bertahan lebih dari 1500 tahun, sejak Bonaventura dan Tomas Aquinas
hingga pada Etienne Gilson dan neo-skolastik. Pengertian Tuhan dalam Kitab suci dipertegas
oleh arti Tuhan dalam metafisika.

Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan di sini: Pertama, Tuhan dilihat sebagai a supreme
Being; Kedua, Tuhan dimengerti sebagai the act of Being, ketiga, tentang Tuhan dipikirkan
dalam horizon keberadaan (the horizons of beingness). Kalau kita mengerti hal ini dengan baik,
maka hal ini akan membawa kita ke persoalan onto-teologi. Pandangan ini muncul pertama dari
kritik Heidegger atas metafisika karena hampir semua pandangan kaum skolastik
mengidentikkan Tuhan dengan Ada (Being) yaitu lewat jalan pembuktian dan analogi. Jalan itu
mencari penjelasan analogis yang sesuai antara realitas universum dengan Tuhan sebagai the
supreme Being.

Selanjuntya kritik ini mendapat struktur pengertian yang lebih radikal melalui apa yang
Heidegger sebut onto-teo-ego-logi.40 Metafisika barat telah mereduksi persoalan tentang Tuhan
dari onto-teologi ke onto-teo-ego-logi karena persoalan tentang Tuhan dimengerti sebagai
38
Ibid. 155
39
Etiene Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, Paris: Vrin, 1941., 51
40
Ibid. 244. Bdk juga Martin Heidegger, Hegels Phänomenologie des Geistes, Frankfurt am Main:
Klosterman, 1980., ga 32, 183.
23
causa-sui, jelas dengan sendirinya. Self-evident. Selfhood. Namun hal ini tentu tidak serta merta
menjadi jelas karena yang perlu diperhatikan secara saksama adalah bagaimana Tuhan (menurut
iman revelasi dalam tradisi yahudi-kristiani) dapat diterima dan dimengerti secara filosofis?
Bagaimana hal ini dapat masuk ke ranah filsafat?

Selain itu, sejarah refleksi filosofis persoalan tentang di manakah Tuhan? lahir dari situasi
khusus dalam hubungan dengan persoalan tentang kejahatan di dunia. Situasi ini dapat dilihat
baik dari perspektif eksistensial maupun dari perspektif intelektual. Selanjunya, persoalan
tentang siapakah Tuhan? adalah persoalan yang paling serius dan fundamental direfleksi
dalam filsafat karena persoalan ini ada hubungan dengan persoalan tentang esensi manusia.
Heidegger tidak pernah berbicara tentang esensi manusia dalam hubungan dengan persoalan
tentang Tuhan. Ia membatasi refleksinya pada persoalan tentang manusia sebagai Dasein.
Namun ini tidak berarti bahwa refleksi filosifis tentang Dasein sama sekali bebas dari persoalan
tentang siapakah Tuhan.

Teologi Negatif

Debat tentang eksistensi Tuhan dalam sejarah filsafat telah berlangsung lama. Seperti yang telah
kita bicarakan di atas, debat itu terfokus pada proposisi “Tuhan ada.” Kaum positivist misalnya
melihat bahwa proposisi ‘Tuhan ada’ adalah proposisi yang tanpa makna dan karena itu ia tidak
bisa ditempatkan dalam kategori benar atau salah. Kaum ateis memeriksa proposisi ‘Tuhan ada’
dan melihat bahwa boleh jadi proposisi itu benar namun dan tanpa arti. Kaum Agnotis
berpendapat bahwa proposisi ‘Tuhan ada’ bisa jadi punya arti dan karena itu bisa juga benar atau
salah. Kaum teist berpendapat bahwa proposisi itu tentu bermakna dan benar.

Kaum positivis memberi pendasaran argumen mereka pada kriteria makna berikut ini: suatu
pernyataan benar jika dan hanya jika secara empiris dapat diverifikasi. Namun pernyataan
tentang Tuhan tidak dapat diverifikasi dan karena itu proposisi itu tanpa makna. Pandangan ini
disangkal oleh kaum teis yang menegaskan hal sebaliknya. Namun sejarah pemikiran dalam
tradisi agama-agama, pembuktian kebenaran tentang proposisi ‘Tuhan ada’ dari perspektif
teologi dan filsafat harus dilihat dari domain khusus yang incomprehensible. Kita, manusia yang
terbatas, tidak dapat berbicara tentang Tuhan dan bahkan tidak sanggup memahami dan berpikir
tentang-Nya. Oleh karena itu, horison bahasa manusia untuk berbicara tentang eksistensi Tuhan
sangat terbatas, dan hal ini memungkinkan teologi negatif.

Namun sejak Dionisius terminologi ‘teologi negatif’ dibicarakan dalam terang via negativa
sebagai kemungkinan lain dari terdisi berpikir yang selalu menempuh via positiva. Dengan via
negativa dimaksudkan bahwa cara atau jalan yang ditempuh untuk berbicara tentang
transendensi Tuhan adalah jalan yang negatif.41 Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya
dalam filsafat dan teologi postmodernisme, penggunaan istilah teologi negatif muncul kembali
secara signifikan dalam pemikiran Jean Luc Marion dan Jacques Derrida. Jean-Luc Marion
menjelaskan pengertian ini melalui karyanya Dieu sans l’être, Tuhan tanpa. Pernyataan ini
bukan suatu penegasan secara negatif bahwa Tuhan memang sesungguhnya tidak eksis sebagai
causa sui tetapi suatu peringatan bahwa diskursus tentang Tuhan perlu ditempatkan dalam
atribut bahasa dengan kekhasan semantis dan konseptual tersendiri.

Kalau kita memperhatikan sesungguhnya, hal ini sebenarnya bukanlah hal baru karena secara
fenomenologis khususnya dari metode epcohe Husserl, pemikir kontemporer seperti Heidegger
Daniel Jurgin “Negative Theology in Contemporary Interpretations” in European Journal for
41

Philosophy of Religion vol. 10. Nom. 2, 2018. Hal.153.


24
telah lama mempersoalkan tradisi berpikir metafisik dan menempatkannya di dalam kurung.
Jean-Luc Marion, pemikiran Prancis kontemporer yang beraliran Cartesian, Husserlian dan
Heideggerian, secara terang-terangan berkata, ‘the test of Being by putting being into
parenthesis’42 adalah afirmasi kritik atas metafisika. Afirmasi ini menegaskan bahwa tidak ada
lagi referensi yang berarti terhadap metafisika dan teologi. Karena itu perlu ada akesentuasi baru
yang bersifat apokaliptik dalam filsafat dan teologi. Tentu aksentuasi baru, apapun
ungkapannya, tetaplah merupakan suatu penghindaran terhadap metafisika dan teologi dari suatu
tradisi. Lalu, kalau memang suatu tradisi mendasar seperti metafisika dihindari, apa yang akan
terjadi? Apakah kita harus menegaskan nihilisme seperti yang dikumandangkan Nietzsche, atau,
seperti Blaise Pascal yang melihat charity sebagai jalan lain untuk mengatasi nihilisme itu?

Dalam pandangan Derrida, teologi negatif dibciarakan dalam konteks filsafat dekonstruksi
sebagai bagian dari usahanya untuk membangun filsafat différance. Namun, bagi Derrida
teologi negatif itu sendiri bukanlah implikasi dari filsafat différance. Dia berkata,

Différance is not, does not exist, and is not any sort of being-present (on). And we will
have to point out everything that it is not, and, consequently, that is has neither existence
nor essence. It belongs to no category of being, present or absent. And yet what is thus
denoted as différance is not theological, not even in the most negative order of negative
theology.43

Derrida tidak melihat teologi negatif dalam terang pandangannya tentang différance karena
teologi negatif berbicara tentang suatu tindakan menggunakan bahasa, dan lewat penggunaan
bahasa, yaitu dalam usaha untuk mencari pembatasan tertentu atau penjelasan tentang sesuatu,
ada suatu sikap yang tampak melalui bentuk semantik dan konsep yang dipakai untuk
membatasi sesuatu.44 Ini adalah persoalan bahasa yang dipakai untuk menjelaskan latar belakang
pemikiran, dan persoalan ini secara essensial adalah persoalan logos, dan bukannya theos. Para
pemikir postmo sungguh memperhatikan hal ini. John D Caputo misalnya …….p 155.

Namun keduanya tidak tampak terlalu jauh satu sama lain. Keduanya adalah diskursus yang
hendak kembali kepada retorika determinasi negatif yang secara tegas menolak dualisme
kategori separti yang indrawi/rasional, positif/negatif, di dalam/di luar, superior/inferior,
aktif/pasif, hadir/absen, dan lain sebagainya.45 Derrida sendiri tidak bermaksud menulis traktat
tentang teologi negatif karena tidak ada otoritas yang bewenang untuk mengontrol hal itu. Ia
hanya berusaha untuk menghindari diskursus yang telah lazim dan tidak berniat untuk
mengatakan sesuatu. Ketika ia berbicara tentang suatu tradisi berpikir seperti Plato, neoplatonis,
kekristenan dan Heidegger misalnya, ia hanya berbicaranya sebagai suatu apofatik, sesuatu yang
negatif. Maksdunya dengan gerak naik menyangkal segala makna konseptual dari semua realitas
indrawi yang sering dipakai sebagai simbol untuk yang transenden. Di sini, arti negasi
dimengerti sebagai yang melampaui yang indrawi. Selain itu, negasi dalam terminologi teologi
negatif dimengerti sebagai usaha untuk menyangkal makna konseptual objek-objek
sebagaimana pikiran dan pengetahuan kita membuka ruang bagi realitas yang incomprehensible,
Tuhan sebagai yang melampaui segalanya.

42
Jean Luc Marion, The Rigor of Things, conversations with Dan Arbib, 114.
43
Derrida Speech and Phenomenona, 134.
44
“a certain typical attitude toward language, and within it, in the act of definition or attribution, an
attitude toward semantic or conceptual determination.” Derrida, “How to Avoid Speaking: Denials,”
in Language of the Unsayable: The Play of Negativity in Literature Theory, ed. Sanford Budick and
Wlofgang Iser (Standford: Unviersity Press, 1996)., 64.
45
Derrida and Negative Theology, Harold Coward dan Toby Foshay eds. Albany: Suny Press, 1992.
25
Onto-Eskatologi: Allah Akan Ada

26

Anda mungkin juga menyukai