Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lanjut Usia (LANSIA)

Menurut UU no.4 tahun 1969 yang termuat dalam pasal 1seseorang

dikatakan lasia setelah 55 tahun, tidak mampu atau tidak berdaya mencari nafkah

sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain

(Nugroho, 1995). Menurut organisasi kesehatan dunia dan undang-undang no.13

tahun 1998 seseorang dikatakan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60

tahun keatas.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas bisa disebutkan bahwa yang

disebut lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas. Dimana pada

masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, social, dan spiritual yang

akan mempengaruhi semua aspek kehidupan yang akan dialami oleh semua orang

karena lansia merupakan tahapan dari hidup manusia yaitu lanjutan dari usia dewasa.

Berbagai masalah fisik / biologis dan social akan muncul pada lanjut usia

sebagai proses menua atau penyakit degenerative yang muncul seiring dengan

menuanya seseorang. Menua merupakan proses yang alamiah yang akan dialami

oleh setiap individu. Hal ini ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh dalam

penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan terkait usia. Perubahan-perubahan

terkait usia meliputi perubahan fisik, perubahan mental, perubahan psikososial, dan

perkembangan spiritual (Nugroho, 2000).


Pada lanjut usia umumnya akan mengalami perubahan fisik yaitu 1) sel; 2)

system persyarafan; 3)system pendengaran; 4) system penglihatan; 5) system

kardiovaskuler; 6) system temperature tubuh; 7) system respirasi; 8) system

gastrointestinal; 9) system reproduksi; 10) system perkemihan; 11) system endokrin;

12) system kulit (system integumen); 13) system musculoskeletal.

1. Sel

Perubahan sel pada lanjut usia meliputi :

a. Terjadinya penurunan jumlah sel.

b. Terjadi perubahan ukuran kuran sel.

c. Berkurangnya jumlah cairan dalam tubuh dan berkurangnya cairan intra

seluler.

d. Menurunnya proporsi protein di otak, otot., ginjal, darah, dan hati.

e. Penurunan jumlah sel pada otak.

f. Terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofis beratnya

berkurang 5-10%.

2. Sistem persyarafan

Perubahan persyarafan meliputi :

a. Berat otak yang menurun 10 – 20 % (setiap orang berkurang sel syaraf

otaknya dalam setiap harinya).


b. Cepat menurunnya hubungan persyarafan.

c. Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya dengan stres.

d. Mengecilnya syaraf panca indra, berkurangnya penglihatan, hilangnya

pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitive

terhadap perubahan suhu dengan ketahanan terhadap dingin.

e. Serta kurang sensitive terhadap sentuhan.

3. Sistem pendengaran

Perubahan pada system pendengaran meliputi :

a. Terjadinya presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) yaitu gangguan

dalam pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi suara, nada–

nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata–kata, 50% terjadi

pada umur diatas 65 tahun.

b. Terjadinya otosklerosis akibat atropi membran timpani.

c. Terjadinya pengumpulan serumen dapat mengeras karena meningkatnya

keratin.

d. Terjadinya perubahan penurunan pendengaran pada lansia yang mengalami

ketegangan jiwa atau stres.

4. Sistem penglihatan

Perubahan pada system penglihatan meliputi :


a. Timbulnya sklerosis dan hilangnya terhadap sinar.

b. Kornea lebih berbentuk sferis (bola).

c. Terjadi kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak.

d. Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adabtasi terhadap kegelapan

lebih lambat dan susah melihat pada cahaya gelap.

e. Hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, serta

menurunnya daya untuk membedakan warna biru atau hijau.

5. Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada system kardiovaskuler meliputi :

a. Terjadinya penurunan elastisitas dinding aorta.

b. Katup jantung menebal dan menjadi kaku.

c. Menurunnya kemampuan jantung untuk memompa darah yang menyebabkan

menurunnya kontraksi dan volumenya.

d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektifitas pembuluh

darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi yang dapat mengakibatkan

tekanan darah menurun (dari tidur ke duduk dan dari duduk ke berdiri) yang

mengakibatkan pusing mendadak.

e. Tekanan darah meninggi akibat meningkatnya resistensi penbuluh darah

perifer.
6. Sistem pengaturan temperature tubuh

Perubahan pada system pengaturan temperatur tubuh meliputi :

a. Menurunnya temperature tubuh (hipotermi) secara fisilogis akibat

metabolisme yang menurun.

b. Keterbatasan refkeks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas

akibatnya aktivitas otot menurun.

7. Sistem respirasi

Perubahan pada system respirasi meliputi :

a. Terjadinya perubahan jaringan ikat paru.

b. Kapasitas paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah.

c. Volume tidal bertambah untuk mengkompresi kenaikan ruang rugi paru.

d. Udara yang mengalir ke paru berkurang.

e. Perubahan pada otot kartilago, dan sendi toraks mengakibatkan gerakan

pernafasan terganggu dan kemampan peregangan toraks berkurang.

f. Umur tidak berhubungan dengan perubahan otot diafragma.

g. Apabila terjadi perubahan otot diafragma, otot toraks menjadi tidak

seimbang dan menyebabkan terjadinya distorsi dinding toraks selama

respirasi berkurang.
h. Kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk sehingga

inspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru menurun.

8. Sistem gastrointestinal

Perubahan pada system gastrointestinal meliputi :

a. Kehilangan gigi akibat periodontal disease yang biasa terjadi pada usia 30

tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang

buruk.

b. Indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas syaraf pengecap di lidah

terhadap rasa manis, asam, asin dan pahit.

c. Melebarnya esophagus.

d. Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.

e. Peristaltik melemah dan biasanya terjadi konstipasi.

f. Daya absorbsi melemah.

9. Sistem reproduksi

Perubahan system reproduksi pada lansia meliputi :

a. Menciutnya ovari dan uterus.

b. Terjadinya atrofi payudara.

c. Pada laki-laki testis masih dapat memproduksi sperma meskipun adanya

penurunan secara berangsur-angsur.


d. Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi

kesehatan baik.

e. Selaput lendir vagina menurun.

10. Sistem perkemihan

Perubahan pada sistem perkemihan antara lain ginjal yang merupakan alat untuk

mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, darah masuk ke ginjal

disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron (tempatnya di

glomerulus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke

ginjal menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang akibatnya kemampuan

mengkonsentrasi urine berkurang, berat jenis urine menurun,. Otot-otot vesika

urinaria menjadi lemah, sehingga kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau

menyebabkan buang air seni meningkat. Vesika urinaria susah dikosongkan

sehingga terkadang menyebabkan retensi urine pada pria.

11. Sistem endokrin

Perubahan yang terjadi pada system endokrin meliputi :

a. Produksi semua hormone menurun.

b. Menurunnya aktivitas tiroid.

c. Menurunnya BMR (Basal Metabolik Rate), dan menurunnya daya pertukaran

zat.
d. Menurunnya reproduksi aldosteron dan menurunnya sekresi hormone

kelamin misalnya progesterone, esterogen dan testosterone.

12. Sistem kulit (system integument)

Perubahan pada system kulit (system integument) meliputi :

a. Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak

b. Permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses keratinasi serta

perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidemis.

c. Menurunnya respon terhadap trauma.

d. Mekanisme proteksi kulit menurun.

e. Kulit kepala menipis berwarna kelabu.

f. Rambut dalam hidung dan warna menebal.

g. Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi.

h. Pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi lebih keras dan rapuh,

pudar dan kurang bercahaya.

i. Serta kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.

13. Sistem muskukoskeletal

Perubahan pada system musculoskeletal meliputi :

a. Terjadinya pembesaran persendian dan menjadi kaku.


b. Terjadi kifosis.

c. Pergerakan lutut, pinggang terbatas.

d. Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh.

e. Tendon mengerut dan mengalami skelerosis.

f. Atrofi serabut otot (otot-otot serabut mengecil) sehingga pergerakan menjadi

lamban, otot-otot menjadi tremor.

Perubahan - perubahan mental pada lansia dipengaruhi beberapa

factor antara lain :

a. Perubahan fisik khususnya organ perasa, kesehata umum, tingkat pendidikan,

keturunan, lingkungan.

b. Kenangan atau memori yaitu kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai

berhari-hari yang lalu mencangkup beberapa perubahan), kenangan jangka

pendek atau seketika (0 – 10 menit), kenangan buruk.

c. IQ (intelegentia quantion) yaitu tidak berubah karena matematika dan

perkataan verbal.

d. Serta berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor

(terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari

factor waktu (Nugroho, 2008).

Perubahan- perubahaan lansia terkait psikososial antara lain :


a. Nilai seseorang sering diukur produktifitasnya dan identitas dikaitkan dengan

peranan dalam pekerjaan (pensiunan) yang akan mengalami kehilangan

financial, kehilangan status, kehilangan teman atau relasi, kehilangan

pekerjaan atau kegiatan.

b. Merasakan atau sadar akan kematian.

c. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasukin rumah perawatan bergerak

lebih sempit.

d. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan.

e. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya

pengobatan.

f. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

g. Gangguan syaraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.

h. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

i. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman

atau family.

j. Hilangnya kekuatan atau ketegapan fisik (perubahan terhadap gambaran diri,

perubahan konsep diri).

Perkembangan spiritual pada lansia adalah lansia makin matur dalam

kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam

sehari-hari (Murry dan Zentner,1970). Agama atau kepercayaan semakin


terintegrasi dalam kehidupan (Maslaw,1970). Perkembangan spiritual pada usia

70 tahun menurut folwer (1978), universalizing, perkembangan yang dicapai

pada tingkat ini adalah berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh

cara mencintai keadilan (Nugroho, 2000).

B. Inkontinensia Urine

Proses berkemih yang normal adalah suatu proses yang dinamik yang secara

fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi system syaraf pusat dan

syaraf tepi didaerah sacrum. Kandung kemih diisi dengan urine yang dikeluarkan

dari ureter dengan kecepatan 2 ml/ menit. Otot kandung kemih (detrusor) relaksasi

untuk mengakomodasi peningkatan volume ketika sfingter internal pada leher

kandung kemih dan sfingter ekterna pada otot-otot dasar panggul konstriksi

sehinggga kebocoran tidak terjadi. Kapasitas kandung kemih sekitar 300 - 600 ml,

dengan sensasi keinginan berkemih muncul bila kandung kemih menampung urine

sekitar 150 – 350 ml. Berkemih dapat ditunda 1 sampai 2 jam sejak sensasi berkemih

muncul. Ketika berkemih atau miksi terjadi, otot detrusor kontraksi dan sfingter

interna dan eksterna relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda

hampir semua urine dikeluarkan dalam proses ini. Pada lansia tidak semua urine

dikeluarkan tetapi meninggalkan sisa. Residu urine dengan volume 50 ml atau

kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari 100 ml mengindikasikan adanya

retensi urine secara signifikan. Umumnya kandung kemih dapat menampung urine

antara 500 ml tanpa terjadi kebocoran. Frekuensi berkemih yang normal adalah

setiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali sehari (Stanley, 2006).
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine secara tidak terkontrol deng

jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan

kesehatan dan atau social. Inkontinensia urine ini merupakan salah satu keluhan

utama pada lanjut usia, sehingga kondisi ini sering dianggap sebagai kondisi yang

disebabkan karena masalah usia (Smeltzer, 2001).

Inkontinensia urine biasanya diklasifikasikan sebagai inkontinensia urine

stress, urgensi, overflow, fungsional. Inkontinensia urine stress dimana urine keluar

ketika tekanan intra abdominal meningkat saat batuk bersin, tertawa atau

melemahnya otot dasar panggul. Inkontinensua urgensi merupakan akibat dari

ketidakmampuan untuk menahan urine saat sensasi berkemih muncul. Ini bisa

diakibatkan karena aktivitas otot berkemih meningkat dan adanya masalah

neurologic. Inkontinensia overflow terjadi jika pengisian kandung kemih melebihi

kapasitas kandung kemih dan keluar secara tidak terkontrol. Ini disebabkan karena

adanya sumbatan seperti hipertropi prostat, akibat syaraf (pada orang DM) atau

obau-obatan, Inkontinensia urine fungsional merupakan pengeluaran urine secara

tidak terkontrol akibat faktor-faktor diluar saluran kemih seperti demensia berat,

gangguan musculoskeletal, imobilisasi dan lingkungan yang mendukung (Miselfen,

2008).

1. Penye

bab inkontinensia urine

Inkontinensia urine terjadi karena beberapa factor yaitu :


a. Factor

fisiologis

Faktor fisologis berpengaruh terhadap terjadinya inkontinensia karena

pada lansia terjadi proses menua yang berdampak pada perubahan hampir

seluruh organ termasuk organ termasuk organ berkemih. Perubahan ini

diantaranya adalah melemahnya otot dasar panggul yang menjaga kandung

kemih dan pintu saluran kemih, peningkatan volume residu dan timbulnya

kontraksi abnormal pada kandung kemih yang menimbulkan sensasi

berkemih muncul pada waktunya dan meninggalkan sisa.

Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna, menyebabkan

urine di kandung kemih yang cukup banyak sehingga dengan pengisian yang

sedikit saja sudah merangsang untuk berkemih. Pada lansia wanita,

penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jarinagn uretra dan efek

akibat melahirkan dapat dilihat pada melemahnya otot-otot dasar panggul.

Pada lansia pria hipertropi prostat menyebabkan tekanan pada leher kandung

kemih sebagai akibat pengosongan yang tidak sempurna. Atrofi otot-otot

akibat penuaan secara umum mempengaruhi (Stanley, 2006).

b. Faktor

psikologis

Faktor psikologis seperti stress juga dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan pengeluarann urine sebagai efek dari norepinefrin, dimana


norepinefrin merupakan hormone yang mempengaruhi kontraksi otot polos

yang bekerjanya berlawanan dengan asetil kolin (Guyton, 1995).

c. Faktor

lingkungan.

Lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya inkontinensia urine

diantaranya pengaruh cuaca dan iklim terutama pada cuaca dingin dan karena

letak toilet yang jauh sehingga sebelum mencapai tempatnya sudah tidak

dapat menahan air kemih.

Inkontinensia urine juga dapat terjadi karena adanya faktor-faktor

yang mengiringi perubahan pada organ antara lain infeksi saluran kemih,

obat-obatan, imobilosasi dan kepikunan (Judiardi, 2008).

Pada lanjut usia inkontinensia urine berkaitan erat dengan anatomi

dan fisologi yang dipengaruhi oleh factor fungsional, psikologi dan

lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar proses berkemih diatur oleh

reflek yang berpusat di pusat berkemih di sacrum. Secara neurologis, jalur

untuk relaksasi dan kontraksi adalah dalam medulla spinalis pada pusat miksi

sacral (S4 - S2) dan dalam T1 sampai L2. Pengendalian yang terlokalisasai

digantikan oleh pusat kendali kandung kemih dalam korteks serebral dan

oleh batang otak. Gangguan pada titik apapun dari system ini memiliki

konsekuensi untuk terjadi inkontinensia (Stanley, 2006).

Saluran kemih bawah dipersyarafi oleh syaraf parasimpatik, simpatik

dan somatik. Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi


kandung kemih dan uretra yang dipersyarafi oleh syaraf simpatik serta syaraf

somatic mempersyarafi otot dasar panggul. Pengosongan kandung kemih

melalui persyarafan kolinergik parasimpatik yang menyebabkan kontraksi

kandung kemih sedangkan efek simpatik berkurang. Jika korteks serebral

menekan pusat penghambatan, maka akan merangsang timbulnya berkemih.

Jika terjadi kerusakan pada pusat syaraf di batang otak, korteks serebral dan

serebellum dapat mengganggu koordinasi antara kontraksi kandung kemih

yang akan menimbulkan gangguan inkontinensia urine (Czeresna, 2001).

2. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urine terdiri dari 3 kategori utama yaitu :

a. Terapi non farmakologis (intervensi perilaku)

Penatalaksanaan non farmakologis bisa dilaksanakan dengan latihan otot

dasar panggul atau latihan kegel, agar latihan otot dasar panggul lebih

kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik.

b. Farmakologis

Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk

merelaksasikan kandung kemih. Ini dilakukan jika terapi non

farmakologis tidak dapat mengatasi masalah inkontinensia urine

(Rahmawati, 2007).

c. Pembe

dahan

Terapi ini dilakukan jika terapi non farmakologis tidak berhasil. Selain

itu juga dapat digunakan beberapa alat bantu yang dapat digunakan oleh
lansia yang mengalami inkontinensi urine yaitu kateter, pampers, dan alat

bantu toilet seperti urinal, komod, dan bedpan (Miselfen, 2008).

C. Latihan Kegel

Latihan kegel adalah latihan untuk memperkuat otot-otot dasar panggul

puboccocygeus (PC), otot seksual, uterus, rectum yang ditemukan oleh Dr. Arnold

kegel (Salma, 2008).

Penuaan menyebabkan penurunan kekuatan otot diantaranya otot dasar

panggul. Otot dasar panggul berfungsi untuk menjaga stabilitas organ panggul secara

aktif, berkontraksi mengencangkan dan mengendorkan organ genital, serta

mengendalikan dan mengontrol defekasi dan berkemih (Pujiastuti, 2003).

Latihan kegel merupakan upaya untuk mencegah terjadinya inkontinensia

urine. Mekanisme ontraksi dan meningkatnya tonus otot dapat terjadi karena adanya

rangsangan sebagai dampak dari latihan. Otot dapat dipandang sebagai suatu motor

yang berkerja dengan jalan mengubah energi kimia menjadi energi mekanik berupa

kontraksi dan pergerakan untuk menggerakkan serat otot. Proses interaksi tersebut

diaktifkan oleh ion kalsium dan adenosine triposfat (ATP) yang kemudian dipecah

menjadi adenosine diposfat (ADP) yang memberikan kontraksi bagi otot detrusor

(Asikin N, 1984).
Rangsangan melalui neuromuskuler akan meningkatkan rangsangan otot polos

untuk meningkatkan asetil kolin dimana asetil kolin akan meningkatkan permeabilitas

membran otot sehingga mengakibatkan kontraksi otot. Energi yang lebih banyak

diperoleh dari proses metabolisme dalam metokondria untuk menghasikan ATP yang

digunakn otot polos pada kandung kemih sebagai energy untuk kontraksi dan

akhirnya dapat meningkatkan tonus otot polos pada kandung kemih (Guyton, 1995).

Cara latihan kegel adalah dengan melakukan kontraksi pada otot

puboccocygeus dan menahan kontraksi tersebut dalam hitungan 10 detik, kemudian

kontraksi dilepaskan. Hal tersebut dilakukan seperti menahan air kencing. Pada tahap

awal bias dimulai dengan menahan kontraksi selama 3-5 detik. Latihan ini dilakukan

sampai 10 kali. Ketika buang air kecil tahan aliran air seni ditengah-tengah pancaran,

lalu lepaskan kembali (Johnson, 2002).


D. Kerangka Teori

Faktor yang mempengaruhi Penatalaksanaan

- Fisiologis - Farmakologis

(penurunan kekuatan - Pembedahan

otot) - Modalitas lain

- Psikologis (stress, Inkontinensia seperti kateter

depresi) Urine - Non farmakologis

- Lingkungan (cuaca) (latihan kegel)

Out Put

- Frekuensi urine

normal

- Meningkatnya

kekuatan otot

- Tidak terjadi

ngompol

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Sumber : Czeresna. (2001), stanly. (2006), Pujiastuti. (2003).


E. Kerangka konsep

Berdasarkan kajian terhadap kerangka teori, maka dapat disusun kerangka

konsep sebagai berikut :

Variabel independent

Latihan kegel

Inkontinensia urine Variabel dependent


Frekuensi Inkontinensia Urine

Pada Lansia

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Sumber : Darmojo. (2000), Czeresna. (2001), Rahmawati. (2007).

F. Variabel Penelitian

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel independent

(bebas)
Variabel independent merupakan variable yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya dependent (terikat) variable ini merupakan variable bebas dalam

mempengaruhi variable lain (Hidayat, 2007). Dalam penelitian ini variable

independentnya adalah latihan kegel.

2. Variabel dependent

(terikat)

Variabel dependent adalah veriabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat

karena variable bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variable bebas terhadap

perubahan (Hidayat, 2007). Variabel dependent dalam penelitian ini adalah

frekuensi inkontinensia urine pada lansia.

G. Hipotesa Penelitian

Ada pengaruh yang signifikan pada pemberian latihan kegel terhadap

frekuensi inkontinensia urine pada lansia di Panti Wreda Pucang Gading Semarang.

Anda mungkin juga menyukai