Anda di halaman 1dari 22

STASE KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN
ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS) PADA ANAK
PADA PASIEN AN. M DI PUSKESMAS ANREAPI

PATIMAH

Nim : N.20.052

CI LAHAN CI INSTITUSI

_______________ _______________

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA GENERASI

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS) KEPERAWATAN

TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

ISPA(INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ATAS)


A. Defenisi
ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai

14 hari. Saluran pernapasan meliputi organ mulai dari hidung sampai gelembung

paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti sinus, ruang telinga tengah dan

selaput paru. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran

pernapasan bagian bawah. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan

bersifat ringan, misalnya batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan

antibiotik. Namun demikian jangan dianggap enteng, bila infeksi paru ini tidak

diobati dengan antibiotik dapat menyebabkan anak menderita pneumoni yang

dapat berujung pada kematian. Menurut Program Pemberantasan Penyakit (P2)

ISPA, penyakit ISPA dibagi menjadi dua golongan yaitu pneumonia dan yang

bukan pneumonia. Pneumonia dibedakan atas derajat beratnya penyakit yaitu

pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis,

faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan

sebagai bukan pneumonia.

B. Etiologi

1. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa

secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,

tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai

selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling


sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie,

dan Echo.

2.    Manusia

a. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia

dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak

di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran

nafasnya masih sempit.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

c. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan

penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan

tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya

didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya

tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat

berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.

d. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat

lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR


mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500

gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah

penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.

e. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi

kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus,

terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan

kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin,

Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat

penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

f. Status Imunisasi

Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap

penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi

tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa

pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan

kesehatan anak.

3. Lingkungan

a. Kelembaban Ruangan

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004),


dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji
regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B)
28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.
b. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu


optimum 18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C
atau diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu
ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko
terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

c. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah


menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga.

d. Kepadatan Hunian Rumah

Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)


menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada
anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang
tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya
tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya
ISPA sebesar 9 kali.

e. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan


nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di
lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan

.
f.   Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat


menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah
pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal
ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru
ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.

g. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif.
Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan
racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono
dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada
semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk.

h. Status Ekonomi dan Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila


rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah
besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika
sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu
dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke
pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya
rendah.

C. Manifestasi klinis

1. Demam, pada neonatus mungkin jarang terjadi tetapi gejala demam


muncul jika anak sudah mencaapai usia 6 bulan sampai dengan 3 tahun.
Seringkali demam muncul sebagai tanda pertama terjadinya infeksi. Suhu
tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC.
2. Meningismus, adalah tanda meningeal tanpa adanya infeksi pada
meningens, biasanya terjadi selama periodik bayi mengalami panas,
gejalanya adalah nyeri kepala, kaku dan nyeri pada punggung serta kuduk,
terdapatnya tanda kernig dan brudzinski.

3. Anorexia, biasa terjadi pada semua bayi yang mengalami sakit. Bayi akan
menjadi susah minum dan bhkan tidak mau minum.

4. Vomiting, biasanya muncul dalam periode sesaat tetapi juga bisa selama
bayi tersebut mengalami sakit.

5. Diare (mild transient diare), seringkali terjadi mengiringi infeksi saluran


pernafasan akibat infeksi virus.

6. Abdominal pain,  nyeri pada abdomen mungkin disebabkan karena


adanya lymphadenitis mesenteric.

7.   Sumbatan pada jalan nafas/ Nasal, pada saluran nafas yang sempit akan
lebih mudah tersumbat oleh karena banyaknya sekret.

8. Batuk, merupakan tanda umum dari tejadinya infeksi saluran pernafasan,


mungkin tanda ini merupakan tanda akut dari terjadinya infeksi saluran
pernafasan.

9. Suara nafas, biasa terdapat wheezing, stridor, crackless, dan tidak


terdapatnya suara pernafasan (Whaley and Wong; 1991; 1419).

D. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus


dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas
mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus
oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan
lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering
(Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada
dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi
noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk
(Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang
paling menonjol adalah batuk.

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder


bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada
saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza
dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending dan
Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus
bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah
dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan
penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada
saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell,
1980).

Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat


yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga
bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder
bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang
biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya
infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia
bakteri (Shann, 1985).

Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek


imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas
yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik
pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas
sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA
(sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas
(Siregar, 1994)..

E. Penatalaksanaan

Tujuan utama dilakukan terapi adalah menghilangkan adanya obstruksi dan


adanya kongesti hidung pergunakanlah selang dalam melakukan penghisaapan
lendir baik melalui hidung maupun melalui mulut. Terapi pilihan adalah
dekongestan dengan pseudoefedrin hidroklorida tetes pada lobang hidung, serta
obat yang lain seperti analgesik serta antipiretik. Antibiotik tidak dianjurkan
kecuali ada komplikasi purulenta pada sekret.

Penatalaksanaan pada bayi dengan pilek sebaiknya dirawat pada posisi


telungkup, dengan demikian sekret dapat mengalir dengan lancar sehingga
drainase sekret akan lebih mudah keluar (Pincus Catzel & Ian Roberts; 1990;
452).

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang lazim dilakukan adalah pemeriksaan kultur/
biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan kuman (+) sesuai
dengan jenis kuman, pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap
darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai
dengan adanya thrombositopenia dan pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan
(Victor dan Hans; 1997; 224).

G. Asuhan keperawatan
1.Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Umur              
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak
usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih
sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anggana
Rafika, 2009).

2) Jenis kelamin  
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,
dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada
laki-laki di negara Denmark (Anggana Rafika, 2009).

3) Alamat           
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota
keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Penelitian oleh Kochet al (2003) membuktikan bahwa
kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna
prevalensi ISPA berat .Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA
dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas
udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis,
fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna
dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara
Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak (Anggana
Rafika, 2009)
b. Riwayat Kesehatan
o Keluhan Utama
o Riwayat penyakit sekarang
o Riwayat penyakit dahulu:
o Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat sosial:

c. Pemeriksaan Persistem 

B1 (Breath)             :

1) Inspeksi:
 Membran mucosa hidung faring tampak kemerahan
 Tonsil tanpak kemerahan dan edema
 Tampak batuk tidak produktif
 Tidak ada jaringna parut pada leher
 Tidak tampak penggunaan otot- otot pernapasan
tambahan,pernapasan cuping hidung, tachypnea, dan
hiperventilasi
2) Palpasi
 Adanya demam
 Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah
leher / nyeri
 tekan pada nodus limfe servikalis
 Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
3) Perkusi
Suara paru normal (resonance)
4) Auskultasi
Suara napas vesikuler / tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru

B2 (Blood)        : kardiovaskuler Hipertermi

B3 (Brain)        : penginderaan Pupil isokhor, biasanya keluar cairan


pada telinga, terjadi gangguan penciuman

B4 (Bladder)    : perkemihan Tidak ada kelainan

B5 (Bowel)       : pencernaan Nafsu makan menurun, porsi makan tidak


habis Minum sedikit, nyeri telan pada tenggorokan

            B6 (Bone)         : Warna kulit kemerahan(Benny:2010)

d.  Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah
biakan kuman (+) sesuai dengan jenis kuman,
2) Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat
disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya
thrombositopenia
3) Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan (Benny:2010)

2. Dignosa Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
b. Nyeri telan berhubungan dengan inflamasi pada membran mukosa
faring dan tonsil.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi
sekret
d. Nutrisi tidak seimbang berhubungan dengan anorexia.
e. Resiko tinggi penularan infeksi
3. Intervensi
N Diagnosa Tujuan & kriteria hasil Intervensi
O
1 Hipertermi berhubungan dengan NOC NIC
proses infeksi. Thermoregulation  Monitor suhu tubuh sesering
Defenisi : Peningkatan suhu Kriteria hasil: mungkin
tubuh diatas kisaran normal  Suhu tubuh dalam rentang  Monitor warna dan suhu kulit
normal  Monitor TD, Nadi, suhu dan
 Nadi dan RR dalam rentang RR
normal  Selimuti pasien
 Tidak ada perubahan warna kulit  Kompres pasien pada lipatan
dan tidak ada pusing paha dan aksila
 Berikan pengobatan untuk
mencegah terjadinya menggigil
 Monitor suhu minimal tiap 2
jam
 Ajarkan pada pasien tentang
mencegah keletihan akibat
panas
2 Nyeri telan berhubungan dengan  Pencegahan aspirasi  Memantau tingkat kesadaran,
inflamasi pada membran   Ketidakefektifan pola menyusui refleks batuk, refleks muntah,
mukosa faring dan tonsil. dan kemampuan menelan
 Status menelan : tindakan
Defenisi: abnormal fungsi pribadi untuk mencegah  Memonitor status paru
pengeluaran cairan dan partikel
mekanisme menelan yang menjaga/Mempertahankan
padat ke dalam paru
dikaitkan dengan defisit struktur jalan napas
  Status menelan : fase esofagus :
atau fungsi oral, faring, atau penyaluran cairan atau partikel  Posisi tegak 90 derajat atau
esofagus. padat dari faring ke lambung
sejauh mungkin
 Jauhkan manset trakea
meningkat
 Jauhkan pengaturan hisap yang
tersedia
 Menyuapkan makanan dalam
jumlah kecil
 Periksa penempatan tabung
NG atau gastrostomy sebelum
menyusui
 Periksa tabung NG atau
gastrostomy sisa sebelum
makan
 Hindari makan, jika residu
tinggi tempat "pewarna" dalam
tabung pengisi NG
 Hindari cairan atau
menggunakan zat pengental
 Penawaran makanan atau
cairan yang dapat dibentuk
menjadi bolus sebelum
menelan
 Potong makanan menjadi
potongan-potongan kecil
 Permintaan obat dalam bentuk
obat mujarab
 Istirahat atau menghancurkan
pil sebelum pemberian
 Jauhkan kepala tempat tidur
ditinggikan 30 sampai 45
menit setelah makan
 Sarankan pidato/berbicara
patologi berkonsultasi, sesuai
 Sarankan barium menelan kue
atau video fluoroskopi, sesuai
3 Bersihan jalan nafas tidak efektif NOC NIC
 Respiratory status : ventilation
berhubungan dengan akumulasi  Auskultasikan suara nafas
 Respiratory status : airway
secret patency sebelum dan sesudah suction
Defenisi :  Informasikan kepada keluarga
tentang suction
 Berikan o2 dengan
menggunakan nasal untuk
memfasilitasi suksion
nasotrakeal
 Monitor status oksigen pasien
 Ajarkan keluarga bagaimana
cara melakukan suction
 Buka jaalan nafas, gunakan
teknik chinlift atau jaw trust
bila perlu
 Posiskan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
 Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat atau jalan
nafas buatan
 Pasang mayo jika perlu
 Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction
 Auskultasi suara nafas, catat
adanya suara tambahan
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
 Monitor respirasi dan status
O2
4 Nutrisi tidak seimbang  Nutritional status  Kaji adanya alergi makanan
 Nutritional status : food and
berhubungan dengan anorexia.  Anjurkan pasien untuk
fluid
Defenisi : asupan nutrisi tidak  Intake meningkatkan intake fe
 Nutritional status
cukup untuk memenuhi  Anjurkan pasien untuk
 Weight control
kebutuhan metabolik meningkatkan protein dan
vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan
mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih
(sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana
membuat catatan makanan
harian
 Berikan informasi tentang
kebutuham nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan
 BB Pasien dalam batas normal
 Monitor adanya penurunan BB
 Monitor lingkungan selama
makan
 Monitor kulit kering dan
perubahan figmentasi
5 Resiko tinggi penularan infeksi  Immune status  Bersihkan lingkungan setelah
 Knowledge/infection control
Defenisi : mengalami diapakai pasien lain
 Risk kontrol
peningkatan resiko terserang  Pertahankan teknik isolasi
organisme patogenik  Batasi pengunjung bila perlu
 Intruksikan pada pengunjung
untuk mencuci tangan saat
berkunjung dan setelah
berkunjung meninggalkan
pasien
 Gunakan sabun antimikroba
untuk cuci tangan
 Cuci tangan setiap dan
sebelum tindakan keperawatan
 Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
 Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
 Ganti letak IV perifer dan line
control dan dresing untuk
petunjuk umum
 Tingkatkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibotik bila
perlu
 Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
 Batasi pengunjung
 Berikan perawatan kulit pada
area epidema

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dkk, 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Gramik Fakultas Kedokteran Universitas Air Langga, Surabaya.
Anonim, 1992, Pedoman Penggunaan Antibiotik Rasional, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Anonima , 2000, kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Cetakan Pertama, Media
Aesculaplus, Jakarta.
Anonimb , 2000, Informasi Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pangawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Anonima , 2002, Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita,
Dit.Jen.PPM-PLP, Jakarta.
Anonimb , 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi, dan Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonim, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, (http://www.isfijatim.org).
Anonim, 2006, Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional, Bakti Husada Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Anonim, 2007, Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi
dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, (http://www.who.int).
Anonim, 2008, Daftar 10 Besar Penyakit Rumah Sakit ASSALAM, Penerbit Rumah Sakit ASSALAM, Sragen.
Arsyad S., Efiaty dan Iskandar, N., 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Banker, A. W., Bint, A. J., 2003, Urinary Tract Infections, in Walker, R., Edward, A., (eds.) Clinical Pharmacy and
Theurapeutic, 3rd Edition, 542-543,
Churchill Livingstone, Vk.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley,P.C, 1998, Pharmaceutical Care Practice, The Mc, Graw Hills Companies. 43
Dorlan, W., A., Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland, alih bahasa Huriawati Hartanto, dkk., Ed 29, EGC, Jakarta.
Dwiprahasto, I., 1995, Penggunaan Antibiotika Rasional, 2-8, 13, 16, Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Dwiprahasto, I., Suryawati, S., dan Santoso, B., 1998, Pemakaian dan Pengelolaan Obat dalam Rumah Tangga, 23-30,
Laboratorium
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ganiswarna G., Sulistia, 1995, Farmakologo dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
George L., Adams, 1997, Boies : Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamental of Otolaryngology) / George L, Adams,
Lawrence R. Boies, Peter H. Higler, alih bahasa Caroline Wijaya, Editor Harjanto Efendi, Ed 6, EGC, Jakarta.
Gitawati, R., Sukosediati, N., Sampurno, O. D., dan Lestari, P., 1996, Jenis Informasi yang dapat Diperoleh di Rekam Medik
di Beberapa Rumah Sakit Untuk Pemerintah, Cermin Kedokteran, 49-52.
Glover, M.L., Reed, M.D., 2005, Lower Respiratory Tract Infections, In DiPiro, J. T., Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach, Sixth Edition, McGraw Hill Companies, New York.

Anda mungkin juga menyukai