Anda di halaman 1dari 50

TUGAS PKK KEPERAWATAN GERONTIK

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK PADA Tn. I DENGAN


MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK PADA STROKE

Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik

Disusun Oleh :
ALDI SYAHPUTRA
181440104

Dosen Pengampu : Ns. Tajudin, MM

PROGRAM DIII KEPERAWATAN TINGKAT III


POLTEKKES KEMENKES PANGKAL PINANG
BANGKA BELITUNG

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang menjadi
penyebab utama kematian di Indonesia. Jumlah penderita stroke di seluruh
dunia yang berusia dibawah 45 tahun terus meningkat, akibat stroke
diprediksi akan meningkat seiring dengan kematian akibat penyakit
jantung dan kanker. Stroke merupakan penyebab kematian tersering ketiga
di Amerika dan merupakan penyebab utama disabilitas permanen
(Handayani & Dominica, 2019). Sehingga pada klien stroke biasanya
mengalami gangguan mobilitas fisik atau beresiko mengalami keterbatasan
gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri. (PPNI, 2016)
Kejadian stroke dapat disebabkan oleh beberapa faktor, faktor
risiko stroke yang tidak dapat dikontrol terdiri atas usia, ras jenis kelamin,
kebiasaan merokok, dan faktor resiko yang dapat dikontrol terdiri atas
riwayat banyaknya cara untuk mengatasi kelebihan berat badan yang
dilakukan masyarakat saat ini misalnya dengan diet rendah lemak serta
olahraga maupun meningkatkan aktivitas fisiklainnya, ditambah lagi
semakin maraknya suplemen atau obat yang bisa membantu menurunkan
berat badan dan hindari makanan yang mengandung lemak tinggi, terlebih
lagi lemak jenuh, serta kurangi asupan garam. Diet yang mengandung
banyak serat, seperti buah-buahan dan sayuran serta rendah garam terbukti
dapat mengurangi stroke (Dewi, 2016)
Akibat yang ditimbulkan oleh serangan stroke diantaranya
kelemahan (lumpuh sebagian atau menyeluruh) secara mendadak,
hilangnya sensasi berbicara, melihat, atau berjalan, hingga menyebabkan
kematian. Penanganan terhadap klien stroke terutama klien baru
seharusnya dilakukan dengan cepat dan tepat. Kepastian penentuan tipe
patologi stroke secara dini sangat penting untuk pemberian obat yang tepat
guna mencegah dampak yang lebih fatal (Arifianto, Aji Seto,
Moechammad Sarosa, 2014)
Penyebab terjadinya Gangguan Mobilitas Fisik biasanya terjadi
Kerusakan integritas struktur tulang, penurunan kendali otot, penurunan
massa otot, penurunan kekuatan otot, kekakuan sendi dan nyeri sehingga
jika pada klien yang mengalami gangguan mobilitas fisik tidak segera
ditangani maka klien akan mengalami kesulitan untuk menggerakkan
tubuhnya sehingga sendi akan mengalami kekakuan dan fisiknya akan
melemah. (PPNI, 2016)
Disfungsi motorik yang terjadi mengakibatkan klien mengalami
keterbatasan dalam menggerakkan bagian tubuhnya sehingga
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Komplikasi akibat imobilisasi
menyebabkan 51% kematian pada 30 hari pertama setelah terjadinya
serangan stroke iskemik. Imobilitas juga dapat menyebabkan kekakuan
sendi (kontraktur), komplikasi ortopedik, atropi otot, dan kelumpuhan
saraf akibat penekanan yang lama (nerve pressure palsies). Masalah yang
berhubungan dengan kondisi imobilisasi pada klien stroke dinyatakan
sebagai diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan utama yang sesuai
dengan masalah imobilisasi pada klien stroke adalah Gangguan mobilitas
fisik. (Selvia, 2015) Untuk ini perlu dilakukan upaya mengurangi
terjadinya Gangguan Mobilitas Fisik pada klien stroke dengan melakukan
latihan gerak aktif / pasif pada semua ekstermitas dan melakukan terapi
untuk mempercepat penyembuhan pada klien (PPNI, 2018) sehingga
mengurangi terjadinya stroke dengan mengkonsumsi gizi yang seimbang
seperti perbanyak makan sayur, buah-buahan segar, protein rendah lemak
dan kaya serat yang sangat bermanfaat untuk pembuluh darah. Dan tidak
ketinggalan juga lakukan olahraga teratur, dengan berolahraga teratur
dapat mengontrol berat badan serta mengurangi resiko terjadinya stroke
(Sinaga & Sembiring, 2019)

B. Rumusan masalah
Bagaimanakah gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan gerontik pada
kasus stroke Terhadap Tn.I ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk melaksanakan asuhan keperawatan langsung kepada pasien
dengan stroke yang merupakan tentang konsep dasar penyakit dan
asuhan keperawatan.

2. Tujuan Khusus
Menetapkan dan mengembangkan pola pikir secara ilmiah kedalam
proses asuhan keperawatan serta mendapatkan pengalaman dalam
melaksanakan asuhan keperawatan diharapkan mampu:
a. Menjelaskan konsep dasar penyakit pada klien penyakit stroke.
b. Melakukan konsep dasar proses pengetahuan pada klien dengan
stroke.
c. Melakukan pengakajian pada klien dengan stroke.
d. Merumuskan diangnosa keperawatan pada klien dengan stroke.
e. Menyusun intervensi keperawatan pada klien dengan stroke.
f. Melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan stroke.
g. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan stroke.
h. Mendokumentasikan asuhan keperawatan klien dengan stroke.

A. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh serta mendapatkan
pengalaman dalam melaksanakan asuhan keperawatan secara langsung
pada klien sehingga dapat digunakan sebagai berkas penulis didalam
melaksanakan tugas seminar.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan sumber kepustakaan dan perbandingan pada
asuhan keperawatan.
3. Bagi Klien
Agar klien mengetahui dan memahami mengenai penyakit maupun
pencegahan dan perawatan dirumah
4. Bagi Lahan Praktek
Hasil penulisan dapat memberikan masukan terhadap tenaga
kesehatan untuk lebih meningkatkan pelayanan kesehatan bagi
masyarat dan selalu menjaga mutu pelayanan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Lansia


1. Pengertian lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun
(Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut
usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh
kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan
daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009).
Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia
(lansia) dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun
merupakan batas minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia
yang masih menganggap dirinya berada pada masa usia pertengahan.
Usia kronologis biasanya tidak memiliki banyak keterkaitan dengan
kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua dengan cara yang
berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya.
Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus
memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia
lainnya (Potter & Perry, 2009).
2. Klasifikasi lansia
Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia
berdasarkan Depkes RI (2003) dalam Maryam dkk (2009) yang terdiri
dari:
a. Paralansia (prasenilis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
d. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang
dapat menghasilkan barang/jasa.
e. Lansia tidak potensial
Lansia yang sudah tidak bisa mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada orang lain
3. Tipe lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya
(Nugroho 2000 dalam Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan
sebagai berikut.
a. Tipe arif bijaksana.
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan
perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi
panutan.
b. Tipe mandiri.
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi
undangan.
c. Tipe tidak puas.
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani,
pengkritik dan banyak menuntut.
d. Tipe pasrah.
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung.
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
f. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe
independen (ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan
dan serius, tipe pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam
melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
4. Proses penuaan
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat
mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini
merupakan suatu fenomena yang kompleks multidimensional yang
dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada
keseluruhan sistem. (Stanley, 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik
perkembangan yang maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut
dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh.
Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi
secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam
dkk, 2008).
Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses
biologis yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap orang.
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
(gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi secara normal,
ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi. Proses penuaan
sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan
jaringan lain sehingga tubuh ‘mati’ sedikit demi sedikit. Sebenarnya
tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan
seseorang mulai menurun. Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat
tubuh yang sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi
tersebut maupun saat menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh
mencapai puncaknya pada usia 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak,
fungsi alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat,
kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya
usia (Mubarak, 2009).
Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah,
baik secara biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia
seseorang, maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun,
sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran
sosialnya (Tamher, 2009). Oleh karena itu, perlu perlu membantu
individu lansia untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal meskipun
dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer,
2001).
5. Tugas perkembangan lansia
Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang
terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi
pada tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan
penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak
dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal.
Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan
atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah:
beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik,
beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan,
beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai
individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan,
menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa,
menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry,
2009).

B. Konsep hambatan mobilitas fisik


1. Pengertian mobilitas fisik
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik
dari satu atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2017). Menurut North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) gangguan mobilitas fisik atau immobilisasi merupakan suatu
kedaaan dimana individu yang mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010).
Ada lagi yang menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik
merupakan suatu kondisi yang relatif dimana individu tidak hanya
mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan
tetapi juga kemampuan geraknya secara total (Ernawati, 2012).
Kemudian, Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan
mobilitas fisik atau imobilitas merupakan keadaan dimana kondisi yang
mengganggu pergerakannya, seperti trauma tulang belakang, cedera
otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan sebagainya. Tidak hanya
itu, imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh
baik satu maupun lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif
A.H & Kusuma H, 2015)
2. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab
terjadinya gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas
struktur tulang, perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik,
penurunan kendali otot, penurunan massa otot, penurunan kekuatan
otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur,
malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular,
indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek agen farmakologi,
program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang
aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan
pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi.
NANDA-I (2018) juga berpendapat mengenai etiologi gangguan
mobilitas fisik, yaitu intoleransi aktivitas, kepercayaan budaya tentang
aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan tubuh, depresi, disuse,
kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya hidup kurang
gerak.
Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam
Setiati, Alwi, Sudoyo, Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab
gangguan mobilitas fisik adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, kelainan postur,
gangguan perkembangan otot, kerusakan sistem saraf pusat, atau
trauma langsuung dari sistem muskuloskeletal dan neuromuskular.
3. Patofisilogi

Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi,


ligamen, tendon, kartilago, dan saraf sangat mempengaruhi
mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena adanya
kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi
sistem pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan
isometrik. Peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek
pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada kontraksi isometrik
menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya
menganjurkan pasien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter
merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi isotonik dan
kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya
peningkatan energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan,
fluktuasi irama jantung, dan tekanan darah yang dikarenakan pada
latihan isometrik pemakaian energi meningkat. Hal ini menjadi
kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit seperti
infark miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian
dan suasana hati seseorang digambarkan melalui postur dan
gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok
otot tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan,
sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot sendiri
merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi
dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat
mempertahankan ketegangan. Immobilisasi menyebabkan
aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang. Rangka pendukung
tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang, seperti panjang,
pendek, pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal
berfungsi dalam pergerakan, melindung organ vital, membantu
mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan
sel darah merah (Potter dan Perry, 2012).

Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon


fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut
berupa gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan
keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan
mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat dari penurunan
masa otot, atrofi dan stabilitas.

Pengaruh otot diakibatkan pemecahan protein akan


mengalami kehilangan masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian
otot. Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu,
juga terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi
sendi. Jika kondisi otot tidak dipergunakan atau karena
pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi otot.

Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan


meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase yang
menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya
catalase, glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida
dismutase, yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS.
ROS menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya
ekspresi myosin, dan peningkatan espresi komponen jalur
ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak digunakan
selama beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran
protein kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih tinggi
dibandingkan pembentukkannya, sehingga terjadi penurunan
protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya atrofi
otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam
waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan mengecil dimana
terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan fibrosa.
Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan

berkurangnya tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi

otot melalui penghambatan pada proses translasi protein sehingga

menurunkan kecepatan sintesis protein. NF-κB menginduksi atrofi

dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak

digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-

κB. Reactive Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami

atrofi. Atrofi pada otot ditandai dengan berkurangnya protein pada

sel otot, diameter serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan

terhadap kelelahan. Jika suplay darah pada otot tidak ada, sinyal

untuk kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan

terjadi perubahan degeneratif pada otot yang disebut dengan atrofi

degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif terjadi


penghancuran serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan

lemak. Bagian serabut otot yang tersisa adalah membran sel dan

nukleus tanpa disertai dengan protein kontraktil. Kemampuan

untuk meregenerasi myofibril akan menurun. Jaringan fibrosa yang

terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki kecenderungan

untuk memendek yang disebut Tanda dan gejala

4. Tanda dan gejala


Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik

menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :

a. Tanda dan gejala mayor

Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,

yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian,

untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot

menurun, dan rentang gerak menurun.

b. Tanda dan gejala minor

Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,

yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan

merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala

minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi,

gerakan terbatas, dan fisik lemah.

NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari

gangguan mobilitas fisik, antara lain gangguan sikap berjalan,

penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan

motorik kasar, penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang,


kesulitan membolak-balik posisi, ketidaknyamanan, melakukan

aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah

beraktivitas, tremor akibat bergerak, instabilitas postur, gerakan

lambat, gerakan spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi.

5. Komplikasi

Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016)

gangguan mobilitas fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu

abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis,

serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah

pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh

menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian,

juga menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang

terbentuk dalam satu arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya yaitu

dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul,

pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan

menjadi infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu

komplikasi dari gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena

kurang gerak dan mobilisasi. Komplikasi lainnya, seperti disritmia,

peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas, dan

kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013)

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan

masalah gangguan mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan


rentang gerak. Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah

satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang

merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan

masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara

pasif maupun aktif. Range of Motion (ROM) pasif diberikan pada

pasien dengan kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan

pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat

melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan

dari perawat ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion

(ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang dilakukan sendiri oleh

pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga.

Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan

atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,

merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter &

Perry, 2012).

Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk

gangguan mobilitas fisik, antara lain :

a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti

memiringkan pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi

trendelenburg, posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent, dan

posisi litotomi.

b. Ambulasi dini

Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan


ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.

Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di

tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan

yang lainnya.

c. Melakukan aktivitas sehari-hari.

Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih

kekuatan, ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah

bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.

d. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.

C. Konsep stroke

1. Pengertian stroke

Stroke merupakan gangguan fungsi saraf lokal dan/atau

global pada otak yang muncul mendadak, progresif, dan cepat.

Gangguan ini disebabkan oleh gangguan peredarah darah otak

non traumatik (Depkes RI, 2013). Junaidi I (2011) menjelaskan

bahwa stroke adalah gangguan fungsional otak berupa

kelumpuhan saraf (deficite neurologis) akibat terhambatnya

aliran darah ke otak baik perdarahan ataupun karena sumbatan.

Dimana pada kasus tersebut, otak yang seharusnya mendapat

oksigen dan zat makanan menjadi tidak terpenuhinya kebutuhan

tersebut.
2. Etiologi

Menurut Pudiastuti (2011) Penyebab stroke ada 3 faktor yaitu :

a. Faktor risiko medis, antar lain hipertensi, aterosklerosis,

migrain, diabetes, kolesterol, gangguan jantung, riwayat

stroke dalam keluarga, penyakit ginjal, dan penyakit

vaskuler periver.

b. Faktor risiko prilaku, antara lain kurang olahraga, merokok

aktif maupun pasif, makanan tidak sehat seperti junk food

dan fast food, kontrasepsi oral, mendengkur, narkoba,

obesitas, stres, dan cara hidup.

Faktor lain, seperti trombosis serebral, emboli serebral,

perdarahan intraserebral, migrain, dan trombosis sinus dura.

Smeltzer & Bare (2015) juga berpendapat bahwa

penyebab terjadinya stroke terbagi atas :

a. Trombosis yaitu adanya bekuan darah yang terjadi pada

pembuluh darah di otak dan leher. Penyebab paling umum

dari stroke yaitu arteriosklerosis selebral.

b. Embolisme serebral adalah adanya material atau bekuan

darah yang berasal dari bagian tubuh lain dan dibawa ke

otak. Embolus ini terjadi karena adanya sumbatan pada arteri

selebral tengah sehingga merusak siklus selebral.

c. Iskemia adalah terjadinya penurunan suplai darah ke otak,

terjadi karena konstriksi atheroma di arteri.


3. Patofisiologi

Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak

mempunyai cadangan oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian

otak terhambat karena trombus dan embolus, maka mulai terjadi

kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan oksigen pada

otak dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis

mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik tersebut disebut

infark. Pada awalnya kekurangan oksigen pada otak akibat henti

jantung atau hipotensi maupun hipoksia akibat proses anemia

dan kesukaran untuk bernapas. Stroke karena embolus dapat

akibat dari bekuan darah, udara, palque, ateroma fragmen lemak.

Pada stroke trombosis, otak mengalami iskemia dan infark yang

sulit ditentukan. Edema serebral, peningkatan tekanan

intrakranial, dan kematian pada area luas berpeluang terjadi jika

dominan stroke meluas setelah serangan pertama. Prognosisnya

tergantung pada daerah otak yang terkena dan luasnya saat

terkena.

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di

dalam arteri yang membentuk sirkulasi willisi. Oklusi di suatu

arteri tidak selalu menyebabkan infark pada daerah otak karena

mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai pada arteri

tersebut. Mungkin proses patologik yang mendasari adalah salah

satu dari berbagai proses yang terjadi dalam pembuluh darah


yang menuju otak. Patologinya berupa penyakit pada pembuluh

darah itu sendiri, seperti arteriosklerosis dan thrombosis,

robeknya dinding pembuluh darah dan peradangan,

berkurangnya perfusi akibat gangguan aliran darah, gangguan

aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi berasal dari

jantung atau pembuluh ekstrakarnium, rupture vascular di dalam

jaringan otak atau ruang serebral.

Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak

menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk

secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari dua

jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan

merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna

(Price & Wilson, 2012).

Hemiparesis adalah kelumahan pada salah satu sisi

bagian tubuh. Biasanya diakibatkan oleh adanya lesi saluran

kortikospinalis yang berjalan turun dari kortikal neuron di lobus

frontal ke motor neuron sum-sum tulang belakang dan

bertanggungjawab untuk pergerakan otot-otot tubuh dan anggota

tubuh. Pada saluran tersebut melalui beberapa bagian batang

otak, yaitu otak tengah, pons dan medula. Masing-masing

saluran yang melintasi ke sisi berlawanan pada bagian terendah

dari medula membentuk struktur anatomi disebut sebagai

piramida dan turun di sepanjang sisi berlawanan dari sum-sum


tulang belakang untuk memenuhi kontralateral motor neuron,

sehingga sebelah sisi otak mengontrol pergerakan otot dari sisi

yang berlawanan dari tubuh dan dengan demikin gangguan

saluran kortikospinalis kanan pada batang otak atau struktur otak

atas menyebabkan hemiparesis pada sisi kiri tubuh begitu pula

sebaliknya (Smeltzer & Bare, 2015).

Di sisi yang lain, lesi pada saluran sum-sum tulang

belakang menyebabkan hemiparesis pada sisi yang sama dari

tubuh. Otot pada wajah juga dikendalikan oleh saluran yang

sama. Saluran yang mengaktifkan wajah (ganglion) dan saraf

wajah muncul dari nukleus mengaktifkan otot-otot wajah selama

kontraksi otot wajah. Karena inti wajah terletak pada pons atas

decussation tersebut, lesi pada saluran pons atau struktur atas

menimbulkan hemiparesis pada sisi tubuh yang berlawanan dan

paresis pada sisi yang sama pada wajah yang disebut dengan

hemiparesis kontralateral. Jika wajah pasien tidak terlibat, ini

sangat sugestif dari lesi saluran pada bagian bawah batang otak

atau sum-sum tulang belakang karena sum-sum tulang belakang

merupakan satruktur yang paling kecil, sehingga apabila terjadi

lesi tidak hanya terjadi kelumpuhan di satu sisi, tetapi kedua sisi.

Oleh karena itu, lesi pada sum-sum tulang belakang biasanya

dapat menimbulkan kelumpuhan pada kedua lengan dan kaki

(quadriparesis) atau kedua kaki (paraparesis), (Mardjono &


Sidarta, 2010).

Penyumbatan komplit dapat terjadi dalam beberapa jam.

Gejala-gejala dari CVA (Cerebrovascular Accident) akibat

thrombus terjadi selama tidur atau segera setelah bangun tidur.

Hal ini berkaitan pada orangtua aktivitas simpatisnya menurun

dan sikap berbaring menyebabkan menurunnya tekanan darah,

yang akan menimbulkan iskemia otak. Transient Ischemic Attack

(TIA) berkaitan dengan iskemik serebral dengan disfungsi

neurologi sementara. Disfungsi neurologi dapat berupa hilang

kesadaran dan hilangnya seluruh fungsi sensorik dan motorik,

atau hanya ada defisit fokal. Defisit paling umum adalah

kelemahan kontralateral wajah, tangan, lengan, dan tungkai,

disfasia sementara dan beberapa gangguan sensorik. Serangan

iskemik berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam

(Widagdo, Suharyanto, Aryani. 2009)

4. Klasifikasi

Ariani (2012) berpendapat bahwa stroke dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

a. Non hemoragik atau iskemik

Otak yang mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan

oksigennya karena penyumbatan pada pembuluh darah otak

akan menyebabkan stroke iskemik (Wardhana W.A, 2011).

b. Stroke hemoragik.
Stroke hemoragik merupakan perdarahan intrakranial yang

dibedakan berdasarkan tempat perdarahannya, yaitu

perdarahan intraserebral yang tempat perdarahan berada di

dalam parenkim otak dan perdarahan subaraknoid yang

tempat perdarahan terjadi di rongga subaraknoid (Ariani,

2012).

Selain itu, American Heart Association (2015)

menyebutkan bahwa stroke secara umum terbagi menjadi dua

jenis, yaitu stroke hemoragik dan non hemoragik atau iskemik.

Stroke hemoragik ialah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

pembulu darah dalam otak yang terjadi di daerah tertentu

sehingga memenuhi jaringan otak, perdarahan ini disebabkan

oleh adanya perdarahan di intra selebral atau perdarahan

subarakhroid. Stroke non hemoragik atau iskemik ialah suatu

gangguan peredaran darah otak yang terjadi karena adanya

obstruksi atau adanya sumbatan yang menyebabkan hipoksia di

otak.

5. Manifestasi klinik

Tanda utama stroke adalah secara mendadak defisit

neurologik fokal muncul. Kemudian, gejala yang muncul pada

individu stroke adalah lemas pada area wajah, lengan, dan

tungkai. Gangguan penglihatan juga menjadi salah satu gejala,

kebingungan mendadak, hilang keseimbangan atau koordinasi,


pusing, dan nyeri kepala (Price S.A, Wilson L.M, 2012).

Menurut Hernanta (dalam Setyawan, A.D., Rosita, A.,

Yunitasari, N. 2017) Manifestasi klinis stroke dapat berupa

afaksia, vertigo adanya serangan neurologis fokal berupa

kelemahan atau kelumpuhan lengan, tungkai, atau salah satu sisi

tubuh, melemahnya otot, kaku, dan menurunnya fungsi motorik,

kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi

secara baik, berjalan menjadi sulit dan langkahnya menjadi

tertatih-tatih bahkan tak jarang mengalami kelumpuhan total.

Manifestasi klinis bahwa terjadinya hemiparesis adalah

kelumpuhan satu sisi seluruh tubuh yang melibatkan wajah,

lengan dan kaki, kesulitan berbicara dan pemahaman, kesulitan

makan dan menelan, kesulitan berjalan atau berdiri, kesulitan

mempertahankan posisi tegak saat duduk, kesulitan mengatur

keseimbangan saat mata tertutup, serta kesulitan dalam

mempertahankan kontrol kandung kemih. Tidak semua

gejala yang disebutkan muncul secara bersamaan

pada semua pasien dengan hemiparesis (Vega, J., 2008)

6. Komplikasi

Menurut Junaidi I (2011) komplikasi yang dapat terjadi

pada pasien stroke, antara lain dekubitus, bekuan darah, kekuatan

otot melemah, osteopenia dan osteoporosis, depresi dan efek

psikologis, inkontinensia dan konstipasi, spastisitas dan


kontraktur. Selain itu, Tarwoto, Wartonah & Suryati (2007)

berpendapat bahwa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

stroke, antara lain hipertensi atau hipotensi, kejang, peningkatan

tekanan intrakranial, kontraktur, tonus otot abnormal, trombosis

vena, malnutrisi, aspirasi, inkontinensia urine, bowel.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan stroke menurut Smeltzer & Bare (2015),


yaitu :

1. Fase akut

Fase akut stroke berakhir 48 jam. Pasien yang koma pada

saat masuk dipertimbangkan memiliki prognosis buruk.

Sebaliknya pasien sadar penuh mempunyai prognosis yang

lebih dapat diharapkan. Prioritas dalam fase akut ini adalah

mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang baik

2. Fase rehabilitasi

Fase rehabilitasi stroke adalah fase pemulihan pada kondisi

sebelum stroke. Program pada fase ini bertujuan untuk

mengoptimalkan kapasitas fungsional pasien stroke,

sehingga mampu mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-

hari adekuat. Menurut Marlina (2011), latihan rehabilitasi

yang sering digunakan salah satunya adalah Range of Motion

(ROM) yang merupakan salah satu bentuk intervensi

fundamental perawat yang dapat dilakukan untuk

keberhasilan regimen terapeutik bagi pasien dan dalam


upaya pencegahan terjadinya kondisi cacat permanen pada

pasien paska perawatan di rumah sakit sehingga dapat

menurunkan tingkat ketergantungan pasien pada keluarga

D. Konsep asuhan keperawatan stroke

1. Pengkajian

Pengkajian muskuloskeletal dapat bersifat umum atau sudah

terfokus untuk masalah yang lebih spesifik. Pengkajian dapat

meliputi evaluasi status fungsional klien, kemampuan melakukan

aktivitas sehari-hari dan kemampuan memenuhi kebutuhan diri

secara mandiri.

Pengkajian ini mengevaluasi kegiatan olahraga klien dan

aktivitas rekereasi klien yang dapat mempromosikan kesehatan

muskuloskeletal klien (Black & Hawks, 2014).

Menurut Mutaqqin A. (2012) pengumpulan data meliputi :

a. Anamnesis

1) Informasi biografi

Usia di atas 50 tahun memiliki risiko stroke berlipat

ganda pada setiap pertambahan usia, kemudian tempat

tinggal yang dimana masyarakat yang tinggal di perkotaan

memiliki angka kejadian tertinggi, serta tingkat pendidikan

yang rendah, yaitu tidak sekolah atau hanya tamat sekolah

dasar memiliki risiko yang demikian pula (Riskesdas, 2018).

Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko lebih tinggi terkena


stroke dibandingkan perempuan terkait kebiasaan merokok,

risiko terhadap hipertensi, hiperurisemia, dan

hipertrigliserida lebih tinggi pada laki-laki (Wardhana,

2011). Ras kulit hitam lebih sering mengalami hipertensi

dari pada ras kulit putih sehingga ras kulit hitam memiliki

risiko lebih tinggi terkena stroke (AHA, 2015).

2) Keluhan utama

Pasien mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, nyeri

saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, serta merasa

cemas saat bergerak (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

3) Riwayat kesehatan sekarang

Obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, kebiasaan merokok,

penyalahgunaan alkohol dan obat, serta pola hidup tidak

sehat (AHA, 2015). Diabetes mellitus, apnea tidur, fibrilasi

atrium, dislipidemia dengan penyakit jantung koroner

(PJK)

4) Riwayat kesehatan dahulu

Seseorang yang pernah mengalami serangan stroke yang

dikenal dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga

berisiko tinggi mengalami stroke (AHA, 2015). Gangguan

jantung, penyakit ginjal, serta penyakit vaskuler periver perlu

dikaji juga karena termasuk faktor yang menyebabkan stroke

(Pudiastuti, 2011).
5) Riwayat kesehatan keluarga

Faktor genetik seseorang berpengaruh karena individu yang

memiliki riwayat keluarga dengan stroke akan memiliki

risiko tinggi mengalami stroke (AHA, 2015).

6) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menurut Harsono (2011) sebaiknya

dilakukan secara persistem dan dihubungkan dengan

keluhan-keluhan dari klien (head to toe)

a) B1 (Breathing)

Pada klien dengan kesadaran komposmentis tidak

didapatkan kelainan. Jika klien dengan batuk didapatkan

peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan

otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Untuk auskultasinya didapatkan bunyi napas tambahan

seperti ronkhi. Pada tahap palpasi dadi didapatkan taktil

fremitus seimbang kanan dan kiri.

b) B2 (Blood)

Pada sistem kardiovaskuler biasanya didapatkan syok

hipovolemik, tekanan darah tinggi, yaitu lebih dari 200

mmHg

c) B3 (Brain)

(1) Pengkajian tingkat kesadaran.

Keasadaran komposmentis dengan nilai


Glasgow Coma Scale (GCS) 15-14, kesadaran apatis

dengan nilai GCS 13-12, kesadaran delirium dengan

nilai GCS 11-10, kesadaran somnolen dengan nilai

GCS 9-7, kesadaran sopor dengan nilai GCS 6-5,

kesadaran semi koma atau koma ringan dengan nilai

GCS 4, dan yang terakhir kesadaran koma dengan

nilai GCS 3.

(2) Pengkajian fungsi serebral.

Pada pengkajian hemires, pasien dengan stroke

hemisfer kanan akan didapatkan hemiparese pada

sebelah kiri tubuh sedangkan pada pasien dengan

stroke hemifer kiri akan mengalami hemiparese

kanan.

(3) Pengkajian saraf kranial.

Pada pengkajian saraf kranial nervus olfaktori (nervus

I) akan didapatkan gangguan hubungan visual-spasial

pada pasien dengan hemiplegia kiri. Kemudian, pada

nervus asesoris (nervus XI) tidak didapatkan atrofi

otot sternokleidomartoideus dan trapezius.

Pengkajian sistem motorik.

Pada pengkajian inspeksi umum akan didapatkan

hemiplegia yang dikarenakan lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Tanda yang lain adalah hemiparesis.


Kemudian, fasikulasi akan didapatkan pada otot-otot

ekstremitas, tonus otot mengalami peningkatan.

Kekuatan otot sendiri pada penilaian menggunakan

tingkat kekuatan otot pada sisi sakit akan didapatkan

tingkat nol. Koordinasi dan keseimbangan mengalami

gangguan akibat hemiparese dan hemiplegia.

Penilaian rentang gerak sendi tertentu dilakukan

setelah pemeriksaan di atas. Perawat harus menyadari

sendi yang meradang atau arthritis mungkin nyeri.

Gerakkan sendi dengan perlahan-lahan. Pada kondisi

normal sendi harus bebas dari kekakuan,

ketidakstabilan, pembengkakan, atau inflamasi.

(4) Pengkajian reflek.

Menurut Wilkinson, Nancy, Ehern (2011),

pemeriksaan reflek terdiri atas dua, yaitu pemeriksaan

refleks profunda dimana pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periusteum derajat reflek didapatkan

respon normal. Kemudian, pemeriksaan reflek

patologis pada fase akut reflek fisiologis sisi yang

lumpuh akan menghilang.

(5) Pengkajian sistem sensorik.

Pasien dapat mengalami hemihipestasi, yaitu

ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi.


Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa

kerusakan sentuhan ringan atau berat berupa

kehilangan propriosepsi serta kesulitan dalam

menginterprestasikan stimuli visual, taktil, dan

auditorius

d) B4 (Bladder)

Pasien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara

yang dikarenakan konfusi, ketidakmampuan

mengkomunikasikan kebutuhan serta ketidakmampuan

mengendalikan kandung kemih dikarenakan kontrol

motorik dan postural. Inkontinesia urine yang

berkelanjutan menunjukkan kerusakan neurologis yang

luas.

e) B5 (Bowel)

Pada pasien akan didapatkan keluhan kesulitas menelan,

nafsu makan menurun, mual, dan muntah pada fase akut.

Terjadi konstipasi pada pola defeksasi akibat

penurunan peristaltik usus. Inkontinesia alvi yang

berkelanjutan menunjukkan kerusakan neurologis yang

luas.

f) B6 (Bone)

Disfungsi motorik yang umum terjadi adalah hemiplegia

dikarenakan lesi pada sisi otak yang berlawanan dan


hemiparesis.

1) Ketergantungan aktivitas

Pengkajian activity of dailiy living (ADL) penting

untuk mengetahui tingkat ketergantungan, yaitu

seberapa bantuan itu diperlukan dalam aktivitas

sehari-hari.

2) Risiko jatuh

Pasien dengan gangguan neurologi seperti pingsan dan

penurunan kesadaran dapat menyebabkan pasien

mendadak jatuh sehingga pasien perlu dibutuhkan

pengawasan dan observasi khusus secara terus-

menerus. Golongan umur responden lebih dari 55

tahun didapatkan hasil insiden jatuh yang tinggi

Pengkajian pasien dengan risiko jatuh dapat dilakukan

dengan multifactorial assessment dalam jangka waktu

pasien dirawat

2. Pemeriksaan penunjang

1. CT scan kepala

Pemeriksaan ini untuk mengetahui area infark, edema,

hematoma, struktur, dan sistem ventrikel otak. Terjadinya

gangguan dari pembuluh darah otak yang memberikan pasokan

darah pada lobus tertentu akan menyebabkan kelainan sesuai

fungsi lobus, seperti gangguan pada peredaran darah di lobus


frontalis dan parietal yang akan menyebabkan gangguan gerak

atau kelemahan otot dan rasa kebas pada kulit. Kemudian, bila

gangguan terjadi di serebelum akan mengakibatkan gangguan

gerak dan koordinasi serta keseimbangan (Elim, Tubagus, Ali,

2016).

2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan daerah mana yang

mengalami infark, hemoragik, dan malformasi arteriovena

(Anania, Pamela C et.al, 2011).

3. Pemeriksaan laboratorium

Pasien stroke yang melakukan pemeriksaan laboratorium yang

akan diperiksa, meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa

gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim

jantung, prothrombin time (PT) dan activated partial

thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan gula darah yang

bertujuan mendeteksi hipoglikemia atau hiperglikemia yang

dimana pada kedua keadaan tersebut dapat dijumpai gejala

neurologis. Pemeriksaan elektrolit bertujuan untuk mendeteksi

gangguan elektrolit. Kemudian, pemeriksaan analisa gas darah

diperlukan untuk mendeteksi asidosis metabolik. Hipoksia dan

hiperkapnia juga dapat menyebabkan gangguan neurologis.

Pemeriksaan prothrombin time (PT) dan activated partial

thromboplastin time (aPTT) sendiri digunakan untuk menilai


aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Selanjutnya, pada

pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data

mengenai kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit,

lekosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia

vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah

kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke

(Rahajuningsih, 2009)

3. Diagnosa keperawatan

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) gangguan

mobilitas fisik masuk dalam kategori fisiologis. Kategori fisiologis

sendiri terdiri dari beberapa subkatergori, antara lain respirasi,

sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat,

neurosensori, serta reproduksi dan seksualitas. Gangguan mobilitas

fisik masuk dalam subkategori aktivitas dan istirahat bersama

dengan masalah keperawatan disorganisasi perilaku bayi, gangguan

pola tidur, intoleransi aktivitas, keletihan, kesiapan peningkatan

tidur, risiko disorganisasi perilaku bayi, dan risiko intoleransi

aktivitas.

Selain diagnosa-diagnosa di atas, NANDA-I (2018)

memiliki diagnosa mengenai mobilitas fisik, yaitu hambatan

mobilitas fisik. Hambatan mobilitas fisik masuk dalam domain 4,

yaitu aktivitas atau istirahat yang terdiri atas beberapa kelas, antara

lain tidur atau istirahat, aktivitas atau olahraga, keseimbangan


energi, respons kardiovaskuler atau pulmonal, serta perawatan diri.
4. Rencana keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan a. Monitor lokasi dan kecenderungan
fisik berhubungan keperawatan selama … kali adanya nyeri dan
dengan penurunan pertemuan, diharapkan pergerakan ketidaknyamanan selama pergerakan.
kekuatan otot. pasien b. Tentukan batasan pergerakan
(NANDA-I 00085, meningkat dengan kriteria hasil : sendi dan efeknya terhadap fungsi
2018) a. Gerakan sendi sedikit sendi.
terganggu. c. Dukung latihan ROM.
b. Gerakan otot sedikit d. Bantu pasien membuat jadwal latihan
terganggu. ROM.
c. Koordinasi sedikit terganggu. e. Jelaskan manfaat dan tujuan latihan
d. Keseimbangan sedikit sendi.
terganggu. f. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik
dalam mengembangkan dan menerapkan
latihan.
5. Implementasi

Pada proses ini perawat merealisasikan tindakan untuk

mencapai tujuan Kegiatan dalam implementasi meliputi

pengumpulan data berkelanjutan, observasi respon pasien, serta

menilai data baru. Selain itu, perawat harus mendokumentasikan

setiap tindakan yang telah diberikan kepada pasien (Kozier B,

2010).

4. Evaluasi keperawatan

Pada proses ini, intervensi keperawatan harus ditentukan

apakah intervensi tersebut harus diakhiri, dilanjutkan,

dimodifikasi, ataupun dirubah. Evaluasi dilakukan secara

continue dimana evaluasi dilakukan segera setelah implementasi

dilaksanakan sehingga memungkinkan perawat untuk segera

merubah atau memodifikasi intervensi keperawatannya. Evaluasi

tidak hanya dilaksanakan segera setelah implementasi dilakukan,

namun juga dilaksanakan pada interval tertentu untuk melihat

perkembangan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

(Kozier B, 2010).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan program

yang sudah ditentukan pada setiap masalah keperawatan yang

terdapat pada pasien, maka dilakukan evaluasi pada setiap

tindakan keperawatan mengacu pada tujuan yang sudah

ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan


gangguan mobilitas fiisk mengacu pada tujuan, yaitu mobilitas

fisik meningkat dengan kriteria pergerakan ekstremitas

meningkat, kekuatan otot cukup meningkat, rentang gerak

(ROM) meningkat, nyeri menurun, kekakuan sendi cukup

menurun, kelemahan fisik cukup menurun, kecemasan menurun

gerakan terbatas cukup menurun, serta gerakan tidak

terkoordinasi cukup menurun (SLKI, 2019) dan pergerakan

pasien dapat meningkat (NOC, 2016) dengan kriteria gerakan

sendi sedikit tergang, gugerakan otot sedikit terganggu,

koordinasi sedikit terganggu, serta keseimbangan sedikit

terganggu. Kemudian, evaluasi pada masalah keperawatan

risiko jatuh melihat pada tujuannya, yaitu tingkat jatuh pasien

menurun (SLKI, 2019 dan NOC, 2016).

Selanjutnya, pada masalah keperawatan gangguan

integritas kulit atau jaringan dengan tujuan integritas kulit dan

jaringan meningkat (SLKI, 2019 dan NOC, 2016). Evaluasi yang

terakhir yaitu pada masalah keperawatan kesiapan peningkatan

pengetahuan dengan tujuannya, yaitu tingkat pengetahuan

membaik (SLKI, 2019) dan pengetahuan perilaku kesehatan

meningkat (NOC, 2016


BAB III
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.I


DENGAN MASALAH RESIKO JATUH PADA PASIEN STROKE
DI RT 05/RW 02 DESA TEMBERAN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. I
Umur : 62 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : RT 05/RW 02 desa Temberan

Orang terdekat : istri ( Ibu Suryati )

Alamat orang terdekat : RT 05/RW 02 desa Temberan

Tanggal pengkajian : 19 April 2021 Jam : 11.00 WIB

II. RIWAYAT KELUARGA


Tn I mengatakan “ tidak ada keluarga saya yang sakit seperti saya,
semuanya sehat mas”.
III. RIWAYAT PEKERJAAN
Tn . I mengatakan “ketika saya sakit seperti ini, saya tidak dapat bekerja
lagi”

IV. RIWAYAT LINGKUNGAN HIDUP


Klien tinggal di rumahnya sendiri yang beralamat di kelurahan temberan
desa air itam kota pangkalpinang. Klien tinggal bersama istrinya

V. RIWAYAT REKREASI
Tn. I mengatakan “ beliau tidak pernah lagi keluar rumah semenjak sakit
tetapi terkadang ada anak dan cucunya mendatangi beliau”
VI. SUMBER / SISTEM PENDUKUNG YANG DIGUNAKAN

klien rutin meminum air rebusan seperti kertowali, mengkonsumsi madu


dan tidak memeriksakan penyakitnya ke puskesmas

VII. DESKRIPSI HARI KHUSUS KEBIASAAN RITUAL WAKTU TIDUR


Tn. I mengatakan “ semenjak sakit beliau tidak pernah lagi menjalankan
ibadah. Beliau tidur nyenyak, 6-8 jam dan tidak ada gangguan pola tidur”

VIII. STATUS KESEHATAN SAAT INI


Obat-obatan : Tn. I mengatakan “ tidak bisa berjalan, badan sebelah kiri
tidak bisa digerakan, susah untuk berbicara”

IX. Nutrisi
Tn. I mengatakan “saat sakit beliau membatasi atau memilih ketika makan,
klien tidak makan daging dan yang mengacuh hipertensi

X. STATUS KESEHATAN MASA LALU


Tn. I mengatakan “ beliau mempunyai riwayat peyakit hipertensi, beliau
mendapatkan riwayat hipertensi itu dari keturunan (ibu)”

XI. TINJAUAN SISTEM


1. Umum
Tanda – tanda Vital
TD : 200/110 mmHg
Nadi : 78 Kali/menit
Suhu : 36,5 c
BB : 84 kg
TB : 168 cm

2. Integumen
kulit mengerut atau keriput, permukaan kulit cenderung kusam dan kasar

3. Kepala
kulit dan rambut dikepala menipis, warna rambut putih (beruban) dan
tampak sedikit kotor

4. Mata
penglihatan ketika dari dekat tampak kabur tetapi ketika melihat jarak jauh
tampak jelas, Tidak menggunakan bantuan penglihatan

5. Telinga
pendengaran Tn. I masih terdengar jelas, bentuk telinga simetri

6. Hidung dan Sinus


bentuk hidung simetris, pola nafas normal dan tidak ada kelainan pada
hidung

7. Mulut dan tenggorok


jumlah gigi tidak lengkap, gigi tampak kotor, mukosa bibir kering, tidak
ada kelainan pada tenggorokan atau tidak ada rasa sakit ketika menelan

8. Leher
tidak terdapat pembesaran kelenjar thyroid

9. Payudara
tidak ada terjadinya pembengkakan pada payudara

10. Pernafasan
Hasil pemeriksaan :

Inspeksi : dinding dada simteris, tidak ada kelainan pada dada

Palpasi : pergerakan dada seimbang atau normal (serentak)

Perkusi : sonor atau normal

Auskultasi : rhonci

11. Kardiovaskuler
Hasil pemeriksaan :

Inspeksi : tidak ada bekas luka


Palpasi : tidak ada nyeri tekan

Perkusi : Bunyi jantung klien normal lup dup/ S1 dan S2

Auskultasi : Tidak terdengar bunyi murmur

12. Gastro Intestinal


tidak ada muntah dan diare

13. Perkemihan
Lancar ketika buang air kecil, tidak ada pembengkakan, warna urin putih
sedikit kuning

14. Genito Reproduksi


tidak ada masalah pada area genetalia dan klien sudah tidak aktif lagi
berhubungan dengan istri

15. Muskuloskeletal
kekuatan dan stabilitas otot menurun, menggunakan alat bantuan ketika
berjalan

16. Sistem syaraf pusat


Klien tidak memiliki masalah memori jangka panjang saat ditanya klien
bisa menjawab pertanyaan berkaitan dengan masa lampau

17. Sistem Endokrin


Pada pemeriksaan endokrin tidak terjadi perubahan pigmentasi kulit,
rambut beruban, tidak mengalami polifagi, poliuri, polidipsi

18. Kognitif
AMT 1
Umur 60 Tahun
Waktu / jam sekarang 1
Alamat tempat tinggal 1
Tahun ini 1
Saat ini berada di mana 1
Mengenali orang lain (dokter, perawat, dll) 1
Tahun kemerdekaan RI 1
Nama presiden RI sekarang 1
Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir 0
Menghitung terbalik (20 s/d 1) 1
jumlah 9

0-3 : Gangguan kognitif berat


4-7 : Gangguan kognitif sedang
8-10 : Normal

19. Status mental


Geriatric Depression Scale
1. Apakah anda sebenarnya puas dengan Ya Tidak
kehidupan anda
2. Apakah anda telah meninggalkan banyak Ya Tidak
kegiatan dan minat atau kesenangan anda?
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? Ya Tidak
4. Apakah anda sering merasa bosan? Ya Tidak
5. Apakah anda mempunyai semangat yang baik Ya Tidak
setiap saat?
6. Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk Ya Tidak
akan terjadi pada anda?
7. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian Ya Tidak
besar hidup anda?
8. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? Ya Tidak
9. Apakah anda lebih senang tinggal dirumah Ya Tidak
daripada pergi ke luar dan mengerjakan
sesuatu hal yang baru?
10. Apakah anda merasa mempunyai banyak Ya Tidak
masalah dengan daya ingat anda
dibandingkan kebanyakan orang?
11. Apakah anda pikir bahwa hidup anda Ya Tidak
sekarang ini menyenangkan?
12. Apakah anda merasa tidak berharga seperti Ya Tidak
perasaan anda saat ini?
13. Apakah anda merasa penuh semangat? Ya Tidak
14. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda Ya Tidak
tidak ada harapan?
15. Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih Ya Tidak
baik keadaanya dari anda
Mendapatkan skor 8, tidak menunjukan depresi, dan dari penilaian
MMSE klien mendapatkan skore penuh dengan nilai 30.

20. Aktivitas sehari-hari/ADL


Klien dapat mengendalikan rangsan BAB(2), mengendalikan Rangsang
BAK(2), membersihkan diri ( seka, sisir, sikat gigi) (1). P (g) n WC ( in,
out, lepas/pakai celana, siram (2), makan (2), transfer (3), mobilisasi =
ambulasi (3), mengenakan pakaian(2), naik turun tangga(2) , dan mandi
( 1). Dengan total 20= mandiri.

21. Pengkajian resiko jatuh ( morse faal)


No Pengkajian Skala Nilai
.
1. Riwayat jatuh, apakah lansia 0 0
pernah jatuh dalam 3 bulan
terakhir ?
2. Diagnosa sekunder, apakah lansia 15
memiliki lebih dari satu jenis Ya (15)
penyakit ?
3. Alat bantu jalan, apakah
lansia menggunakan
alat/dibantu ?
Tongkat
a. Bedrest/dibantu perawat (15)
15
b. Tongkat/walker
c. Berpegangan pada benda-
benda disekitar
(kursi,lemari,meja)
4. Terapi intavena, apakah saat ini 0 0
lansia terpasang infus ?
5. Gaya berjalan/cara berpindah
apakah lansia berjalan ?
a. Normal/bedrest (tidak dapat Lemah 10
berjalan sendiri) tidak
bertenan
b. Lemah (tidak bertenaga) ga (10)
c. Gangguan/tidak normal
(pincang/diseret)
6. Status mental, apakah lansia
mengalami status mental ?
a. Lansia menyadari kondisinya Lansia menyadari 10
sendiri kondisinya sendiri

b. Lansia mengalami keterbatasan (10)


daya ingat
Total 45
Keterangan :
Nilai 0-24 = tidak beresiko jatuh
25-50 = resiko rendah
>50 = resiko tinggi jatuh
22. Analisa data
No. DATA Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS : Penurunan kekuatan otot Hambatan mobilitas fisik
1. klien mengatakan tangan dan kaki
sebelah kiri mengalami penurunan
kelemahan

2. klien mengatakan semuah kebutuhan


dibantu oleh istri

DO :
klien menggunakan tongkat ketika berjalan
segala aktifitas klien dibantu oleh istri

TD : 200/110mmHg
N : 78 kali/menit
S : 36, 5 c
BB : 84 kg
TB : 168 cm

23. Diagnosa keperawatan


No. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
24. Rencana tindakan keperawatan
No. Dx. Kep. Intervensi Rasionalisasi Paraf
NOC NIC
1. Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring vital sign 1. Memonitor perubahan
mobilitas fisik keperawatan selama 1 x 24 sebelum/sesudah latihan ttv sebelum dan sesudah
berhubungan jam gangguan mobilitas dan lihat respon pasien beraktifitas
dengan penurunan fisik teratasi dengan saat latihan 2. Lansia dapat
kekuatan otot kriteria hasil: 2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat
1. Klien meningkat menggunakan tongkat saat berjalan dengan
dalam aktivitas fisik saat berjalan dan cegah benar agar tidak cedera
2. Mengerti tujuan terhadap cedera 3. Lansia mampu dalam
dari peningkatan 3. Kaji kemampuan pasien mobilisasi atau
mobilitas dalam mobilisasi berpindah
3. Memverbalisasikan 4. Dukung dan ajarkan 4. Mengajarkan lansia
perasaan dalam latihan ROM aktif dan dalam merubah posisi
meningkatkan pasif dan memberikan
kekuatan dan bantuan jika lansia perlu
kemampuan 5. ajarkan pasien
berpindah bagaimana merubah 5. Mendukung dan
posisi dan berikan mengajarkan ROM aktif
4. Memperagakan bantuan jika diperlukan dan pasif pada pasien
penggunaan alat
Bantu untuk 6. Latih pasien dalam 6. Melatih lansia dalam
mobilisasi (walker) pemenuhan kebutuhan memenuhi kebutuhan
ADLs secara mandiri ADL secara mandiri
sesuai kemampuan sesuai dengan
kemampuan lansia
25. Implementasi Keperawatan
Nama : Tn. I Dx. Medis : Hambatan Mobilitas Fisik b.d Penurunan kekuatan otot
No. Dx. keperawatan Jam Tindakan Keperawatan Respon Paraf
1. Hambatan 10.00 1. Monitor ttv TD : 190/100mmHg
mobilitas fisik wib 2. Melatih ROM pada N : 78 kali/menit
berhubungan Tn. I
dengan penurunan S : 36,5 C
otot 3. Mengajarkan dan S : Tn. I dan Istri (Ny. S) mengatakan akan
Menyuruh istri (Ny. melakukan dan mempraktekkan ROM
S) mempraktik ROM
O : Tn. I dan istri mempraktkan ROM
4. Memotivasi Tn. I dan
Istri (Ny. S) untuk A : Hambatan mobilitas fisik belum terasi
melakukan ROM P : Lanjutkan Intervensi
setiap hari
2. Hambatan 09.30 1. Mengevaluasi latihan TD : 190/100mmHg
mobilitas fisik wib ROM yang telah N : 78 kali/menit
berhubungan dilakukan Tn. I
dengan penurunan S : 36,5 C
otot S : Tn. I dan Istri (Ny. S) mengatakan sudah
melakukan dan mempraktekkan ROM

O : Tn. I dan istri mempraktikan kembali ROM

A : Hambatan mobilitas fisik belum terasi

P : Lanjutkan Intervensi
26. Evaluasi
No. Dx. keperawatan Jam Evaluasi Paraf

1. Hambatan mobilitas fisik 10. 30 wib S : Tn. I dan Istri (Ny. S) mengatakan akan
berhubungan dengan melakukan dan mempraktekkan ROM
penurunan otot
O : Tn. I dan istri mempraktkan ROM

A : Hambatan mobilitas fisik belum terasi

P : Lanjutkan Intervensi
2. Hambatan mobilitas fisik 10. 00 wib S : Tn. I dan Istri (Ny. S) mengatakan sudah
berhubungan dengan melakukan dan mempraktekkan ROM
penurunan otot
O : Tn. I dan istri mempraktikan kembali
ROM

A : Hambatan mobilitas fisik belum terasi

P : Lanjutkan Intervensi
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan kunjungan dan rencana asuhan
keperawatan selama 2 hari di kediaman Tn. I dengan masalah
hambatan mobilitas fisik pada stroke, Maka penulis medapat
pengalaman nyata tentang pemberian asuhan keperawatan keluarga
pada pasien tersebut. Penulis dapat melakukan langsung proses
keperawatan mulai dari pengkajian, menetukan
diagnosakeperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta
mendokumentasikan
B. Saran
1. Bagi keluarga klien
Disarankan keluarga mampu memberikan perawatan
stroke yang baik dirumah, mampu memberikan dukungan
moril dan pemulihan kesehatan stroke
2. Bagi pelayanan kesehatan
Disarankan bagi pihak puskesmas memberikan
penyuluhan dan kunjungan dirumah mengenai mencegah
penyakit stroke berulang kepada keluarga dan klien di wilayah
kerja puskesmas air itam, sehingga klien mempunyai
pengetahuan tinggi dan motivasi tinggi dalam mencegah
penyakit
3. Bagi poltekkes kemenkes pangkal pinang
Laporan ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi
bagi mahasiswa khususnya jurusan keperawatan dalam
melakukan praktik lapangan komunitas selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai