Anda di halaman 1dari 7

G.

TEORI KURT LEWIN

1. Konsep Dasar Teori Medan

Teori medan merupakan sekumpulan konsep dengan dimana seseorang dapat menggambarkan
kenyataan psikologis. Konsep ini harus cukup luas untuk dapat diterapkan dalam semua bentuk
tingkah laku, dan sekaligus juga cukup spesifik untuk menggambarkan orang tertentu dalam
suatu situasi konkret. Lewin juga menggolongkan teori medan sebagai “suatu metode untuk
menganalisis hubungan hubungan kausal dan untuk membangun konstruk-konstruk ilmiah”.

Adapun ciri-ciri utama dari teori Lewin, yaitu sebagai berikut.

1)      Tingkah laku adalah suatu fungsi dari medan yang ada pada waktu tingkah laku itu terjadi.

2)     Analisis mulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari mana bagian bagian komponennya
dipisahkan.

3)      Orang yang konkret dalam situasi yang konkret dapat digambarkan secara matematis.

Kurt Lewin menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang bahwa
masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan
kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut sebagai ´Life Space´. Life Space mencakup
perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai, objek
material yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki.

Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil tindakan antar kekuatan-kekuatan, baik
yang berasal dari dalam diri individu seperti: tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun yang
berasal dari luar diri individu, seperti: tantangan dan permasalahan.

Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu
ada hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan
untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk
ke dalam medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan
hambatan-hambatan yang baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan
masuk ke medan psikologis berikutnya.

 Teori Kurt Lewin (1970) Berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu kekadaan yang seimbang
antara kekuatan- kekuatan pendorong dan kekuatan- kekuatan penahan. Berpendapat bahwa perilaku
manusia adalah suatu kekadaan yang seimbang antara kekuatan- kekuatan pendorong dan kekuatan-
kekuatan penahan. Ada 3 kemungkinan perilaku dapat berubah : Ada 3 kemungkinan perilaku dapat
berubah :

1. Kekuatan pendorong meningkat, k. penahan tetap


2. Kekuatan pendorong tetap, k. penahan menurun
3. Kekuatan pendorong meningkat, k. penahan menurun

Dalam teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin mengaitkan pemahaman dari
topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan sosiologi (misalnya medan
gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok). Ketiganya saling berhubungan dalam
sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan merupakan sekumpulan konsep dimana seseorang
dapat menggambarkan kenyataan psikologis.

Konsep-konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala psikologis dan
sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak, masa adolesen, keterbelakangan mental,
masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan perbedaan karakter nasional dan dinamika
kelompok.

1. Implementasi Teori Medan dalam Pembelajaran

Teori medan dapat diimplikasikan dalam proses pembelajaran. Berikut ini diuraikan beberapa
implikasi teori medan dalam pembelajaran.

1. Belajar sebagai perubahan sistem kognitif

Teori Medan mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam satu medan
psikologis. Menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu
mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan itu yaitu dengan
mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar
telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya.

Menurut Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur kognitif. Perubahan kognitif
adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognitif dan motivasi internal
individu.

Perubahan struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena ulangan yaitu situasi
mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang penting bukanlah
bahwa ulangan itu terjadi, melainkan bahwa struktur kognitif itu berubah. Dengan pengaturan
masalah (problem) yang lebih baik, struktur mungkin dapat berubah dengan ulangan yang sangat
sedikit. Hal ini telah terbukti dalam ekserimen mengenai insight. Terlalu banyak ulangan tidak
menambah belajar; sebaliknya ulangan itu mungkin menyebabkan kejenuhan psikologis
(pychological satiation) yang dapat membawa disorganisasi (kekacauan) dan dediferensiasi
(kekaburan) dalam sistem kognitif.

Perubahan dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung dengan prinsip  pemolaan
(patterning) dalam pengamatan. Ini membuktikan pengamatan penting dalam belajar. Perubahan
itu disebabkan oleh kekuatan yang telah ada dalam struktur kognitif. Tetapi struktur kognitif itu
juga berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan yang ada pada individu. Disinilah terjadi belajar
dengan motivasi.

2. Hadiah dan Hukuman menurut Kurt Lewin

Reward dan Punisment merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya


memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada umumnya merupakan sesuatu
hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut
pada umumnya dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.

Ahli-ahli yang mengikuti/menerima law of effect dan law of reinforcement seringkali


menganalisis sampai mengungsur lingkungan atau keadaan yang mendorong pelajar untuk
mendekati hadiah dan menjauhi hukuman. Kurt Lewin menggambarkan situasi yang
mengandung hadiah atau hukuman itu sebagai suatu yang mengandung konflik. 

3. Masalah berhasil dan gagal

Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman.
Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih tepat mengatakan
bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai dari pada mengatakan bahwa suatu tujuan
mengandung hadiah dan hukuman.

Apalagi gejala psikologis mengenai sukses dipandang dari segi si pelajar, setidak-tidaknya
mengandung kemungkinan sebagai berikut:

1. Orang akan mendapat pengalaman sukses kalau dia mencapai apa yang ingin dicapainya.
2. Orang juga mungkin sudah mendapatkan pengalaman sukses kalau dia mendekati atau
dalam daerah tujuan.
3. Kadang-kadang dapat juga terjadi bahwa orang telah mendapatkan pengalaman sukses
kalau dia berbuat dalam cara yang oleh umum dianggap sebagai tindakan yang dapat menuju ke
pencapaian tujuan. Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama
mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain.
Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika
peserta didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
4. Sukses memberi mobilisasi energi cadangan

Apabila orang mendapatkan pengalamam sukses, maka akan terjadi semacam mobilisasi energi
cadangan itu, sehingga kemampuan individu untuk memecahkan problem bertambah atau
meningkat. Karena itu secara praktis sangat dianjurkan untuk memberikan sebanyak mungkin
kesempatan kepada para anak didik kita supaya mereka mendapatkan pengalaman sukses.

H. TEORI KOGNISI SOSIAL


Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory) merupakan penamaan baru dari Teori Belajar
Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Penamaan baru
dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide pokok dari
pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan pengembangan dari
ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning). Pada beberapa
publikasinya, Bandura telah mengelaborasi proses belajar sosial dengan faktor-faktor kognitif dan
behavioral yang memengaruhi seseorang dalam proses belajar sosial. Teori ini sangat berperan
dalam mempelajari efek dari isi media massa pada khalayak media di level individu.
Teori perkembangan kognitif dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup
tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget,
berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis
dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan
diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya—
dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam
merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang
berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai
pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun
kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang
digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan
dan semakin canggih seiring pertambahan usia:

 Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)


 Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
 Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
 Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan
tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat
bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam
enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan
terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan
berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan
bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai
duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu
yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi
objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas
bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan
awal kreativitas.

Tahapan praoperasional[sunting | sunting sumber]


Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan,
Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan
tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang
jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan
merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris:
anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek
menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda
atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia
dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun,
mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka
cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal
tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang
di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain
semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda
yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

Tahapan operasional konkrit[sunting | sunting sumber]


Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas
tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama
tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut
tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda
dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak akan lagi menganggap bahwa cangkir yang pendek
tapi lebar memiliki isi lebih sedikit dibanding cangkir yang tinggi tapi ramping.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian
kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak
berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai
contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan
isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang
lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik
yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian
Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam
tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam
kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

Tahapan operasional formal


Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap
ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar
secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang
dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya
dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari
faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya),
menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan
psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai
perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai
seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Informasi umum mengenai tahapan-tahapan


Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama.
Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
 Universal (tidak terkait budaya)
 Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang
berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
 Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
 Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan
sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
 Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya
perbedaan kuantitatif

Proses perkembangan[sunting | sunting sumber]


Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi
tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang
membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan
baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga
dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan
pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang
baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang
sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang,
misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak
kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit.
Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang
ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini
bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang
diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas,
melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu
pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema
akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini
dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung
unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh
mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang
sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut
dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan
seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu
berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses
penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar
secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.

Referensi
 Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual
differences. 3rd ed. Bellmont, CA: Wadsworth
 Cole, M, et al. (2005). The Development of Children. New York: Worth Publishers.
 Johnson, M.H. (2005). Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford: Blacwell
publishing
 Piaget, J. (1954). "The construction of reality in the child". New York: Basic Books.
 Piaget, J. (1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques Voneche
Gruber, New York: Basic Books.
 Piaget, J. (1983). "Piaget's theory". In P. Mussen (ed). Handbook of Child Psychology. 4th
edition. Vol. 1. New York: Wiley.
 Piaget, J. (1995). Sociological Studies. London: Routledge.
 Piaget, J. (2000). "Commentary on Vygotsky". New Ideas in Psychology, 18, 241–259.
 Piaget, J. (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press.
 Seifer, Calvin "Educational Psychology"

Anda mungkin juga menyukai