Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN THAHARAH

Apa itu Thaharah?

Thaharah menurut bahasa berarti bersuci. Menurut syara’ atau istilah adalah membersihkan diri,
pakaian, tempat, dan benda-benda lain dari najis dan hadas menurut cara-cara yang ditentukan
oleh syariat islam.

Dalam beberapa kitab fiqih, seperti kitab al-Fiqh al-Islmamy wa adillatuhu karya
Wahbah az-Zuhaily, bahwa thaharah secara bahasa berarti bersuci, dan
thaharah juga bermakna an-Nadhzafah, yaitu kebersihan.

Thaharah atau bersuci adalah syarat wajib yang harus dilakukan dalam beberapa macam ibadah.
Seperti dalam QS Al-maidah ayat : 6

[5:6] Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Thaharah secara umum. Dapat dilakukan dengan empat cara berikut.


1) Membersihkan lahir dari hadas, najis, dan kelebihan-kelebihan yang ada dalam badan.
2) Membersihkan anggota badan dari dosa-dosa.
3) Membersihkan hati dari akhlak tercela.
4) Membersihkan hati dari selain Allah.

Kebersihan dan kesucian merupakan kunci penting untuk beribadah, karena kesucian atau
kebersihan lahiriah merupakan wasilah (sarana) untuk meraih kesucian batin.

Thaharah atau bersuci me nurut pembagiannya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

A. Bersuci lahiriah

Beberapa contoh yang bersifat lahiriah adalah membersihkan diri, tempat tinggal dan lingkungan
dari segala bentuk kotoran, hadas dan najis. Membersihkan diri dari najis adalah membersihkan
badan, pakaian atau tempat yang didiami dari kotoran sampai hilang rasa, bau dan warnanya.

QS Al-Muddassir ayat : 4

[74:4] dan pakaianmu bersihkanlah,


B. Bersuci batiniah

Bersuci batiniah adalah membersihkan jiwa dari kotoran batin berupa dosa dan perbuatan
maksiat seperti iri, dengki, takabur dll. Cara membersihkannya dengan taubatan nashoha yaitu
memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

MACAM-MACAM ALAT THAHARAH

Allah selalu memudahkan hambanya dalam melakukan sesuatu. Untuk bersuci misalnya, kita
tidak hanya bisa menggunakan air, tetapi kita juga bisa menggunakan tanah, batu, kayu dan
benda-benda padat lain yang suci untuk menggantikan air jika tidak ditemukan.

Dalam bersuci menggunakan air, kita juga harus memperhatikan air yang boleh dan tidak boleh
digunakan untuk bersuci.

Macam-macam air

Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah

· Air mutlak yaitu air yang suci dan mensucikan, yaitu air :

1. Air hujan
2. Air sumur
3. Air laut
4. Air sungai
5. Air danau/ telaga
6. Air salju
7. Air embun

QS Al- Anfal ayat : 11[8:11] (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk
mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan
untuk menguatkan hatimu dan memperteguh denganya telapak kaki(mu).
o Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan, yaitu air yang halal untuk diminum
tapi tidak dapat digunakan untuk bersuci seperti air teh, kopi, sirup, air kelapa dll.
o Air musyammas yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain emas
dan perak. Air ini makruh digunakan untuk bersuci
o Air mustakmal yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci. Air ini tidak boleh
digunakan untuk bersuci walaupun tidak berubah rasa, bau maupun warnanya
o Air mutanajis yaitu air yang sudah terkena najis. Baik yang sudah berubah rasa,
warna dan baunya maupun yang tidak berubah dalam jumlah yang sedikit yaitu
kurang dari dua kullah (270 liter menurut ulama kontemporer)

CARA-CARA THAHARAH

Ada berbagai cara dalam bersuci yaitu bersuci dengan air seperti berwudhu dan mandi junub atau
mandi wajib. Ada juga bersuci dengan menggunakan debu, tanah yaitu dengan bertayamum. Dan
bisa juga menggunakan air,tanah,batu dan kayu (tissue atau kertas itu masuk kategori kayu) yaitu
dengan beristinja.

Najis Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut istilah adalah
sesuatu yang haram seperti perkara yang berwujud cair (darah, muntah muntahan dan nanah),
setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani.

Cara-cara thaharah menurut pembagian najisnya:

1. Najis ringan (najis mukhafafah)

Najis mukhafafah adalah najis yang berasal dari air kencing bayi laki-laki yang belum makan
apapun kecuali air susu ibunya saja dan umurnya kurang dari 2 tahun.

Cara membersihkan najis ini cukup dengan memercikkan air kebagian yang terkena najis.

2. Najis sedang (najis mutawassitah)

Yang termasuk kedalam golongan najis ini adalah kotoran, air kencing dsb.

Cara membersihkannya cukup dengan membasuh atau menyiramnya dengan air sampai
najis tersebut hilang (baik rasa, bau dan warnanya).

3. Najis berat (najis mughalazah)


Najis berat adalah suatu materi yang kenajisannya ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti
(qat’i) . yaitu anjing dan babi.

Cara membersihkannya yaitu dengan menghilangkan barang najisnya terlebih dahulu lalu
mencucinya dengan air bersih sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah atau
batu.

2. Istinja’ a. Pengertian Istinja’ Buang hajat merupakan kebutuhan sehari-hari manusia, baik
buang air besar maupun buang air kecil, mungkin dalam sehari lebih dari sekali mereka
membuang hajat. Buang hajat yang lancar merupakan tanda kesehatan tubuh, tersendatnya buang
hajat adalah indikasi adanya ketidakberesan pada tubuh
Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan menurut pengertian syariat adalah
bersuci setelah buang air besar atau buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah
menghilangkan sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi
mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki fungsi sama dengan air dan
batu.
Selain istinja, ada lagi istilah istijmar, yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya.
Istinja dan istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang yang telah
buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang yang baru buang air besar ataupun
buang air kecil, dengan air atau media lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula
dengan batu. (istijmar).
3 Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras apapun asal tidak haram dan punya
sifat bisa menghilangkan najis. Pada zaman sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan
fasilitas tisu khusus untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu memiliki kesamaan fungsi
dengan batu dalam konteks sebagai alat istinja.

Adab Buang Air Kecil Dalam Alquran maupun hadis Rasulullah SAW banyak termaktub pujian
bagi mereka yang senantiasa bersuci.
4 Adab buang hajat: a. Menjauhi tempat yang terlarang.
b. Jika seseorang ingin membuang hajatnya pada tempat yang lapang maka hendaklah dia
menjauh, seperti yang diterangkan dalam hadis riwayat Mugiroh bin Syu'bah dalam Al-
Shahihaini, dia menceritakan bahwa beliau menjauh sampai tertutup dariku lalu membuang
hajatnya". Yaitu Nabi Muhammad SAW.
c. Tidak mengangkat pakaian sampai dirinya mendekat di bumi; sehingga auratnya tidak terbuka,
dan hal ini termasuk adab Rasulullah SAW sebagiamana yang disebutkan oleh Anas RA.
d. Dimakruhkan memasuki tempat membuang air dengan membawa sesuatu yang bertuliskan
zikir kepada Allah SWT.
e. Dilarang menghadap atau membelakangi kiblat saat buang air pada tempat yang lapang, dan
diperbolehkan pada wc yang berbentuk bangunan.
f. Disunnahkan untuk masuk dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan, masuk wc dengan
membaca: Bismillah dan disunnahkan juga membaca do’a masuk kamar mand.
g. Menutup diri saat membuang hajat, seperti yang dijelaskan di dalam hadits riwayat Al-
Mugiroh bin Syu'bah di dalam Al-Shahihaini, dia 4Mulla Naraqi, Rahasia Ibadah,(Jakarta:
Cahaya, 2008), hal. 11-12. 21 menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW menjauh sampai
tertutup dariku lalu membuang hajatnya"
h. Dibolehkan kencing dengan berdiri dan duduk. Kebolehan kencing secara berdiri harus
memenuhi dua syarat, yaitu: 1) Aman dari percikan kencing. 2) Aman dari pandangan orang lain.
i. Hendaklah membersihkan kotoran dengan air dan batu (sesuatu yang mengisap) sesudah
membuang hajat.
j. Dimakruhkan berbicara saat berada di kakus/wc berdasarkan riwayat bahwa seorang lelaki
lewat di hadapan Nabi lalu dia mengucapkan salam kepadanya namun beliau tidak menjawab
salamnya". Dan pada saat itu beliau sedang membuang hajatnya, dan beliau tidak menjawab
sapaan seseorang kecuali yang penting, seperti meminta air atau yang lainnya.5
k. Mencuci tangan setelah membuang hajat berdasarkan suatu riwayat yang menyebutkan bahwa
apabila Nabi masuk wc maka aku membawakan baginya sebuah bejana atau timba berisi air
untuk buang hajat dengannya. Abu Dawud berkata dalam hadis riwayat Waqi' "kemudian beliau
mengusapkan tangannya pada tanah" orang yang meriwayatkan hadits berkata-kemudian aku
membawa bejana lain baginya, maka beliau berwudhu dengannya. Adanya tuntunan dalam
masalah buang hajat ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama 5 Ibid, hal.15 22 yang sangat
sempurna. Tidak ada yang tersisa dari problematika umat ini, melainkan telah dijelaskan secara
gamblang oleh Rasulullah SAW B. Sadd al-dzari’ah Sadd al-dzari’ah adalah suatu usaha yang
sungguh-sungguh dari seorang mujtahid untuk menetapkan hukum, dengan melihat akibat yang
ditimbulkan, yaitu dengan cara menghambat atau menyumbat segala sesuatu yang menjadi
perantara pada kerusakan, akibat hukumnya sesuai dengan bobot mafsadat yang ditimbulkan.6
Sedangkan dalam penelitian ini adalah melihat dari segi penggunaan urinoir yang digunakan
harus berdiri. Untuk itu agar Sadd al-dzari’ah dapat digunakan sebagai upaya pencegahan, maka
diperlukan suatu pendekatan pendekatan: l. tujuan syara’, 2. prinsip asliah, 3. aktif dan pasif. Hal
ini perlu diperhatikan agar konsep maslahah dalam tujuan syara’ dapat terwujud. Kemaslahatan
yang dimaksud adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan kemaslahatan itu
sesuai dengan kondisi yang terjadi pada penggunaan urinoir ini yang digunakan harus dengan
berdiri. Sejalan dengan pemikjran Abu Zahrah, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ibnu alQayyim, dan
Abdul Wahab Khallaf, kepentingan hidup manusia terbagi menjadi tiga, yaitu kepentingan
primer atau pokok (ad-daruriyat), kepentingan sekunder (aI-hajiyat) dan kepentingan tersier atau
pelengkap (at-tahsiniyat) adapun penjelaannya adalah : 6 Labibul Anam, Skripsi “Aplikasi Teori
Saddu Dzari’ah Dalam Pencegahan Perkawinan Sebab Penyakit Menular Seksual” (Yogyakarta :
UINSUKA, 2009), hal. 12 23 1. Maqāṣid al-Darūriyat adalah memelihara kelima unsur pokok
dalam kehidupan manusia. Jika tidak terpelihara maka berdampak pada kerusakan kehidupan
manusia dunia dan akhirat; 2. Maqāṣid al-Hajiyat adalah kebutuhan esensial yang dapat
menghindarkan kesulitan bagi manusia. Jika tidak terpenuhi maka tidak mengancam eksistensi
kelima unsur pokok tersebut tapi hanya menimbulkan kesulitan bagi manusia 3. Maqāṣid al-
Tahṣīniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan untuk penyempurnaan pemeliharaan
unsur-unsur pokok tersebut.7 Tujuan Allah SWT menurunkan hukum Islam untuk mewujudkan
kemaslahatan yaitu terpeliharanya lima aspek pokok sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-
Ghazali dan dikutip oleh Asy-Syatibi, yaitu : 1. Memelihara Agama 2. Memelihara Akal 3.
Memelihara Jiwa 4. Memelihara Keturunan 5. Memelihara Harta Di antara kaidah aturan pokok
untuk mewujudkan maqasid di atas adalah 8 ‫ د فع املفا سد مقد م علي جلب املصاحل‬Menurut syar’i
dalam mencegah mafsadat tidak membatasi cegahanya pada perbuatan yang menyampaikan
mafsadat secara langsung, maka dari itu, agama 7 Hidayat. Risqi, Penggunaan Toilet Jongkok
dan Duduk dalam..,hal. 14 8 Muhtar Yahya dan Fathurrohman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqih Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hal. 513 24 menyumbat jalan yang menyampaikan
pada mafsadat, walaupun hukum asal dari perbuatan tersebut adalah mubah atau tidak ada
mafsadat. Menurut asy-Syatibi yang dikutip oleh Nasrun Haroen ada tiga syarat perbuatan yang
dilarang, yaitu: 1. Perbuatan yang boleh dilakukan membawa mafsadat atau kerusakan yang
mengacu pada keharaman. 2. Mafsadat lebih kuat dari maslahah. 3. Dalam melakukan perbuatan
mafsadat lebih banyak9 Untuk lebih jelasnya, dalam mengklasifikasi perbuatan yang
mengandung kadar kemafsadatan atau kemaslahatan, Abu Zahrah mengemukakan bahwa sumber
ketetapan hukum menj adi dua bagian: 1. Maqasid (tujuan atau sasaran), yakni perkara yang
mengandung maslahat atau mafsadat. 2. Wasail (perantaraan), yaitu jalan atau perantaraan yang
membawa kepada maqasid, dimana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi
sasaran (maqasid), baik berupa halal atau haram. Dalam penemuan hukum Islam, jika sudah
mendapatkan formula tepat untuk melakukan pengkajian, diperlukan ushl terapan, yang
mempelajari cara yang benar dalam memanfaatkan peraturan yang sudah ditetapkan, ushl terapan
tersebut adalah: 1. Ushl Bara’at (pengecualian), yaitu ada pembebasan dari kewajiban dan tidak
mempunyai tugas. 2. Ushl Ikhtiyat (hati-hati), yaitu menurut pencegahan. 3. Ushl Tahyiri
( pilihan), yaitu memilih salah sau dari dua hal. 9 Labibul Anam, Skripsi “Aplikasi Teori Saddu
Dzari’ah Dalam…,hal. 14 25 4. Ushl Istishab (keutamaan), yaitu mengutamakan keadaan
awalnya untuk mengatasi keraguan yang menentang, kernbali pada keraguan sementara. 10 Ushl
terapan yang sesuai dalam persoalan tentang penggunaan urinoir yng digunakan harus dengan
berdiri adalah Ushl Ihtiyat, dilakukan pencegahan agar terhindar dari mafsadat atau
kemadharatan. Kemadharatan yang dimaksudkan disini adalah penyakit yang dapat
menimbulkan bahaya bagi orng yang kencing berdiri. Maka dari itu kemadharatan harus
dihilangkan, dengan dasar kaidah ushliyah. 11 ‫ الضرريزال‬Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
dzari’ah dilihat dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan terbagi kepada: 1. Perbuatan itu
membawa suatu kemafsadatan. 2. Perbuatan itu pada dasarmya diperbolehkan atau dianjurkan,
tetapi dijadikan jalan untuk melakukan jalan yang haram, baik dengan tujuan disengaja atau
tidak. Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dibagi lagi kepada: 1.
Kemaslahatan lebih kuat dari kemafsadatannya. 2. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan.
12 Berdasarkan permasalahan yang timbul dari penggunaan urinoir yang digunakan harus
dengan berdiri, pencegahan kencing berdiri lebih didahulukan untuk menghindari madharat atas
penggunaan urinoir tersebut.

B. Jenis dan Macam Thaharah
Thaharah ada dua jenis, yaitu thaharah indrawi dan thaharah maknawi. Syaikh Shalih Al-Fauzan
mendefinisikan thaharah adalah bersih dan suci dari kotoran baik itu indrawi maupun maknawi,

1. Pertama : Thaharah Indrawi


Thaharah Indrawi adalah bersuci yang dilakukan dengan
menghilangkan hadats dan najis. Thaharah indrawi ada dua macam yaitu :
 Thaharah Hukmiyyah (Bersuci dari Hadats)
 Thaharah Haqiqiyyah (Bersuci dari Najis)
Bersuci dari Hadats :
Hadats adalah sebuah keadaan atau sifat yang menempel pada badan seseorang dimana ia
terhalang dari ibadah shalat dan ibadah lainnya yang mempersyaratkan suci dari hadats. Hadats
sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
 Hadats Besar
 Hadats Kecil
Adapun hadats besar adalah hadats yang ada pada seluruh tubuh. Diantara penyebabnya adalah :
berhubungan seksual, haid, nifas, dsb.

Sedangkan hadats kecil adalah hadats yang ada pada anggota wudhu. Hadats ini disebabkan
oleh : buang air kecil, buang air besar, kentut, keluar air madzi dan lain-lain.

Bersuci dari Najis :


Najis adalah benda menjijikkan atau kotor menurut syariat yang menghalangi seseorang dari
sahnya shalat. Apabila seseorang terdapat benda najis yang menempel pada badan, pakaian,
ataupun tempat shalatnya maka shalatnya tidak sah dan sebelum shalat hendaknya ia sucikan
terlebih dahulu. Adapun benda-benda najis tergolong menjadi tiga :
 Najis Mugholadzoh (Najis Berat) : seperti air liur anjing.
 Najis Mutawasitthoh (Najis Pertengahan) : seperti air kencing dan tinja manusia serta
hewan yang tidak dimakan dagingnya seperti tikus, kucing dsb, bangkai (kecuali kulitnya yang
sudah disamak), air madzi, air wadi, sesuatu yang menjijikkan dan banyak seperti darah yang
mengucur, darah haid, nanah, muntahan dsb.
 Najis Mukhaffafah (Najis Ringan) : seperti air kencing bayi laki-laki yang belum makan.

2. Kedua : Thaharah Maknawi


Thaharah Maknawi yaitu mensucikan hati dari segala dosa dan maksiat baik itu syirik, dengki,
sombong, ujub, riya, dendam dan segala sesuatu yang mengotorinya. Thaharah ini jauh lebih
penting karena thaharah indrawi tidak akan terwujud kecuali suci dari syirik.
Allah ta’ala berfirman :

‫س‬ ِ ‫ِمَّن‬
ٌ َ‫إ َا الْ ُم ْشر ُكو َن جَن‬
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis
[QS. At-Taubah : 28]

D. Tata Cara Thaharah Atau Bersuci


Tata Cara Bersuci dari Hadats Kecil
Adapun tata cara bersuci dari hadats kecil adalah cukup dengan berwudhu. Adapun tata cara
praktisnya adalah sebagai berikut :
 Niat di dalam hati untuk menghilangkan hadats kecil
 Membaca basmalah
 Apabila baru bangun dari tidur dianjurkan membasuh kedua telapak tangan sebelum
memasukkannya dalam wadah air sebanyak tiga kali
 Berkumur dan menghirup air ke hidung
 Membasuh wajah dari dahi bagian atas hingga akhir janggut dan dari pelipis telinga
kanan hingga pelipis telinga kiri dan dianjurkan menyela-nyela janggut ketika membasuh wajah.
 Membasuh kedua tangan mulai dari ujung jari hingga siku, dimulai dari tangan kanan dan
dianjurkan untuk menyela-nyela jari
 Mengusap kepala dari ubun-ubun hingga tengkuk.
 Dianjurkan untuk mengusap kedua telinga luar maupun dalam.
 Membasuh kedua kaki dari ujung jari dengan menyela-nyelanya hingga kedua mata kaki
dari kaki sebelah kanan.
Catatan : Saat membasuh anggota tubuh minimal dilakukan 1x dan disunnahkan maksimal
sampai 3x kecuali mengusap kepala yang cukup 1x. Tata cara ini wajib dilakukan dengan
berurutan dan berkesinambungan tidak diputus-putus atau disela-sela kegiatan lain yang
memakan waktu lama kecuali ada udzur seperti airnya habis dan sebagainya.

Tata Cara Bersuci dari Hadats Besar


Adapun tata cara bersuci dari hadats besar adalah dengan mandi. Adapun rukun mandi ini hanya
dua yaitu : niat dan membasuh seluruh tubuh (termasuk lipatan-lipatan tubuh yang
tersembunyi) dengan air. Sementara mandi yang sempurna tata cara praktisnya adalah sebagai
berikut :
 Niat dalam hati untuk menghilangkan hadats besar
 Membaca “bismillah”
 Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya dalam wadah air.
 Dimulai dengan membersihkan kotoran yang menempel pada kemaluan maupun tubuh
yang lainnya, seperti bekas air mani, darah haid dan semacamnya.
 Selanjutnya berwudhu seperti berwudhu untuk melaksanakan shalat tanpa membasuh
kedua kaki (karena ini diakhirkan saat mandi), namun boleh juga dilakukan di awal.
 Mencelupkan kedua tangan ke dalam air lalu menyela-nyela pangkal rambut dengan
kedua tangan hingga basah sembari membersihkan kepalanya.
 Setelah itu mengguyurkan tubuh yang sebelah kanan dengan air dan membersihkannya
dari atas hingga bawah.
 Lalu dilanjutkan mengguyurkan tubuh bagian kiri dengan air dan membersihkannya dari
atas hingga bawah.
 Pastikan seluruh tubuh sudah bersih dan terkena air, termasuk lipatan ketiak, pantat,
pusar, selangkangan, kerutan lutut, kerutan sikut dan bagian tersembunyi lainnya.
 Setelah itu membersihkan kedua kakinya dengan didahului kaki kanan.

Tata Cara Bersuci dengan Tayammum


Apabila seseorang tertimpa hadats baik besar maupun kecil sementara ia dalam keadaan sakit
atau tidak menemukan air maka diperbolehkan untuk bertayammum. Adapun tata caranya sangat
mudah, yakni :
 Niat
 Membaca basmalah
 Menepukkan kedua telapak tangan ke atas tanah atau benda berdebu yang suci
 Mengusap wajah
 Mengusap kedua tangan

Tata Cara Mensucikan Najis Mugholladzoh


Adapun tata cara mensucikan benda dari najis mugholladzoh adalah dengan membasuhnya
sebanyak 7x dan basuhan pertamanya adalah dengan tanah.

Tata Cara Mensucikan Najis Mutawassithoh


 Pertama : Apabila najis berada di atas permukaan tanah atau lantai maka cara
mensucikannya adalah dengan mengguyurnya atau menyiramnya dengan air sekali saja hingga
najisnya lenyap. 
 Kedua : Apabila najis berada pada selain tanah seperti kain, pakaian dan sebagainya
maka cara mensucikannya adalah dengan menghilangkannya hingga tidak tersisa warna, bau dan
rasanya. 
 Adapun tata caranya adalah dicuci dengan air kemudian diperas hingga lenyap dan tidak
menyisakan bekas najisnya. 
 Adapun mensucikan menggunakan alat suci selain air seperti tanah, batu, tisu, dan
semacamnya ini terdapat perselisihan pendapat ulama. 
 Namun, pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan, seperti beristinja’ dengan batu,
membersihkan najis di bawah alas kaki dengan menginjakannya ke atas tanah, membersihkan
najis yang ada pada pakaian bawah wanita dengan menyeretnya di atas tanah, dan sebagainya. 
 Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Fatawa : “Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah apabila najis itu hilang kapapun
dengan cara apapun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika
penyebabnya telah hilang maka hilang pula hukumnya. Namun, tidak boleh menggunakan
makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa keperluan. Karena hal ini
menimbulkan mafsadat pada harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan keduanya.” 
 Ketiga : Apabila najis berada di bawah sepatu atau alas kaki atau pakaian bawah
wanita, baik itu najis yang basah maupun najis yang kering, maka cukup mengusapkan atau
menyeretnya di atas tanah.

Tata Cara Mensucikan Najis Mukhoffafah


Najis mukhoffafah cukup disucikan dengan percikan air saja. Adapun air madzi ini ada
perselisihan pendapat apakah cukup dipercikkan air atau harus dicuci. Untuk lebih hati-hatinya
maka lebih baik dicuci.

Anda mungkin juga menyukai