Anda di halaman 1dari 13

CONTOH MAKALAH REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA

CONTOH MAKALAH REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA

Posted by : sopriadi AHMAD Selasa, 07 Mei 2013

MAKALAH POLITIK DAN BIROKRASI DI INDONESIA

“REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA”

Disusun Oleh : Kelompok II

EDISON HIDAYAT PUTRA

JULIANDA

RITA

TRINITA Br.SIMBOLON

ZULFITRA

PROgram studi ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ABDURRAB
PEKANBARU

2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sembahkan kepada ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Reformasi Birokrasi di Indonesia”.
dan tidak lupa pula solawat beriring salam penulis  hadiahkan  kepada junjungan alam yakni    nabi
Muhammad  SAW sebagai pembawa syari’at Islam, keluarga dan sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan di sebabkan
keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.Oleh sebab itu, penulis  mohon maaf atas segala
kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan  keritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan penulis makalah berikutnya.

                            Pekanbaru, 5 Mei 2013

      Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR         i

DAFTAR ISI         ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah         1

1.2    Rumusan Masalah         2

1.3    Tujuan Penulisan         2

BAB II PEMBAHASAN
2.1    Reformasi Birokrasi         3

2.2    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal Dan

Strategi reformasi Birokrasi        8

2.3    Reformasi Birokrasi Di Indonesia         10

2.4    Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi         14

2.5    Pelaksanaan Reformasi Birokrasi guna

mengatasi Patologi Birokrasi        15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan         17

3.2 Saran         18

DAFTAR PUSTAKA         19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang masalah

Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu
yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan
sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi
yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah
membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi
terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini
cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang
sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat
memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi.
Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap
dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.

 Agar Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan reformasi secara menyeluruh.
Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup
didalamnya penguatan masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan
pembangunan politik yang saling terkait dan mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga
merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.
1.2    Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah,
diantaranya:

1.  Apakah yang dimaksud dengan  reformasi birokrasi?

2.  Bagaimana reformasi birokrasi di Indonesia?

3.  Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?

4. Bagaimana mekanisme pelaksanaan reformasi birokrasi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah guna
mengatasi patologi birokrasi?

1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan reformasi birokrasi di
Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana
proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1    Reformasi Birokrasi

2.1.1 Definisi Reformasi Birokrasi

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang
sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek
birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang
modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran
negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah,
ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.

Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi
ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian
perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development
(Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat
adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan
keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh
masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia,
sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek
perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial
dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam
masyarakat (Susanto: 185-186).

Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala
lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan
publik dan masih maraknya perkara korupsi.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Reformasi birokrasi
adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku,
dan keberadaan atau kebiasaan yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku. Hal
ini berhubungan dengan permasalahan yang bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.

Reformasi birokrasi adalah sebuah harapan masyarakat pada pemerentah agar mampu memerangi KKN dan
membentuk pemerintahan yang bersih serta keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang
efisien,responsip dan akuntabel. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui reformasi birokrasi yang
dilakukan saat ini agar kehidupan bernegara berjalan dengan baik,msyarakat juga berposisi sebagai penilai dan
pihak yang dilayani pemerintah.

Pada dasarnya Reformasi Birokrasi adalah suatu perubahan  signifikan elemen-elemen birokrasi seperti
kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan
pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Perubahan  tersebut dilakukan untuk
melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat  dan konsisten, guna menghasilkan manfaat
sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh
kebutuhan yang  bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas
ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang sebenarnya
diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang  peran birokrasi dewasa ini.

2.1.2 Tujuan Reformasi Birokrasi

1. Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.

2. Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan
kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara.

3. Pemerintah yang bersih (clean government).

4. Bebas KKN.

5. Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

2.1.3 Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan

Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumberdaya manusia aparatur. Langkah
selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak berbelit-
belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif,
dan meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima. Reformasi
birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak,
pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi pemerintah yang
rawan KKN, seperti pemerintah pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen
dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan, departemen agama, dan departemen pekerjaan
umum.

Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan sebagai berikut :

1.    Penataan Kelembagaan atau Orgnisasi.

Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi, menciptakan organisasi yang efektif dan
efesien, rasional, dan  proporsional, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi  yang jelas,
mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas, menerapkan strategi organisasi
pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan.

2.    Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur.

SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian
modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdayaguna, berhasilguna, produktif, transparan, bersih dan
bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai
dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi  pemerintah), penerapan sistem
merit dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar
kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa,
membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan
database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil,
menuju manajemen modern.

3.    Tata Laksana atau Manajemen.

Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,  prosedur, dan tata
kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi,
sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan
sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-
government), dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel,
hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja,
terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun
pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif
dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit
organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi
unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau
bentuk lainnya.

4.    Akuntabilitas Kinerja Aparatur

Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar diciptakan Kinerja Instansi
pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan peraturan
dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian
kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan)
didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di
semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketalaksanaan,
kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan
masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek
penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya
aparatur dan kinerja pelayanan publik).

5.    Pengawasan.

Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawaan nasional dengan elemen-elemen
pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan masyarakat,ditandai
oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung
pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut
pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.

6.    Pelayanan Publik.

Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat didorong upaya
mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel
ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien,
transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu
pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur,
ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas
dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan
paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah
penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang
kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/responsive), serta global-
cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global.

7.    Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.

Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif iniadalah untuk  membangun kultur birokrasi
pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan
produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan
perilaku serta motivasi kerja; menemukenali kembali karakter dan jati diri, membangun birokrat berjiwa
entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan
perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur,
produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).

8.    Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi

Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini Perlu ditingkatkan koordinasi program dan pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara.

9.    Best Practices.

Best practices yaitu Mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera
Barat, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo,
Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar, dan Tabanan), dan Kota
(Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan Pekanbaru).

2.2    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal dan Strategi Reformasi Birokrasi

a.    Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal

Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen perubahan.
Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi
perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi
perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan. Ada tujuh langkah
manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:
1.    Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan
solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa
yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu
secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan
dalam diskusi dan pengambilan keputusan.

2.    Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar
dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

3.    Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para
pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan.
Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai
pemimpin pada level-level di bawahnya.

4.    Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat
mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.

5.    Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke unit-unit
lain di seluruh instansi.

6.    Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara
untuk mengukur perubahan yang terjadi.

7.    Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses
perubahan berlangsung.

b.    Strategi Reformasi Birokrasi

1.    Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi
pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan,
gugatan).

2.    Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan
dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar
Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.

3.     Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi
tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.

4.    Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan
perbaikan.

Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara
lain:

a.    Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar
pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.

b.    Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan
kondisi pekerjaan yang lebih luwes.

c.    Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok
ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.

d.    Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula
bersikap non partisan dan netral.
e.    Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada
pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.

f.     Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.

g.    Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan.

h.    Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

2.3 Reformasi Birokrasi Di Indonesia

Reformasi yang terjadi menyusul jatuhnya Rezim Orde Baru ternyata tidak seperti yang diharapkan, yaitu
reformasi yang mampu mengadakan perubahan kehidupan yang berarti bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia. Selain itu reformasi juga diharapkan untuk mampu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ( KKN
) dan membentuk pemerintahan yang bersih ternyata masih jauh dari realita. Praktek KKN dalam birokrasi
pemerintahan dan pelayanan public masih terus berlangsung malah semakin merajalela. Keinginan
masyarakat untuk menikmati pelayanan public yang efisien, responsive dan akuntabel masih jauh dari
harapan. Masuknya orang-orang baru dalam pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif juga tidak
mampu menciptakan perubahan yang berarti dalam kinerja pemerintahan. Bahkan banyak diantara mereka
akhirnya terperangkap dalam lumpur KKN dan ikut memperburuk kinerja birokrasi dan pelayanan publik.

Pada masa orde reformasi dan orde sesudahnya (hingga saat ini), reformasi birokrasi telah banyak
diwacanakan dan diagendakan,bahkan mungkin telah betul-betul secara serius dilaksanakan. Beberapa
diantaranya adalah diberlakukannya PP No.8 tahun 2003 tentang restrukturisasi organisasi pemerintah daerah
dengan konsep MSKF (Miskin Struktur Kaya fungsi). Tujuannya jelas  adalah untuk rasionalisasi birokrasi di
lingkup pemerintahan daerah. Kemudian juga ada perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang
menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui
dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang lebih cenderung menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol
Unwar,2006) . Agenda reformasi tersebut tampaknya merupakan jawaban atas semakin meningkatnya
tuntutan masyarakat serta banyak didorong oleh konsep konsep perubahan yang datang dari luar Indonesia
seperti entrepreneurial bureaucracy, reinventing government, good governance dan sebagainya.

Good governance misalnya, adalah suatu mekanisme kerja,dimana aktivitas pemerintahan berorientasi pada
terwujudnya keadilan social dimana pemerintah diharapkan mampu secara maksimal melaksanakan 3 fungsi
dasarnya yakni service,development,empowerment. Adapun konsekuensi dari pelaksanaan good
governance,setidaknya terlihat dari 3 hal berikut :

1.    Pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator dan advocator kepentingan public.

2.    Adanya perlindungan yang nyata terhadap “ruang dan wacana” public,serta

3.    Mengakui dan menghormati kemajemukan politik dalam rangka mendorong partisipasi dan mewujudkan
desentralisasi (ibid).

Meskipun banyak agenda reformasi telah diintrodusir,dalam prakteknya perubahan tersebut cukup sulit
dilakukan. Beberapa data membuktikan bahwa birokrasi public di Indonesia pada era reformasi belum
sepenuhnya siap menghadapi perubahan.

1.    Laporan dari the world competitivness yearbook tahun 1999 yang menyatakan bahwa birokrasi Indonesia
berada pada kelompok Negara Negara yang memiliki indeks competitivness yang paling rendah diantara 100
negara yang diteliti (Cullen& Cushman,2000).
2.    Hasil penelitian PSKK UGM tahun 20000 di 3 provinsi yang menyimpulkan bahwa kinerja birokrasi dalam
pelayanan public masih amat buruk disebabkan oleh kuatnya pengaruh paternalisme (Dwiyanto,20003).

3.    Hasil kajian political and economic risk consultancy di 14 negara tahun 2001,menyatakan adanya indikasi
kinerja birokrasi di Indonesia yang makin buruk dan korup (Kompas,22 juni 2001)

Sementara itu, dalam lokus Negara berkembang, studi Dwight King (1989) mengungkapkan beberapa sisi
buram ciri birokrasi di negara berkembang seperti :

1.    Tidak efisien, antara lain ditandai dengan adanya :

    Tumpang tindih kegiatan antar instansi

    Struktur, norma, nilai,dan regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan.

    Budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan

    Banyaknya posisi-posisi terpenting dalam lembaga birokrasi kita yang tidak diisi oleh orang-orang yang
berkompeten.

Padahal, birokrasi pada suatu negara merupakan suatu lembaga penting yang merupakan alat negara dalam
melayani masyarakat. Oleh karena itu, suatu perubahan pada birokrasi kita harus dilaksanakan, atau
melaksanakan reformasi birokrasi.

2.    Jumlah pegawai yang berlebihan.

3.    Tidak modern atau ketinggalan jaman

4.    Seringkali menyalahgunakan wewenang.

5.    Tidak ada perhatian atau mengabaikan daerah daerah miskin dan tidak tanggap atas keragaman
kebutuhan dan kondisi daerah setempat.

Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya dimulai sejak akhir tahun 2006 yang
dilakukan melalui pilot project di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan
dengan Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, dan
Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan
pula 9 (sembilan) Pedoman dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan
Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang Pengajuan dokumen usulan
sampai dengan mekanisme persetujuan pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.

Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah dilakukan berdasarkan


kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map
reformasi Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi
memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem
pengukuran yang objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari sistem tersebut.
Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi, dan untuk operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara Online.

Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) tersebut
merupakan acuan bagi instansi pemerintah untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi
Birokrasi sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB mengkaitkan penilaian
atas output dan outcome pelaksanaan program reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian
Indikator Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator keberhasilan reformasi birokrasi
secara nasional.

Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB), berperan sangat penting dalam
mengetahui dan menilai serta mengawal pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.

2.4     Birokrasi Indonesia Sebelum Reformasi

    Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan
birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik
dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson
dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah
anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola
birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol
kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

    Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada
masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang
makin membengkak.

    Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :

1.    Maraknya tindak KKN

2.    Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak
maksimal

3.    Pelayanan publik yang diskriminatif

4.     Penyalahgunaan wewenang

5.    Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

2.5     Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi

Beberapa perubahan yang perlu dilakukan pemerintah guna merespon kesan buruk birokrasi. Birokrasi perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:

a.    Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan
pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.

b.    Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif
dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani
(termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).

c.    Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih
berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d.    Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu
pembangunan.

e.    Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid)
menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik
secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada
tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi
kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat
menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek
persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar
memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan
kepentingan (consistency atau coherency).

Oleh karena itu, untuk merealisasikan kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan
mempersiapkan tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik manajemen
pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule oriented) tetapi juga pada pencapaian
tujuan (goal oriented).

BAB III

PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali
mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan beranggapan bahwa birokrasi
tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi birokrasi

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur
yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus
sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta
tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan
profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu
menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini
masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena  itu, reformasi
di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi di Indonesia.

     Usaha untuk mendorong peningkatan kompetensi aparat birokrasi pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai wujud profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus memerhatikan tiga hal
pokok di bawah ini :

1.    Peningkatan kesejahteraan aparat birokrasi pemerintah.


2.    Peningkatan etika dan moral birokrasi pemerintah.

3.      Peningkatan profesionalisme birokrasi pemerintah.

Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good governance, yaitu tata
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah yang bersih (clean government), bebas KKN,
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

3.2    Saran

1.    Diharapkan kepada Pemerintah untuk memperhatinkan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.

2.    Untuk Peningkatan pelayanan, pemerintah  harus memberikan pelayanan yang merata di berbagai aspek

3.    Masyarakat bukan hanya sebagai pihak yang dilayani tetapi juga pengawas pelayanan maka pemerintah
haruslah memperbaiki system pelayanan hal ini di karenakan takutnya ketidak percayaan masyarakat kepada
pemerintah yang menjalankan pelayanan.

4.    Diharapkan juga kepada masyarakat agar lebih berpartisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi,
prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.

5.    Mengupayakan penataan perundang-undangan, dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang


telah ada, Agar reformasi birokrasi guna mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan
adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2006. reformasi birokrasi public di Indonesia. Yogyakarta: UGM press.

Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam reformasi birokrasi. jakarta: gramedia,

Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai