Anda di halaman 1dari 4

1

Allah Melaknat Pelaku Suap


Ma’asysyirol Muslimin rahimakumullah

Praktik suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang
sogok” meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja gencar
dilakukan oleh sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat duniawi.
Ada diantara mereka yang melakukan suap-menyuap untuk meraih pekerjaan atau jabatan,
ada juga yang melakukan suap-menyuap agar dimenangkan dalam perkara hukum, ada juga
yang melakukan suap-menyuap agar dimenangkan dalam tender atau proyek hingga untuk
memasukan anak ke lembaga pendidikan pun tak luput dari praktik suap-menyuap.

Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi,
mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, padahal jelas-
jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap itu.

PENGERTIAN RISYWAH (SUAP):

Yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan


membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah II/7819).

Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara


terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya supaya
memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi

Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang
diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh
keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan
tanpa imbalan.

Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa
uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan
perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.

HUKUM SUAP DALAM TINJAUAN SYARIAH

Ma’asysyirol Muslimin rahimakumullah

Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil
dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Ta’ala berfiman:

‫نْجآءُْو مكْفماح ُكمْْبمي نم ُهمْأموْأمع ِرض م‬


ْ‫ْعن ُهم‬ ِ ِ ُّ ِ‫مكالُْو منْل‬ ِ ‫مَسَّاعُ ْو منْلِل مك ِذ‬
َّ ‫بْأ‬
‫لسحتْفمإ م‬
Mereka (orang-orang Yahudi) itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong,
banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta
2

putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”.
(QS. Al-Maidah: 42).

Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud
radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu
(sesuatu yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya
imam Al-Qurthubi, VI/119).

Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika
seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).

Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188
yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

Allah Ta’ala berfirman:

ِ ‫اِْباْإِ مَلْاْل َّك ِامْلِتمأْ ُكلُْواْفم ِريْ ًق‬


ِ ‫اْمنْأمم مو ِالْالن‬
ِ ‫َّاس‬
ِ ‫ِْب‬ ِ ِ ِ ‫و ْلمْ مَت ُكلُْواْأمموالم ُكمْب ي نم ُكم‬
ْ‫إلْث‬ ُ ‫ِْبلبماط ِل مْوتُدلُْو م‬ ‫م م‬ ‫م‬
‫موأمن تُمْتمعلم ُم ْو مْن‬
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188).

Dalil dari Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, diantaranya:

ِ ‫الر ِاشىْوالمرتم ِش‬


.‫ىِْفْاْلُك ِم‬ ِ‫ْاَّلل‬
ُ ‫م‬ َّ ْ- ‫ملسو هيلع هللا ىلص‬- ْ َّ ‫ول‬ ُ ‫الْلم مع من مْر ُس‬ ُ ‫معنْأِمِب‬
‫ْهمري مرمةْقم م‬
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang
disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu
Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-
Targhib wa At-Tarhib II/261 no.2212).

Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang praktek suap adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ْ‫ىْالر ِاش مْيْ موال ُمرتم ِش مْي‬


َّ ‫ْعلم‬ َِّ ُ‫لمعنة‬
‫ْاَّلل م‬ ‫م‬
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima
suap”. (HR. Abu Daud II/324 no.3580, At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan
Hakim, 4/102-103; dan Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan shohih oleh
syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib, II/261 no.2211).
3

Dari Abu Hurairah radliyallahu ’anhu, ia berkata:

ِ ‫الر ِاشىْوالمرتم ِش‬


.‫ىِْفْاْلُك ِم‬ َِّ ‫ول‬
ُ ‫ْ َّ م‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬-ْ‫ْاَّلل‬ ُ ‫لم مع من مْر ُس‬
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam
masalah hukum. (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622 no.1387, Ibnu Hibban XI/467
no.5076. Dan dinyatakan shohih oleh syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-
Tarhib II/261 no.2212).

Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata

‫شْيمع ِِنْالَّ ِذيْمَي ِشيْبمي نم ُه مما‬ ِ َّ ‫الر ِاشيْوالمرتم ِشيْو‬


‫الرائ م‬
َِّ ‫ول‬
‫ َّ م م ُ م م‬-‫ملسو هيلع هللا ىلص‬-ْ‫ْاَّلل‬ ُ ‫لم مع من مْر ُس‬
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima suap, dan
perantaranya.” (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad hadits ini dinyatakan Dho’if
(lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa besar, karena


pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan Laknat dari Allah. Dan arti
laknat ialah terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan
suap ke dalam dosa besar yang ke-32.

Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah
merahmati mereka semua. (Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).

Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan bahwa para


ulama telah sepakat akan keharamannya. (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an VI/119).

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, “Suap menyuap termasuk


dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan
yang menerima suap, sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. ”
(Taudhihul Ahkam VII/119).

KAPAN MEMBERIKAN SUAP MENJADI HALAL?

Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-
ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena dalam praktek suap-
menyuap terkandung di dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang
lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.

Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak
mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan
suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu,
atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Dalam keadaan seperti
ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat
Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.
4

Misalnya, apabila ada seseorang yang ingin mencari kerja. Saat melamar pekerjaan
disyaratkan harus memiliki KTP, SIM atau PASPORT. Namun mengurus KTP atau SIM begitu
sulit kalau tidak membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang. Maka pada kondisi
seperti ini dibolehkan. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena
terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan
kepada pihak yang menerima uang suap. Wallahu a’lam bish-showab.

KHUTBAH KEDUA

Ma’asysyirol Muslimin rahimakumullah

Orang-orang yang pernah terjerumus ke dalam dosa risywah (perbuatan suap) atau
masih melakukannya sampai sekarang, harus segera bertaubat jika ingin selamat.

Adapun orang-orang yang telah terlanjur mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap,
maka dia harus benar-benar bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan gajinya, jika
memang dia bekerja dengan baik dan amanah, mudah-mudahan itu merupakan haknya,
wallahu a’lam.

Hendaklah orang yang beriman selalu ingat bahwa dunia itu fana, kematian bisa
datang kapan saja, dan di akhirat akan ada perhitungan dan pembalasan terhadap perbuatan.
Maka orang yang berakal seharusnya lebih mengutamakan kebaikan akhirat yang kekal
daripada dunia yang sementara.

Barangsiapa meninggalkan suatu maksiat termasuk tindakan suap dan menerima suap
dengan ikhlash karena Allah, niscaya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ْاَّللْبِِهْماْهوْخي رْلم م‬ َِِّ ً‫إِنَّكْلمنْتم مدعْشيئا‬


ُ‫كْمنْه‬ ٌ ‫ك َُّ م ُ م م‬ ‫ْعَّز مْو مج َّلْإِلَّْبم َّدلم م‬
‫َّْلل م‬ ‫م م‬ ‫م‬
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi
ganti padamu dengan yang lebih baik bagimu. (HR. Ahmad 5/363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih)

Begitu pula ingatlah janji Allah bagi orang yang bertakwa yaitu akan diberi rizki dari
jalan yang tidak disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,

ْ‫ب‬ ِ ‫َْيتم‬
‫س‬ ‫ْل‬ ‫ث‬ ‫ي‬ ‫ْح‬ ‫ن‬ ِ ‫َْمرجاْْوي رزقه‬
‫ْم‬ َّ ‫موممنْيمت َِّق‬
ُ ‫م‬ ‫م‬ ُ ‫م‬ ُ ُ ‫َْي معلْلمهُ م م ً م م‬
‫ْاَّللم م‬
Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar
dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (QS. Ath-Thalaq: 2-3).

Ketika menafsirkan ayat tersebut, Abdullah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma


mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah maka Allah akan menyelamatkannya
dari kesusahan dunia dan akhirat. Juga Allah akan beri rizki dari jalan yang tidak disangka-
sangka.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14/32)

Anda mungkin juga menyukai