Khutbah Jum'at - Hukum Suap
Khutbah Jum'at - Hukum Suap
Praktik suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan “uang pelicin” atau ”uang
sogok” meskipun telah diketahui dengan jelas keharamannya, namun tetap saja gencar
dilakukan oleh sebagian orang, demi mencapai tujuan-tujuan tertentu yang bersifat duniawi.
Ada diantara mereka yang melakukan suap-menyuap untuk meraih pekerjaan atau jabatan,
ada juga yang melakukan suap-menyuap agar dimenangkan dalam perkara hukum, ada juga
yang melakukan suap-menyuap agar dimenangkan dalam tender atau proyek hingga untuk
memasukan anak ke lembaga pendidikan pun tak luput dari praktik suap-menyuap.
Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi,
mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam, padahal jelas-
jelas imam dan panutan kaum muslimin, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
mengutuk dengan keras para pelaku suap-menyuap itu.
Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang
diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh
keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan
tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, risywah (suap-menyuap) ialah pemberian apa saja berupa
uang atau yang lain kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan
perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan dalil-dalil
dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan ijma’ para ulama. Pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”.
(QS. Al-Maidah: 42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud
radliyallahu’anhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu
(sesuatu yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an karya
imam Al-Qurthubi, VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan
di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika
seorang Qodhi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”. (Lihat
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).
Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Ta’ala di dalam surat Al-Baqarah ayat 188
yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang praktek suap adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
Para ulama telah sepakat secara ijma’ akan haramnya suap menyuap secara umum,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan Ash-Shan’ani, semoga Allah
merahmati mereka semua. (Al-Mughni XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
Pada dasarnya memberikan suap kepada siapapun hukumnya haram berdasarkan ayat-
ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karena dalam praktek suap-
menyuap terkandung di dalamnya banyak unsur kezholiman, seperti menzholimi hak orang
lain, mengambil sesuatu yang bukan haknya, menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
mempengaruhi keputusan hakim yang merugikan pihak lain dan lain sebagainya.
Akan tetapi hukum suap akan berbeda dan berubah menjadi halal apabila tidak
mengandung unsur kezholiman terhadap hak orang lain sedikit pun. Seperti memberikan
suap untuk mengambil sesuatu dari haknya yang terhalang atau dipersulit oleh pihak tertentu,
atau melakukan suap karena untuk mencegah bahaya yang lebih besar. Dalam keadaan seperti
ini maka si pemberi suap tidak berdosa dan tidak terlaknat. Dosa suap menyuap dan laknat
Allah tersebut hanya ditimpakan kepada penerima suap.
4
Misalnya, apabila ada seseorang yang ingin mencari kerja. Saat melamar pekerjaan
disyaratkan harus memiliki KTP, SIM atau PASPORT. Namun mengurus KTP atau SIM begitu
sulit kalau tidak membayar sejumlah uang kepada pihak berwenang. Maka pada kondisi
seperti ini dibolehkan. Ia tidak menzhalimi siapapun, suap tersebut ia lakukan karena
terpaksa dan hanya untuk mengambil hak dia saja. Ia tidak berdosa. Dosa hanya ditimpakan
kepada pihak yang menerima uang suap. Wallahu a’lam bish-showab.
KHUTBAH KEDUA
Orang-orang yang pernah terjerumus ke dalam dosa risywah (perbuatan suap) atau
masih melakukannya sampai sekarang, harus segera bertaubat jika ingin selamat.
Adapun orang-orang yang telah terlanjur mendapatkan pekerjaan dengan jalan suap,
maka dia harus benar-benar bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan gajinya, jika
memang dia bekerja dengan baik dan amanah, mudah-mudahan itu merupakan haknya,
wallahu a’lam.
Hendaklah orang yang beriman selalu ingat bahwa dunia itu fana, kematian bisa
datang kapan saja, dan di akhirat akan ada perhitungan dan pembalasan terhadap perbuatan.
Maka orang yang berakal seharusnya lebih mengutamakan kebaikan akhirat yang kekal
daripada dunia yang sementara.
Barangsiapa meninggalkan suatu maksiat termasuk tindakan suap dan menerima suap
dengan ikhlash karena Allah, niscaya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Begitu pula ingatlah janji Allah bagi orang yang bertakwa yaitu akan diberi rizki dari
jalan yang tidak disangka-sangka. Allah Ta’ala berfirman,
ْب ِ َْيتم
س ْل ث ي ْح ن ِ َْمرجاْْوي رزقه
ْم َّ موممنْيمت َِّق
ُ م م ُ م ُ ُ َْي معلْلمهُ م م ً م م
ْاَّللم م
Dan siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuknya jalan keluar
dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (QS. Ath-Thalaq: 2-3).