Anda di halaman 1dari 31

ANEMIA PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS CENDRAWASIH DI

KOTA MAKASSAR

DI SUSUN
OLEH :

FATRA TAIB
(2118016)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kematian ibu hamil di Indonesia masih merupakan
masalah yang menjadi prioritas di bidang kesehatan. Penyebab
langsung kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan,
persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat
waktu, sedangkan secara tidak langsung kematian ibu disebabkan
oleh perdarahan, eklampsia, komplikasi aborsi, sepsis pasca
persalinan, partus macet, termasuk anemia. Menurut WHO 40%
kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada
kehamilan yang di sebabkan oleh defesiensi zat besi dan
perdarahan akut, dan berdasarkan penelitian Chi, menunjukkan
bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu yang anemia dan
19,7% untuk mereka yang non anemia (Ibragim, 2010).
Tingginya prevalensinya anemia pada ibu hamil merupakan
masalah yang tengah dihadapi pemerintah Indonesia (Kemenkes
RI, 2014). Angka kematian ibu (AKI) atau maternal mortality rate
(MMR) mencerminkan risiko yang dihadapi ibu-ibu selama
kehamilan dan melahirkan yang dipengaruhi oleh status gizi ibu,
keadaan sosial ekonomi, keadaan kesehatan yang kurang baik
menjelang kehamilan, kejadian berbagai komplikasi pada
kehamilan dan kelahiran, tersedianya dan penggunaan fasilitas
pelayanan kesehatan ternasuk pelayanan prenatal dan obstetri
(Amalia, 2017).
Anemia merupakan penurunan jumlah hemoglobin darah
masih menjadi permasalahan kesehatan saat ini, serta merupakan
jenis malnutrisi dengan prevalensi tertinggi di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan masuknya anemia ke dalam daftar Global
Burden of Disease 2004 dengan jumlah penderita sebanyak 1,159
miliar orang di seluruh dunia (sekitar 25% dari jumlah penduduk
dunia). Sekitar 50% dari semua penderita anemia mengalami
defisiensi besi (Mairita dkk, 2018)
World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa
prevalensi ibu-ibu hamil diseluruh dunia yang mengalami anemia
sebesar 41,8%. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Amerika
sebesar 24,1%, Eropa 25,1%, Pasifik barat 30,7%, Negara-negara
di Afrika sebesar 57,1% dan di Asia Tenggara sebesar 48,2%
(WHO, 2008). Prevalensi anemia pada ibu hamil menurut data
Kementrian Kesehatan R.I tahun 2007 sebesar 24,5 % dan jumlah
ini meningkat menjadi 37,1% menurut data Riskesdas (Kemenkes,
R.I, 2010).
Data World Health Organization (WHO) tahun 2010
menyebutkan bahwa 40% penyebab kematian ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan. Anemia
dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan yang utama di
negara berkembang dengan tingkat kesakitan tinggi pada ibu hamil.
Total penderita anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70%,
artinya dari 10 ibu hamil, sebanyak 7 orang akan menderita
anemia. Menurut data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013,
prevalensi anemia ibu hamil di Indonesia sebesar 37% mengalami
peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 24,5% (Kemenkes RI,
2014).
Data Dinas kesehatan provinsi Sulawesi selatan
menunjukkan bahwa terdapat ibu hamil dengan kadar hemoglobin
8-11 mg/dl sebesar 98,49% dan ibu hamil dengan kadar
hemoglobin < 8 mg/ dl sebesar 1,15% (Data Binkesmas, Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015). Di Kota Makassar
terdapat 46 puskesmas menurut data dari dinas keshatan provinsi
sulsel tahun 2016 pemberian kablet Fe1 (30 kablet) 100% dan fe
(90 kablet) 95,8%. Ini menunjukkan bahwa pemerintah provinsi
Sulawesi Selatan telah melakukan upaya untuk mengurangi
prevalensi anemia ibu hamil. Namun sampai sekarang permasalah
anemia ibu hamil belum sepenuhnya dapat teratasi (Dinas
kesehatan kota Makassar, 2015). Data Dinas Kesehatan Kota
Makassa rmenunjukkan, prevalensi anemia pada ibu hamil di kota
Makassar tahun 2017 sebesar 7,29%. Dari 46 puskesmas di
Makassar prevalensi anemia ibu hamil tertinggi terdapat di
puskesmas sudiang raya sebesar 29,1%, kemudian puskesmas
tamalate 27,4%, dan puskesmas patinggaloang 20,3% (Profil Dinas
Kesehatan Kota Makassar 2017). Menurut data yang diperoleh dari
puskesmas sudiang raya pada tahun 2016 angka kejadian anemia
pada ibu hamil sebesar (30,5%). Pada tahun 2017 kasus anemia
ibu hamil mengalami penurunan menurun yaitu dengan kasus ibu
hamil anemia sebesar(29,1%) (Data puskesmas sudiang raya,
2018).Data anemia ibu hamil tahun 2018 periode januari-juli di
puskesmas sudiang raya terdapat 92 kasus anemia ibu hamil dari
489 jumlah total ibu hamil di puskesmas sudiang raya dengan
presentase 18,8% (Data puskesmas sudiang raya 2018).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kematian ibu salah
satunya disebabkan karena anemia dalam kehamilan. Anemia
merupakan suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada
penderita anemia, lebih sering disebut kurang darah, kadar sel
darah merah (Hb) dibawah nilai normal, Penyebabnya adalah
kurangnya zat besi untuk pembentukan darah, misalnya zat besi,
asam folat, dan vitamin B12.Tetapi yang sering terjadi adalah
anemia karena kekurangan zat besi (Rukiyah, 2010).
Anemia bukan hanya berdampak pada ibu, bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang menderita defisiensi zat besi atau anemia
kemungkinan besar mempunyai cadangan zat besi yang sedikit
atau tidak mempunyai persediaan sama sekali di dalam tubuhnya
walaupun tidak menderita anemia. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan fungsi kognitif saat remaja dan dewasa (McCann et al.
2007; Kar et al. 2008).Scholl (2005) menyatakan bahwa
kekurangan zat besi yang berat pada ibu hamil dapat
mengakibatkan penurunan cadangan zat besi pada janin dan bayi
yang dilahirkan, yang merupakan predisposisi untuk mengalami
anemia defisiensi zat besi pada masa bayi.
Zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah (hemoglobin). Zat besi dapat diperoleh dengan
mengonsumsi daging merah,sayuran hijau, wijen, kuning telur,
serealia, dan sarden (Kristiyanasari,2010). Zat besi sangat
dibutuhkan oleh ibu hamil untuk mencegah terjadinya anemia dan
menjaga pertumbuhan janin secara optimal. Oleh karena itu,
kementrian kesehatan menganjurkan agar ibu hamil mengonsumsi
paling sedikit 90 pil zat besi selama kehamilannya. (Depkkes RI,
2001).
Berdasarkan data yang diperoleh, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan Anemia pada ibu
hamil di Puskesmas Cendrawasi di kota Makassar.
B. Rumsan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
peelitian ini adalah,”Apakah ada hubungan tingkat pengetahuan
Anemia pada ibu hamil di Puskesmas Cendrawasi di kota
Makassar ?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan Anemia pada ibu
hamil di Puskesmas Cendrawasi di kota Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya Manfaat penelitiantingkat pengetahuan Anemia
pada ibu hamil di Puskesmas Cendrawasi di kota Makassar,
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, baik manfaat
secara teoritis maupun manfaat secara aplikatif.
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Pendidikan
Penelitian ini di harapkan menjadi sumbangan ilmiah dan
masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta
dapat digunakan sebagai bahan pustaka atau bahan
perbandingan bagi peneliti selanjutnya.
b. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi kepada pendidikan ilmu keperawatan terhadap
tingkat pengetahuan ibu pada Anemia

2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Instansi
Hasil penelitian ini sebagai data atau informasi dalam
menyusun strategi dan perencanaan dalam meningkatkan
pengetahuan ibu hamil terhadap oanemia dengan
melibatkaan keluarga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia
1. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai
penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh adanya penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang
paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit (Sudoyo, 2009).
Menurut (Corwin, 2009) anemia adalah penurunan
kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi, abnormalitas
kandungan hemoglobin sel darah merah, atau keduanya.
Berikut merupakan kriteria anemia menurut WHO
(dikutip dari Hoffbrand AV, et al, 2001).

Tabel 1
Kriteria Anemia menurut WHO
Kriteria Anemia Menurut WHO
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 13 gr/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl

2. Etiologi
Menurut (Sudoyo, 2009) anemia hanyalah suatu
kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena :
a) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang.
1) Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit.
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2) Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3) Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
4) Kehilangan darah (perdarahan).
a. Anemia pasca pendarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik

b) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum


waktunya (hemolisis).
1) Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll

2) Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler


a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain

c) Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan


patogenesis yang kompleks. Berikut ini merupakan klasifikasi
anemia berdasarkan morfologi dan etiologinya:
1. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thallasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
3. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotioroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

3. Gejala Klinis
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada
setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar
hemoglobin di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini
timbul karena anoksia organ, mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Gejala umum
anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun di
bawah 7 g/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung
pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya. Gejala umum anemia disebut juga sebagai
sindrom anemia, timbul karena iskemik organ target serta akibat
kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin sampai
kadar tertentu (Hb < 7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena
dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif
karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <
7g/dl) (Sudoyo, 2009).

4. Diagnosis
Pemeriksaan untuk diagnosis anemia terdiri dari
beberapa macam :
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang
diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini
terdiri dari pemeriksaan penyaring (screening test),
pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum
tulang, pemeriksaan khusus.
b. Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari
pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan
darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta
jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna
untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
c. Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung jenis
leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah.
Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology
analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih
baik.
d. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi
yang sangat berharga mengenai keadaan sistem
hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis
definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik,
anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik
yang dapat mensupresi sistem eritroid.
e. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,
misalnya pada :
1) Anemia defisiensi besi : serum iron, TBC (total iron
binding acapacity), saturasi tranferin, protoporfirin
eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan
pengecatan besi pada sumsum tulang.
2) Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum,
tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling.
3) Anemia hemolitik : bilirubin serum, test Coomb,
elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.
4) Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hemtologik tertentu
seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal
tiroid (Sudoyo, 2009).

5. Penatalaksanaan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi pada pasien anemia adalah :
a. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis
definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu.
b. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak
dianjurkan.
c. Pengobatan anemia dapat berupa :
1) Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada
perdarahan akut akibat anemia aplastik yang
mengancam jiwa pasien atau pada anemia pasca
perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik.
2) Terapi suportif.
3) Terapi yang khas untuk masing-masing anemia.
4) Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang
menyebabkan anemia tersebut.
Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat
ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan. Disini
harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi
dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi
terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis.
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut
dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik
transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau
adanya ancaman payah jantung. Pada anemia kronik sering
dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi
diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi
(Sudoyo, 2009).
6. Kebutuhan Zat Besi
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak
terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gr di
dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier, 2002). Zat gizi besi
(Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan, sebagai inti
dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel
darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain
sebagai sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen
yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam
setiap jaringan tubuh (Harli, 1999). Sediaoetama (1987)
menyebutkan bahwa zat besi merupakan mikroelemen yang
esensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam
hemopoiesis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa
hemoglobin.
Kandungan besi dalam tubuh sangat kecil, yaitu sekitar
35 mg/kg berat badan wanita atau 50 mg/kg berat badan pria.
Besi yang ada dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu besi
yang diperoleh dari perusakan sel-sel darah merah (hemolisis),
besi yang diambil dari cadangan yang tersimpan dalam tubuh,
serta besi hasil penyerapan saluran cerna (Winarno, 1997). Besi
dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti
terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani,
dan besi non heme dalam makanan nabati. Besi heme
merupakan bagian kecil dari besi yang diperoleh makanan.
Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25 % sedangkan
besi non heme hanya 5 % (Almatsier, 2002).
Sumber zat besi yang terpenting dalam diet adalah
daging dan hati, ikan dan daging unggas yang harus dikonsumsi
setiap hari karena selain sebagai sumber zat besi, heme juga
dapat mendorong absorbsi besi non heme. Sumber besi non
heme yang tinggi kandungan zat besinya adalah kacang-
kacangan, sayuran berwarna hijau, umbi-umbian, dan buah-
buahan (Darlina, 2003).
Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non
heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi
non heme. Daging, ayam, dan ikan mengandung suatu faktor
yang membantu penyerapan besi. Faktor ini terdiri atas asam
amino yang mengikat besi dan membantu penyerapannya.
Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini hingga
tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut
Alsuhendra (2005) menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin
dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi heme
membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga zat
besi tidak dapat diserap dengan baik.
Pembuangan zat besi dari tubuh terjadi melalui
beberapa jalan, di antaranya adalah melalui keringat (0.2-1.2
mg/hari), air seni (0.1 mg/hari) dan melalui feses serta darah
menstruasi sekitar 0.5-1.4 mg/hari (Winarno, 1997). Oleh
karena itu wanita membutuhkan jumlah unsur besi yang lebih
banyak dikarenakan laju kehilangan unsur besi dari tubuh
meningkat 2-3 kali lipat selama masa menstruasi (Ariyani,
2004). Winarno (1997) menganjurkan jumlah besi yang harus
dikonsumsi sebaiknya berdasarkan jumlah kehilangan besi dari
dalam tubuh serta jumlah bahan makanan hewani yang terdapat
dalam menu.
Zat besi pada saat kehamilan digunakan untuk
perkembangan janin, plasenta, ekspansi sel darah merah, dan
untuk kebutuhan basal tubuh (Darlina, 2003). Pasokan zat besi
tidak kalah penting karena pada masa hamil volume darah ibu
akan meningkat 30%. Di samping itu plasenta pun harus
mengalirkan cukup zat besi untuk perkembangan janin (Karyadi,
2001).
7. Dampak Anemia
Keluhan “3L” (lemah, letih, lesu) karena anemia adalah
keluhan fisik yang nyata dan dirasakan oleh penderita anemia
(Wijianto, 2002). Di samping itu muka tampak pucat, kehilangan
selera makan, apatis, sering pusing, sulit berkonsentrasi, serta
mudah terserang penyakit (Harli, 1999). Karena menderita
kekurangan darah, maka tenaga yang dihasilkan oleh tubuh
berkurang dan badan menjadi cepat lelah. Rasa cepat lelah
disebabkan pengolahan (metabolisme) energi untuk otot tidak
berjalan sempurna karena otot kekurangan oksigen.
Pada penderita anemia, jumlah hemoglobin yang
berfungsi sebagai alat pengangkut oksigen berkurang sehingga
jatah oksigen untuk otot juga berkurang. Berkurangnya jatah
oksigen mengakibatkan otot membatasi produksi energi dan
akibatnya orang yang menderita anemia akan cepat lelah bila
bekerja (Wijianto, 2002). Pada ibu hamil, anemia dapat
mengakibatkan keguguran, lahir mati, kelahiran bayi dengan
berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum atau sewaktu
melahirkan, dan kematian ibu (Khomsan, 1997).

8. Pencegahan Anemia
Pencegahan dan penanggulangan anemia antara lain
(Wirahadikusumah, 1999) :
a) Meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, seperti
mengkonsumsi pangan hewani (daging, hati, ikan dan telur)
mengkonsumsi pangan nabati (sayuran hijau, buah buahan,
kacang-kacangan, padi-padian) buah-buahan yang segar
dan sayuran yang merupakan sumber vitamin C yang
diperlukan untuk penyerapan besi dalam tubuh. Hindari
konsumsi bahan makanan yang mengandung zat inhibitor
saat bersamaan dengan makan nasi seperti teh karena
mengandung tanning yang akan mengurangi penyerapan zat
besi.
b) Suplemen zat besi yang berfungsi dapat memperbaiki Hb
dalam waktu singkat
c) Fortifikasi zat besi yaitu penambahan suatu zat gizi kedalam
bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan.

B. Ibu hamil
1. Definisi
Ibu hamil adalah wanita yang sedang mengandung janin.
Sedangkan kehamilan merupakan urutan kejadian yang secara
normal terdiri atas pembuahan, implantasi, pertumbuhan
embrio, pertumbuhan janin, dan berakhir pada kelahiran bayi
(Yongky, 2004).

2. Antenatal care (ANC)


a. Definisi Antenatal Care (ANC)
Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah
pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan
mental dan fisik ibu hamil, hingga mampu menghadapi
persalinan, kala nifas, persiapan pemberian ASI dan
kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba,
2010).
Menurut Prawiroharjo (2005), pemeriksaan kehamilan
merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental
serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan mereka post
partum sehat dan normal, tidak hanya fisik tetapi juga
mental.
Kunjungan Antenatal Care (ANC) adalah kunjungan
ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia
merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan
antenatal. Pada setiap kunjungan Antenatal Care (ANC)
adalah kontak ibu hamil dengan pemberian
perawatan/asuhan dalam hal mengkaji kesehatan dan
kesejahteraan bayi serta kesempatan untuk memperoleh
informasi bagi ibu dan petugas kesehatan.

b. Tujuan Antenatal Care (ANC)


Menurut Mochtar (2005) tujuan Antenatal Care (ANC)
adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu
dan anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas,
sehingga didapatkan ibu dan anak yang sehat.
Menurut Wiknjosastro (2005) tujuan Antenatal Care
(ANC) adalah menyiapkan wanita hamil sebaik-baiknya fisik
dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan
mereka pada post partum sehat dan normal, tidak hanya
fisik tetapi juga mental.

c. Jadwal kunjungan Antenatal Care (ANC)


Kebijakan kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan
paling sedikit 4 kali selama kehamilan dengan ketentuan
satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester
kedua dan dua kali pada trimester ketiga. Dengan pelayanan
/ asuhan standar minimal 7T, yaitu :
a) Timbang berat badan atau tinggi badan
b) Ukur tekanan darah
c) Ukur tinggi fundus uteri
d) Tetanus toxoid
e) Pemberian tablet besi
f) Test laboratorium
g) Temu wicara
Pemeriksaan ini dengan tujuan untuk memantau dan
mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau
komplikasi yang terjadi selama hamil. Bahwa setiap
kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau
komplikasi setiap saat, maka sebab itu ibu hamil
memerlukan pemantauan selama kehamilan (Saifudin,
2002).

3. Anemia pada Ibu Hamil


Peningkatan volume plasma darah terjadi lebih dahulu
dibandingkan produksi sel darah merah. Kondisi ini
menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada
trimester I dan II sedangkan pembentukan sel darah merah
terjadi pada pertengahan akhir kehamilan sehingga konsentrasi
mulai meningkat pada trimester III kehamilan (Darlina, 2003).
Anemia pada ibu hamil disebabkan oleh banyak faktor, yaitu
faktor langsung, tidak langsung dan mendasar. Secara
langsung anemia disebabkan oleh seringnya mengkonsumsi zat
penghambat absorbsi zat besi, kurangnya mengkonsumsi
promotor absorbsi zat besi non heme serta adanya infeksi
parasit. Adapun kurang diperhatikannya keadaan ibu pada
waktu hamil merupakan faktor tidak langsung. Namun secara
mendasar anemia pada ibu hamil disebabkan oleh rendahnya
pendidikan dan pengetahuan serta faktor ekonomi yang masih
rendah (Darlina, 2003). Penggolongan jenis anemia ibu hamil
dapat dibedakan menjadi anemia ringan dan anemia berat.
Batasan anemia ringan adalah bila kadar Hb 8-10.9 g/dl
sedangkan anemia berat adalah apabila kadar Hb < 8 g/dl
(Darlina, 2003).
4. Faktor-faktor yang Diduga Berhubungan dengan Anemia Ibu
Hamil
Djaja at all (1994) menyatakan bahwa faktor yang
berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil adalah
sebagai berikut :

Faktor dasar sosial Biomedis Ibu Anemia pada


ekonomi ibu hamil

Faktor sosial ekonomi yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan


dan tingkat pengetahuan merupakan salah satu penyebab
mendasar terhadap penyebab anemia. Faktor biomedis ibu
meliputi umur ibu hamil, usia kehamilan, paritas, jarak kelahiran.
Serta konsumsi tablet Fe. Sedangkan menurut (Mochtar, 2005)
penyebab anemia umumnya adalah kurang gizi, kurang zat
besi, kehilangan darah saat persalinan yang lalu, dan penyakit –
penyakit kronik.

a. Pendidikan
Faktor sosial ekonomi juga akan mempengaruhi pada
pola konsumsi makan, pola konsumsi makan sangat
berdampak pada cukup tidaknya zat besi dalam makanan
(Djaja at all, 1994). Menurut (Manuaba, 2010) anemia
defisiensi besi mencerminkan kemampuan sosial ekonomi
masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam
jumlah dan kualitas gizi. Rendahnya tingkat pendidikan ibu
hamil dapat menyebabkan keterbatasan dalam upaya
menangani masalah gizi dalam kesehatan keluarga,
(Hermina, 1992). Ibu hamil dengan pendidikan rendah yaitu
tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD sebanyak
66.15% menderita anemia dan merupakan prevalensi
terbesar dibandingkan dengan kategori pendidkan sedang
maupun tinggi (Wijianto, 2002). Ibu hamil dengan tingkat
pendidikan rendah akan mengalami resiko anemia lebih
tinggi dibanding dengan ibu hamil yang tingkat
pendidikannya tinggi (Achadi, 1995). Menurut Arisman
(2004) faktor pendidikan juga berpengaruh saat pemberian
tablet besi. Efek samping dari tablet besi yang dapat
mengganggu seperti mual muntah sehingga orang
cenderung menolak tablet yang diberikan. Penolakan
tersebut sebenarnya berpangkal dari ketidaktahuan mereka
bahwa selama kehamilan mereka memerlukan tambahan zat
besi. Handayani (2000) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai hubungan
nyata dengan pengetahuan gizi dari makanan yang
dikosumsinya.

b. Pekerjaan
Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan
mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya akan
berpengaruh pada status kesehatannya. Ibu yang bekerja
mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi
makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko
lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang
tidak bekerja (Wijianto, 2002).

c. Pengetahuan
Anemia masih banyak dijumpai karena kemiskinan dan
kurangnya pengetahuan tentang makanan sehat. Bahkan
pada waktu hamil banyak makanan yang ditabukan karena
kurangnya pengertian tentang makanan sehat yang bergizi
sehingga anemia semakin parah (Manuaba, 2010).
Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu jenis
pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan.
Pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh
terhadap pola konsumsi pangan. Semakin banyak
pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin
beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi sehingga
dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan
kesehatan individu (Suhardjo, 1989). Tingkat pendidikan
turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan
memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Dari
kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan
seseorang tanggap adanya masalah defisiensi zat besi (Fe)
pada ibu hamil dan bisa mengambil tindakan secepatnya
(Kodyat, 1993).

d. Umur
Faktor biomedis ibu meliputi umur ibu hamil, paritas,
usia kehamilan, jarak kelahiran, dan pemberian tablet Fe.
Bila umur ibu pada saat hamil relatif muda (<20 tahun) akan
beresiko terkena anemia. Hal itu dikarenakan pada umur
tersebut masih terjadi pertumbuhan yang membutuhakn zat
gizi lebih banyak dibandingkan dengan umur di atasnya. Bila
zat gizi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, akan terjadi
kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya (Wijianto,
2002). Menurut Depkes (2001), kadar Hb 7.0 - 10.0 g/dl
banyak ditemukan pada kelompok umur <20 tahun (46%)
dan kelompok umur 35 tahun atau lebih (48%).

e. Usia kehamilan
Kebutuhan zat gizi pada ibu hamil terus meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Apabila terjadi
peningkatan kebutuhan zat besi tanpa disertai oleh
pemasukan yang cukup, maka cadangan zat besi akan
menurun dan dapat mengakibatkan anemia (Lila, 1992).
Darlina (2003), meningkatnya kejadian anemia dengan
bertambahnya umur kehamilan disebabkan terjadinya
perubahan fisiologis pada kehamilan yang dimulai pada
minggu ke-6, yaitu bertambahnya volume plasma dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-26 sehingga terjadi
penurunan kadar Hb. Wanita hamil cenderung terkena
anemia pada trimester III karena pada masa ini janin
menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai
persediaan bulan pertama setelah lahir. Kebutuhan zat besi
ibu hamil sehari akan meningkat 6 kali lebih besar pada
trimester terakhir dibandingkan wanita yang tidak hamil(Sin
sin, 2008).Hasil penelitian (Martuti, 1996) menyimpulkan
adanya kecenderungan hubungan negatif antara umur
kehamilan dengan kadar Hb ibu hamil. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan fisiologis pada kehamilan yang dimulai
pada minggu ke-6 yaitu bertambahnya volume plasma yang
mencapai puncaknya pada minggu ke-26, sehingga
mengakibatkan penurunan kadar Hb. Umumnya ibu hamil
dianggap anemia jika kadar hemoglobin dibawah 11 g/dl
atau hematokrit kurang dari 33%. Dalam praktik rutin,
konsentrasi Hb < 11 g/dl pada akhir trimester pertama, dan
10 g/dl pada trimester kedua dan ketiga diusulkan menjadi
batas bawah untuk mencari penyebab anemia dalam
kehamilan. Nilai-nilai ini kurang lebih sama dengan nilai Hb
terendah pada ibu-ibu hamil yang mendapat suplementasi
besi, yaitu 11,0 g/dl pada trimester pertama dan 10,5 g/dl
pada trimester kedua dan ketiga. (Sarwono, 2010).
f. Paritas
Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih
dari 500 gram yang pernah dilahirkan, hidup maupun mati,
bila berat badan tidak diketahui, maka dipakai umur
kehamilan lebih dari 24 minggu (Sumarah, 2008). Paritas
atau jumlah persalinan juga berhubungan dengan anemia,
menurut Soebroto (2010) bahwa ibu yang mengalami
kehamilan lebih dari 4 kali juga dapat meningkatkan resiko
mengalami anemia. Menurut Wijianto (2002) menyatakan
bahwa prevalensi anemia pada kelompok paritas 0 lebih
rendah daripada paritas 5 ke atas. Semakin sering seorang
wanita melahirkan maka semakin besar resiko kehilangan
darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb. Setiap kali
wanita melahirkan, jumlah zat besi yang hilang diperkirakan
sebesar 250 mg. Hal tersebut akan lebih berat lagi apabila
jarak melahirkan relatif pendek. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal
(Saifuddin, 2008). Badan koordinasi keluarga berencana
naasional (BKKBN, 1998) menganjurkan agar kesehatan ibu
selama hamil dapat optimal dalam menyongsong
persalinannya maka jumlah persalinan yang telah dialami
tidak lebih dari 2 kali.

g. Jarak kelahiran
Salah satu penyebab yang dapat mempercepat
terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang
pendek (Darlina, 2003). Hal ini disebabkan karena adanya
kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dari
pemulihan faktor hormonal (Darlina, 2003). Menurut data
Badan Koordinasi Berencana Nasional (BKKBN, 1998),
jarak persalinan yang baik adalah minimal 24 bulan. Jarak
kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya
anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih
dan pemenuhan kebutuhan zat gizi belum optimal, sudah
harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung
(Wiknjosastro, 2005). Jarak kelahiran mempunyai risiko
1,146 kali lebih besar terhadap kejadian anemia (Amirrudin
dan Wahyuddin, 2004).

h. Tablet Fe
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe
mempunyai risiko 2,429 kali lebih besar untuk mengalami
anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe (Djamilus
dan Herlina, 2008). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe
diukur dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi,
ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi
per hari. Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe
merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan
menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan
besi. Suplementasi besi merupakan cara efektif karena
kandungan besinya yang dilengkapi asam folat yang
sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam
folat (Depkes, 2009). Wanita hamil memerlukan tambahan
zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan
membentuk sel darah merah menjadi janin dan plasenta.
Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan
melahirkan maka akan makin banyak kehilangan zat besi
dan menjadi semakin anemis.
Berikut gambaran berapa banyak kebutuhan zat besi
pada setiap kehamilan :
Meningkatkan sel darah ibu 500 mgr Fe
Terdapat dalam plasenta 300 mgr Fe
Untuk darah janin 100 mgr Fe
Jumlah 900 mgr Fe
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama
kehamilan, yaitu pada trimester I dan trimester III. Dengan
pertimbangan bahwa sebagian besar ibu hamil mengalami
anemia, maka dilakukan pemberian preparat Fe sebanyak
90 tablet pada ibu-ibu hamil di puskesmas (Manuaba, 2010).

i. Konsumsi Vitami C
Gizi seimbang adalah pola konsumsi makanan sehari-
hari yang sesuai dengan kebutuhan gizi setiap individu untuk
hidup sehat dan produktif. Setiap orang harus
mengkonsumsi minimal satu jenis bahan makanan dari tiap-
tiap golongan bahan makanan (sumber karbohidrat, hewani,
nabati, sayur, buah) dalam sehari dengan jumlah yang
mencukupi (Darlina, 2003). Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa ibu hamil, terutama di pedesaan
Indonesia mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani,
dan buah dalam jumlah yang tidak memadai (Hardinsyah,
2000). Hal tersebut berimplikasi pada tidak terpenuhinya
kebutuhan energi, protein, dan berbagai mineral yang
penting bagi kehamilan seperti Fe, I, dan Zn serta vitamin,
terutama vitamin C (Riyadi, 1997). Vitamin C adalah derivat
heksosa yang cocok digolongkan sebagai suatu karbohidrat.
Vitamin ini dalam bentuk kristal berwarna putih, sangat larut
dalam air dan oksalat. Vitamin C stabil dalam keadaan
kering, tetapi mudah teroksidasi dalam keadaan larutan,
apalagi dalam suasana basa. Asam askorbat adalah bahan
yang kuat kemampua reduksinya dan dan bertindak sebagai
antioksidan dalam reaksi-reaksi hidroksilasi (Suharjo,1992).
Berikut merupakan tabel Angka Kecukupan Vitamin C :
BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep.
Kerangka konsep ini dimodifikasi berdasarkan teori Djaja at
all (1994) diambil variabel faktor biomedis ibu meliputi umur ibu
hamil, paritas, usia kehamilan, jarak kelahiran, dan pemberian
tablet Fe dan dari variabel sosial ekonomi meliputi pendidikan,
pekerjaan, pengetahuan dengan skema kerangka konsep di bawah
ini. Sedangkan menurut Mochtar (2005) penyebab anemia
umumnya adalah kurang zat gizi serta infeksi dan penyakit. Dari
teori tersebut yang tidak masuk dalam penelitian kami adalah
infeksi dan penyakit karena diagnosanya membutuhkan
pemeriksaan yang lebih lanjut dan waktu yang lama, sedangkan
responden hanya melakukan ANC 1 kali.

Gambar
Kerangka Konsep

Biomedis ibu :

 Umur

 Paritas

 Usia kehamilan
 Jarak kelahiran

Tablet Fe Kejadian
Anemia
Konsumsi Vitamin C

Sosial Ekonomi :

 Pendidikan

 Pekerjaan
 Pengetahuan
Keterangan :

:variabel independen

: variabel dependen

: garis penghubung variabel

B. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan disain cross sectional yaitu
suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-
faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya, tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan
terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat
pemeriksaan. Dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang
lain, penelitian ini yang paling mudah dan sangat sederhana.
(Soekidjo Notoatmodjo, 2013)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian di rumah sakit
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian (Soekidjo
Notoadmojo, 2013). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh ibu hamil yang melakukan ANC di puskesmas dari
bulan Januari sampai Maret 2013 sebanyak 382 orang.

2. Sampel
a. Definisi sampel (teori)
Sampel adalah objek yang diteliti bisa dilakukan
seluruh objek atau sebagian, tetapi hasilnya bisa mewakili
atau mencakup seluruh objek yang diteliti (Soekidjo
Notoadmodjo, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah
sebagian dari ibu hamil yang terpilih yang melakukan ANC
di puskesmas pada saat penelitian dilakukan.

b. Jumlah sampel
Perhitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan

n = Z21-α/2 P(1-P)

d2

rumus sebagai berikut :


Keterangan :
N = besar sampel minimum
Z1-α/2 = nilai distribusi normal baku (tabel Z)
(95% = 1,96)
P = harga proporsi di populasi (0,50)
D = presisi mutlak/kesalahan (absolut) yang
dapat ditolerir(10%)

n = (1,96)2 x (0,50)(1-0,50)
(0,1)2
n = 3,84 x (0,50)(0,5)
0,01
n = 0,96
0,01
n = 96
Untuk menghindari terjadinya sampel yang tidak memenuhi
syarat untuk dianalisis disebabkan tidak lengkap data/informasi
yang diberikan sehingga gugur sebagai unit analisis, maka jumlah
responden ditambah 10 % dari sampel hitung, sehingga jumlah
sampel penelitian ini menjadi sebanyak 106 responden.
Tekhnik pengambilan sampel
Accidental sampling adalah mengambil kasus atau
responden yang kebetulan ada atau tersedia suatu tempat sesuai
dengan konteks penelitian (Soekidjo Notoatmodjo, 2013).

E. Teknik Pengumpulan Data


a. Data primer
Diperoleh dari kuisioner meliputi data mengenai semua variabel
b. Data sekunder
Berupa data tentang kejadian anemia hasil diagnosa yang
tercantum dalam rekam medis.
F. Analisis data
Dilakukan dua tahap yaitu :
a. Univariat:
Untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap
variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari
jenis datanya. Pada umumnya hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Soekidjo
Notoadmodjo, 2013).
b. Bivariat:
Dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi maka digunakan rumus Uji Chi Square
digunakan untuk menilai beda proporsi pada setiap variabel
dengan signifikasi hubungan pada derajat penolakan α sebesar
5% (p value 0,05). Jika nilai p<0,05, maka hipotesis alternatif
diterima sehingga dua variabel yang dianalisis memiliki
hubungan yang bermakna (Soekidjo Notoadmodjo, 2013).
Uji Chi Square dapat dirumuskan sebagai berikut:
N (ad-bc)2
X2 =
(a+c)(b+d)(a+b)(c+d)
atau,
Σ (O-E)2
X2 =
E
Disease (+) Disease (-) Total
Exposure (+) A B a+b
Exposure (-) C D c+d
Total a+c b+d a+b+c+d (N)

Untuk melihat besar/kekuatan hubungan antara variabel dependen


dan independen digunakan nilai OR (Odds Ratio)
Odds Expose a/(a+c):c(a+c) = a/c

Odds Ratio = =

Odds Non Expose b/(b+d):d(b+d) = b/d

Interpretasi OR :
OR = 1 artinya bukan faktor resiko terjadinya outcome / tidak ada
hubungan
OR < 1 artinya mengurangi resiko terhadap terjadinya outcome /
bersifat protektif (efek perlingdungan atau menghambat)
OR > 1 artinya merupakan faktor resiko (mempertinggi terjadinya
outcome)

G. Etika Penelitian
1. Subyek penelitian adalah orang yang bisa memutuskan apa
yang ingin dilakukannya.
2. Subyek penelitian mengikuti penelitian secara sukarela, bebas
dari paksaan dan imbalan
3. Peneliti memberikan penjelasan kepada subyek penelitian
tentang tujuan penelitian, apa yang akan dilakukan dalam
penelitian, hal-hal yang mungkin terjadi selama penelitian
berlangsung, tindakan yang telah dipersiapkan seandainya
terjadi hal yang tidak diinginkan.
4. Subyek penelitian menandatangani “informed consent”
sebagai tanda ia menyetujui untuk mengikuti penelitian.
5. Subyek penelitian diperbolehkan untuk tidak melanjutkan
kapan saja dia menghendaki.
6. Semua informasi yang menyangkut subyek penelitian
(sebagai individu) akan dirahasiakan.
7. Prosedur penelitian tidak membahayakan subyek penelitian.
8. Penelitian memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
penelitian serupa yang pernah dilakukan, atau paling tidak sama
baik.
9. Peneliti tidak melakukan plagiat, dan akan menyebutkan
sumber
10. Kutipan secara jelas.

Anda mungkin juga menyukai