Disusun oleh:
Kelompok 1
Ni Made Sinta Erisma Dewi 1807521010
Luh Putu Rima Antari 1807521048
I Kadek Dwi Wahyu Saputra 1807521095
Ida Ayu Mirah Sekarwangi 1807521154
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat TuhanYang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep, Elemen, Model Pendekatan, dan
Implementasi Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat” ini.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi syarat tugas matakuliah
Ekonomi Pariwisata Berkelanjutan EKI 308 B3. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan mengenai konsep, elemen, model pendekatan, dan implementasi pembangunan pariwisata
berbasis masyarakat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2.5 Bagaimana pelibatan masyarakat dalam pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Proyek Pariwisata
Implikasi pariwisata sebagai sebuah industri masyarakat adalah pariwisata semestinya
tidak hanya melibatkan masyarakat lokal yang secara langsung untuk mendapatkan manfaat
pariwisata, melainkan juga masyarakat lokal yang secara tidak langsung berkontribusi untuk
keberlanjutan pembangunan pariwisata. Tosun (1999) membagi partisipasi masyarakat dalam
proses pembangunan pariwisata menjadi tiga tingkatan, yaitu
1) Pseudo community participation: non-partisipasi, tujuan pembangunan pariwisata tidak
untuk pelibatan kolektif masyarakat, keputusan terkait dengan pemenuhan kebutuhan
pokok untuk meminimalkan resiko, kebijakan jangka pendek, top-down, tidak langsung,
hanya melibatkan elite lokal, dominasi pemerintah.
2) Passive community participation: hanya sebagai endorsement/ratifikasi keputusan yang
dibuat untuk masyarakat-bukan dari dan oleh masyarakat, hanya terlibat dalam
implementasi, minim kontribusi masyarakat, masyarakat bukan sebagai decision-makers
tapi decisiontakers (decision-implementers), efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan
pihak eksternal.
3) Spontaneous community participation: partisipasi langsung, partisipasi aktif, dan
partisipasi otentik.
4
Tantangan dan Hambatan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Seringkali partisipasi masyarakat lokal dalam pariwisata disebut sebagai strategi
pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam implementasinya banyak
terdapat tantangan dan hambatan. Scheyvens (2002) menyebutkan ada dua tantangan terbesar
dalam pariwisata berbasis masyarakat diantaranya:
1) Pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata terbagi ke dalam
berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi berdasarkan kelas masyarakat
(kasta), gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya saling menyatakan paling memiliki
atau mempunyai hak istimewa (privilege) keberadaan sumber daya pariwisata. Golongan
elit masyarakat tertentu sering berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata
berbasis masyarakat, lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata
(Mowforth dan Munt, 1998). Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil (equitable
participation) menjadi pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata
berbasis masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan
kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan dan pembangunan
pariwisata.
2) Permasalahan dalam masyarakat untuk mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi
pengembangan masyarakat lokal. Masyarakat lokal pada umumnya tidak cukup punya
informasi, sumber daya, dan kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil
keputusan lainnya dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal hanya
menjadi objek dan sangat rentan dieksploitasi. Campbell (1999) juga menyatakan hal
yang sama bahwa minimnya kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain
yang terkait, akibat dari kesulitan yang dialami masyarakat lokal dalam mengidentifikasi
berbagai manfaat pariwisata.
Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan pariwisata
berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan. Tosun (2000)
mengidentifikasi tiga hambatan dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat terutama
di negara berkembang. Adapun hambatan-hambatan tersebut berupa:
1) Keterbatasan operasional: sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan
minim informasi pariwisata.
5
2) Keterbatasan struktural: berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi
elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya jumlah sumberdaya manusia
terlatih, dan minim akses ke modal/financial, dan
3) Keterbatasan kultural, yaitu: terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan
apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal.
6
2.3 Model Pendekatan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Sebagian besar karakteristik atau pendekatan perencanan destinasi pariwisata berbasis
masyarakat berasal dari tradisi perencanaan transaksi dan advokasi. Tradisi ini mengutamakan
pembelaan terhadap kelompok masyarakat minoritas dan pemberian kontrol yang lebih besar
kepada masyarakat lokal dalam proses pembangunan sosial guna mencapai kesejahteraan
(Timothy, 1999). Hal tersebut semakin terlihat nyata akibat adanya perubahan paradigma
pembangunan pariwisata dari yang bersifat masal konvensional menuju pariwisata alternatif.
Pariwisata alternatif merupakan pariwisata berskala kecil dan melibatkan berbagai elemen
lokal terutama masyarakat lokal. Pembangunan pariwisata berskala kecil dapat memberikan
ruang partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat lokal (Telfer dan Sharpley, 2008).
Pemberian ruang-ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif, menunjukkan adanya
persamaan posisi dengan pengambil keputusan lainnya (pemerintah, investor, dan wisatawan)
dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan pemikiran Derrida dalam Barker (2004),
persamaan posisi tersebut menandakan pelucutan atas oposisi biner atau dikenal dengan
dekonstruksi. Dekonstruksi berfungsi menjamin kebenaran dengan cara mendevaluasi bagian
inferior oposisi biner yaitu masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Dengan kata
lain pendekatan dekonstruktif memastikan dipanggilnya kelompok minoritas untuk masuk ke
ranah pariwisata. Kelompok minoritas tersebut tidak lain adalah masyarakat lokal yang pada
dasarnya pemilik sumber daya atau modal pariwisata.
Pada saat pariwisata masal digulirkan oleh elite atau pemerintah yang berkolaborasi dengan
investor, masyarakat lokal hanya berperan sebagai objek pengembangan pariwisata dan
akhirnya dengan segala keterbatasan malah terlempar dari pembagian manfaat pariwisata.
Kondisi ini melahirkan sebuah konsepsi dekonstruktif yakni integrasi masyarakat lokal dalam
proses perencanaan pariwisata. Gunn dan Var (2002) juga berpendapat bahwa jika masyarakat
lokal tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, maka akan terjadi malfungsi dan inefisiensi
dalam pengembangan pariwisata. Ketika perencanaan pengembangan destinasi pariwisata
tidak sesuai dengan aspirasi dan kapasitas masyarakat, maka yang akan terjadi adalah
permusuhan dan resistensi masyarakat lokal terhadap pengembangan pariwisata.
7
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses
pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat didalamnya
adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D‟amore memberikan
guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni;
8
masyarakat. Konservasi sumber daya juga dimaksudkan sebagai upaya melindungi dalam
hal memperbaiki mata pencaharian/ penghidupan masyarakat.
Pembangunan berbasis masyarakat secara umum bertujuan untuk
penganekaragaman industri, peningkatan scope partisipasi yang lebih luas termasuk
partisipasi dalam sektor informal, hak dan hubungan langsung/ tidak langsung dari sektor
lainnya. Pariwisata berperan dalam pembangunan internal dan mendorong
pembangunanan aktivitas ekonomi yang lain seperti industri, jasa dan sebagainya.
Anggota masyarakat dengan kemampuan kewirausahaan dapat menentukan/ membuat
kontak bisnis dengan tour operator, travel agent untuk memulai bisnis baru misalnya.
3) Pembagian keuntungan yang adil
Tidak hanya berkaitan dengan keuntungan langsung yang diterima masyarakat
yang memiliki usaha di sektor pariwisata tetapi juga keuntungan secara tidak langsung
yang dapat dinikmati masyarakat yang tidak memilki usaha. Keuntungan tidak langsung
yang diterima masyarakat dari kegiatan pariwisata ini jauh lebih luas antara lain berupa
proyek pembangunan yang bisa dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata.
4) Penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan
Salah satu kekuatan pariwisata ini adalah ketergantungan yang besar pada sumber
daya alam dan budaya setempat. Di mana aset tersebut dimiliki dan dikelola oleh seluruh
anggota masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, termasuk yang tidak
memiliki sumber daya keuangan. Hal itu bisa menumbuhkan kepedulian, penghargaan
diri sendiri dan kebanggaan pada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian sumber
daya yang ada menjadi lebih meningkat nilai, harga dan menjadi alasan mengapa
pengunjung ingin datang ke desa andalan Pembangunan berbasis masyarakat.
5) Penguatan institusi lokal
Pada awalnya peluang usaha pariwisata di daerah pedesaan sulit diatur oleh
lembaga yang ada. Penting untuk melibatkan komite dengan anggota berasal dari
masyarakat. Tujuan utamanya adalah mengatur hubungan antara penduduk, sumber daya
dan pengunjung. Hal ini jelas membutuhkan perkembangan kelembagaan yang ada di
sana. Akan lebih baik lagi jika terbentuk lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima
semua anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan bisa dilakukan melalui pelatihan dan
pengembangan individu dengan keterampilan kerja yang diperlukan (teknik, managerial,
9
komunikasi, pengalaman kewirausahaan, dan pengalaman organisasi. Penguatan
kelembagaan dapat berbentuk forum, perwakilan, dan manajemen komite.
6) Keterkaitan antara level regional dan nasional
Komunitas lokal seringkali kurang mendapat link langsung dengan pasar nasional
atau internasional, hal ini menjadi penyebab utama mengapa manfaat Pembangunan
berbasis masyarakat tidak sampai dinikmati di level masyarakat. Hal ini sering terjadi
manakala seorang perantara yaitu pihak yang menghubungkan antara aktifitas pariwisata
dengan masyarakat dan turis justru memetik keutungan lebih banyak dibandingkan
masyarakat lokal.
10
masyarakat lokal, dan kebijakan pengelolaan pariwisata tidak semata dilakukan oleh
pemerintah (top down), tetapi atas inisiatif masyarakat lokal (buttum up).
11
praktislainnya tentang pelayanan dan operasi, termasuk menggunakan
pendapatan dari pariwisata untuk pemeliharaan lingkungan dan pembangunan sosial
3) Ketiga, penilaian dan pengukuran terhadap kemajuan yang dicapai, memonitor dan
evaluasi terhadap pengelolaan dampak yang merugikan pembangunan, semua yang
dilakukan merupakan kegiatan kolaboratif masyarakat setempat yang menjadi aktor dari
program bersangkutan.
Dalam proses pembangunan, masyarakat harus dipandang subyek dan bukan sebagai
obyek pembangunan. Myra gunawan (2002) menyatakan bahwa dalam menghadapi
permasalahan pembangunan berkelanjutan seringkali manusia diposisikan sebagai
konsumen terhadap sumberdaya alam, dalam pariwisata masyarakat setempat diposisikan
sebagai tuan rumah yang diminta untuk bersikap ramah, dan menjaga lingkungan wisata
supaya aman, nyaman dan tertib untuk kepentingan wisatawan. Seharusnya
masyarakatsebagai manusia perlu diposisikan lebih tinggi, sebagai bagian dari lingkungan
yang tidak hanya mengonsumsi sumberdaya alam, tetapi juga sebagai aktor yang dapat
menyelamatkan lingkungan. Cara pandang masyarakat yang melihat suatu masalah dapat
berdampak terhadap pengambilan keputusan. adanya perubahan cara pandang tersebut
merupakan bukti bahwa kita berkembang seiring waktunya.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keberhasilan sebuah pariwisata yang sudah mencapai tahap keberlanjutan tidak
hanya bergantung pada tindakan serta kebijakan pemerintah saja, perlu keterlibatan
masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata. Masyarakat tidak lagi dipandang
sebagai objek tapi juga sebagai subyek dalam proses pengembangan pariwisata.
Adanya keterlibatan masyarakat yang berkerja sama membangun suatu pariwisata
bersama pemerintah dapat menciptakan suatu pariwisata yang berkarakter dan
berkelanjutan
3.2 Saran
Bagi suatu daerah yang ingin mengembangkan sektor pariwisatanya kami sarankan
untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Karena menurut
kami dengan keterlibatan masyarakat maka akan muncul ide – ide pariwisata yang unik
dan ramah terhadap masyarakat sekitar, sehingga pariwisata yang akan di bangun
dapat berkembang terus – menerus.
13
DAFTAR PUSTAKA
Tosun, Cevat and Timothy, Dallen J. 2003. Arguments for Community Participation in the
Tourism Development Process. The Journal Of Tourism Studies 14: 1-15
Wiwin Wayan. 2018. Community Based Tourism Dalam Pengembangan Pariwisata Bali.
Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar: Pariwisata Budaya 13(1): 69-75
iv