Anda di halaman 1dari 73

Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

A. PROFIL IDRI
A.1. Pengantar
Ikatan Dosen RI (IDRI) adalah organisasi profesional dosen di Republik
Indonesia yang ditujukan untuk mengakselerasi implementasi Tri Dharma
Perguruan Tinggi.

A.2. Visi
Dosen sebagai tenaga profesional wajib mewujudkan tujuan
pendidikan nasional sesuai pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa serta memperoleh hak yang sama sesuai pembukaan
UUD 1945, yaitu keadilan sosial dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

A.3. Misi
1. Mengangkat martabat Dosen.
2. Memperjuangkan hak dan kewajiban Dosen.
3. Mengurangi kesenjangan kesejahteraan Dosen antar Perguruan
Tinggi dan antar Kementrian.
4. Meningkatkan kompetensi Dosen.
5. Meningkatkan produktivitas Dosen.
6. Memajukan profesi serta karier Dosen.
7. Meningkatkan mutu pembelajaran.
8. Meningkatkan mutu pendidikan nasional.
9. Mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah.
10. Memberikan informasi pendidikan yang bermutu.

A.4. Sejarah
Cikal bakal IDRI bermula dari Forum Dosen Muda Indonesia (FDMI)
yang dibentuk pada tanggal 26 Maret 2015 di Bandung. FDMI berkembang
menjadi Ikatan Dosen Republik Indonesia (IDRI) guna mengakomodasikan
seluruh dosen Indonesia tanpa batasan usia, berdasarkan kesepakatan
Rapat Badan Pendiri pada hari Senin tanggal 21 September 2015 di Kota
Bandung. IDRI melalui akte pendirian 4 Maret 2017 mendapatkan legalitas
di kementerian Hukum dan HAM dengan nomor SK Nomor AHU-
0005003.AH.01.07.Tahun 2017.

1
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

A.5. Maksud dan Tujuan


1. Mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan budaya melalui pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Mendorong Dosen untuk wajib melaksanakan tridarma perguruan
tinggi, memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, memiliki NIDN
(Nomer Induk Dosen Nasional), memiliki sertifikat pendidik,
profesionalisme dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
3. Mengembangkan karir Dosen menjadi Dosen profesional dengan
kemampuan menghadapi perkembangan Ipteks.
4. Memperjuangkan hak-hak Dosen untuk memperoleh kesempatan
meningkatkan kompetensi meliputi kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan lanjut, mengikuti pendidikan dan
pelatihan, seminar, lokakarya, akses ke sumber belajar, akses ke
sumber informasi, akses ke sarana dan prasarana pembelajaran,
serta kesempatan melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara
pendidikan tinggi atau satuan pendidikan tinggi, organisasi profesi,
dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
5. Memperjuangkan hak-hak Dosen untuk mendapatkan promosi
sesuai dengan prestasi kerja dan loyalitas, mendapatkan
penghargaan sesuai prestasi dan dedikasi, memperoleh cuti sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Memperjuangkan hak-hak Dosen untuk memperoleh segala
tunjangan sesuai dengan jabatan, kesetaraan tingkat, masa kerja,
dan kualifikasi yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil dengan
prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan kondisi perguruan
tinggi dan peraturan perundang-undangan untuk mengurangi
kesenjangan kesejahteraan Dosen antar Perguruan Tinggi dan antar
Kementrian, dimana Pemerintah wajib menjamin terwujudnya
maslahat tambahan yang diberikan dengan prinsip penghargaan
atas dasar prestasi.
7. Memperjuangkan hak-hak Dosen untuk memiliki kebebasan
akademik mencakup kebebasan untuk melaksanakan kegiatan
akademik yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan secara mandiri dan bertanggungjawab, memiliki
kebebasan mimbar akademik yang memungkinkan Dosen

2
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

menyampaikan pikiran dan pendapat akademik dalam forum


akademik yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan tinggi,
sesuai dengan kaidah keilmuan, norma dan nilai, serta dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Memberikan perlindungan hukum bagi Dosen yang telah
melaksanakan tugas kewajibannya dari perlakuan diskriminatif atau
perlakuan tidak adil dari pimpinan perguruan tinggi, dari tindak
kekerasan, ancaman, intimidasi dari masyarakat, birokrasi, dan/ atau
pihak lain.
9. Menjadi mediasi antara Dosen dengan perguruan tinggi berkaitan
dengan pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan
terhadap profesi dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat
menghambat dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.

A.6. Kegiatan
1. Melaksanakan seminar dan konferensi ilmiah yang dilaksanakan
secara rutin sebagai agenda utama IDRI dengan lokasi bergiliran
sesuai kesiapan Perguruan Tinggi, untuk meningkatkan dan
mengembangkan kompetensi dan profesionalisme Dosen Indonesia
dalam melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi.
2. Membentuk penerbit buku ilmiah untuk menerbitkan buku ajar
Dosen Indonesia untuk berperan aktif dalam meningkatkan mutu
pendidikan dan pembelajaran di Indonesia.
3. Membangun jurnal ilmiah yang terakreditasi dan terindeks untuk
mempublikasikan karya penelitian Dosen Indonesia untuk
meningkatkan produktivitas Dosen Indonesia.
4. Mengadakan pelatihan, kursus, penataran, memberikan konsultasi
tentang penelitian dan pengembangan ilmu, memberikan konsultasi
tentang pengabdian kepada masyarakat.
5. Membangun badan usaha seperti penerbit buku dan lain-lain untuk
menunjang pendanaan organisasi.
6. Menggalang kerjasama, kolaborasi, jaringan informasi, komunikasi,
konsultasi antar Dosen untuk membentuk kelompok ilmiah,
kelompok kepakaran sesuai bidang ilmu yang ditekuni, untuk saling
berbagi ilmu, pengalaman, saling memberi dorongan dan informasi
mengenai studi lanjut, beasiswa luar negeri dan dalam negeri,

3
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

informasi kegiatan ilmiah, pengembangan karir serta kesejahteraan


Dosen sebagai pengemban misi pendidikan tinggi.
7. Menampung semua aspirasi dosen mencakup hak dan kewajiban
Dosen serta permasalahan dosen untuk dapat diberikan
perlindungan hukum dari perlakuan diskriminatif atau perlakukan
tidak adil dari pimpinan perguruan tinggi, dari tindak kekerasan,
ancaman, intimidasi, untuk dapat diberikan perlindungan profesi
kepada Dosen terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan
yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan,
pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain
yang dapat menghambat Dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya.

A.7. Jenis Anggota


1. Anggota Biasa, adalah Dosen tetap pada sebuah perguruan tinggi
yang ber-NIDN/NIDK dan Warga Negara Indonesia.
2. Anggota Muda, adalah Dosen kontrak atau calon Dosen dengan
status mahasiswa pasca sarjana mempunyai pendidikan minimal
Strata Satu atau yang sederajat dan Warga Negara Indonesia.

A.8. Persyaratan Keanggotaan


1. Yang diterima menjadi anggota biasa adalah Dosen tetap ber-
NIDN/NIDK pada sebuah Perguruan Tinggi dan Warga Negara
Indonesia.
2. Yang diterima menjadi anggota muda adalah Dosen kontrak atau
calon dosen dengan status mahasiswa pasca sarjana mempunyai
pendidikan minimal strata satu atau sederajat, Warga Negara
Indonesia.
3. Menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta
ketetapan-ketetapan IDRI.
4. Mengajukan permohonan keanggotaan dengan mengisi formulir
pendaftaran anggota baru IDRI.
5. Tidak ada biaya pendaftaran atau gratis untuk menjadi anggota
IDRI.

4
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

A.9. Jumlah dan Distribusi Anggota


Anggota IDRI telah mencapai 5.000 orang lebih dan terus bertambah
hampir setiap hari. Jumlah dosen di Indonesia 281.553 orang per 18 Maret
2018. Anggota IDRI terdiri dari wanita dan pria yang tersebar pada 34
Provinsi di Republik Indonesia.

A.10. Arti Logo

Gambar A.1 Logo IDRI

● Tulisan Ikatan Dosen RI: Menunjukkan nama organisasi profesi


dosen yang bersifat kepakaran.
● Gambar Bersalaman: Mengandung arti kekeluargaan dan
kemitrasejajaran dimana kedudukan semua anggota adalah sama,
hubungan antar anggota bersifat persaudaraan dengan sifat
kepemimpinan kolektif dan mekanisme pengambilan keputusan atas
dasar kesepakatan.
● Warna Putih: Mengandung arti pengabdian yang dilandasi.
Kesucian, Kemurnian, Keikhlasan, bersifat Terbuka tanpa
memandang perbedaan instansi, kedudukan, agama, suku,
golongan, gender, dan asal usul, bersifat Independen dalam hal
kebebasan ilmiah atau kebebasan akademik mencakup kebebasan
mengembangan ilmu pengetahuan secara Mandiri, serta kebebasan
mimbar akademik yaitu bebas menyampaikan pikiran dan pendapat
dalam forum akademik.
● Warna Merah: Mengandung arti Kekuatan menjunjung tinggi
martabat dan kehormatan dosen, Keberanian memperjuangkan hak
dan kewajiban dosen, Kegairahan meningkatkan produktivitas dosen,

5
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

meningkatkan kompetensi dosen, memajukan profesi serta karier


dosen, serta Kegembiraan dan kebanggaan sebagai dosen Indonesia.
● Warna Hitam: Mengandung arti tetap elegan walau dalam kondisi
sulit, terus mengabdi, selalu sesuai subtansi, efisiensi dan
canggihdalam penguasaan teknologi.
● Warna Merah Putih: Mengandung arti pengabdian kepada Negara,
Bangsa, dan Tanah Air Republik Indonesia.

Website: http://www.idri.or.id
Facebook: https://web.facebook.com/groups/IkatanDosenRI/
Telegram: http://t.me/dosenindonesia
Email: dosenidri@gmail.com; sekretariat@idri.or.id

Kontak pribadi:
Dr. Dian Utami Sutiksno +62 81343005215
Dr. Rian Kurniawan +62 81224706418

Alamat kantor:
Kompleks De Marrakesh Block C2 No. 3, Bandung, Indonesia.

6
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

B. METODE KAJIAN

B.1. Prinsip
IDRI berusaha menghasilkan kajian pendidikan tinggi yang obyektif dan
menghindari subyektivitas. Cara yang ditempuh IDRI agar obyektif adalah
menggunakan penelitian berbasis kuesioner guna menggali data dari dosen
se-Indonesia sebagai data empiris. Hal ini dimaksudkan agar kajian
pendidikan tinggi yang disampaikan IDRI adalah hasil kajian pemikiran
kolektif dosen se-Indonesia.

IDRI melakukan penelitian sederhana dalam waktu yang singkat


dengan dua tahap yakni kuesioner I pada 4-6 April dan kuesioner II pada 8-
9 April 2018. Kuesioner I dalam bentuk isian paragraf untuk menangkap isu
dan ide guna mendapatkan pertanyaan tepat dalam kajian pendidikan
tinggi untuk kuesioner II. Kuesioner II dalam bentuk multiple choice dan
checkboxes untuk mempermudah responden berpendapat. Kuesioner
disebarkan untuk mendapatkan masukan untuk kajian pendidikan tinggi di
Indonesia serta gagasan solusinya. Kuesioner didistribusikan ke grup IDRI
via Facebook, Whatsapp dan Telegram. Para dosen berpartisipasi dengan
mengisi kuesioner.

Penelitian
Pemikiran kuesioner
think
thank

Studi
pustaka

Kajian Pendidikan Tinggi

Gambar B.1 Metode Kajian

7
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

B.2. Sinergi
Kajian pendidikan tinggi Indonesia juga melibatkan pemikiran
beberapa dosen tim wadah pemikir (think thank) IDRI. Untuk memperkaya
kajian secara ilmiah, dilakukan studi pustaka sesuai bidang terkait. Kajian
pustaka mempertimbangkan paparan komisi X DPR RI pada 19 Maret 2018
mengenai misi Ristek Dikti RI untuk peningkatan mutu, relevansi dan akses
pendidikan tinggi untuk menghasilkan SDM yang berkualitas. Sehingga
terjadi sintesa pemikiran antara pendapat kolektif dosen dari kuesioner,
pemikiran wadah pemikir dan kajian referensi seperti pada Gambar B.1
Metode Kajian.

Gambar B.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar B.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Provinsi Domisili

8
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Penelitian IDRI telah mengumpulkan data 207 responden dosen dari


seluruh Indonesia. Karakteristik jenis kelamin dari responden dapat dilihat
pada Gambar B.2 yaitu 60,4% laki-laki dan 39,6% perempuan. Lokasi provinsi
responden dapat dilihat pada Gambar B.3. Data ini menunjukkan hasil
penelitian mewakili seluruh dosen di Indonesia dari hampir semua provinsi
di Indonesia. Riset singkat secara daring ini dilakukan IDRI agar cepat dan
tepat dalam menjaring pendapat dan opini yang dapat digunakan sebagai
bahan kajian tentang pendidikan tinggi di Indonesia.

C. KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MERGER dan


AKUISISI PTS
Salah satu target nasional yang ditetapkan oleh Ristekdikti hingga
akhir tahun 2019 adalah mengurangi 1.000 Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Salah satu cara mencapai hal itu adalah meminta PTS untuk melakukan
penggabungan dan penyatuan (merger) serta akuisisi perguruan tinggi.
Dengan adanya merger ini, maka Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi
menjadi efisiensi dalam mengawasi Perguruan Tinggi, cukup membesarkan
Perguruan tinggi yang bermutu dan sudah sehat menjadi makin sehat serta
makin terbaik. Hal ini tentu mendukung visi tercapainnya target
penggabungan dan penyatuan PTS dari 3128 PTS menjadi 2128 PTS pada
Oktober 2019 (Gunawan, 2017).

Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti memfasilitasi upaya penyatuan


atau penggabungan PTS melalui surat Nomor 18/C.C.4/KL/ 2018 tertanggal
3 Januari 2018 menyampaikan bahwa usulan penggabungan atau
penyatuan PTS tahun 2018 dilakukan secara online/daring melalui laman
silemkerma.ristekdikti.go.id. Segala dokumen dan informasi diunggah di
laman web tersebut, informasi yang diberikan harus benar apabila tidak
benar maka pengusul akan mendapatkan sangsi. Untuk mendukung
program ini seluruh usul Penggabungan dan Penyatuan PTS periode 1 tahun
2018 tidak dikenakan biaya apapun. Semoga dengan surat edaran ini tujuan
dan target pemerintah untuk mengefesiensikan jumlah PTS dapat terwujud.

Hasil penelitian IDRI menunjukkan 69,1% responden setuju atas


kebijakan merger dan akuisisi PTS, namun 26,1% responden tidak setuju
seperti yang ditunjukkan pada Gambar C.1. Setuju Kebijakan Pemerintah
untuk Merger dan Akuisisi PTS. Ada beberapa alasan mengapa 69%

9
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

responden setuju dengan Kebijakan Pemerintah untuk Merger dan Akuisisi


PTS seperti tampak pada Gambar C.2. Alasan Setuju Merger dan Akuisisi
PTS. Alasan berturut-turut dari alasan terkuat ke alasan terlemah yaitu:
a) Perbaikan tata kelola manajemen PTS;
b) Perubahan PTS lebih baik;
c) Efisiensi biaya dan efektivitas kinerja PTS;
d) Menyelamatkan dosen, staf dan mahasiswa dari pengangguran dan
ketidakjelasan status;
e) Peningkatan kontrol dan monitoring PTS;
f) Membantu PTS sepi peminat agar dapat mahasiswa baru;
g) Menyelamatkan PTS dari kebangkrutan atau penutupan;
h) PTS lebih transparan dan jelas arahnya, serta lainnya.

Gambar C.1. Setuju Kebijakan Pemerintah untuk Merger dan Akuisisi PTS

Ada beberapa alasan mengapa 26% responden tidak setuju dengan


Kebijakan Pemerintah untuk Merger dan Akuisisi PTS seperti tampak pada
Gambar C.3. Alasan Tidak Setuju Merger dan Akuisisi PTS. Alasan berturut-
turut dari alasan terkuat ke alasan terlemah yaitu:
a) Perbedaan visi, misi, budaya, Renstra, RIP, SOP dan tata kelola
manajemen antar PTS;
b) Menutup PTS yang tidak sehat dan mengembangkan PTS yang bagus
demi kemajuan pendidikan tinggi Indonesia;

10
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

c) Menutup PTS yang tidak sehat agar jumlah PT lebih sedikit-


proporsional namun berkualitas, Membina saja PTS yang sudah ada,
Merugikan reputasi dan mutu PTS yang lebih bagus, Mengeluarkan
biaya tambahan serta lainnya.

Gambar C.2 Alasan Setuju Merger dan Akuisisi PTS

Gambar C.3 Alasan Tidak Setuju Merger dan Akuisisi PTS

11
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Upaya dari pemerintah RI untuk merger dan akuisisi PTS tentu


mempunyai konsekuensi baik negatif maupun positif. Selain beberapa
alasan pada hasil kuesioner pendapat dosen se-Indonesia, juga ada
beberapa kemungkinan implikasi dari penyatuan ini diantaranya yaitu:
1. Rasio antara Dosen dan Mahasiswa
Terjadi perubahan komposisi rasio kuantitas dosen dengan
mahasiswa di setiap program studi.
2. Akreditasi program studi
Pada PTS yang menyatu dalam keadaan sama – sama sehat, maka
hal tersebut tidak menjadi kendala, akan tetapi apabila salah satu PTS
tidak sehat maka hal tersebut dapat menjadi kendala. Pada penyatuan
PTS ini, PTS dapat mengajukan pembukaan Program Studi baru,
program studi baru yang dibuka ini akan memperoleh nilai minum, hal
ini cukup memberatkan PTS tersebut, karena calon mahasiswa tentu
akan memilih program studi yang telah memiliki akreditasi dan
akreditasi yang minimal Baik (B). Langkah dalam merger sebaiknya
dipetakan dulu bidang masing-masing PTS lalu diakuisisi. Kebijakan
pemberian nilai minimun bagi program studi yang baru dibuka ini tentu
kurang tepat, akan lebih baik apabila program studi tersebut setelah
diberikan ijin operasional kemudian diakreditasi oleh BAN PT/ lembaga
akreditasi mandiri (LAM) jadi tidak langsung keluar nilai minimum.
3. Transisi Kepemimpinan
Pejabat pada PTS yang akan merger tidak perlu kuatir, karena
dalam pertimbangan penentuan akuisisi tersebut mengacu pada prinsip
kredibel, adil dan transparan. Pemimpin yang memiliki kredibilitas
tinggi, dipercaya oleh dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa dan
masyarakat tentu akan menjadi pertimbangan untuk diposisikan
tertentu pada PTS tempat akuisisi. Alboher (2007) mengatakan suatu
kewajaran apabila seseorang tersebut menghadapi kebingungan ketika
menghadapi transisi ke kehidupan yang baru. Tentu dosen tersebut
tetap mengembangkan diri, menjalankan kewajiban dan meningkatkan
kemampuannya. Dalam akuisisi tentu rektor dan pimpinan yayasan
tempat PTS memiliki keadilan dalam memposisikan rekan pejabat
terdahulu, dengan berlaku adil rekan tersebut merasa dihormati dan
dihargai pada posisi setelah akuisisi PTS. Robbins (2008) mengatakan
bahwa bersikap adil tersebut akan mempersepsikan obyektifitas, tidak
memihak dan memandang hak yang sama. Kampus tentu dalam
pengelolaanya bersifat tranparan dan akuntabel, agar tetap iklim

12
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

akademik dapat terjalin dengan baik. Pemimpin kampus dalam


pengelolaanya memiliki pola kepemimpinan yang tidak berorietasi pada
posisi dan jabatan, tetapi pada kinerja dan loyalitas terhadap lembaga.
Dengan memiliki kinerja, kejujuran, etika, jiwa pejuang dan loyalitas
pada lembaga, hasil tersebut akan menjadi pertimbagan lembaga
dalam menentukan posisi.
4. Pengelolaan Keuangan dan sarpras
Penentuan merger suatu PTS tidak terlepas dari restu Yayasan
pengelola PTS, oleh karena itu dalam merger yayasan atau PTS menjadi
satu yayasan dan satu PTS dengan tujuan meningkatkan kualitas mutu
PTS, efisien dalam keuangan, mudah dalam pengelolaan, membuat
besar kampus yang sudah hebat. Dengan kondisi persaingan global
saaat ini salah satu hal yang dapat menjadi pertimbangan yaitu
pengelolaan keuangan dan sumber pembiayaan dalam pengelolaan
PTS tersebut, apabila PTS tersebut belum memiliki sumber pembiayaan
yang cukup tidak memungkiri kampus tersebut tidak akan mendapat
mahasiswa, sepi peminat, sedikitnya sarana dan prasarana, mutu
perkuliahan yang buruk, kesejahteraan dosen menurun. Dengan adanya
kebijakan merger oleh pemerintah, para pengelola yayasan dan
perguruan tinggi dapat melakukan merger tersebut sehingga beban
pembiayaan dan pengelolaan PTS dapat lebih ringan dan terkelola
dengan baik, sarana dan prasarana begitu mendukung, meningkatnya
minat animo mahasiswa yang akan melajutkan pada PTS tersebut. PTS
dalam mengelola pendidikan memiliki kendala dalam pengembangan
kampus. Merger ini pun baik bagi PTS yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi standar yang telah ditetapkan agar berlangsungnya
pendidikan yang bermutu seperti sarana dan prasarana, tenaga
kependidikan dan dosen.
5. Hak dan Kewajiban Dosen
Penentuan Dosen yang mengalami merger tentu akan masuk
pada PT yang diakuisisi, kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dosen
tersebut baik yang berstatus PNS atau Dosen tetap yayasan memiliki
hak yang sama pada PTS akuisisi, karena hal tersebut merupakan hak
dosen, untuk kewajiban agar dihargai sesuai dengan peraturan dan
regulasi yang berlaku dan yang telah disepakati. Untuk membangun
sebuah kepercayaan diperlukan adanya konsistensi. Nilai – nilai
keyakinan akan memandu tindakan anda, hal ini akan meningkatkan
konsitensi dan membangun kepercayaan (Robbins, 2008).

13
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

6. Nama Perguruan Tinggi


Penentuan Dalam penentuan branding atau nama, untuk
beberapa PTS yang akan menentukan nama tentu memilih nama yang
mencirikan unggulan dari PTS-PTS yang dimerger. Untuk beberapa PTS
tertentu yang dalam satu yayasan pengelolaan, bisa saja beberapa PTS
tersebut menjadi Fakultas dari PTS yang diakuisisi. Penentuan nama
fakultas dapat dari akademi/ sekolah tinggi/ universitas/ fakultas yang
dimerger. Penentuan nama dan fakultas yang akan ada pada PT akuisisi
juga perlu didasari pada kebutuhan masyarakat, pemerintah, pengguna
lulusan dan kebutuhan dunia akan lulusan. Dengan nama/ branding
yang menarik, berwawasan global dan sekiranya memiliki prospek ke
depan tentu akan banyak mahasiswa yang akan melanjutkan studi pada
PT tersebut. Beberapa PTS merger ke satu PTS yang telah memiliki brand
yang lekat di masyarakat. Pengelola PTS baik yayasan maupun rektor
tidak perlu khawatir akibat dampak dari merger ini dapat menurunkan
minat mahasiswa untuk melanjutkan pada PTS, karena dengan semakin
sedikitnya PTS akibat merger ini maka terbuka peluang yang besar PTS
akan dipenuhi oleh mahasiswa. Tentu PTS nanti dapat sejajar dan
bahkan dapat lebih banyak mahasiswanya daripada PTN.
7. Pangkalan Data (PD) Dikti
Penentuan Dalam pembayaran SPP mahasiswa, kegiatan
penelitian, kegiatan pengabdian kepada masyarakat, pengajaran,
perpustakaan, kegiatan kemahasiswaan pelu adanya sitem Informasi
dan Teknologi (IT) yang canggih dan terintegrasi. Untuk membangun
sistem IT yang terintegrasi tentu membutuhkan dana yang tidak murah,
penintegrasian ini dapat berjalan apabila PTS tersebut dapat merger
dan mengelola dengan bersama-sama. Tentu dalam menentukan dan
mengambil PT untuk merger diharapak akan membawa dampak yang
lebih baik. Database mahasiswa pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
(PD Dikti) untuk yang merger agar sesegera mungkin diproses dan
diselesaikan setelah mendapat persetujuan merger tersebut, status
mahasiswa tersebut tentu akan masuk pada PTS yang diakuisisi dan
yang telah diakui oleh Kemenristedikti.

Studi Kasus Merger PTS di Universitas Mahasaraswati Denpasar


Permenristekdikti Nomor 100 tahun 2016 memuat tentang Pendirian,
Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan
Izin PTS. Beberapa Perguruan Tinggi Swasta yang masih dikelola oleh satu

14
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Badan Penyelenggara, digabung menjadi menjadi satu dalam Badan


Penyelenggara yang sudah mengayomi PTS tersebut. Hal ini disambut baik
oleh pimpinan Yayasan Perguruan Rakyat Saraswati Pusat Denpasar yang
memiliki 3 (tiga) PTS yaitu Universitas Mahasaraswati Denpasar (Unmas
Denpasar), Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati (Stiba Saraswati) dan
Akademi Farmasi Saraswati. Menindaklanjuti peraturan tersebut Perguruan
Rakyat Saraswati Pusat Denpasar mengadakan rapat dan merumuskan
penyatuan Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati (Stiba Saraswati) dan
Akademi Farmasi Saraswati ke Universitas Mahasaraswati Pusat Denpasar
(Unmas Denpasar).

Dokumen penyatuan PTS tersebut secara online dikirim melalui


laman Silemkerma.ristekdikti.go.id pada 31 Januari 2018, pada akhirnya
pada 15 Maret 2018, telah keluar surat dari Direktur Jendral Kelembagaan
Kemenristekdikti dengan Nomor: 999/C.C4/KL/2018 perihal persetujuan
penyatuan PTS. Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati (Stiba Saraswati)
selanjutnya akan menjadi Fakultas Bahasa Asing dan Akademi Farmasi
Saraswati akan menjadi Fakultas Farmasi. Keduanya berada di Universitas
Mahasaraswati sehingga dengan demikian di Unmas Denpasar akan
terdapat 8 Fakultas yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas
Pertanian, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas
Kedokteran Gigi, Fakultas Bahasa Asing dan Fakultas Farmasi. Sekilas sejarah
mengenai Universitas Mahasaraswati Denpasar, Unmas denpasar terbentuk
atas Gabungan dari Akademik Bahasa Asing (ABA) Saraswati dengan Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Saraswati pada tahun 1982 (Unmas
Denpasar, 2016).

15
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

D. ANGGARAN PENDIDIKAN TINGGI NASIONAL


YANG PROPORSIONAL
Perubahan paradigma tata kelola keuangan negara Indonesia yang
transparan, profesional dan akuntabel dimulai sejak bangkitnya era
reformasi bangsa Indonesia pada tahun 1998 silam ditandai dengan adanya
pergantian pimpinan pemerintah negara dan merubah seluruh tatanan
kehidupan bangsa. Perubahan tersebut telah membawa kehidupan bangsa
Indonesia kearah perubahan paradigma secara multi kompleks, termasuk
Reformasi pengelolaan keuangan negara Indonesia mencakup adanya
keleluasaan di dalam pengurusan keuangan negara, baik pengurusan
keuangan negara di pusat, khususnya lebih terasa bagi pemerintah daerah
dalam rangka mengelola sumber pendapatan dan membelanjakan sesuai
dengan anggaran yang diajukan.

Berdasarkan keleluasaan dalam pengelolaan keuangan negara, maka


terjadi pula perubahan paradigma pengawasan yang semula dilakukan
secara vertikal dan bercirikan sentralistis, hirarkis maka berubah menjadi
kontrol secara horizontal dimana pengawasan dilakukan oleh DPR, karena
berdasarkan Undang Undang nomor 17 tahun 2003 tentang pengelolaan
keuangan negara, peranan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sangat besar,
karena menyangkut wewenang dan tanggung jawab agar pengelolaan
keuangan negara dapat berjalan sesuai dengan prosedur dan harapan
semua pihak.

Pengelolaan keuangan negara oleh pemerintah pusat harus dikelola


secara tertib, taat kepada peraturan perundang - undangan, profesional,
proporsional, efektif, efisien, transparan, bertanggung jawab, serta harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Maksud pengelolaan
keuangan negara disini bermaksud mencakup seluruh kegiatan, mulai dari
perencanaan anggaran, penetapannya, penguasaan, pengelolaan,
penggunaan, pengawasan dan pertanggung-jawabannya.

Pengelolaan keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah


tentunya diperuntukkan untuk kemakmuran rakyat, tak terkecuali juga
pengelolaan serta alokasi anggaran tersebut diperuntukkan untuk lembaga
pendidikan tinggi di Indonesia (baik PTN maupun PTS). Perencanaan dan

16
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

pengelolaan keuangan negara tersebut terlebih dahulu diajukan oleh


pemerintah kepada DPR, selanjutnya DPR menyetujui anggaran tersebut
disahkan melalui sidang paripurna DPR.

Dalam proses perjalanan penganggaran di lembaga pendidikan


tinggi, khususnya PTN dan PTS, diperlukan adanya penyesuaian secara
proporsional dan profesional.

Gambar D.1 Proporsional Anggaran Pendidikan Tinggi Indonesia

Hasil penelitian IDRI menunjukkan mayoritas responden yakni 87,9%


menilai anggaran pendidikan tinggi di Indonesia tidak proporsional seperti
pada Gambar D.1. Beberapa solusi yang diusulkan oleh dosen Indonesia
melalui IDRI seperti Gambar D.2 berturut-turut dari yang paling
terekomendasi yaitu:
a) Lebih memperhatikan kesejahteraan dosen;
b) Proporsional sesuai jumlah mahasiswa, biaya hidup lokasi, keadilan,
kesamaan, pemerataaan dan prioritas;
c) Prioritas insentif negara kepada dosen untuk setiap publikasi
internasional bereputasi/ kekayaan intelektual;
d) PTS lebih diberi akses pendanaan;
e) Akses dana pendidikan non Ristek Dikti;
f) Sinkronisasi;
g) Pencabutan/ penangguhan insentif serdos untuk dosen tidak
produktif publikasi; dan
h) Audit efisiensi penggunaan anggaran setiap bulan bukan tahunan.

17
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar D.2 Solusi agar Anggaran Pendidikan Tinggi Indonesia lebih


Proporsional

D.1. Tantangan
Bagaimana untuk lebih membuat dosen tetap lebih betah dan
bergairah dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan
cara membangun kesadaran kolektif mengenai peran penting kinerja
dalam pendidikan/pengajaran, riset/publikasi, dan pengabdian
masyarakat/pengembangan komunitas. Khusus untuk penyediaan
insentif riset dan publikasi, hendaknya capaian kinerja tidak dimaknai
secara terbatas, bahwa publikasi yang dianggap bernilai/bereputasi
adalah yang terindeks pada pangkalan data tertentu.

Keterindeksan adalah sesuatu yang baik dalam arti menunjukkan


secara nyata disiplin administratif jurnal serta diseminasinya. Kendati
demikian, di sisi lain, sudah saatnya kita tidak hanya memperhatikan atau
menggantungkan diri kepada “fashion” keterindeksan dan faktor-
dampak (impact factor) yang diterbitkan lembaga tertentu, namun
melihat isi dan dampak masing-masing artikel berdasarkan sitasi teoretis
dan sitasi praktisnya (misal untuk naskah kebijakan publik atau sebuah
intervensi sosial). Kualitas artikel yang layak diberikan insentif sebaiknya
tidak lagi dinilai pertama-tama dari kemasan/fashion-nya. Demikian pula,
rancangan riset yang akan dianugerahi hibah sebaiknya tidak lagi dinilai
pertama-tama dari target/sasaran kemasannya.

18
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

D.2. Peluang
Peluang bagi perguruan tinggi yang sehat manajemen
pengelolaan keuangan lembaganya. Dosen tetap yang menjadi
akademisi di lembaga pendidikan yang sehat manajemen pengelolaan
keuangannya akan merasakan kelebihan dan manfaat yang lebih besar
jika pengelolaan keuangan dapat lebih transparan dan proporsional
dalam mengelola keuangan di lembaga pendidikan tinggi.

Penganggaran perguruan tinggi nasional harus sesuai secara


proporsional dengan kemampuan dari lembaga pendidikan itu sendiri.
Kesehatan keuangan suatu lembaga sangat penting dalam rangka
memenuhi kewajiban dan hak para penggiat Tri Dharma bagi seluruh
sivitas akademikanya. Penganggaran lembaga pendidikan tinggi haruslah
memperhatikan kaidah yang sesuai dengan pengelolaan keuangan
negara, seperti akuntablitas, Profesionalitas Proporsionalitas,
Keterbukaan dan Pemeriksaan.

D.3. Akuntabilitas
Pelaksanaan anggara yang berbasis kinerja lebih menekankan
pada penerapan sistem terencana dan terprogram, yakni lebih
memprioritaskan arah anggaran yang disusun oleh lembaga berbasis
pelaksanaan. Sistem penyusunan anggaran yang menekankan pada
hubungan antara berbagai hasil dari program lembaga pendidikan tinggi
diperlukan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat langsung bagi
kelangsungan Tri Dharma secara berkelanjutan.

D.4. Profesionalitas
Dalam menyusun rencana anggaran lembaga, pengelola dan
pengelolaannya haruslah dilakukan secara profesional, yaitu merupakan
kolaborasi antara kemampuan, kesepadanan serta keterampiln
mengambil kebijakan dan memfokuskan diri kearah kinerja lembaga
yang efektif, baik dari perspektif kinerja, perspektif hasil, perspektif
dampak serta manfaat.

D.5. Proporsional
Tuntutan dari pemerataan penganggaran sebuah lembaga yaitu
proporsional. Perancanaan sebuah anggaran lembaga pendidikan tinggi

19
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

diharapkan sesuai dengan tuntutan kekinian masyarakat. Katakanlah saat


ini lapangan kerja minim dan ancaman pengangguran sangat besar,
maka anggaran yang direncanakan hendaknya dibuat secara
proporsional dan mampu menjawab tantangan yang ada.

D.6. Keterbukaan
Salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita reformasi adalah
pelaksanaan transparanasi yang akuntabel dari pengelolaan keuangan
sebuah lembaga. Hal ini berarti setiap saat siapapun dan kapanpun
apabila ingi melalukan verifikasi atau audit tentang pengelolaan keunagn
lembaga pendidikan tinggi maka telah disiapkan sistem dan instrumen
termasuk penyampaian laporan keuangan termasuk penyampaian
laporan pertanggung jawaban yang disusun mengikuti standar Dikti yang
telah diterima secara umum.

Sebagaimana perubahan paradigma berdasarkan tuntutan


reformasi keuangan, maka anggaran berbasis kinerja pada lembaga
pendidikan tinggi pada dasarnya berorientasi pada hasil, dan harus
proporsional. Artinya harus berdasarkan skala prioritas, baik menyangkut
keseimbangan antara pendanaan pada Tri Dharma, maupun pendanaan
pada aspek pendukung lainnya. Untuk menyusun program kegiatan
dalam lembaga pendidikan tinggi, haruslah menyusun anggran berbasis
skala prioritas, serta mempertimbangkan analisis perencanaan strategis
dari kebutuhan lembaga itu sendiri. Yaitu mempertimbangkan strategi
terbaik dari hasil kajian dan peluang yang ada, serta (bila ada) kendala
yang muncul dapat merubah hal tersebut menjadi peluang yang justru
mampu dimanfaatkan secara optimal dengan berbasis sumber daya yang
ada.
Namun, dalam melaksanakan kaidah tersebut, lembaga
pendidikan tinggi harus tetap mampu dalam membuat skala prioritas
dalam melaksnaan pengelolaan keuangan negara. Pendanaan dan
penganggaran dengan skala prioritas dari lembaga pendidikan tinggi
selain akan menambah kepercayaan publik, juga dalam rangka
menjemput insentif ke negara, baik melalui hibah, maupun melalui
lembaga funding lainnya. Dalam mengoptimalkan peran dosen
dilembaga pendidikan tinggi swasta, PTS yang lebih kecil seharusnya
diberi akses pendanaan yang lebih besar daripada PTN lain yang sudah
tentu lebih matang dan lebih besar peluang akses dananya ke

20
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

pemerintah. Hal ini dikarenakan adanya peluang pendanaan yang


seharusnya lebih merata dari yang paling kecil hingga lembag pendidikan
yang lebih besar.

D.7. Akses dana penelitian non PTBNH


Perlu adanya proporsional funding yang dialokasikan melalui
regulasi resmi pihak Kementerian terkait. Akses dana penelitian ini
diperlukan untuk menambah proporsi dana bagi lembaga pendidikan
swasta, hendaknya akses pendaanaan ini jangan hanya seputar di DN
saja, harus bisa memberikan kesempatan akses dana ke Luar Negeri,
seperti funding Research Newton, funding research Grassroot Jepang,
Erasmus Mundus, dan masih banyak lagi yang lain lain.

D.8. Pencabutan/penangguhan
Hendaknya harus memperlihatkan azas kebermanfaatan, azas
berkeadilan dan azas kehati – hatian terhadap pendanaan lembaga
pendidikan tinggi swasta. Hal ini diperlukan karena jika adanya
pencabutan atau penangguhan pendanaan pada lembaga pendidikan
tinggi dapat menimbulkan kegaduhan nasional. Sehingga pada akhirnya
kegaduhan nasional inilah yang perlu dihindari untuk dapak negatif yang
lebih luas dan lebih besar.

D.9. Sinkronisasi
Dalam penganggaran pendanaan lembaga pendidikan tinggi
harus terus dilakukan secara berkelanjutan, karena sinkronisasi atau
penyesuaian penganggaran mutlak dan wajib adanya. Sinkronisasi
diperlukan untuk melihat sejauh mana perencanaan, pengorganisasian
pengelola, implementasi pelaksana anggaran, serta evaluasi atau
pengendalian anggaran pada pos pos atau peruntukan sesuai dengan.

D.10. Audit efisiensi penggunaan


Anggaran harus terus dilakukan, cara ini dilakukan agar seluruh
kegiatan Tri Dharma yang berbasis pendanaan jelas peruntukannya,
akuntabel dalam penyajiannya, transparan dalam pelaporan, serta
balance dalam penyampaian laporan informasinya. Audit perlu dilakukan
terhadap lembaga penerima dana pendidikan nasional. Namun, perlu
diingat, melakukan audit tidak serta merta menekan penerima hibah atau
bantuan anggaran pendidikan nasional. Sebagai contoh: terkadang PTS

21
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

yang KECIL mendapat sample secara acak untuk dikunjungi untuk audit
internal dan eksternal dari lembaga Audit yang ditunjuk pemerintah
(BPK/BPKP/Inspektorat), seolah olah PTS kecil seperti diburu pertangung
jawaban keuangan yang tidak seberapa besarnya dibanding dengan
dana hibah milyaran yang digelontorkan kepeda perguruan tinggi besar
berlevel internasional.

D.11. Proporsi
Proporsi anggaran pendidikan masih jauh dari kata ideal, apalagi
dana penelitan dan pengabdian kepada masyarakat. Dana pendidikan
nasional antara lembaga milik pemerintah (PTN) dimana mana pasti jauh
lebih tinggi daripada lembaga swasta (PTS). Proporsinya pun biasanya
jauh lebih banyak PTN daripada PTS. Namun, bila dilihat secara kasat
mata, mutu dan kualitas yang dihasilkan oleh lembaga swasta dalam hal
Tri Dharma tidak kalah dengan lembaga swasta. Ditengah kepincangan
proporsi tersebut, seyogyanya pemerintah memberi perhatian lebih
kepada lebaga swasta yang masih banyak membutuhkan perhatian
daripada lembaga milik pemerintah (PTN), bisa dibayangkan, bila ribuan
PTS tiada lagi yang beroperasi di Indonesia terkait dengan tidak
proporsionalnya anggaran pendidikan yang tidak merata tersebar, hanya
dikarenakan perbedaan lembaga swasta dan pemerintah. Apalagi
persoalan anggaran yang selalu berbasis serapan anggaran sekian
persen, dan lain-lain, sehingga patut menjadi perhatian bersama.

D.12. Alokasi distribusi


Alokasi distribusi anggaran yang tidak merata juga disebabkan
karena ada pengkotakan atau pembagian kluster perguruan tinggi yang
(katanya) ada empat, yakni BINAAN, MADYA, MANDIRI, UTAMA. Secara
logika akademik, seharusnya alokasi distribusi anggaran selayaknya lebih
besar ditujukan kepada PT binaan (swasta), karena sebagian besar
mereka HANYA mengharap Hibah dari Kementerian saja, tanpa mampu
menjemput BOLA HIBAH luar negeri yang lain (mungkin juga karena
pengalokasian dana yang sangat kurang bagi lembaga swasta).

D.13. Kelebihan
Kelebihan anggaran pendidikan nasional pada fase sekarang ini
cenderung dinikmati oleh perguruan tinggi besar dengan sumber daya
(SDM fasilitas, sarana, pengelola dan pengelolaan Tri Dharma) yang

22
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

melimpah, sehingga tidak heran semua aktivitas yang berlangsung di


lembaga besar milik pemerintah (PTN) dapat dilaksanakan dengan nyaris
tanpa hambatan apapun.

D.14. Pos prioritas


Pos prioritas yang terpenting dalam anggaran pendidikan nasional
adalah bidang penelitian dan pengabdian. Sangat disayangkan bila
anggaran kedua pos ini dikurangi secara signifikan dalam kegiatan riset
tahun ini. Bayangkan saja, honor dalam kegiatan penelitian dan
pengabdian di pangkas habis, seolah olah kegiatan tersebut merupakan
hak yang melekat pada diri setiap dosen di Indonesia, sehingga tidak
perlu diberikan honor penelitian. Berbeda dengan “rumput tetangga”
yang jauh lebih hijau (dengan fasilitas dan penghargaannnya) dibanding
kita. Miris terdengar, seolah dosen dianggap sebagai tenaga kontrak
yang siap pindah zona jika ingin lebih sejahtera jika ingin keluar dari
sistem (NIDN) yang telah dimilikinya.

E. REVISI UU NO. 14 TAHUN 2005 PEMISAHAN


GURU DAN DOSEN
E.1. Definisi Undang-Undang
Definisi Peraturan Perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 UU
12/2011 adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Definisi Undang-
Undang menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut
UU 12/2011) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

E.2. Tahapan Regulatory Impact Assesments (RIA)


Wijayanti (2013) menjelaskan bahwa untuk menciptakan peraturan
perundang-undangan yang efektif atau mencapai tujuannya, sejak tahun
2003 telah diterbitkan suatu konsep yang berfungsi sebagai kontrak kualitas
produk peraturan perundang-undangan yang diberi nama Regulatory
Impact Assesments (RIA) yang merupakan rumusan dari best practices yang

23
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

diterapkan oleh berbagai negara. RIA menggunakan tahapan sebagai


berikut:
1. Perumusan masalah atau isu yang menimbulkan kebutuhan untuk
menerbitkan suatu kebijakan (melakukan tindakan);
2. Identifikasi tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan
tersebut, tahapan ini disebut penilaian risiko (risk assesment);
3. Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan
dan 188 sasaran tersebut;
4. Assement atas manfaat dan biaya (keuntungan dan kerugian) untuk
setiap opsi dilihat dari sudut pandang pemerintah, masyarakat, pelaku
usaha, konsumen dan ekonomi secara keseluruhan;
5. Konsultasi dan komunikasi dengan pemangku kepentingan
(stakeholders), dalam semua tahap tersebut;
6. Penentuan opsi terbaik (yang dipilih); dan
7. Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi kebijakan.

E.3. Latar Belakang UU No. 14 Tahun 2015


Fatah (2012) memaparkan bahwa UU No. 14 Tahun 2005 merupakan
kelanjutan dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, karena Bab XI pasal 40 ayat
1 dan 2 UU No. 20 Tahun 2003 ini cukup rinci menjelaskan hak dan
kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan. Latar belakang
diundangkannya Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005,
antara lain:
a. Pemerintah menganggap pendidikan mempunyai peran yang
strategis dalam rangka pembangunan sumber daya manusia;
b. Penerbitan legalitas formal Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor
14 Tahun 2005 merupakan upaya untuk mengakui dan
mengembangkan guru dan dosen sebagai profesi;
c. Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 dalam
dataran realitas apabila diimplementasikan akan meningkatkan
martabat dan kesejahteraan guru dan dosen;
d. Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 juga akan
memberikan arah pengembangan profesi guru agar mampu
menghadapi tantangan sesuai dengan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global yang perlu dilakukan pemberdayaan dan
peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah dan
berkesinambungan;

24
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

e. Aturan formal yang rinci di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen


Nomor 14 Tahun 2005 juga akan meningkatkan komitmen guru
untuk meningkatkan diri sendiri, pemerintah untuk memfasilitasi, dan
masyarakat untuk mendukung profesionalitas guru dan dosen.

E.4. Isi Pokok UU No. 14 Tahun 2005


UU No.14. Tahun 2005 ini terdiri atas delapan bab dan delapan puluh
empat pasal. Bab pertama membahas ketentuan umum dan lima bab
membahas inti dari UU, dua bab terakhir masing-masing membahas
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Secara garis besar, isi dari UU
ini dapat dibagi dalam beberapa bagian.
• Pertama, pasal-pasal yang membahas tentang penjelasan umum (7
pasal) yang terdiri dari:
(a) Ketentuan Umum, (1 pasal)
(b) Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan, (5 pasal) dan
(c) Prinsip Profesionalitas (1 pasal)
• Kedua, pasal-pasal yang membahas tentang guru (37 pasal) yang terdiri
dari:
(a) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi,
(b) Hak dan Kewajiban,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan,
(h) Cuti, dan
(i) Organisasi Profesi.
• Ketiga, pasal-pasal yang membahas tentang dosen (32 pasal) yang
terdiri dari
(a) Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik,
(b) Hak dan Kewajiban Dosen,
(c) Wajib Kerja dan Ikatan Dinas,
(d) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian,
(e) Pembinaan dan Pengembangan,
(f) Penghargaan,
(g) Perlindungan, dan
(h) Cuti.

25
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

• Keempat, pasal-pasal yang membahas tentang sanksi (3 pasal).


• Kelima, bagian akhir yang terdiri dari Ketentuan Peralihan dan Ketentuan
Penutup (5 Pasal).

Berdasarkan uraian substantif bab dan pasal-pasalnya, dapat


disimpulkan bahwa UU No. 14 Tahun 2005, dimaksudkan untuk:
1. mengakui secara legal-formal fungsi, peran dan kedudukan strategis
guru dan dosen dalam pembangunan nasional dalam bidang
pendidikan;
2. mengakui secara legal-formal bahwa guru dan dosen adalah pendidik
profesional yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik;
3. mengatur kewajiban guru dan dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya serta penerimaan hak-haknya sebagai apresiasi atas
pelaksanaan tugas-tugas keprofesionalannya itu;
4. memberdayakan dan meningkatkan mutu guru dan dosen secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan; serta
5. memberi guru dan dosen perlindungan hukum, perlindungan profesi,
dan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
melaksanakan tugas-tugasnya serta sanksi apabila melalaikan
kewajibannya sebagaimana diatur dalam UU.

E.5. Dimensi Kajian UU No. 14 Tahun 2005


Cooper, Fusarelli, dan Randall (2003) menjelaskan tentang dimensi
regulasi yakni:
1. Dimensi Normatif
Mencakup aspek kepercayaan, nilai, dan ideologi yang mendorong
masyarakat untuk melakukan perbaikan maupun perubahan
2. Dimensi Struktural.
Mencakup/berkaitan dengan kesiapan pemerintah, struktur
kelembagaan, sistem, dan proses sebagai muara yang mengeluarkan
dan mendukung kebijakan dalam pendidikan
3. Dimensi Konstituen,
Yang berkaitan dengan sistem jejaring antara kelompok-kelompok,
massa atau para elit yang yang memberi pengaruh atau berpartisipasi
dalam implementasi kebijakan dan mereka yang akan menikmati
(menjadi sasaran) kebijakan
4. Dimensi Teknis
Mencakup perencanaan, praktik, implementasi, dan evaluasi.

26
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar E.1 Setuju Revisi UU No. 14 Tahun 2005 memisahkan dosen dan
guru
Hasil penelitian IDRI menunjukkan 95,2 % responden dosen setuju
untuk dilakukan revisi UU No.14 Tahun 2005 berupa pemisahan regulasi
antara guru dan dosen seperti pada Gambar E.1. Beberapa alasan mengapa
setuju untuk untuk dilakukan revisi UU No.14 Tahun 2005 berupa pemisahan
regulasi antara guru dan dosen berturut-turut dari alasan terkuat seperti
Gambar E.2 yakni:
a) Kewajiban: Dosen Tridarma Perguruan Tinggi Vs Guru ekadarma;
b) Demi meningkatkan kesejahteraan dosen yang lebih layak dan
profesional;
c) Lebih jelas batasan dan kriteria antara dosen dengan guru;
d) Jenjang pendidikan formal minimal: Dosen S2 Vs Guru S1;
e) Banyak konten dan ayat kurang relevan dengan dinamika dunia dosen;
dan isi terlalu formatif.

Hasil penelitian IDRI juga menunjukkan ada minoritas dosen yakni 4,8 %
responden dosen yang tidak setuju untuk dilakukan revisi UU No.14 Tahun
2005 berupa pemisahan regulasi antara guru dan dosen seperti pada
Gambar E.1. Beberapa alasan mengapa tidak setuju untuk untuk dilakukan
revisi UU No.14 Tahun 2005 berupa pemisahan regulasi antara guru dan
dosen berturut-turut dari alasan terkuat seperti Gambar E.3 yakni:
a) Revisi regulasi tak menjamin pelaksanaan peningkatan hak dan
kesejahteraan dosen;
b) Cukup penegasan dan implementasi ayat-ayatnya;

27
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

c) Mengganggu sertifikasi guru dan dosen; dan


d) Telah jelas mengatur ketentuan umum, kedudukan, profesionalitas,
perlindungan, pembinaan, hak dan kewajiban dosen.

Gambar E.2 Alasan Setuju Revis UU No. 14 Tahun 2005 memisahkah guru
dan dosen

Gambar E.3 Alasan Tidak Setuju Revis UU No. 14 Tahun 2005 memisahkan
guru dan dosen

Dengan berdasarkan beragam kajian, untuk itu IDRI


merekomendasikan kepada DPR RI untuk merevisi UU No. 14 Tahun 2005
untuk memisah guru dan dosen menjadi dua regulasi atau undang-undang
yang berbeda. IDRI siap di undang dan memberikan masukan dan kajian
lebih mendalam untuk kisi-kisi transformasi regulasi dosen Indonesia.

28
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

F. SARPRAS UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING


PERGURUAN TINGGI

F.1. Hakikat Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi


Sarana dan prasarana (sarpras) merupakan komponen penting dalam
menunjang proses belajar hingga untuk mendukung daya saing perguruan
tinggi Indonesia dimasa kini dan masa depan. Apa Perbedaan (2018)
menjelaskan Sarana berfungsi sebagai bagian utama dari sebuah kegiatan.
Karena merupakan bagian utama dari kegiatan tersebut, maka alat ini akan
sangat dibutuhkan untuk kelancaran kegiatan tersebut. Misalnya, dalam
kegiatan produksi, alat yang dimaksud bisa berupa mesin produksi. Fungsi
mesin ini tentunya adalah untuk membuat kegiatan produksi ini berjalan.
Sarana juga dapat diartikan sebagai syarat. Prasarana merupakan fasilitas
umum yang ada di lokasi terjadinya kegiatan tersebut. Bila mengambil
contoh dari kegiatan pendidikan atau sekolah, maka prasarana dapat
berupa jalan dan listrik. Keduanya dibutuhkan untuk kelangsungan kegiatan
utama di tempat tersebut.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional


Pendidikan Pasal 1 angka 8 Standar sarana dan prasarana adalah standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang
belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium,
bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta
sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
Standar sarana dan prasarana pendidikan tinggi bertujuan untuk menjamin
mutu pendidikan tinggi sehingga lulusannya dapat bersaing di era global.
Standar ini akan berfungsi sebagai acuan dasar yang bersifat nasional bagi
semua pihak yang berkepentingan, dalam tiga hal, yaitu (1) perencanaan
dan perancangan sarana dan prasarana; (2) pelaksanaan pengadaan dan
pemeliharaan sarana dan prasarana; dan (3) pengawasan ketersediaan dan
kondisi sarana dan prasarana.

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu prasyarat


yang keberadaannya sangat mutlak dalam proses pendidikan (Kurniawati,
dan Sayuti, 2013: 99). Keberadaan sarana dan prasarana merupakan faktor
penting penunjang keberhasilan belajar karena tanpa adanya sarana dan

29
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

prasarana pendukung yang lengkap maka hal ini akan menyulitkan para
pengajar dan pembelajarnya untuk dapat menerapkan materi pembelajaran
secara realistis (Sugeng, 2017:15).

Sarana pendidikan merupakan peralatan ataupun perlengkapan yang


secara langsung digunakan dalam proses belajar dan mengajar seperti:
gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta media pengajaran. Adapun prasarana
pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya
proses pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, dan jalan
menuju sekolah (Qomar, 2007: 170-171).

Tanpa mengecilkan peran prasarana, pendidikan tinggi yang pada


dasarnya lebih berorientasi pada penerapan keilmuan harus terlebih dahulu
melengkapi fasilitas mereka dengan sarana yang memadai, misalkan seperti:
komputer, LCD, dan bahan ajar lainnya, karena sarana belajar dipandang
lebih penting daripada fasilitas prasarana seperti taman, lapangan olah raga,
dan lain sebagainya.

IDRI memandang bahwa isu sarana pembelajaran perlu menjadi salah


satu prioritas utama. Karena sarana belajar berkaitan langsung dengan
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh para dosen dan dialami oleh
para mahasiswanya. Dalam konteks pembelajaran di perguruan tinggi,
proses belajar yang efektif akan sangat terbantu dengan adanya fasilitas
belajar yang memadai.

Dalam beberapa kasus, para ahli bahkan mengkaitkan keberhasilan


pembelajaran dan kemampuan profesional guru dalam mengajar dengan
kemampuannya dalam menggunakan fasilitas belajar mengajar yang baik
(Brown, 2001). Hal ini karena para ahli percaya bahwa fasilitas belajar
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam menunjang keberhasilan
proses belajar tersebut.

Oleh karena itu, penting sekali bagi para pengelola perguruan tinggi
untuk memahami pentingnya keberadaan fasilitas belajar mengajar yang
memadai untuk dapat mendukung proses belajar para mahasiswanya,
disamping juga memastikan bahwa fasilitas itu tetap terjaga kualitasnya.

30
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Harus kita akui bahwa konsep sarana belajar sering diistilahkan


berbeda oleh para ahli, namun intinya mengacu pada tujuan yang sama,
yaitu usaha untuk memanfaatkan benda, material, dan alat yang
diperuntukkan untuk meningkatkan mutu kegiatan belajar para
pembelajarnya.

Dalam kajian ini, IDRI mengutip pendapat dua ahli yang menyuratkan
adanya perbedaan tersebut, namun masih dalam paradigma yang sama
yaitu pemanfaatan fasiltas untuk memperlancar proses belajar dan
mengajar (Brinton, 2001; Tomlinson, 2016), dan hal tersebut dapat mengacu
pada fasilitas yang secara umum dapat ditemui baik di dalam kelas ataupun
di luar kelas, seperti: realia, kerajinan tangan, internet, komputer, LCD, dan
sebagainya.

Lebih lanjut, IDRI memandang bahwa, terlepas dari masih


terbatasnya prasarana yang dimiliki oleh sejumlah perguruan tinggi
(misalkan: infrastruktur jalan, taman, dan fasilitas pendukung pendidikan
lainnya), terdapat sarana belajar yang mutlak disediakan oleh para
pengelola perguruan tinggi tersebut (komputer, LCD, internet, dsb.),
sehingga perguruan tinggi tersebut dapat melaksanakan kegiatan
pembelajaran yang efektif, dan bermakna.

Secara mikro (hal yang berkaitan dengan proses pembelajaran),


penggunaan istilah sarana akan diganti menggunakan istilah media/materi
pembelajaran yang mengacu pada ke dua ahli tersebut di atas. Hal ini
didasarkan pada definisi yang disebutkan oleh Brinton tentang media
sebagai berikut “anything used by the teacher to facilitate the teaching
process”(2001: 20).

Berikutnya, Tomlinson (2016) mendefinisikan media/material sebagai


“anything which can be used to facilitate the learning of a language,
including course books, videos, graded readers, flash cards, games, websites
and mobile phone interactions” (p. 2).

Berdasarkan definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada


dasarnya fasilitas belajar secara harafiah mengacu pada fasilitas apapun
yang dimanfaatkan dalam menunjang proses belajar – mengajar. Lebih
lanjut, Brinton (2001: 20-21) juga menegaskan bahwa terdapat beberapa

31
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

alasan (rationale) dalam penggunaan media terutama dalam konteks


pengajaran bahasa sebagai berikut: a) Media semakin sering digunakan baik
di dalam ataupun di luar ruangan, b) Media dapat memberikan situasi yang
sebenarnya dan berhubungan (terkonteks) ke dalam lingkungan belajarnya,
c) Media dapat memberikan otentisitas ke dalam ruangan belajar, sehingga
dapat memperkuat imajinasi para pembelajarnya, d) Media juga dapat
memberikan manfaat bagi mereka yang memiliki orientasi belajar yang
berbeda.

F.2. Penggunaan ICT dan Internet sebagai Sarpras


Sehubungan dengan semakin dinamis dan meningkatnya proses
interaksi di antara orang per orang dewasa ini, penggunaan media belajar
yang menjangkau setiap lapisan masyarakat menjadi semakin penting, hal
ini karena, para mahasiswa dan para dosen tidak hanya dituntut untuk
melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, tetapi juga dituntut untuk
mengetahui perkembangan yang terjadi dalam dunia keilmuan tersebut
serta membagikannya sesegera mungkin ke dalam lingkungan
akademisnya, jika tidak bisa jadi lembaga pendidikan tinggi tersebut hanya
akan menjadi penonton di tengah hingar bingarnya kemajuan teknologi dan
pengetahuan saat ini.

Mengacu pada dunia pendidikan, Slavin (2009) menjelaskan bahwa


perkembangan internet dalam dunia pendidikan (terutama di Amerika
Serikat) telah terjadi dengan sangat cepat. Dengan istilah yang berbeda-
beda, seperti computer, ICT, ataupun internet, para ahli percaya bahwa
dalam era global sekarang ini penggunaan computer (Harmer, 2001;
Gebhard, 2009), ataupun internet (Chen, 2013; Wanajak, 2011) atau ICT
(Cohen, Manion, Morrison, dan Wyse, 2010) akan sangat bermanfaat dalam
menunjang proses pembelajaran.

Cohen, Manion, Morrison, dan Wyse (2010: 53) menyebutkan bahwa


ICT merupakan cara mengakses, menempatkan, membagi, memproses,
mengedit, memilih, mengkomunikasikan serta menyajikan informasi ke
berbagai media. Lebih lanjut, Cohen et al (2010: 60) menegaskan bahwa
terdapat banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam menggunakan media
ICT di dalam kelas yaitu:a) meningkatkan prestasi siswa dalam semua
pelajaran dan bagi semua murid/siswa, 2) meningkatkan cara berfikir
sehingga para siswa tersebut dapat mengevaluasi pengetahuan yang

32
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

diperoleh, 3) meningkatkan kemampuan belajar dan juga kemampuan


menyelesaikan masalah, 4) meningkatkan proses belajar dan berkerja sama,
5) meningkatkan motivasi dan keterlibatan pembelajar secara signifikan.

Miarso (2004: 6-7), dengan menggunakan istilah teknologi


pendidikan atau teknologi yang dimanfaatkan untuk pendidikan,
menegaskan bahwa pemanfaatan ICT secara khusus dapat:1) meningkatkan
produktifitas belajar dengan cara meningkatkan kemampuan belajar,
pengelolaan waktu belajar, mengurangi beban guru dalam memberikan
materi dan mengendalikan kelas, dsb. 2). memberikan metode/pendekatan
mengajar yang lebih ilmiah dan lebih berurutan, serta didasarkan pada
prilaku siswa, meningkatkan kualitas belajar, meningkatkan kemampuan
pembelajar karena adanya media komunikasi yang beragam, disamping
juga memberikan informasi dan data yang lebih kongkret. 3). memberikan
kemungkinan adanya pembelajaran “seketika” karena mudahnya
memberikan materi yang terbaru, sehingga mengurangi kesenjangan antara
belajar di dalam ruangan dengan belajar di luar ruangan yang cenderung
berorientasi pada praktek. 4) kemungkinan pemberian program yang lebih
luas dengan memberikan program pendidikan yang lebih beragam, dan
sebagainya.

Dalam konteks pendidikan tinggi, keberadaan on-line learning telah


menunjukkan betapa dampak dari ICT/internet dewasa ini tidak saja
berguna karena bisa membantu para mahasiswa yang tidak bisa menduduki
bangku kuliah yang cukup mahal, tetapi juga menimbulkan masalah bagi
universitas konvensional lainnya (Chen, 2013: 4-5).

Di Amerika Serikat sendiri, sekarang ini terdapat beberapa kampus


terkenal di Amerika Serikat yang menawarkan kuliah secara besar-besaran
pada jutaan mahasiswa agar mereka dapat memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan tinggi di universitas yang baik (Chen, 2013: 5).

Secara lebih spesifik di bawah ini, IDRI membagi manfaat ICT/internet


ke dalam tiga kelompok tugas yang memang berkaitan erat dengan tugas
–tugas dosen yaitu, mengajar, meneliti, dan melakukan kegiatan
pengabdian masyarakat.

33
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

a) Mendukung proses pembelajaran


Penggunaan media dalam proses pembelajaran adalah hal yang sangat
penting. Penggunaan media ICT/Internet dapat digunakan untuk
membantu memberikan pembelajaran yang efektif dan bermakna.
Penggunaan ICT dalam proses pembelajaran bisa dalam bentuk yang
terpisah seperti dalam penggunaan lab-bahasa, tetapi bisa juga dalam
bentuk audio-visual yang dapat didiskusikan bersama.
Lebih lanjut, akses terhadap jurnal, tulisan ilmiah, serta artikel ilmiah,
ataupun berita dapat dengan mudah diakses dan didiskusikan secara
bersama-sama ataupun dengan menggunakan group work. Slavin (2009)
percaya bahwa pembelajaran yang baik adalah yang memancing para
pembelajar untuk mengeksplor, dan melatih perfikir kreatif oleh karena itu,
pemberian materi secara kontekstual dan bersifat update (baru) akan sangat
bermanfaat.
Dimasa yang akan datang, penggunaan ICT untuk menunjang proses
belajar secara on-line baik di dalam lembaga ataupun lintas lembaga,
sangatlah memungkinkan. Seperti kita ketahui biaya pendidikan di luar
negeri tentulah sangat besar, pemanfaatan ICT untuk melakukan on-line
learning dengan universitas manca negara merupakan hal yang
memungkinkan, dan lebih menghemat biaya daripada mengirimkan
mahasiswa secara langsung yang tentu saja harus mengeluarkan banyak
biaya dan mengikuti prosedur yang cukup rumit.

b) Mendukung proses penelitian


Penggunaan media ICT/Internet, serta web lainnya yang bersifat ilmiah
seperti Scopus, ebsco, atlantis, Eric. Edu, adalah web yang sangat
bermanfaat untuk digunakan, oleh karena itu para dosen dan mahasiswa
dapat memanfaatkan sumber tersebut untuk mencari, dan membandinkan
trend kajian ataupun penelitian yang ada, dan semua ini tentu saja akan
sangat bermanfaat untuk tetap mengetahui perkembangan ilmu
pengetahuan serta tren terbaru.

c) Mendukung proses pengabdian masyarakat.


Permasalahan yang timbul dalam masyarakat, serta berita terbaru dapat
diakses dengan mudah dalam media ICT, dengan memberikan materi yang
sangat current akan sangat mudah bagi para mahsiswa untuk mengetahui
kondisi, tantangan, serta kemungkinan solusi yang dapat dilakukan
berdasarkan kajian teori yang dibahas.

34
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

F.3. Dasar Hukum Sarpras Pendidikan Tinggi


Sugeng (2017:18) menyatakan bahwa sebenarnya telah terdapat
dasar hukum atas pemanfaatan sarana dan prasarana di sekolah yang secara
spesifik, misalkan adanya 1) Adanya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan bahwa: a) Setiap
satuan pendidikan formal dan nonformal harus menyediakan sarana dan
prasana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan dengan
pertumbuhan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik (pasal 45). b)
Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada
semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.

Sebagai salah satu sarana yang IDRI anggap sangat penting, maka
sudah seharusnya pemerintah mulai memberikan dorongan agar para
pengelola perguruan tinggi mulai memberikan perhatian pada
pemanfaatan teknologi internet mengingat teknologi ini tidak hanya dapat
memberikan kemudahan dalam proses belajar tetapi dapat juga
mendorong para mahasiswa untuk dapat belajar lebih mandiri.

Rajasingham (n.d.) menegaskan bahwa pemanfaatan teknologi


internet adalah merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, terlebih lagi
dalam dunia pendidikan dimana di masa yang akan datang setiap negara,
terutama Asia akan mengalami masalah yang cukup serius dalam beberapa
hal: penyediaan kesempatan pendidikan bagi anggota masyarakatnya yang
terus bertambah, dan biaya pendidikan yang relatif mahal.

“Home to nearly half the world’s students, the demand for higher
education in Asia is rising in proportion to living standards. According
to IDP Education Australia, this number is predicted to rise from 17
million in 1995 to 87 million by 2020 especially in China and India.
The modern university cannot cope. China will be unable to supply
the 20 million university places required to meet the needs of its
growing economy, and by 2015 India will struggle to supply 9 million
places that will be needed. Therefore e-learning solutions are
gaining popularity (Rowe 2003)”.

35
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Berdasarkan kajian dari pakar terrsebut, jelaslah bahwa peran


IC/internet untuk pendidikan tinggi bersifat sangat penting, oleh karena itu
IDRI percaya walaupun pemerintah telah membuat peraturan yang
mengharuskan perguruan tinggi untuk menyiapkan fasilitas sarana dan
prasarana dengan baik, namun tentu saja hal itu diperjelas dengan
ketentuan tambahan, sehingga para manajemen perguruan tinggi tersebut
dapat mengetahui program, serta langkah apa yang harus diambil dalam
meningkatkan daya saing perguruan tingginya terutama yang berkaitan
langsung dengan pemanfaatan teknologi ICT tersebut. Disamping itu,
dengan adanya aturan yang lebih khusus, maka para stakeholders
pendidikan tinggi dapat lebih memperkirakan dan mengatur biaya yang
harus dikeluarkan sehubungan dengan adanya ketentuan pemerintah
tersebut.

Mengacu pada peraturan pemerintah yang mengatur pemanfaatan


sarana dan prasarana, IDRI berpendapat bahwa sebaiknya pemerintah juga
membuat aturan pemerintah yang lebih khusus, disertai dengan insentif
yang dapat diberikan pada pengelola perguruan tinggi yang memiliki
sarana yang memadai (sesuai standard pemerintah). Hal ini penting karena
para pengelola perguruan tinggi ini sudah harus memulai meningkatkan
kemampuannya tidak hanya dalam memberikan proses pengajaran yang
baik, tetapi juga dalam memberikan dan mendorong para pembelajarnya
untuk lebih kreatif, dan mandiri dalam belajar.

Hasil penelitian IDRI menunjukkan ada beberapa saran untuk


peningkatan kuantitas, kualitas dan penggunaaan sarana dan prasarana
udemi peningkatan daya saing perguruan tinggi seperti Gambar F.1
berturut-turut dari paling direkomendasikan yakni:
a) Dukungan khusus untuk Perguruan Tinggi baru, binaan, dan Tertinggal,
Terdepan, Terluar;
b) Memfasilitasi kerjasama penggunaan sarpras antar perguruan tinggi,
instansi pemerintah dan swasta sewilayah;
c) Pemetaan digital sarpras perguruan tinggi se-Indonesia dan open
access untuk mempermudah akses dan penggunaan;
d) Pendanaan kompetitif berbasis produktivitas pengajuan;
e) Sosialisasi lebih intensif dan tepat sasaran untuk bantuan sarpras;
f) Audit efisiensi penggunaan dan efektifitas kinerja sarpras; serta
g) Keringanan/bebas pajak impor dan prosedurnya untuk sarpras
pendidikan tinggi.

36
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar F.1 Saran Peningkatan Sarpras untuk Daya Saing Perguruan


Tinggi

37
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

F.4. Rekomendasi
a. Dalam konteks penggunaan sarana/media pembelajaran IDRI
mendorong pemerintah untuk selalu mengawasi, dan mengarahkan
para pengelola/manajemen perguruan tinggi untuk selalu
memberikan media pembelajaran yang layak pada para mahasiswa,
dan dosennya sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan
baik.
b. Bila diperlukan, pemerintah harus memberikan stimulus dan
pengurangan beban pajak, insentif, ataupun bantuan lainnya sehingga
memungkinkan perguruan tinggi untuk memiliki fasilitas ICT yang
memadai.
c. Hasil observasi menunjukkan bahwa para pengelola lembaga
pendidikan sering mengeluhkan anggaran yang cukup besar (perlu
penelitian lanjutan) yang dikeluarkan dalam memfasilitasi para
mahasiswa agar bisa mengakses wifi, dan materi pembelajaran on-line
(termasuk jurnal ilmiah on-line). Padahal, bila pemerintah bisa
memfasilitasi proses pembelajaran on-line, maka para mahasiswa
tersebut akan dapat belajar secara lebih mandiri yang tentu saja akan
meningkatkan mutu dan krediblitas lembaga-lembaga tersebut.
d. Apalagi dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu cepat,
dan adanya keharusan untuk membuat penerbitan di lingkungan
akademis internasional, pemanfaatan internet sebagai wadah
komunikasi, berbagi, dan mendiskusikan pengetahuannya akan
sangatlah penting.
Untuk itu, pemerintah dapat memulai dengan membuat fasilitas
internet/web yang dapat membagi informasi, karya ilmiah (baik dalam
dan manca negara), serta interaksi dengan para pembelajar/dosen
tentang hal yang dianggap baru di dunia sains, pengetahuan, dan
teknologi.
Dengan adanya fasilitas ini bukan tak mungkin di kemudian hari,
kesenjangan antara PT yang baik dan yang kurang baik akan
berkurang karena, semua perguruan tinggi dapat mengakses
informasi terbarukan/terkini tentang hal-hal yang berkaitan dengan
pembelajaran, penelitian dan mungkin pengabdian masyarakat yang
juga menjadi tanggungjawab dari para dosen.
e. Pemanfaatan media internet ke depan, tidak hanya difokuskan pada
aspek micro saja (hanya dimanfaatkan untuk media pengajaran saja),
tetapi harus terus dikembangkan menjadi sarana macro (prasarana

38
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

pendukung kegiatan belajar dalam skala yang lebih besar) agar daya
saing PT dapat terus meningkat, karena mudahnya mengakses
informasi yang berkaitan dengan perkembangan keilmuan, dan
teknologi yang dibutuhkan oleh perguruan tinggi tersebut.

Menurut pengamatan IDRI, dewasa ini, masih banyak perguruan


tinggi yang belum mempunyai kecukupan anggaran untuk memiliki fasilitas
ICT/Internet yang cukup memadai, sehingga akses pada digital library, dan
jurnal-jurnal bergengsi hanya menjadi priviledge kampus-kampus besar
saja.

39
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

G. SISTEM PEMBINAAN KARIR DOSEN


Karir dosen sungguh perlu di bina secara sistematis. Prof. Ali Nina
LicheSeniati pada 2009, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia,
menawarkan gagasannya mengenai Psikologi Perguruan Tinggi (Psychology
of Higher Education). Dalam risalahnya sepanjang 33 halaman, Seniati
(2009) menyampaikan bahwa dalam rangka menjadi Universitas Berkelas
Dunia (World Class University), terdapat sejumlah dimensi psikologis yang
perlu diintervensi, baik pada tingkat individu maupun organisasional.
Psikologi Kognitif hendaknya mampu mengubah persepsi dosen yang
selama ini bias/menyimpang tentang riset (bahwa riset itu “barang sulit”,
dan sebagainya). Psikologi Belajar, khususnya Pengkondisian Operan,
hendaknya membuat perguruan tinggi menerapkan sistem imbalan dan
hukuman yang tepat terkait dengan perilaku riset dan publikasi dosen.
Psikologi Komitmen Organisasional hendaknya digunakan untuk
menguatkan identitas, keterikatan emosional, persepsi keuntungan, dan
loyalitas dosen sebagai sumber daya manusia dari perguruan tinggi.

Psikologi Kepemimpinan hendaknya menyadarkan kita bahwa


karakteristik kepemimpinan global, seperti adil, inspiratif, berintegritas,
visioner, egaliter, solutif, ilmiah dalam pengambilan keputusan, peka
terhadap kesejarahan dan keragaman dalam organisasi, serta mampu
mengembangkan secara berkelanjutan tingkat kepuasan dosen yang
kontributif terhadap perguruan tinggi adalah ciri-ciri yang mutlak
dipersyaratkan guna menuju Universitas Berkelas Dunia. Psikologi
Humanistik seyogianya mampu mengawal pengembangan potensi dosen
dengan dukungan struktural dari perguruan tinggi. Psikologi Kepribadian
hendaknya menginspirasikan bahwa sifat kebaikan hati, keterbukaan hati
dan telinga, serta kesungguhan dan ketekunan perlu menjadi kriteria dasar
seleksi dosen untuk menghasilkan dosen yang berjiwa peneliti yang tinggi.
Teknik Pusat Penaksiran (Assessment Centre) hendaknya dikembangkan
untuk seleksi dosen baru yang memiliki kompatibilitas dengan semangat
Universitas Berkelas Dunia.

Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi; di samping kriteria objektif,


yang dapat dilihat pada situs web pemeringkat Universitas Berkelas Dunia
seperti Times Higher Education (THE) dan Quacquarelli Symonds (QS),
terdapat kriteria subjektif sebuah universitas berkelas dunia (Abraham,
2017), bahwa: “Ada sebuah pertanyaan menggelitik, 'Suasana seperti apa

40
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

yang perlu untuk mencapai World Class, ketujuh kriteria tersebut?' Tidak
cukup dengan kapital/modal ataupun infrastruktur, namun perlu suasana
yang akan me-mix itu semua.” Kriteria subjektif ini IDRI adopsi dari
perumpamaan (boleh dilihat juga sebagai rumusan) yang dikemukakan Prof.
Dr. Satrio SoemantriBrojonegoro (dalam Putra, 2015), Mantan Dirjen Dikti,
yakni: “Kampus tidak boleh kaku dan kampus tidak boleh diatur. Kalaupun
ada aturan, aturan dan SOP kampus tidak boleh seragam. Jadi, ibarat buah-
buahan, ada durian, nenas, dan apel. Tidak mungkin kita membandingkan
buah-buahan tersebut karena memang satu sama lain berbeda. Yang harus
kita lakukan adalah bagaimana menghasilkan durian, nenas, atau apel yang
paling baik.

Implikasi awal sederhana dari pernyataan ini adalah pertanyaan:


Apakah dosen mungkin untuk menjadi "maestro" dalam semua dimensi dari
kewajiban tridarmanya?” Sebagai misal: Ada dosen yang sangat mencintai
darma pengabdian kepada masyarakat dengan menggunakan pendekatan
eklektik (meramu berbagai teori yang sesuai untuk menyusun modul dan
menggunakan modul itu untuk mengintervensi masyarakat); ada dosen
yang sangat passionatedalam darma penelitian. Bagaimana agar analogi
"buah-buahan" itu berlaku? Perlukah sistem seleksi Dosen Berprestasi
bersifat apresiatif dan mengakomodasikan diferensiasi semacam itu? Perlu
adanya pemikiran kembali sehingga sistem tidak bersifat monotonik seolah-
olah Dosen Berprestasi pasti unggul sekaligus dan merupakan "superman"
dalam ketiga darmanya.

Ungkapan Brojonegoro tersebut tepat menyentuh jantung psikologi,


yakni penghargaan atau apresiasi terhadap perbedaan individual (individual
differences). Dosen yang adalah manusia tidak dilihat sebagai statistik,
melainkan sebagai manusia. Sementara itu, sebuah hal fundamental yang
menyusun manusia dan membuat manusia berbeda satu sama lain adalah
pemaknaan, penghayatan, pembadanan, dan perwujudan dari
kebebasannya. Satu kata kunci yang tidak muncul secara eksplisit dalam
risalah Seniati (2009) adalah kebebasan, khususnya kebebasan akademik
(academic freedom). Senapas dengan ungkapan Brojonegoro, menurut
hemat IDRI, seluruh pendekatan berbasis psikologis yang dikemukakan oleh
Seniati (2009) sangat berharga, namun hendaknya berkonvergensi pada
(ataupun dibalut oleh) garansi atau penjaminan kebebasan akademik. Baru-
baru ini, Teresa A. Sullivan, Rektor Universitas Virginia (dalam Baty, 2017)

41
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

menandaskan hal yang seharusnya menjadi “hukum besi” universitas


manapun, yakni “To be truly world class, a university must practise an
unrestrictive style of governance. The university’s governance structures
must relax controls sufficiently to allow faculty creativity to flourish.... A
world-class university should be a meritocracy in every respect – in
organisation and leadership, and in teaching, research and service.
Academic freedom is an essential quality for a world-class university”.
Tidak ada Universitas Berkelas Dunia tanpa kebebasan akademik di
dalamnya.

Oleh karenanya, penting untuk mengenali dimensi-dimensi dari


kebebasan akademik. Dimensi-dimensi itu adalah (Karran dan Mallinson,
2018): (1) Kebebasan untuk menentukan (freedom to determine), misalnya
menentukan pedagogi pengajaran, menentukan topik penelitian,
menentukan tempat diseminasi hasil penelitian, dan sebagainya; (2)
Pengelolaan diri (self-governance), misalnya kebebasan untuk menyuarakan
opini terkait dengan sebuah lembaga, berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan universitas, bebas menggabungkan maupun melepaskan diri dari
posisi-posisi dalam universitas; (3) Tenure, yaitu berhak untuk memperoleh
keamanan pekerjaan dalam universitas berdasarkan prosedur penelaahan
riwayat dan reputasi akademik secara wajar; dan (4) Privilise, misalnya bebas
untuk mempertanyakan dan menguji kebijakan yang dilimpahkan
kepadanya, bebas mengemukakan gagasan baru/kontroversial/tidak
populis tanpa harus terjebak dalam risiko kehilangan pekerjaan. Hal yang
menarik dalam kajian Karran dan Mallinson ialah bahwa kebebasan
akademik merupakan bagian dari perjuangan ilmiah (scientific endeavor).
Hal inilah yang merupakan jembatan penjelasan terpenting mengenai
mengapa kebebasan akademik menjadi prasyarat sebuah Universitas
Berkelas Dunia.

Universitas Berkelas Dunia dalam arti sebenar-benarnya, menurut


IDRI, merupakan universitas yang melakukan perjuangan ilmiah yang hebat.
Guna memberikan deskripsi operasional mengenai perjuangan ilmiah yang
buruk, dapat diambil contoh ungkapan Crandall (2018): “Editors are
gatekeepers, but they must situate the gate at a place where entry can be
earned by all. We suggest that the current Editor has failed at this, and
substantially and repeatedly so.... We consider this behavior an abuse of
power, which should be condemned by the field and by APS” yang

42
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

mengkritik praktik dari Robert Sternberg, seorang psikolog dan editor jurnal
Perspectives on Psychological Science, 13(2), Maret 2018, yang
menyalahgunakan posisinya dalam proses rekrutmen penulis dan sitasi. Kita
dapat membayangkan bahwa perjuangan ilmiah, baik pada tingkat
individual maupun sosial-struktural sangat perlu diusahakan waktu demi
waktu.

Bagaimana implikasi dari kebebasan akademik? Proses seleksi,


perawatan, pembinaan, pemberdayaan, dan promosi dosen maupun
pemimpin, pengelola dan pelayan dalam perguruan tinggi hendaknya
menjadikan kebebasan akademik sebagai parameter utamanya. Ironisnya,
berbagai kepentingan politis dan ekonomis yang mempengaruhi kampus
(eksternal) maupun yang beroperasi di dalam kampus itu sendiri (internal)
seringkali membuat kebebasan akademis terlanggarkan dan terusakkan;
padahal, kebebasan akademik lah yang merupakan faktor determinan
bertahannya ilmuwan-ilmuwan terbaik dalam sebuah kampus (Tierney dan
Postiglione, 2015). Itu dari sisi organisasi.

Gambar G.1 Unsur-unsur Pembinaan Karier (School of Medicine,


Vanderbilt University, url: https://medschool.vanderbilt.edu/career-
development/blog/path-career-compendium-interview-questions).

43
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar ini memperlihatkan elemen-elemen yang penting


diintegrasikan dalam sistem pembinaan karier dosen oleh sebuah
universitas. Dimulai dari perencanaan jalur karier, proses berjejaring
(termasuk penentuan mentor; dalam program Kemristekdikti terdapat
“pencangkokan dosen”), penggalian diri (termasuk pengembangan
keterampilan, kemampuan menulis resume dan proposal hibah),
asesmen/pemeriksaan diri, penentuan tujuan (goal setting), strategi
pencarian, dan menghadapi jalan buntu (navigating dead ends). Unsur-
unsur ini apabila dijalani dengan baik dalam periode waktu yang wajar akan
membuat seorang dosen semakin bebas secara akademik dan percaya diri
dalam melalui jenjang kariernya mulai dari Asisten Ahli hingga Guru Besar
karena pertambahan kemampuan yang relatif permanen di setiap langkah
akan signifikan berkontribusi terhadap academic grading seorang dosen.

Dalam kaitan dengan penggalian diri di atas, berdasarkan survey


yang dilakukan oleh IDRI pada 8-9 April 2018 yang melibatkan 208
responden, diketahui bahwa dosen sangat membutuhkan (1) Program
induksi mengenai dunia kedosenan secara umum, pedagogi (cara mengajar,
manajemen kelas), (2) Pengembangan kemampuan menulis ilmiah (di
dalamnya termasuk menulis dalam bahasa Inggris dan publikasi ilmiah
internasional bereputasi). Yang menarik bahwa, di era digital ini, dosen
secara khusus mengharapkan agar program-program tersebut
diselenggarakan secara daring (online) dan gratis; misalnya dengan
memvideokan pelatihan/pendidikan/sosialisasi dari Kemristekdikti di
berbagai tempat di Indonesia yang dapat diakses oleh dosen dan publik
melalui repositori daring.

Dari sisi dosen: Dosen yang tidak mau menerima fakta bahwa dirinya
memiliki kebebasan akademik, tidak bersedia menyadari eksistensi
kebebasan akademiknya, malahan tidak mau melaksanakan kebebasan itu,
patut dipertanyakan sejak dini motivasinya untuk menjadi dosen. Memang
agak mengherankan dan terdengar “kontra-intuitif” bahwa ada
kemungkinan (calon) dosen menolak fakta kebebasan akademisnya.
Seorang psikoanalis sosial, Erich Fromm, sudah meramalkannya dan pernah
menulis buku berjudul Escape from Freedom (1941), atau “Lari dari
Kebebasan”. Kebebasan memang berisiko tinggi; banyak manusia (jadi:
termasuk dosen) yang tidak sanggup menanggung kebebasan dan hal ihwal
yang termasuk di dalamnya, sehingga menyerahkan diri pada

44
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

otoritarianisme. Dalam kaitan dengan ini, Dubrovskiy (2017) mengutip


sebuah ungkapan dari Richard Shaull, yang penting ditulis ulang di sini:
“There is no such thing as a neutral educational process. Education
either functions as an instrument which is used to facilitate the
integration of the younger generation into the logic of the present
system and bring about conformity to it, or it becomes ‘the practice
of freedom’, the means by which men and women deal critically and
creatively with reality and discover how to participate in the
transformation of their world.” (Dubrovskiy, 2017, h. 172).

Kebebasan dapat mengubah dunia, namun sekali tidak dilaksanakan,


maka orang pasti jatuh pada sisi ekstrim lain, yakni konformitas. Tidak ada
wilayah netral, atau pun tempat untuk meletakkan “dua kaki”. Memang
lebih mudah menjatuhkan diri dalam konformitas buta terhadap sistem
pendidikan, namun apakah itu yang kita kehendaki untuk menjadi sebuah
Universitas Berkelas Dunia?

Gambar G.2 Sistem Pembinaan Karir Dosen

Hasil penelitian IDRI seperti gambar G.2 memperlihatkan ada


beberapa saran prioritas untuk pengembangan karir dosen yakni:
a) Status dan simulasi online untuk setiap jenjang jabatan akademik dan
sertifikasi dosen;
b) SISTER (Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi);

45
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

c) Penilaian Angka Kredit (PAK) Online;


d) Program Pengembangan Dosen online dan gratis yang
diselenggarakan negara;
e) Program Induksi Dosen baru (Cara mengajar, dunia dosen, manajemen
kelas) online dan gratis yang diselenggarakan negara;
f) Pendidikan jalur karir, proses berjejaring, penggalian diri, evaluasi diri,
penentuan tujuan, strategi pencarian dan jalan buntu/ manajemen
stress;
g) Alert system untuk mengingatkan dosen agar memenuhi suatu target
jabatan akademik; dan
h) Memvideokan pelatihan-pendidikan-sosialisasi RISTEK DIKTI dan
dapat diakses untuk umum.

Guna memperdalam pengertian tentang kebebasan akademik, IDRI


mengadopsi pengertian “sehat mental, yakni bukan hanya ketiadaan
penyakit fisik maupun jiwa, melainkan juga mampu menyadari potensi
dirinya, mampu menanggulangi tekanan hidup normal, mampu bekerja
secara produktif, serta mampu berkontribusi terhadap masyarakatnya
(World Health Organization, 2014). Diaplikasikan pada kebebasan akademik,
hal ini bermakna bahwa “bebas secara akademik bukan hanya sekadar
tidak terganggunya kebebasan itu (oleh intimidasi, teror, korupsi,
kepentingan politik, dan sebagainya), melainkan juga dosen mampu
mengoptimalkan perwujudan talenta dirinya, mampu menjawab tantangan
terhadap kebebasannya, serta membuahkan karya dari kebebasannya itu
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk komunitasnya.

Kebertanggungjawaban terhadap diri sendiri dan masyarakat


sebagai konsekuensi dari kebebasan akademiknya sejalan dengan premis
dasar bahwa kebebasan merupakan entitas yang sangat berharga yang
membuat manusia berharkat dan bermartabat. Sabdono (2016, bab 8),
menyatakan: “Jika pemberian yang berharga tanpa tanggungjawab, maka
hal itu membuat pemberian itu sendiri menjadi tidak berharga.” Oleh
karena itu, pelaksanaan kebebasan akademik seyogianya pasti
“berkarakter”, dalam arti memberikan perhatian pada pokok pikiran
psikologi kritis (critical psychology), yakni bahwa penting bagi proses
pendidikan untuk “to advocate and voice the opinion of the unheard
minority and liberate the marginalized” (Abraham dan Prayoga, 2017, h.
123).

46
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Bahkan sebelum sampai ke sana, kebertanggungjawaban terhadap


masyarakat sebagai konsekuensi inheren-logis dari kebebasan akademik
dapat diwujudkan dalam “kewargaan akademik” (academic citizenship)
(Dean dan Forray, 2017). Sebagai warga akademik yang baik, ilmuwan perlu
menyadari bahwa posisinya bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga
membantu sesama (calon) ilmuwan melalui tinjauan rekan setara (peer
review) dalam berbagai bentuk (tulisan penilaian, pendampingan, dan
sebagainya), meskipun sebenarnya bukan merupakan bagian dari key
performance indicator primernya. Kendati demikian, hal ini juga perlu
didukung secara struktural oleh sebuah sistem yang mencatat tindakan
kewargaan tersebut sebagai sebuah kontribusi intelektual sebagaimana
seseorang menulis sebuah artikel yang memiliki original contribution.

IDRI merekomendasikan agar saran-saran dari Dean dan Forray


(2017) dapat diadopsi dan diimplementasikan oleh ADEI (Asosiasi Dewan
Editor Indonesia) maupun diintegrasikan dalam Sistem Pembinaan Karier
Dosen Kemristekdikti. Betapa pentingnya saran mereka karena menegakkan
pelaksanaan kebebasan akademik serta menjamin keberlangsungan
ekosistem ilmiah yang bermutu, sehingga IDRI memaparkan ulang
beberapa dari satu lusin gagasan Dean dan Forray (2017, h. 3-5), yakni: (1)
Offer letters from the Editors-in-Chief (EICs) that acknowledge a reviewer’s
work and, if relevant, what the reviewer rating is; (2) Advocate for systemic
change in the way reviewing is rewarded and valued; (3) List details of
reviewing under “Intellectual Contributions” on one’s CV; (4) Include
reviewing within scholarly activity in annual performance reports and on
websites and other public displays of scholarly activity; dan (5) Change
cultural expectations to one of “pay back” for reviewer energy. Dalam era
digital dewasa ini, kita juga perlu memikirkan kembali bagaimana kita akan
menilai kontribusi intelektual seorang mitra bestari, dan siapa sajakah yang
dapat dianggap sebagai “mitra”? Apakah memberikan kritik dan saran
pengembangan artikel melalui academic social media atau kolom komentar
yang tersedia dapat direkognisi sebagai aktivitas kontributif intelektual dan
karenanya berkualifikasi sebagai mitra bestari? Bagaimana menyusun
“metrik baru” yang apresiatif terhadap perilaku kewargaan akademik, dan
mengintegrasikannya dalam sistem Beban Kerja Dosen (BKD), misalnya?

Kita perlu menyadari bahwa bukan hanya semakin bebas, semakin


bertanggungjawab kita, melainkan juga semakin bertanggungjawab,

47
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

semakin bebas kita (Magnis-Suseno, 1987). Misalnya, Kementerian


Ristekdikti perlu memfasilitasi kebebasan akademik dosen dengan
membuka kesempatan seluas-luasnya bagi dosen untuk menempuh studi
lanjut maupun melakukan penelitian dalam berbagai skemanya, tetapi
tanpa dosen harus terlalu tegang di antara perubahan-perubahan regulasi
terkait kriteria/kualifikasi penerima (awardee)-nya maupun dalam penantian
pencairan dananya. Apabila kebebasan ini dilaksanakan dengan
tanggungjawab, maka baik dosen maupun Kemristekdikti semakin
memperoleh “kebebasan-kebebasan baru” berkat inovasi ilmu dan
teknologi yang dihasilkan baik oleh individu maupun kelompok dosen yang
menjalani studi lanjut maupun penelitian. Kebebasan-kebebasan baru inilah
yang akan semakin mengantarkan pada terbukanya jalan menuju
Universitas Berkelas Dunia. Logika ini cukup linear namun banyak juga yang
tidak menyadarinya, sehingga “Menganugerahkan kebebasan”
dipandang sebagai “beban anggaran” dan “Menjawab kebebasan”
dipandang sebagai “beban administrasi”. Penyamaan persepsi dalam
konteks ini sangatlah perlu.

Bagaimana halnya dengan relasi antara perguruan tinggi dan


mahasiswa? Dengan mengasumsikan bahwa mahasiswa juga memiliki
kebebasan akademik, maka menjadi tidak tepat lagi istilah “membangun
mahasiswa” yang kerap terdengar selama ini. Magnis-Suseno (1995, h.
190-191, 196) menjelaskan: “Dalam arti yang sebenar-benarnya, manusia
tidak dapat dan tidak boleh dicoba dibangun. Mengapa tidak? Karena
manusia itu bukan batu, bukan benda mati, melainkan makhluk hidup,
bahkan makhluk yang berkepribadian, bercita-cita, berkebebasan,
bertanggungjawab, bersuara hati. Bukankah bahasa pembangunan adalah
bahasa bagi hubungan antara manusia dan benda, dan bukan bagi
hubungan antar manusia? ... Mau membangun manusia berarti secara
implisit, barangkali tanpa disadari, bahwa manusia dibicarakan, lalu juga
diperlakukan, sebagai benda mati. Sikap tepat manusia terhadap manusia
adalah komunikasi.... (K)ita semua saling mendukung dalam
mengembangkan diri dan lingkungan kita, di mana semua terlibat sesuai
dengan kecakapan, kedudukan dan tugas masing-masing, dalam sikap
hormat terhadap martabat kita semua sebagai manusia.” Kita tidak boleh
mewajibkan mahasiswa mengerjakan skripsi dengan menggunakan hanya
metodologi kuantitatif, misalnya, dengan mengatas namakan
“membangun mahasiswa yang bernalar lebih lurus”.

48
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Sebagai rekomendasi kebijakan, IDRI sesungguhnya telah


menyampaikan beberapa butir ajuan praktis sepanjang tulisan di atas, mulai
dari penggunaan bahasa (“Membangun?”) sampai dengan saran praktik
proses rekrutmen dan penciptaan iklim umum perguruan tinggi. Sebagai
masukan akhir, IDRI mengajak kita semua guna, tidak hanya menjaga
kebebasan akademik dari keterancaman, melainkan juga menumbuh-
suburkanperwujudan dari kebebasan itu. Salkin (2014), empat tahun yang
lalu, telah mengingatkan kita mengenai berbagai kasus yang mengganggu
kebebasan akademik di berbagai belahan dunia, seperti kebijakan kontrol
dan “sweeping” media sosial dosen dan mahasiswa di University of
Kansas yang dituduh bertentangan dengan “kepentingan terbaik”
kampus, serta pemecatan seorang dosen di University of Colorado at
Boulder karena memberikan kuliah mengenai prostitusi dengan metode
teatrikal yang unik. Mahfud MD (1997) menyatakan bahwa kebebasan
akademik, yang mencerminkan kebebasan perguruan tinggi untuk
berfungsi dan melaksanakan darma perguruan tinggi tanpa intervensi
kekuasaan luar, dapat pula terancam oleh pengkultusan tenaga akademik
tertentu oleh pemujanya atau pemuja ajarannya. Bahkan verbalisasi spontan
seorang tokoh kampus yang tidak relevan dengan keahliannya dianggap
sebagai pendapat yang otoritatif. Hal ini menurut Mahfud MD merupakan
kebebasan akademik yang “kebablasan”.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut pemahaman sebagian


orang, Indonesia pernah mengalami krisis kebebasan akademik ketika
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus diterapkan oleh Mendikbud saat
itu Daoed Joesoef (Galih, 2016). Di era digital dan perlombaan universitas
menjadi Universitas Berkelas Dunia seperti sekarang ini, apakah krisis
kebebasan akademik masih mungkin terjadi? Sebuah isu yang relevan yang
menjadi diskusi yang cukup hangat dalam sebuah social media groupdari
para dosen akhir-akhir ini adalah mengenai kebijakan jumlah penulis dalam
sebuah artikel jurnal atau prosiding ilmiah. Sudah sejak 1982, White,
Dalgleish, dan Arnold melaporkan bahwa: “Longitudinal data derived from
the American Journal of Psychology, the British Journal of Psychology, and
Psychological Abstracts were examined and revealed that over the last 50
years, there has been a significant decrease in the frequency of single-
author papers” (White, Dalgleish, dan Arnold, h. 190). Lebih lanjut, Greene
(2018) melaporkan bahwa: “During the editorship of Philip Campbell (1995
onwards), the single author has all but disappeared”. Kecenderungan-

49
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

kecenderungan tersebut kemudian dijadikan bahan bangunsejumlah


kebijakan yang berkeberatan terhadap artikel dengan penulis tunggal (lihat:
Noor, 2013).

Ada juga jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia yang menolak artikel


karena artikel tersebut pada saat submissiondiketahui oleh Editor sudah
berada di preprint server (seperti http://osf.io dan http://inarxiv.id) dan
menganggapnya sebagai tindakan plagiarisme diri. Perlu kita ingat juga hal
yang diungkap oleh McKiernan (n.d.): “You don’t have to sacrifice quality
or academic freedom to publish openly.” Apakah transparansi penulis
untuk membuka kepada publik naskahnyasejak awal proses publikasi
memang relevan untuk dikritik dan, karenanya, berpotensi mengorbankan
kebebasan akademik? Padahal, dalam wajah yang lain, tindakan akuntabel
semacam itu sudah disarankan sejak pangkalnya, yakni pre-registrasi. Pre-
registrasi adalah tindakan untuk meregistrasikan secara daring (online;
misalnya melalui http://osf.io) −dan karenanya juga berarti:
mengumumkan− hipotesis, desain, dan langkah-langkah beserta rincian
spesifik penelitian sebelum pengumpulan data empiris dilakukan
(Association for Psychological Science, 2016). Pre-registrasi dan
mengumumkan naskah sebelum mitra bestari melakukan penelaahan ialah
berada dalam satu payung paradigma, yakni Sains Terbuka (Open Science).
Keduanya juga merupakan produk sekaligus aktivitas dari kebebasan
akademik. Kita tidak mungkin menerima yang satu tetapi menolak yang lain.

Yang menjadi fokus pembahasan kali ini bukanlah apakah single-


authorship (juga hyper-authorship, dan jenis-jenis authorship lainnya) serta
tindakan mengarsipkan secara terbuka manuskrip sebelum melalui peer
review harus diterima ataukah dilarang, melainkan perlunya untuk menjaga
kebijakan −mengenai apapun itu− agar selalu diiringi oleh rasionalitas yang
kuat. Rasionalitas tersebut hendaknya dimaterialisasikan dalam arti
dinyatakan secara eksplisit (misalnya, dicantumkan dalam Panduan Bagi
Penulis dalam sebuah jurnal ilmiah), bukan tinggal sebagai kebijaksanaan
implisit sehingga tampil sebagai ambiguitas di tengah-tengah masyarakat
akademik. Dalam hal inilah fungsi manajemen pengetahuan/knowledge
management bekerja. Hal ini menjadi penting khususnya dalam orientasi
nilai kultur nasional Indonesia di mana jarak kekuasaan (power distance)
masih tinggi (Hofstede Insights, n.d.) dan berpotensi mereduksi arti penting
komunikasi (lihat pendapat Magnis-Suseno, 1995, di atas). Sementara itu,

50
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

terdapat bukti-bukti empiris bahwa tingginya jarak kekuasaan berkorelasi


terbalik dengan praktik manajemen pengetahuan (Bamgboje-Ayodele dan
Ellis, 2015; Chmielewska-Muciek dan Sitko-Lutek, 2013). Artinya dalam
suasana yang demikian, proses ko-kreasi kebijakan antara pimpinan dan
yang dipimpin rentan untuk tidak tegar/gigih.

Dalam kaitan dengan praktik manajemen pengetahuan, dibangunnya


SISTer (Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi,
http://sister.ristekdikti.go.id) patut dipuji karena sistem ini akan
mengintegrasikan “sejumlah layanan seperti perubahan data dosen,
penilaian angka kredit (PAK), sertifikasi dosen, Beban Kerja Dosen (BKD), dan
beasiswa” serta di dalamnya “dosen diberi kuasa dan tanggung jawab
atas datanya sendiri” (Ali Ghufron Mukti, sebagaimana dikutip dalam
Napitupulu, 2018). Pengembangan lebih lanjut akan terkait dengan
kekenyalan sistem ini. Sebagai contoh, apakah sistem ini terbuka untuk
dapat dihubungkan dengan (baca: dapat menarik data dari) sistem internal
yang sudah dimiliki oleh sejumlah perguruan tinggi, semudah plug-and-
play? Sebaliknya, apakah keluaran dari SISTer dapat dihubungkan lagi
dengan sistem lain yang di masa depan akan dibangun oleh masing-masing
perguruan tinggi sesuai kebutuhannya? Apakah prinsip replication and
reuse dapat diterapkan dengan mudah? Itu dari sisi hard-nya. Dari sisi soft,
apakah sistem penilaian, konversi, dan pembobotan akan terintegrasi secara
otomatis, misalnya antara SINTA (Science and Technology Index,
http://sinta2.ristekdikti.go.id), BKD dan PAK? Hubungannya dengan
kebebasan akademik, meskipun tidak bersifat langsung, ialah bahwa,
ternyata, seringkali pelaksanaan kebebasan akademik menyita banyak
waktu dosen karena merupakan sebuah lingkar aksi dan refleksi terus-
menerus.

Dengan sistem kependidikan yang efisien dan terintegrasi,


diharapkan pelaksanaan kebebasan akademik tidak dirugikan, minimal dari
sisi waktu, dengan kesibukan yang lebih kental nuansa administratifnya.
Dalam kaitan dengan relaksasi upaya administratif ini, berdasarkan survey
yang dilakukan oleh IDRI pada 8-9 April 2018 yang melibatkan 208
responden, diketahui bahwa dosen sangat membutuhkan (1) simulasi PAK
online untuk setiap jenjang jabatan akademik, sehingga secara real time,
dosen mengetahui (2) status dan kekurangan angka kredit, (3) dan cara
untuk melengkapi kekurangan tersebut; dan oleh karenanya secara teknis,

51
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

dosen menghendaki dibangunnya (3) sistem pengingat (alert system) untuk


memenuhi target jabatan akademik dalam kurun waktu sewajarnya.

Kita ingin menjadi Universitas Berkelas Dunia. Oleh karena itu, kita
harus melaksanakan kebebasan akademik kita dengan cara ikut dalam
perjuangan ilmiah. Kita perlu mewaspadai argumen maupun praktik yang
kurang suportif, atau malah kontra-produktif, terhadap kebebasan
akademik menuju Universitas Berkelas Dunia. Sebaliknya, kita perlu
melipatgandakan habitus (tendensi, disposisi berpikir-merasa-berselera-
berucap-bertindak-dan berposisi) yang berkelas dunia dengan
memanfaatkan psikologi secara inovatif sebagaimana dipaparkan
sepanjang tulisan ini.

52
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

H. SIMLITABMAS

Seiring dengan semakin kompleks dan luasnya cakupan pelaksanaan


penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi, mulai
tahun 2012 DRPM (saat itu Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Ditjen Dikti) mengembangkan sistem pengelolaan penelitian
dan pengabdian masyarakat berbasis teknologi informasi dan komunikasi
(TIK). Sistem tersebut dinamakan Sistem Informasi Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat yang selanjutnya disebut Simlitabmas.
Dengan Simlitabmas, proses pengajuan dan seleksi usulan, monitoring dan
evaluasi pelaksanaan, laporan akhir, penggunaan anggaran, serta pelaporan
hasil-hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat dikelola
dengan baik sehingga transparansi, efisiensi dan akuntabilitas dapat dijamin
(Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, 2018).

Simlitabmas adalah salah satu piranti lunak dari Kemristekdikti yang


sangat dinamis, berkembang pesat, sejak awal pengembangannya. Namun
demikian pada kesempatan ini, kami menyampaikan beberapa hal yang
kiranya dapat meningkatkan kualitas Simlitabmas sebagai sisfo riset dan
pengabdian masyarakat yang terpusat.

Gambar H.1 Saran untuk SIMLITABMAS

53
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Hasil penelitian IDRI menunjukkan ada beberapa saran dari dosen


Indonesia untuk meningkatkan kualitas layanan SIMLITABMAS berturut-
turut dari paling direkomendasikan seperti pada Gambar H.1 yaitu:
a) Transparansi skor nilai; kriteria lolos dan prioritas pendanaan suatu
proposal di SIMLITABMAS;
b) Ada skema penelitian yang memungkinkan seluruh atau hampir
seluruh pengaju proposal penelitian didanai negera;
c) Penjelasan mengapa suatu proposal di SIMLITABMAS belum didanai,
beserta saran untuk perbaikan;
d) Coaching clinic proposal SIMLITABMAS;
e) Perbaikan server dan saluran internet untuk mencegah sistem terhenti
(down) ketika banyak kunjungan kala deadline pengajuan proposal
SIMLITABMAS;
f) Prioritas pendanaan berbasis output;
g) Tampilan dan layanan website terus ditingkatkan seperti SINTA;
Menggunakan h-index Google Scholar sebagai salah satu syarat;
Keanggotaan Kemristekdiki dalam konsorsium ORCID
(https://orcid.org/) merupakan salah satu inovasi yang perlu
dimaksimumkan penggunaannya,
h) Simlitabmas dapat dikembangkan sebagai repositori yang menyimpan
hasil riset, dan
i) Meminta pendapat pengguna untuk perbaikan layanan website.

54
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

I. MEMAJUKAN AKSES, MUTU, dan RELEVANSI PENDIDIKAN


TINGGI
Ristek Dikti RI sebagai representasi pemerintah RI di bidang
pendidikan tinggi memiliki visi dan misi. Satu dari tiga misi Ristek Dikti RI
adalah Meningkatkan akses, relevansi, dan mutu pendidikan tinggi untuk
menghasilkan SDM yang berkualitas. Tentu misi ini lebih sulit terealisasi jika
banyak pemangku kepentingan belum memahami misi Ristek Dikti,
termasuk para dosen Indonesia.

Penelitian IDRI menanyakan apakah ada para dosen pernah


mendapatkan sosialisasi misi Ristek Dikti berupa meningkatkan akses,
relevansi dan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Hasil penelitian IDRI
menunjukkan bahwa 74% responden dosen di seluruh Indonesia tidak
pernah memperoleh sosialisasi misi Ristek Dikti berupa meningkatkan akses,
relevansi dan mutu pendidikan tinggi di Indonesia seperti pada Gambar I.1.
Sosialisasi Misi RistekDikti Meningkatkan Akses, Relevansi dan Mutu. Hasil
penelitian ini mengingatkan kepada Ristek Dikti agar bagaimana caranya
supaya misi Ristek Dikti lebih dikenal dunia pendidikan tinggi.

Gambar I.1. Sosialisasi Misi RistekDikti Meningkatkan Akses, Relevansi dan


Mutu

55
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

I.1. Kemajuan Akses Pendidikan Tinggi


Menurut Kemristekdikti dalam blognya, Indonesia memiliki 17.504
pulau dan 92 diantaranya adalah daerah perbatasan berupa pulau-pulau
kecil. Titik-titik tersebut berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga.
Sebanyak 26 kabupaten berbatasan langsung dengan negara tetangga. Ini
bukanlah kondisi yang ringan untuk ditangani.

Penelitian IDRI memperlihatkan ada beberapa rekomendasi prioritas


dari dosen Indonesia dalam penanganan akses pendidikan tinggi di
Indonesia berturut-turut dari paling prioritas ke terendah seperti Gambar I.2
yakni:
a) Beasiswa untuk calon mahasiswa berprestasi atau kurang mampu;
b) PhD by Research;
c) Pemerataan pendidikan tinggi;
d) Perluasan akses bagi calon mahasiswa di daerah terdepan, terluar,
dan tertinggal (3T);
e) Pembangunan perguruan tinggi di luar Jawa dengan kualitas setara
Jawa;
f) Komposisi perguruan tinggi di daerah;
g) Pinjaman biaya kuliah dari negara hingga cicilan 10 tahun; dan
h) Program kelas jauh/ diluar domisili kampus (PDD)/ multikampus.

Gambar I.2 Penanganan Akses Pendidikan Tinggi

56
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

I.2. Kemajuan Mutu Pendidikan Tinggi


Menurut Kemristekdikti yang dimuat dalam blognya pada tanggal 5
Mei 2017 disampaikan bahwa masih terjadi disparitas mutu pendidikan
tinggi yang dicerminkan dari data sebagai berikut (Direktorat Penjaminan
Mutu-Layanan Informasi, 2017). Bahwa baru 50 perguruan tinggi dari 4.472
perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki Akreditasi Institusi bernilai A
dan baru ada 12% program studi terakreditasi A dari total 20.254 prodi yang
terakreditasi. Saat ini akreditas prodi dan institusi, baik yang dilakukan oleh
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) atau akreditasi
internasional seperti ABET atau ASIIN, merupakan satu-satunya instrumen
pengukur mutu perguruan tinggi.

Terkait dengan hal di atas, dalam dokumen Pedoman Sistem


Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (Direktorat Penjaminan Mutu, 2016)
dinyatakan bahwa standar mutu pendidikan tinggi terdiri dari (1) Standar
Nasional Pendidikan Tinggi dan (2) Standar Pendidikan Tinggi Internal.
Standar yang kedua tidak boleh mengurangi standar yang pertama. Selain
itu dinyatakan pula bahwa struktur SPM Dikti mencakup Standar
Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang didirikan oleh perguruan tinggi
bersangkutan, Standar Penjaminan Mutu Eksternal (SPME) yaitu BAN-PT,
dan Pangkalan Data Dikti (PD-Dikti). Di sini dapat dilihat bahwa penetapan
mutu minimum bersifat terpusat dengan kombinasi antara lembaga SPM
internal dan eksternal. Menurut kami, hal ini bagus dan mestinya telah
disepakati dan dijalankan oleh PT yang ada di Indonesia. Beberapa masukan
kami, bersifat lebih rinci untuk setiap komponen Tridarma PT berikut ini.

I.2.1 Mutu Bidang Pendidikan dan Pengajaran


Hasil kuesioner sederhana kami memperlihatkan bahwa Sistem
Penjaminan Mutu (SPM) perlu mendapat perhatian lebih, khususnya untuk
kegiatan pendidikan dan pengajaran. Terkait dengan hal tersebut mutu dan
rasio dosen, masa studi dan sistem SKS, serta beban belajar perlu juga
diperhatikan oleh Kemristekdikti (Gambar F.2).

Walaupun kualifikasi dosen bisa diseragamkan, tapi teknik


pembelajaran akan berbeda-beda. Beberapa dosen mungkin lebih banyak
menyampaikan berbagai pengalaman praktisnya dalam perkuliahan, tapi

57
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

dosen yang lain bisa saja terbiasa menyampaikan teori. Evaluasi kinerja
dosen dalam hal pengajaran sangat perlu dilakukan karena saat ini mungkin
mahasiswa hanya menerima materi dari dosen. Ini akan sangat berkaitan
dengan SPM pada suatu PT.

Masa studi juga dapat berbeda-beda. Walaupun saat ini, telah


banyak beasiswa ekonomi, tapi beberapa mahasiswa yang memiliki
kesulitan ekonomi dan harus bekerja, bisa saja memiliki masa studi yang
lebih panjang dari kawan-kawannya yang lain. Pelacakan mahasiswa yang
bermasalah ekonomi perlu ditekankan karena pasti ada saja mahasiswa
yang menutup diri tentang kondisinya yang pada akhirnya suatu saat bisa
terbuka oleh media secara tidak proporsional.

Terkait dengan SKS, beban belajar yang terkait dengan luaran belajar,
ada juga yang masih belum sesuai dengan SKS. Ada yang terlalu berat atau
terlalu ringan. Hal ini memerlukan evaluasi saat akreditasi program studi.

Gambar F.2 Hasil jajak pendapat mutu pendidikan tinggi

I.2.2 Mutu Bidang Penelitian


Hingga saat ini kami nilai bahwa penjaminan mutu di bidang penelitian,
khususnya yang dananya dikelola oleh Kemristekdikti, sudah cukup baik. Namun
kami memberikan beberapa masukan untuk pengembangannya.

58
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

I.2.2.1 Mulailah memperhatikan data hasil riset


Pemantauan (monev) telah terjadi di bawah awal (seleksi proposal),
tengah (proses implementasi), dan bagian akhir (pemantauan output riset).
Namun demikian dalam output riset, fokus baru diberikan pada output
berupa artikel. Adapun data hasil riset belum mendapatkan perhatian yang
cukup baik. Akibatnya, di tingkat peneliti dan PT, data juga belum dikelola
dengan baik, melalui Rencana Pengelolaan Data Riset (Research Data
Management Plan - RDMP). RDMP perlu dimiliki di tingkat PT dan kemudian
didetilkan di tingkat peneliti (Gambar F.3). Padahal data merupakan aset. Ia
tidak hanya menjadi milik peneliti atau PT tapi juga milik Kemristekdikti
sebagai pendana. Bila dapat dikelola dan dipublikasikan dengan baik, maka
peneliti dapat saling berinteraksi dan menghasilkan karya yang lebih luas
lagi. Skema konsep sitiran data dapat dilihat pada Gambar F.4.

Gambar F.3 Contoh skema RDM (Michener, 2015)

59
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Konsep di atas disebut data re-use (penggunaan ulang data) atau


data citation (sitiran data). Jadi data tidak berhenti diolah saat peneliti atau
tim peneliti orisinalnya selesai menulis laporan atau publikasi. Peneliti lain
dapat menggunakan ulang data dan menyitirnya untuk menghasilkan
sesuatu yang baru, yang mungkin belum terpikir oleh peneliti awalnya. Di
sini kami menawarkan konsep bahwa data merupakan obyek yang hidup,
yang perlu dikelola untuk dikembangkan sejalan waktu. Siklus data dapat
dilihat pada Gambar F.5 berikut ini. Melihat gambar tersebut, maka jelaslah
bahwa data tidak terhenti hidupnya begitu artikel atau laporan selesai
ditulis.

Gambar F.4 Skema jejaring sitasi menggunakan prinsip sitiran data (data citation)
(Irawan, et al., 2017)

60
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar F.5 Data sebagai obyek hidup yang memiliki siklus (Florida State Univ Lib,
2017)

Langkah-langkah yang diusulkan:


1. Sosialisasi RDMP untuk PT dan litbang di bawah Kemristekdikti.
2. Menyediakan repositori bersama atau bekerjasama dengan institusi
nirlaba yang menyediakan layanan penyimpanan repositori, misal
Open Science Framework (OSF).
3. Menyelenggarakan forum data terbuka untuk menyampaikan
berbagai pembaruan data di setiap periode riset yang dibiayai oleh
Kemristekdikti.
4. Meminta peneliti (grantees atau awardee) yang lolos seleksi dana
riset untuk menyampaikan rencana RDM sebelum riset dimulai.
5. Menyediakan best practice RDM yang telah dilaksanakan di
Indonesia, misal oleh CIFOR (Center for International Forestry
Research - CIFOR).

I.2.2.2 Pemahaman konsep open access (OA) dan jurnal pemangsa


Dalam dunia publikasi Indonesia, konsep OA sering disalah-artikan
sebagai jurnal yang dibiayai oleh penulis -- penulis membayar biaya
pemrosesan artikel atau article processing charge (APC). Konsep yang salah
berikutnya adalah bahwa mengirimkan artikel ke jurnal OA akan lebih
mudah terbit dibanding jurnal konvensional. Jurnal konvensional yang kami

61
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

maksud di sini adalah jurnal yang membebankan biaya penerbitan kepada


pembaca atau pelanggan (subscriber), atau sering juga disebut jurnal non-
OA atau paywalled journal. Penjelasannya secara lebih rinci dapat dibaca di
artikel Irawan (2017). Bila pemahaman ini lebih diperkuat, maka biaya
publikasi akan dapat diturunkan dan digunakan untuk meningkatkan
kualitas riset. Beberapa mitos dan miskonsepsi tentang jurnal OA juga perlu
diluruskan (Gambar F.6 dan Gambar F.7).

Dijelaskan bahwa konsep OA sebenarnya tidak perlu dihubungkan


dengan kewajiban penulis untuk membawar APC seperti dijelaskan oleh
Matthias, et al. (2017) (ditranslasi ke Bahasa Indonesia oleh Irawan) dan
Suber (2017) ((ditranslasi ke Bahasa Indonesia oleh Irawan). Sementara itu,
berbagai hal tentang status publikasi Indonesia dan hubungannya dengan
jurnal pemangsa telah disampaikan secara rinci oleh Ahmar et al. (2018).

Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan tanpa memerlukan tambahan


dana yang besar. Beberapa langkah-langkah yang diusulkan adalah sebagai
berikut:
1. Memperkuat penggunaan media sosial (medsos) untuk
menyampaikan pesan-pesan terkait jurnal OA. Tetapi medsos
hendaknya tidak hanya digunakan untuk menyampaikan
pengumuman tetapi juga untuk menanggapi respon masyarakat.
2. Menyelenggarakan webinar, bukan sosialisasi fisik yang memerlukan
perjalanan dinas, akomodasi. Webinar dapat dilakukan sesering
mungkin dengan peserta yang jauh lebih banyak dibandingkan
sosialisasi yang bersifat fisik.
3. Melaksanakan pelatihan untuk narasumber OA (OA training for
trainer). Pelatihan ini dapat dilakukan secara daring untuk memilih
dan mengangkat duta-duta OA di tingkat PT.

62
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar F.6 Variasi model bisnis pengelolaan jurnal berdasarkan komponen


pendanaan dan modus akses (Irawan, DE., 2018 CC-0)

Gambar F.7 Beberapa mitos dan miskonsepsi tentang jurnal OA (Dogra, 2015)

I.2.3 Mutu Bidang Pengabdian kepada Masyarakat


Pengabdian kepada masyarakat (PKM) yang selama ini dijalankan
oleh Kemristekdikti sudah bagus, namun demikian ada beberapa hal yang
dapat kami sampaikan untuk dapat melipatgandakan dampak kegiatan
PKM. Selama ini ada persepsi PKM berada di bawah kegiatan penelitian,
karena kata-kata “pengabdian” ditafsirkan secara sempit. Adapun
mestinya “pengabdian” perlu ditafsirkan sebagai “outreach”. Dengan
model outreach, maka semua kepentingan dapat diakomodasi, bahkan

63
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

untuk kepentingan PT yang mendasar, misalnya: untuk mendapatkan


mahasiswa baru.

Kegiatan outreach dapat diposisikan sebagai brand image perguruan


tinggi, yang pada akhirnya akan menempatkan suatu PT pada posisi yang
terhormat. Model community outreach dari Mississippi State University ini
dapat digunakan (MSU, 2018) (Gambar F.8). Dalam model tersebut, maka
kegiatan PKM (dalam konteks community outreach) tidak perlu dilihat
sebagai kegiatan yang terpisah, melainkan kegiatan yang terjalin
(embedded) dalam kegiatan belajar mengajar dan penelitian. Dalam dunia
digital dan terkoneksi seperti saat ini, mestinya kegiatan terintegrasi
semacam ini tidak sulit untuk dilakukan.

Langkah-langkah yang diusulkan:


1. Kemristekdikti dapat menjadikan komponen PKM, selain interaksi
antara PT dan industri, menjadi titik sentral kegiatan institusi PT.
2. Peningkatan citra kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) membuat
kompetisi khusus untuk kegiatan ini. Beberapa PT kami ketahui telah
memiliki program KKN tematik. Mereka dapat menjadi model.
3. Kemristekdikti dapat meminta seluruh peneliti yang didanainya
untuk membuat program sosialisasi outreach tentang hasil risetnya
kepada masyarakat. Untuk ini, Kemristekdikti dapat memanfaatkan
saluran-saluran media daring untuk mempercepat jangkauan hasil
riset.

I.2.4 Mutu Bidang Pengembangan Institusi


Pengembangan institusi merupakan komponen yang bersifat lokal, tidak
dapat diseragamkan. Isinya akan sangat bergantung kepada kebutuhan PT
serta kondisi daerah di mana PT tersebut didirikan. Oleh karenanya,
Kemristekdikti dalam sosialisasinya, perlu menumbuhkan iklim kreatifitas di
PT, agar mereka dapat berkreasi sesuai kondisinya masing-masing. Hal ini
dapat dilihat dari struktur organisasi. Sebagian besar PT biasanya akan
menyontoh PT lain (biasanya PTN) yang sudah lebih dulu berdiri, padahal
kebutuhan dan kondisi internal serta eksternalnya pasti sangat berbeda
(lihat Gambar F.9).

64
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Gambar F.8 Model community outreach MSU (MSU, 2018)

Gambar F.9 Ilustrasi proses penentuan struktur organisasi berdasarkan analisis


kondisi internal dan eksternal terkini, analisis SWOT hanya salah satunya.

65
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

I.3. Relevansi Pendidikan Tinggi


Relevansi keberadaan pendidikan tinggi semestinya adalah untuk
masyarakat. Masyarakat dalam hal ini bisa berarti luas, termasuk di
dalamnya adalah pemerintah, praktisi/swasta. Semaksimum mungkin
seluruh aktivitas PT perlu mengakomodasi relevansinya kepada pemangku
kepentingan. Apakah hal ini sudah dilaksanakan? Menurut kami, relevansi
multidimensi yang tercantum dalam proses akreditasi (baik Program Studi
maupun institusi) sudah mengalami distorsi dengan gencarnya isu
pemeringkatan. Walaupun dalam setiap pemeringkatan, berbagai sisi
dinilai, namun dimensi penelitian dan publikasi adalah yang mendominasi.
Hal ini perlu diimbangi dengan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
pendidikan dan pengajaran serta PKM. Relevansi PT ini mestinya akan dapat
ditangani bila kegiatan Tridarma PT dilaksanakan dengan baik (Gambar
F.10).

Gambar F.10 Prioritas sasaran strategis Dikti 2015-2019 (Kemristekdikti, 2016)

Kemudian bila kondisi di Indonesia dibandingkan dengan rata-rata


negara Asia yang baru berkembang lainnya (Emerging and Developing Asia
Countries), tidak terlalu jauh. Pada beberapa sisi lebih tinggi dibanding rata-
rata negara tersebut (Gambar F.11). Hal ini tentunya menjadi modal dasar

66
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

dalam merancang relevansi perguruan tinggi di masa mendatang. Beberapa


hal yang terkait dengan bahasan ini adalah peningkatan:
- Inovasi: karena dengan inovasi, maka kita tidak perlu bergantung
kepada dana sendiri.
- Pola pikir berbasis bisnis yang tinggi (business sophistication): sisi ini
perlu ditingkatkan, karena lulusan PT umumnya kurang dapat
menyesuaikan cara pandangnya dengan cara pandang bisnis.
Padahal semestinya ilmu/sains harus menjadi tulang punggun bisnis
agar berkelanjutan.
- Kesiapan teknologi (technological readiness): ini juga menjadi kunci,
karena bila dapat menguasai teknologi, maka kita dapat menguasai
dunia.

Gambar F.11 Index Daya Saing Global Indonesia (Kemristekdikti, 2016)

67
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Hasil penelitian IDRI menunjukkan ada beberapa rekomendasi


prioritas dari dosen Indonesia dalam penanganan relevansi pendidikan
tinggi di Indonesia berturut-turut dari paling prioritas ke terendah seperti
Gambar I.12 yaitu:

a) Penyusunan kurikulum bersama antara perguruan tinggi dengan


industri dan instansi;
b) Sinergi Pentahelix (academic-business-community-government-
media) membentuk kemitraan untuk selesaikan masalah;
c) Produk hasil penelitian sesuai kebutuhan masyarakat dan industri;
d) Sertifikat kompetensi profesional yang dibutuhkan industri dan
instansi;
e) Rendahnya serapan tenaga terampil dan terdidik dalam pasar kerja
f) Teaching industry: membangun industri berbasis teknologi di
kampus;
g) Magang kerja mahasiswa di industri dan instansi;
h) Hilirisasi penelitian di perguruan tinggi hingga technology readiness
level (TRL) 9 (sembilan) siap diproduksi dan dipasarkan industri.
i) Revitalisasi pendidikan tinggi vokasi; dan
j) Surat Keterangan Pendamping Ijasah (SKPI).

Gambar I.12 Penanganan Relevansi Pendidikan Tinggi

68
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

J. PENUTUP

Demikian kajian pendidikan tinggi Indonesia dari Ikatan Dosen RI


(IDRI) yang berusaha mewakili aspirasi dosen se-Indonesia. Kajian ini hasil
sintesa pemikiran antara pendapat kolektif dosen se-Indonesia dari
kuesioner, pemikiran wadah pemikir IDRI dan studi pustaka. IDRI nama
dosen se-nusantara mengucapkan terima kasih atas kesempatan dari Panja
Evaluasi Pendidikan Tinggi Komisi X DPR RI. Semoga sumbangsih kecil
tentang kebijakan pemerintah untuk merger dan akuisisi PTS; anggaran
Pendidikan Tinggi nasional yang proporsional 17; revisi UU No. 14 tahun
2005 pemisahan guru dan dosen; sarpras untuk mendukung daya saing
perguruan tinggi; sistem pembinaan karir dosen; SIMLITABMAS; dan
memajukan akses, mutu, dan relevansi pendidikan tinggi ini memberi
manfaat konstruktif untuk pendidikan tinggi dan rakyat Indonesia untuk
lebih baik.

Disadari bahwa ilmu dan komunikasi saintifik berkembang sangat


cepat. Beberapa saran yang kami sampaikan mungkin sudah akan
ketinggalan zaman saat dokumen ini berada di tangan pembaca, tapi prinsip
dasar yang kami sampaikan akan tetap sama yakni meningkatkan nilai dari
riset dengan: keterbukaan (openness), transparansi (transparency),
kemudahan akses (accessibility), kolaborasi (collaboration), dan pengakuan
(acknowledgment).

69
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

REFERENSI

Abraham, J. (2017, 10 Januari). Kriteria objektif dan iklim universitas berkelas


dunia. Retrieved from
https://psychology.binus.ac.id/2017/01/10/krieria-objektif-dan-iklim-
universitas-berkelas-dunia/
Abraham, J., & Prayoga, T. (2017). Indonesian students’ representation on
psychology and social change: Challenge for curriculum progression.
Open Journal of Social Sciences, 5(8), 122-135.
Alboher, M. (2007). One Person Multiple Careers, Maksimalkan Kebahagian
Anda dengan Karier Ganda (terjemahan). Jakarta: Penerbit Hikmah.
Ahmar, AS., Kurniasih, N., Irawan, DE., Sutiksno, DU., Napitupulu, D. (2018).
Lecturers' Understanding on Indexing Databases of SINTA, DOAJ,
Google Scholar, SCOPUS, and Web of Science: A Study of Indonesians.
Journal of Physics: Conference Series, Volume 954, conference 1, url:
http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-
6596/954/1/012026/meta
Apa Perbedaan. (2018). Apa Perbedaan antara Sarana dan Prasarana?
Retrieved April 8, 2018, from https://apaperbedaan.com/sarana-dan-
prasarana/
Association for Psychological Science. (2016, 18 Agustus). What is
preregistration, anyway?
https://www.psychologicalscience.org/publications/observer/obsonlin
e/what-is-preregistration-anyway.html
Baty, P. (2017, 13 November). Virginia president puts academic freedom at
heart of China speech. Retrieved from
https://www.timeshighereducation.com/news/virginia-president-puts-
academic-freedom-heart-china-speech
Bamgboje-Ayodele, A., & Ellis, L. (2015). Knowledge Management and the
Nigerian Culture–A round peg in a square hole?. The African Journal of
Information Systems, 7(1), 1.
Cooper, Bruce S., Fusarelli, Lance D., & Randall, E. V. (2003). Better Policies,
Better Schools: Theories and Applications. London: Pearson.
Chmielewska-Muciek, D., & Sitko-Lutek, A. (2013). Organizational culture
conditions of knowledge management. Proceedings of Management,
Knowledge and Learning International Conference, 19-21 June 2013,
Zadar, Croatia (pp. 1363-1370). Retrieved from
http://www.toknowpress.net/ISBN/978-961-6914-02-4/papers/ML13-
463.pdf
Crandall, C. (2018, 2 April). Letter to APS on PoPS.
http://doi.org/10.17605/OSF.IO/W2EXA

70
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Dean, K. L., & Forray, J. M. (2017). The long goodbye: Can academic
citizenship sustain academic scholarship?. Journal of Management
Inquiry, 00(0), 1-5.
Direktorat Penjaminan Mutu. (2016). Pedoman Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan Tinggi. Retrieved April 8, 2018, from
spmi.ristekdikti.go.id/klinikspmi/downloadtutorial/2
Direktorat Penjaminan Mutu-Layanan Informasi. (2017). Mutu Perguruan
Tinggi Menentukan Kompetensi Lulusan. Retrieved from
https://ristekdikti.go.id/mutu-perguruan-tinggi-menentukan-
kompetensi-lulusan/
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat. (2018). Panduan Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2018 (XII). Jakarta:
RistekDikti RI. Retrieved from
http://simlitabmas.ristekdikti.go.id/unduh_berkas/Buku Panduan
Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi
XII.pdf
Dubrovskiy, D. (2017). Escape from freedom: The Russian academic
community and the problem of academic rights and freedoms.
Interdisciplinary Political Studies, 3(1), 171-199.
Dogra, V. (2015). Myths about Publishing in an Open Access Journal. Journal
of Clinical Imaging Science, 5, 26. Url: http://doi.org/10.4103/2156-
7514.156140.
Fatah, N. (2012). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karaya.
Florida State Univ Lib, 2017. (2017). Research data management guidelines.
Florida State University Library.
Fromm, E. (1941). Escape from freedom. US: Farrar & Rinehart.
Galih, B. (2016, 8 Agustus). Daoed Joesoef, Kontroversi NKK/BKK, dan Beda
Pendapatnya dengan Soeharto. Retrieved from
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/08/15330701/daoed.joeso
ef.kontroversi.nkk.bkk.dan.beda.pendapatnya.dengan.soeharto.
Greene, M. (2018). The demise of the lone author. Retrieved from
https://www.nature.com/nature/history/full/nature06243.html
Gunawan, J. (2017). Penggabungan dan Penyatuan Untuk Meningkatkan
Mutu dan Kesehatan PTS. Retrieved April 8, 2018, from
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/index.php/2017/10/11/penggabu
ngan-dan-penyatuan-untuk-meningkatkan-mutu-dan-kesehatan-pts/
Hofstede Insights. (n.d.). Country comparison: What about Indonesia?
Retrieved from https://www.hofstede-insights.com/country-
comparison/indonesia/
Irawan, DE, 2017, Pengelolaan jurnal ilmiah: Konvensional vs open access,
url: http://dasaptaerwin.net/wp/2017/02/pengelolaan-jurnal-ilmiah-
konvensional-vs-open-access-bagian-1.html, diakses 09 April 2018.
Irawan, D. E., Sulistyawati, E., & Rosada, K. (2017). Eco-hydrology

71
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

Cikapundung Project: citation connections and research profile


building. Zenodo. http://doi.org/10.5281/zenodo.819545.
Irawan, DE. (2018). Variasi model bisnis pengelolaan jurnal berdasarkan
komponen pendanaan dan modus akses. figshare. Fileset. Url:
https://doi.org/10.6084/m9.figshare.6118967.v1.
Karran, T., & Mallinson, L. (2018). Academic freedom and world-class
universities: A virtuous circle?. Higher Education Policy, 1-21.
Kemristekdikti, 2017, Mutu perguruan tinggi menentukan kompetensi
lulusan, url: https://ristekdikti.go.id/mutu-perguruan-tinggi-
menentukan-kompetensi-lulusan/.
Kemristekdikti. (2016). Rencana pengembangan pendidikan tinggi 2015-
2019. Url: https://ristekdikti.go.id/wp-
content/uploads/2016/01/KOMISI-II-bahan-a.-GRAND-DESIGN-IPTEI-
DIKTI.pdf.
Kemristekdikti, 2016, Panduan Sistem Penjaminan Mutu Ristekdikti, url:
http://spmi.ristekdikti.go.id/klinikspmi/downloadtutorial/2.
Magnis-Suseno, F. (1987). Etika dasar: Masalah-masalah pokok filsafat
moral. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Magnis-Suseno, F. (1995). Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran
kritis. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama.
Mahfud MD, M. (1997). Perspektif politik dan hukum tentang kebebasan
akademik dan kritik sosial. UNISIA, 32/XVII/IV, 33-43. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/89331-ID-perspektif-
politik-dan-hukum-tentang-keb.pdf
McKiernan, E. C. (n.d.). Publish where you want. Retrieved from
http://whyopenresearch.org/archiving
Matthias, L., Tennant, J., Irawan, D. E. (2017). How to make your work OA
for free and legally, translasi oleh Irawan, DE. Figshare Repository.
Poster, url: https://doi.org/10.6084/m9.figshare.5296498.v1
Michener, W. (2015). "Ten Simple Rules for Creating a Good Data
Management Plan". PLOS Computational Biology.
DOI:10.1371/journal.pcbi.1004525. PMID 26492633. PMC: 4619636.
Mississippi State University. 2018. Community Outreach Program. Url:
http://www.servicelearning.msstate.edu/about/whatis/.
Napitupulu, E. L. (2018, 21 Maret). Pendataan dosen secara daring dibangun.
Retrieved from
https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2018/03/21/pendataan-
dosen-secara-daring-dibangun/
Noor, M. M. (2013). What is your opinion on single author papers. Retrieved
from
https://www.researchgate.net/post/What_is_your_opinion_on_single_a
uthor_papers
Putra, M. (2015, 24 September). Dosen wajib absensi? Bukan dosen namanya
tapi karyawan perusahaan. Retrieved from

72
Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018

http://riauposting.com/berita/pendidikan/3616/dosen-wajib-absensi-
bukan-dosen-namanya-tapi-karyawan-perusahaan/
Robbins, S. P. (2008). The Truth about Managing People. Jakarta: Esensi : 231
hal.
Sabdono, E. (2016). Kehendak bebas manusia. Jakarta, Indonesia: Rehobot
Literature.
Salkin, G. (2014, 14 February). 5 issues that threaten academic freedom.
Retrieved from https://www.educationdive.com/news/5-issues-that-
threaten-academic-freedom/227738/
Seniati, A. N. L. (2009, 28 Oktober). Peran psikologi dalam mengembangkan
universitas kelas dunia. Retrieved from
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/liche/publication/pidatopenguk
uhangb-liche-28okt2009.pdf
Suber, P. (2017). How to make your work OA. translasi oleh Irawan, DE. url:
http://cyber.harvard.edu/hoap/How_to_make_your_own_work_open_a
ccess_(Indonesian_translation).
Tierney, W., & Postiglione, G. A. (2015, 5 Juli). The vital role of academic
freedom in creating a world-class university. Retrieved from
http://www.scmp.com/comment/insight-
opinion/article/1832071/vital-role-academic-freedom-creating-world-
class-university
Unmas Denpasar. (2016). Sekilas tentang sejarah singkat Universitas
Mahasaraswati (Unmas) Denpasar. Katalog Universitas Mahasaraswati
(Unmas) Denpasar. Denpasar
White, K. D., Dalgleish, L., & Arnold, G. (1982). Authorship patterns in
psychology: National and international trends. Bulletin of the
Psychonomic Society, 20(4), 190-192.
World Health Organization. (2014). Mental health: A state of well-being.
Retrieved from
http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/.
Wijayanti, W. (2013). Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum
dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012). Jurnal Konstitusi, 10(1), 179–204.

73

Anda mungkin juga menyukai