Anda di halaman 1dari 14

Pertemuan ke-1 (Hukum dan Kajian Wanita):

BEBERAPA KONSEP DALAM JENDER DAN KETIDAKADILAN


Oleh: Tri Lisiani Prihatinah
Fakultas Hukum UNSOED Semester Genap 2017/2018

TUJUAN:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan beberapa konsep dasar yang erat
kaitannya dengan jender dan ketidakadilan
POKOK BAHASAN :
Beberapa konsep dalam jender dan ketidakadilan
SUB POKOK BAHASAN:
-Kontrak Pembelajaran
-Tatap muka akan membahas konsep jenis kelamin (sex), jender, alasan
perlawanan terhadap analisis jender, bentuk ketidakadilan jender, kesetaraan jender,
jender analisis, kesetaraan, diskriminasi.

 Jenis kelamin (sex) yaitu pensifatan atau pembagian 2 jenis kelamin manusia yg
ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. – merupakan
kodrat (hal yg tak dapat diubah).
 Jender yaitu sifat yg melekat pada kaum laki2 maupun perempuan yg dikonstruksikan
secara sosial termasuk kultural, agama, politik, hukum.
 Mengapa penggunaan analisis jender sering mendapat perlawanan dari laki2 maupun
perempuan?
1. Mempertanyakan status perempuan sering mempersoalkan sistem dan struktur yg
mapan, termasuk kelas
2. Mempersoalkan masalah jender berarti mempersoalkan hubungan yg bersifat sangat
pribadi.

 Bentuk ketidakadilan jender:


1. marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi;
2. subordinasi;
3. pembentukan stereotype atau pelabelan negatif;
4. kekerasan (violence);
5. beban kerja yg lebih banyak
 Kesetaraan jender adalah kesamaan kondisi bagi laki2 dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak2nya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosbud dan hankamnas dan
kesamaan dalam menikmati hasil2 pembangunan (Inpres 9 tahun 2000).
 Jender analysis adalah analysis yg memperbandingkan antara laki2 dan perempuan di
semua bidang.

 Kesetaraan dibagi dalam 2 jenis:


1. Treatment based management.
: Fokus pada proses atau kondisi awal ( baik berupa perlakuan, kesempatan maupun
syarat2 kusus – precondition: treatment, opportunities, privileges)

1
Maksudnya kesetaraan terjadi karena kesamaan precondition/proses, ternyata
hasilnya beda karena kondisi yg beda antara laki-laki dan perempuan. Disebut juga
“Analisis Kebijakan yang Netral Jender”.
2. Result based management.
: fokus pada hasil
Maksudnya kesetaraan terjadi karena kesamaan hasil, sehingga membolehkan terjadi
perbedaan proses (baik perlakuan, kesempatan maupun persyaratan). Dalam hal ini
terjadi kesetaraan substantif.
(Prihatinah, 2006, 39).
 Diskriminasi:
1. Diskriminasi langsung. Hal ini terjadi ketika seseorang diperlakukan kurang
menyenangkan dari yg lainnya dalam kondisi yg sama atau serupa karena alasan
rasial, jenis kelamin, agama dll.
2. Diskriminasi tidak langsung. Hal ini terjadi akibat dari kebijakan yg netral/ yang
sama diberlakukan pada semaua orang, tetapi menimbulkan akibat yg merugikan
hanya untuk kelompok tertentu saja.

DAFTAR PUSTAKA:
Fakih, M. (1996) Analisis Jender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
h. 3-23.
Irianto, S. dam Luhulima, A.S. (Editor) (2004) Konvensi Wanita di Indonesia, Kelompok
Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender, Universitas Indonesia,
Jakarta, h.164-188.
Prihatinah, T.L. (2005) Women and Income Generating Projects: The Jender Impacts of
Indonesian Government Policies, Disertasi, Universitas Murdoch, Western
Australia, h. 36-39, 126-135.

-0-
Pertemuan ke-2 (Hukum dan Kajian Wanita):
ALIRAN FEMINISME DAN GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA

TUJUAN:Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan aliran dan gerakan feminisme


di Indonesia.
POKOK BAHASAN:Aliran dan gerakan feminisme.
SUB POKOK BAHASAN: Membahas berbagai aliran dan gerakan feminisme baik di
tingkat internasional maupun nasional.

 Mengapa timbul feminis yang berbeda-beda yang menyebabkan timbulnya beberapa


aliran feminis seperti diurai berikut? Tujuan feminis atau pegiat jender adalah untuk
mengatasi ketertindasan perempuan, hanya saja penyebabnya berbeda-beda sesuai
sudut pandang masing-masing feminis.
 Beberapa aliran feminisme yaitu:
1. liberal feminism. Aliran ini (sejak abad 19) percaya bahwa masalah ketertinggalan
atau ketidakadilan terhadap perempuan terjadi karena ketidakmampuan mereka
berpartisipasi dalam kehidupan publik. Sehingga untuk mengatasi masalah hanya
perlu peningkatan kualitas perempuan untuk dapat aktif dalam kehidupan publik,

2
tanpa perlu koreksi mendalam terhadap teori2 yg dipercaya sengaja utk menindas
perempuan.
2. marxis feminism. Aliran ini percaya bahwa eksploitasi terjadi oleh satu kelas terhadap
kelas lainnya terutama dalam sistem kapitalis. Sehingga dalam sistem ini perempuan
(dan juga laki2) diekploitasi karena alasan2 yg menguntungkan kaum kapitalis.
Contohnya adalah murahnya upah buruh. Ekspolitasi ini melebar tidak hanya pada
kehidupan publik tapi juga pada tataran perkawinan dan keluarga. Aliran ini percaya
bahwa pembebasan penindasan terhadap perempuan hanya bisa dilakukan dalam
perjungan terhadap penindasan oleh kelas yg lebih atas. Engels menyarankan
perempuan masuk ke ranah public, berbeda dengan Dalla Costa yang menyarankan
diberikannya upah untuk pekerjaan domestic.
3. radikal feminism. Memfokuskan alasan penindasan perempuan semata-mata karena
sistem patriarki dimana terjadi eksploitasi oleh laki2 terhadap perempuan. Hanya
dengan pemutarbalikan teori patriaki saja maka penindasan perempuan dapat diatasi.
4. Feminisme sosialis: merupakan sintesa feminisme marxis dengan feminisme radikal
dimana mengkritik partisipasi perempuan di ranah public (produksi) dengan
argumentasi bahwa perempuan jadi budak kapitalisme. Sehingga aliran ini
memfokuskan pada penyadaran perempuan terhadap ketertindasan akibat masuknya
ia dalam ranah publik (produksi).
5. Eko feminism. Aliran yang memberontak status quo melalui gerakan peduli
lingkungan dengan berbasis kembali ke alam (back to nature).
6. Post modernism. Aliran yang tidak memihak pada siapapun dan boleh seseorang
melakukan apapun, sehingga solusi lebih bertumpu pada realitas yang dihadapi
perempuan dan penyelesaiannya bersifat situasional. Bahkan lebih cenderung ke nir
-nilai.
7. Feminist religius. Aliran yang menerima pembaharuan dengan tidak meninggalkan
prinsip-prinsip agama.
 3 dasawarsa tahapan gerakan feminisme di Indonesia (Fakih, 160-161):
1. Dasawarsa pertama (1975-1985) yaitu tahap “pelecehan” terhadap gerakan
feminisme.
2. Dasawarsa kedua (1985-1995) yaitu dasawarsa pengenalan dan pemahaman
gender. Hal ini dipercaya karena tekanan lembaga donor lewat LSM utk konsern
dengan masalah tersebut sehingga diragukan kemurnian kepedulian akan masalah
jender tsb.
3. Dasawarsa ketiga (sejak 1995) kepekaan jender sudah mulai tumbuh
meskipun mendapat berbagai tantangan antara lain tafsir keagamaan yg bersifat
patriarki, gerakan kilas abalik dari kaum laki2 dan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. (Editor) (1977) Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 305
-315.
Fakih, M. (1996) Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
157-167.
-0-

3
Pertemuan ke-3 (Hukum dan Kajian Wanita):
PEREMPUAN DAN INSTRUMEN HUKUM

TUJUAN:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan instrumen hak dan kewajiban
perempuan baik dalam instrumen nasional maupun internasional.
POKOK BAHASAN:
Instrumen hak dan kewajiban perempuan.
SUB POKOK BAHASAN:
- Membahas berbagai instrumen baik yang bersifat lokal (a.l. Perda, P2W), nasional
(a.l. Inpres, GBHN) maupun internasional (a.l. CEDAW, DUHAM, Protokol).
- Membahas kaitan antara perempuan dan HAM Internasional.

 Berbagai istilah perjanjian internasional yaitu traktat, konvensi, protokol, deklarasi,


perjanjian, charter, MOU, statuta, nota kesepakatan dll.
 Pasal 2 Piagam PBB tentang 2 kewajiban negara yaitu:
1. kewajiban negara anggota untuk berusaha agar negara bukan anggota
menghormati prinsip2 piagam;
2. kewajiban negara2 bukan anggota utk tidak melakukan tindakan2 yg dapat
membahayakan perdamaian dunia
 Dasar hukum Indonesia utk mengakomodasi HI yaitu pasal 11 ayat 1 UUD 1945:
“Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain”. Menurut Surat Presiden RI No. 2826/Hk/60 hanya
perjanjian internasional yg penting saja yg memerlukan persetujuan DPR yaitu yg
menyangkut: soal politik yg mempengaruhi politik LN, soal2 yg menurut UUD atau
sistem hukum perundangan RI harus diatur dengan UU (masalah kewarganegaraan);
sementara perjanjian internasional yg bersifat umum dan berbentuk agreement hanya
disampaikan kepada DPR. Hanya dengan UU No 24 tahun 2000 tentang perjanjian
internasional yg menetapkan antara lain ratifikasi atau pengesahan perjanjian
internasional harus dilakukan dengan UU atau Kepres.
 Daya mengikat perjanjian internasional - Hubungan HI dan HN: terdapat 2 teori:
1. Teori monisme: menganggap HI dan HN merupakan satu kesatuan sistem hukum.
Dalam hal penerapan kalau terjadi konflik dapat dibedakan menjadi 2:
a. Monisme dengan primat HI (diutamankan HI)
b. Monisme dengan primat HN (diutamanakan HN)
2. Teori dualisme, HI dan HN merupakan 2 sistem hukum yg berbeda.

 Intrumen hukum untuk mewujudkan keadilan jender antara lain:


1. UU No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (beserta penjelasannya);
2. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women);
3. Protokol Optional Terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita;

4
4. Rekomendasi Umum Nomor 19 Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Diadopsi
oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104). Menurut
Ismail istilah diadopsi seharusnya diganti “diakui”;
5. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan UU No 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (beserta Penjelasannya)
6. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional (beserta Lampirannnya);
7. UU RI Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
 Perempuan dan HAM Internasional: Prinsip2, dalam kekerasan, dalam penahanan,
dalam penyalahgunaan kekuasaan, dalam perang.
 Kebijakan jender di Indonesia dilihat dari sudut:
8. Sejarah peran wanita di berbagai kurun waktu:
a. sebelum kolonisasi: gerakan wanita bukan sebagai sesuatu yg baru(co: masa
kerajaan /TriBuana Tungga Dewi; Kartini /dalam melawan kaum feudal)
b. selama kolonisasi: contoh perlawanan Cut Nyak Dien
c. setelah kemerdekaan: disamping perhatian pemerintah thd nasib perempuan
dengan ratifikasi ILO no 100 (195 dengan UU No 80/1957 tentang prinsip
“kesamaan gaji untuk wanita dan pria untuk pekerjaan yg sama”, kebebasan
dalam berpolitik (co:Gerwani), standard lain dari keberhasilan seorang wanita
yaitu sebagai istri dan ibu yg baik.
d. selama ORBA: organisasi perempuan sebagai alat pemerintah a.l. PKK, Dharma
Wanita.
e. Selama dan setelah reformasi tahu 1998: terjadi perubahan kebijakan terhadap
kebebasan perempuan baik sifat organisasi yg menjadi sukarela (mis Dharma
Wanita), maupun kebebasan dalam mengekspresikan ketidakpuasan kebijakan
atau implikasinya terhadap perempuan (co. Suara Ibu Peduli)
9. Mandat (kepercayaan vs tanggungjawab): th 1978 dibentuk Mentri Peranan Wanita
sebagai response thd Dekade Perempuan oleh PBB th 1970an, hanya peristilahan
“perempuan” baru dikenalkan tahun 1999, Ratifikasi Konvensi Hak Politik Terhadap
Perempuan (UU No 68/ 1968) dsn CEDAW diratifikasi dengan UU No 7/1984.
10. Rational (nilai/harapan masyarakat yg menunjukkan kesesuaian antara keadilan sosial
dan kesetaraan): bukan sesuatu yg statis. Istilah wanita menjadi “perempuan”.
11. peraturan perundangan, antara lain:
a. GBHN, dalam berbagai kurun waktu:
1973: sumbangan wanita hanya terhadap keluarga (pendamping suami) dan generasi
mendatang, tak ada tempat utk keberhasilan secara perseorangan.
1978: ada ruang wanita utk berpartisipasi, tetapi masih memfokuskan pada perannya
dalam keluarga
1983 dan 1988: peran ganda (dalam keluarga dan di masyarakat sebagai individu) –
menimbulkan beban yg berlebihan
1993: mitra sejajar tetapi masih menimbulkan konstrain antara kodrat dan martabat.
1999: pemberdayaan perempuan dalam 2 hal: pertama pengembangan peran wanita
dalam kehidupan bernegara melalui kebijakan nasional yang diorganisir oleh
institusi yg sadar kesetaraan jender, kedua meningkatkan peran organisasi yg
mandiri dengan mempertahankan nilai2 kesatuan dan nilai2 sejarah perjuangan
wanita dalam memberdayakan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.

5
Untuk pertama kali fokus pada pemberdayaan perempuan terlihat dalam
pengubahan nama dari “Mentri Peranan Wanita” menjadi “Mentri
Pemberdayaan Perempuan”
b. Surat Edaran Mentri Tenaga Kerja No 4/1988 tentang Penerapan Konvensi
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Pekerja Perempuan
c. Keputusan Mendagri No. 17/1995: terbentuknya P2W (Peningkatan Peranan Wanita
dalam Pembangunan), kerjasama antara pemerintah, ormas termasuk NGOs dan
swasta. Diikuti Inpres No. 5/ 1996 yg menunjuk wakil gubernur di tiap2 provindi
sebagai dan sekretasinya untuk memimpin tim P2W.
d. Inpres No 9/2000 tentang pengarusutamaan jender yang mempromosikan status,
peran dan qualitas perempuan untuk mencapai kesetaraan jender dalam keluarga,
masyarakat dan negara.
e. Petunjuk Pelaksanaan Pengarusutamaan jender tahun 2002: memberikan petunjuk
pengarusutamaan jender termasuk rencana, pelaksanaa, monitoring dan evaluasi
pembangunan.
f. Rencana Induk Pembangunan Nasional (RIPNAS) 2000-2004. Dalam RIPNAS yg
dikeluarkan oleh Mentri Pemberdayaan Perempuan, misi dari pemberdayaan
perempuan meliputi
i. setiap strategi diberbagai sektor;
ii. meningkatkan sosialisasi kesetaraan jender;
iii. menghapuskan setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan;
iv. penegakan HAM terhadap perempuan;
v. penegakan dan peningkatan kemandirian institusi dan organisasi perempuan.

DAFTAR PUSTAKA:
Ismail, I. (2005) “Perempuan dalam HAM Internasional dan Hukum Humaniter”, dalam
Dialog Interaktif Hak Asasi dan Kedudukan Wanita dalam Islam, Masjid
Fatimatuzzahra, Purwokerto.
Ismail, I. (2001) Diktat Pengantar Hukum Internasional, UNSOED, Purwokerto.
Pusat Kajian Wanita dan Jender (2004) Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk
Mewujudkan Keadilan Jender, Universitas Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta.
Prihatinah, T.L. (2005) Women and Income Generating Projects: The Jender Impacts of
Indonesian Government Policies, Disertasi, Universitas Murdoch, Western
Australia, h.130-135.
Robinson, K. (2002) Women in Indonesia, Institute of Southeast Asian Studies,
Singapore, h.68-77, 212-214.
Sihombing, R.T. (2004) Daya Mengikat Perjanjian Internasional Terhadap Hukum
Nasional, dalam Irianto, S. dam Luhulima, A.S. (editor) Konveansi Wanita di
Indonesia, Kelompok Kerja Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender,
Universitas Indonesia, Jakarta, h.199-211.

-0-

6
Pertemuan ke-4 (Hukum dan Kajian Wanita)
METODE PENELITIAN HUKUM BERPERSPEKTIF JENDER
TUJUAN:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaska metode penelitian (hukum) berperspektif
jender.
POKOK BAHASAN:
Metode penelitian hukum berperspektif jender.
SUB POKOK BAHASAN:
Membahas analisis jender, skop dan topik feminism, bias, validitas dan ethic dalam
penelitian jender, rekonstruksi dan pendekatan hukum berperspektif jender, Fenibis laki-
laki.

Point yang harus dikuasai:


 definisi analisis jender, bedanya dengan analisis sosial dan analisis hukum
 Hukum berperspektif perempuan bedanya dengan hukum berperspektif perempuan:
maksudnya bagaimana dampak hukum terhadap jender dan karena perempuan yg
disubordinatkatkan maka lebih focus nagaimana dampak hukum terhadap perempuan.
Oleh karena itu penelitian ini riset UNTUK perempuan, bukan riset TERHADAP
perempuan.
 Alasan lahirnya metode penelitian hukum berperspektif jender:
1. Perempuan exclude (tidak diperhitungkan) dalam hukum
2. Mengkritisi penerapan hukum
3. Mempertanyakan obyektifitas dan netralitas hukum yang male-bias(bias laki-laki)
4. Metode patriakhal
5. Hukum mensubordinasikan perempuan
 ciri peneliti feminis: relasi setara antara penelit dan informan, versi perempuan,
memahami fenomena secara selektif yang memunculkan kesadaran baru bagi
keduanya atau salah satu, dan menawarkan cara pandang baru dengan aksi
perubahan.
 Metodologi hukum berperspektif jender meliputi 4 hal/alasan:
1. Bersifat pengalaman. Kelemahan: keanekaragaman
2. Membangkitkan kesadaran. Kelemahan: keanekaragaman prp dan kolektif
3. Mempertanyakan pertanyaan perempuan. Fokus pada bgm hk memprioritaskan
perempuan dan bgm solusinya.
4. Alasan praktis feminis Fokus pada bgm hk mensubordinasikan prp dan bgm hk
dipakai sbg alat dalam memajukan posisi prp.
 bias, validitas dan ethic penelitian jender
 Peran feminis laki2 dalam pemberdayaan perempuan termasuk motivasi mereka dan
jenis keterlibatan mereka

DAFTAR PUSTAKA:
Danardono, D. (2003) “Hukum Berperspektif Perempuan: Emansipasi atau
mendefinisikan Kembali Perempuan?” dalam Temu Karya: Hukum Berperspektif
Gender, diadakan Kelompok Kerja Convention Watch – Pusat Kajian Wanita dab
Jender, UI, Jakarta, 25-27 Juni.
Irianto, S. (2003) “Pendekatan Hukum Berperspektif Perempuan” dalam Temu Karya:

7
Hukum Berperspektif Gender, diadakan Kelompok Kerja Convention Watch –
Pusat Kajian Wanita dab Jender, UI, Jakarta, 25-27 Juni.
Oleson, V.L. (2000) Feminisms and Qualitative Research at and into the Millennium,
Sage Publications Inc., Thousand Oaks/London/New Delhi.
Prihatinah, T.L. (2005) Women and Income Generating Projects: The Gender Impacts of
Indonesian Government Policies, Disertasi, Universitas Murdoch, Western
Australia, h. 36-38, 54.
Subono, N.I. (2001) Feminis Laki-laki: Solusi atau Persoalan, Yayasan Jurnal
Perempuan, Yogyakarta.
-0-

8
9
Pertemuan ke-5 (Hukum dan Kajian Wanita):
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM HUKUM (KELUARGA)

TUJUAN:
Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan status perempuan dan laki-laki dalam hukum
keluarga di berbagai peraturan dan implikasinya.
POKOK BAHASAN:
Kedudukan perempuan dalam hukum keluarga di Indonesia
SUB POKOK BAHASAN:
 Membahas kedudukan perempuan dan implikasinya termasuk hak dan kewajiban
suami istri yg diatur dalam UU Perkawinan, UUPKDRT, Kompilasi Hukum Islam,
dan Usulan Amandemen UU Perkawinan.
 Perbedaan janji kawin dalam KUHP dan UU Perkawinan No 1 tahun 1974
 Perbedaan waris dalam sistem hukum nasional (UUPerkawinan, agama dan
kebiasaan)

DAFTAR PUSTAKA
Salami, R.U dan Prihatinah, T.L. (2005) “Status Perempuan dalam UU Perkawinan, UU
PKDRT dan Usulan Amandemen UU Perkawinan” makalah dalam Temukarya ke
IV Jejaring Mitra Convention Watch, Lombok, 12-14 September.
Fakih, M. (1996) Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Katjasungkana, N. (missing) “Seberapa Perlukah Perjanjian Pranikah?” artikel dalam
majalah mingguan Nova, Jakarta.
LBH-APIK (2005) Usulan Amandemen UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 berikut
argumen-argumennya.
Nuskhi, M.Z. (2005) “Kedudukan Wanita Dalam Islam”, dalam Dialog Interaktif Hak
Asasi dan Kedudukan Wanita dalam Islam, Masjid Fatimatuzzahra, Purwokerto.
Pusat Kajian Wanita dan Gender (2004) Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk
Mewujudkan Keadilan Gender, Universitas Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta,
h.8-34
-0-

10
Pertemuan ke-6 (Hukum dan Kajian Wanita)
WANITA DAN PEMBANGUNAN

TUJUAN:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan teori “Wanita dan pembangunan”
POKOK BAHASAN:
Wanita dan pembangunan
SUB POKOK BAHASAN:
Membahas berbagai teori pembangunan : WID, WAD dan GAD

Berbagai teori dasar tentang pembangunan (cari sendiri untuk pemahaman dan
perluasan wawasan):
1. Teori evolusi; 5. Teori konflik;
2. Teori fungsionalisme struktural; 6. Teori ketergantungan;
3. Teori modernisasi; 7. Teori pembebasan;
4. Teori sumber daya manusia;8.Teori kekuasaan dan diskursus dalam perubahan sosial.

 Pendekatan perempuan dalam pembangunan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:


1. WID
Agenda utama Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development/WID) yg
dimulai awal 1970 an adalah melibatkan perempuan dalam pembangunan dengan asumsi
bahwa ketidakterlibatan mereka dalam pembangunan menyebabkan keterbelakangan dan
ketidakadilan jender.
Pendekatan ini hanya mampu menyelesaikan kebutuhan praktis jangka pendek. Sehingga
dipercaya pendekatan ini hanya menyelesaikan gejala daripada menyelesaiakan akar
permasalahan yang sesungguhnya (Prihatinah, 2004, 42).
2. WAD
Women and Development (Perempuan dan Pembangunan) mengkritisi WID karena beban
yg berlebihan dan juga kemiskinan global (feminization of poverty) yg diakibatkan oleh
kapitalis global. Sehingga menurut maxist feminist bahwa exploitasi jender (terhadap
perempuan terutama) tidak cukup diselesaikan dengan analisis gender tetapi harus dengan
analisis kelas (borjuis dan proletar).
3. GAD
Teori Jender dan Pembangunan/ GAD (Gender and Development) ini timbul setelah
melihat kelemahan pendekatan WID dan WAD. GAD ini memfokuskan pada kehidupan
bersama laki2 dan perempuan sebagai dasar analysis guna menyelesaikan ketertindasan
perempuan melalui “pemberdayaan”.

Ada 3 cara pemberdayaan perempuan:


a. peningkatkan kesadaran dan interpretasi kembali kebutuhan2;
b. melalui solidaritas dan persatuan;
c. mobilitas utk terjadinya perubahan.

Untuk itu maka penyelesaikan yg diperlukan terdiri dari:


i. kebutuhan praktis jender dan
ii. kebutuhan strategis jender.

11
DAFTAR PUSTAKA:
Fakih, M. (1996) Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
h.25-67.
Mosse, J.C. (1996) Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.24, 205-
211.
Prihatinah, T.L. (2005) Women and Income Generating Projects: The Gender Impacts of
Indonesian Government Policies, Disertasi, Universitas Murdoch, Western
Australia, h.40-48.

-0-

12
Pertemuan ke-7 (Hukum dan Kajian Wanita):
PEREMPUAN DAM KEMISKINAN
Tri Lisiani Ph.

TUJUAN:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaska pokok bahasan “Perempuan dan
Kemiskinan”.
POKOK BAHASAN:
Perempuan dan kemiskinan
SUB POKOK BAHASAN:
Membahas perempuan dan kemiskinan dalam perspektif UUD 1945, UNDP, berbagai
teori kemiskinan dan sebab2nya.

Beberapa point yang harus dikuasai:


 Definisi, pengertian, indikator dan kategori kemiskinan
 Sebab2 kemiskinan baik itu berupa gejala, sebab seketika, sebab yg tersembunyi
maupun sebab utama kemiskinan.
 Fungsi jaring sosial.
 Hukum nasional dan internasional yang mengatur kemiskinan termasuk tanggung
jawab siapa kemiskinan dibebankan.
 Alternatif pengentasan kemiskinan. Bandingkan kasus penanganan kemiskinan di
negara maju dan negara berkembang.

DAFTAR PUSTAKA:
Mosse, J.C. (1996) Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.24-28,
150-153, 202-204, 236-240
Prihatinah, T.L. (2004) Women and Income Generating Projects: The Gender Impacts of
Indonesian Government Policies, Disertasi, Unpublished, h.16-36, 67-72.

-0-

13
Pertemuan ke-8 (Hukum dan Kajian Wanita)
KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DPR
Tri Lisiani Ph.
Topik Materi
Perempuan dalam hukum publik: keterwakilan Membahas UU Nomor 12 tahun 2003
perempuan di DPR tentang Pemilu Anggota DPR DPRD
dan DPD, teori affirmative action

Beberapa point yang harus dikuasai (lihat beberapa referensi termasuk makalah dan
jurnal):
 UU No. 12/ 2003 dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, hubungankan dengan
ratifikasi CEDAW. Cari juga hubungan hak politik perempuan dalam DUHAM.
(Keberadaan UU tersebut dalam sistem hukum di tingkat daerah, nasional dan
global).
 Pengertian, definisi, alasan/rasionalitas “affirmative action / quota” perempuan di
DPR. Jelaskan hubungannya quota dengan pengertian atau definisi demokrasi.
 Tujuan quota perempuan.
 Hubungkan quota dengan teori deskriminasi termasuk lama berlakunya quota (jurnal
halaman 113).
 Mekanisme UU tersebut, analisis terhadap UU tersebut, kendala dan strategi.
 Sebutkan contoh2 peraturan yang mengakomodasi masalah perempuan. Bandingkan
dengan negara lain (misalnya: Swedia, Australia). – lihat jurnal hal. 17-30, kususnya
hal 17, 27-30.
 Bagaimana perkembangan keterwakilan perempuan di DPR, DPRD (terutama di
daerah anda). Terangkan strategi untuk merespons kondisi keterwakilan perempuan
ini dalam melaksanakan UU tersebut.
 …
DAFTAR PUSTAKA:
Fakih, M. (1996) Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
h.130
Journal Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, No 34 (2004) Politik dan
Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai